Home > Berita > Ketidakadilan PHBM

 

Blora (15/4/2012). Munculnya Keputusan Direksi Perhutani tentang PHBM nomor 682 tahun 2009 dan Bagi Hasil Hutan Kayu nomor 436 tahun 2011 menimbulkan gejolak dalam masyarakat desa hutan. Dua kebijakan tersebut, di satu sisi menguntungkan Perhutani, namun di sisi lain justru merugikan masyarakat desa hutan. Selain itu, masyarakat desa hutan melalui LMDH tidak pernah dilibatkan dalam proses perumusannya. Padahal, implikasi dari kebijakan tersebut sangat berdampak pada masyarakat desa hutan serta berjalannya program PHBM itu sendiri.

Paguyuban LMDH se Jawa Tengah atau sering disebut GUGAH bekerjasama dengan ARuPA mencoba membedah dua Keputusan Direksi Perhutani tersebut serta melihat kesesuaian antara kebijakan PHBM dan Bagi Hasil dengan fakta di lapangan. Acara tersebut diselenggarakan pada tanggal 14-15 April 2012, bertempat di Wisma Pratama Jalan Halmahera, Blora. Dihadiri 25 peserta dari 10 Paguyuban LMDH tingkat KPH meliputi Randublatung, Cepu, Blora, Mantingan, Kebonharjo, Pati, Telawa, Purwodadi, Surakarta, Kedu Utara, serta para pengurus GUGAH.

Perhutani Meninggalkan LMDH

Dalam Keputusan Direksi Perhutani nomor 682 tahun 2009 tentang PHBM, Perhutani memunculkan Koperasi Masyarakat Desa Hutan dalam pasal 1 (ayat 6) dan pasal 7 (ayat 6 & 7). Fakta di lapangan, separoh desa hutan di KPH Pati sudah membentuk koperasi namun sampai sekarang belum berjalan lantaran tidak ada pendampingan maupun bantuan modal dari Perhutani. Sementara itu, di KPH Mantingan LMDH membiayai sendiri pengurusan akta notaris koperasi yang menghabiskan hampir dua juta rupiah.

Perhutani juga membentuk Kelompok tani hutan rakyat di banyak desa hutan. Pejabat Perhutani secara jujur menyampaikan kepada pengurus LMDH bahwa pengembangan hutan rakyat di luar kawasan hutan murni untuk menambah pendapatan Perhutani. Pada akhir Februari 2012, telah di deklarasikan Asosiasi Kelompok Tani Hutan Rakyat Indonesia atau AKATRI di Bandungan Jawa Tengah.

Keluhan para pengurus LMDH, dengan dibentuknya Koperasi masyarakat desa hutan serta pembentukan kelompok tani hutan rakyat justru menimbulkan kerancuan kelembagaan dalam LMDH. Hal tersebut berimplikasi pada tidak seriusnya Perhutani terhadap keberlangsungan PHBM serta kemitraannya dengan LMDH. Proporsi kegiatan serta anggaran yang semula di optimalkan untuk koordinasi dan kemitraan dengan LMDH, saat ini malah lebih digunakan untuk biaya mendirikan koperasi dan kelompok tani hutan rakyat di berbagai tempat.

Sementara itu, di berbagai tempat LMDH tidak dilibatkan dalam kegiatan usaha di kawasan hutan yang melibatkan investor. Di KPH Kebonharjo, ada investor yang menanam tanaman ketela berhektar-hektar di hutan tanpa sepengetahuan LMDH. Di KPH Banyumas Timur banyak obyek wisata di kawasan hutan dikelola oleh investor tanpa melibatkan LMDH setempat. Beberapa temuan lapangan tersebut, tidak bersesuaian dengan berbagai pasal yang ada di dalam SK PHBM nomor 682 tahun 2009.

Beberapa kritik atas berbagai pasal dalam SK PHBM tersebut juga disampaikan oleh para peserta diskusi. Antara lain: Pertama, definisi Desa Hutan dalam pasal 1 ayat 3 dinilai memisahkan desa dengan hutan pangkuannya. Padahal semua hutan sudah terbagi habis dalam wilayah desa. Kedua, menghilangkan klausul tentang klasifikasi LMDH pemula,muda,  madya, dan mandiri. Klausul ini tidak jelas indikatornya serta cenderung mengarah pada absennya Perhutani dalam keberlangsungan LMDH dan PHBM di kemudian hari.

Ketiga, perlu diatur juga tentang Paguyuban LMDH sebagai bagian dari stakeholders yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan implementasi PHBM. Keempat, klausul kelola sosial dinilai sebagai ketentuan yang mengada-ada dalam SK PHBM. Klausul tersebut dinilai hanya dicantumkan untuk mendukung Perhutani yang saat ini tengah mengejar sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari. Kelima, perlu diatur juga mekanisme evaluasi dari LMDH atas kinerja Perhutani. Selama ini, evaluasi hanya dilakukan Perhutani dan LSM terhadap LMDH saja.

Faktor Koreksi: Tidak Adil !

Dalam Keputusan Direksi Perhutani nomor 436 tahun 2011 tentang Bagi Hasil Hutan Kayu terdapat beberapa kritik dan saran yang disampaikan oleh pada pengurus LMDH antara lain sebagai berikut:

Pertama, tentang Faktor Produksi. Selama ini LMDH tidak pernah diajak berembug tentang besaran nilai dan faktor produksi. Seharusnya penetapan besaran nilai dan faktor produksi dilakukan melalui proses perumusan bersama antara Perhutani dan LMDH.

Kedua, tentang Faktor Koreksi. Penetapan faktor koreksi tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif dengan melibatkan LMDH. Para pengurus LMDH tidak sepakat adanya faktor koreksi dalam bagi hasil hutan kayu. Kalaupun ada kebutuhan untuk memasukkan faktor koreksi, maka nilai faktor koreksi harusnya ditetapkan bersama-sama oleh Perhutani dan LMDH melalui proses yang partisipatif dan transparan. Jikalau ada faktor koreksi bentuk punishment atas kinerja LMDH, maka seharusnya juga ada Faktor Bonus untuk LMDH sebagai bentuk dari reward atas kinerja LMDH.

Ketiga, tentang Hasil Hutan Kayu. Dalam SK ini, hasil hutan kayu yang menjadi obyek berbagi adalah kayu perkakas dan kayu bakar dari kawasan hutan produksi yang dikelola melalui proses Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat. Pertanyaan yang diajukan LMDH adalah bagaimana dengan hasil kayu dari kawasan selain hutan produksi? Harusnya semua kawasan hutan dikelola melalui proses PHBM. Harus ada sharing di kawasan lindung. Kayu-kayu berikut ini harusnya menjadi obyek berbagi antara lain:

(i) Rencek, tonggak, limbah tebangan; (ii) Hasil kayu karena bencana alam; (iii) Kayu yang rusak karena terserang hama/penyakit; (iv) Barang bukti; (v) Kayu puruk yaitu pohon diluar tanaman pokok; (vi) Hasil tebangan yang tidak direncanakan. Rencana tebang harus melibatkan LMDH.

Keempat, tentang Bentuk Sharing. Selama ini sharing untuk LMDH diberikan dalam bentuk uang tunai. LMDH mengusulkan pemberian sharing hasil hutan kayu dalam bentuk kayu. Alasanya, sharing dalam bentuk uang cenderung merugikan LMDH lantaran di dasarkan pada harga jual dasar Perhutani. Selain itu, pemberian sharing yang selama ini dilakukan dengan seremonial besar-besaran cenderung pemborosan. Jika harus dilakukan dengan seremonial, seharusnya pembiayaannya tidak diambilkan dari dana sharing milik LMDH.

Kelima, tentang Alokasi Pemanfaatan Sharing. Alokasi pemanfaatan sharing yang diterima LMDH seharunya merupakan hak otonom dari LMDH, tidak perlu di tentukan oleh Perhutani.

Keenam, tentang Penyelesaian Sengketa. Dalam proses penyelesaian sengketa, jika proses musyawarah dan mufakat tidak tercapai, sebelum diselesaikan melalui pengadilan, seharusnya ada proses mediasi dengan Paguyuban LMD dan FK PHBM sebagai mediator.

Beberapa catatan yang lain juga terumuskan antara lain: (a) Belum ada pedoman tentang berbagi hasil non kayu, usaha produksi, dan wisata; (b), Tarif upah ditentukan sepihak oleh Perhutani. Harusnya LMDH dilibatkan.

Epilog

Perjalanan PHBM berikut bagi hasil hutan kayu telah 10 tahun berlangsung di hutan Jawa. Keputusan Direksi Perhutani tentang dua hal tersebut berganti-ganti seiring dengan perubahan pimpinan Direksi Perhutani serta orientasi Perhutani yang saat ini semakin mengembangkan usaha-usaha kehutanan baik di dalam maupun di luar kawasan untuk memulihkan kondisi keuangan perusahaan yang cenderung bangkrut.

 Pada saat yang sama, perumusan kebijakan Direksi Perhutani tentang PHBM dan Bagi Hasil sama sekali tidak pernah melibatkan masyarakat desa hutan, LMDH, dan Paguyuban LMDH. Selain itu, kebijakan-kebijakan cenderung merugikan masyarakat desa hutan yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan program PHBM itu sendiri. Jika ketidaksepahaman antara LMDH dan Perhutani ini masih terus berlangsung, maka sejarah kekisruhan hutan Jawa di tahun 1998-2002 boleh jadi akan terulang kembali. Tentu saja, hal tersebut tidak diinginkan oleh semua pihak. [abp]

 

Print Friendly, PDF & Email

5 Comments, RSS

  • Kata siapa kegiatan Investor di lahan Perhutani KPH Banyumas Timur tidak melibatkan LMDH ??

    Sudah turun langsung atau belum ??

    Menurut sy, LMDH itu tidak perlu GUGAH yg hanya memanfaatkan dan mengatasnamakan LMDH se Jateng demi keuntungan beberapa gelintir pengurus GUGAH !!

    LMDH akan lebih baik jika didampingi kalangan akademisi ataupun LBH demi mewujudkan kepentingannya… Tanpa melalui MAFIA CALO semacam GUGAH !!!

    • Terima kasih atas tanggapannya. Seperti itulah temuan field research kami di dua KPH tersebut. Soal GUGAH, subyektifitas orang berbeda-beda, dan kami menghargai pendapat anda. salam.

  • To. Rio

    Siapa blang Gugah hnya memanfaatkan program N jdi mafia… Anda bisa cek sndri anggota gugah d masing2 KPH mereka nyata memberdayakan masyarakat baik dlm penataan ekonomi, kelestarian lingkungan N pendidikan. jdi kata2 anda itu adl sbuah kesirikan bagi kami yg sudah kuat dan maju dalam berkarya.
    Sya tdk pengurus gugah, sya adl pengrus lmdh magelang tpi paguyuban gugah bisa mberikan pembimbingan bagi lmdh d daerah

  • Terimakasih atas saran dan masukannya. No 4 sesuai dengan perjanjian berupa uang bukan kayu.no tiga . yang namanya hutan lindung bukan untuk di produksi/ di tebang tetapi untuk di lindungi.no lima. perhutani tidak pernah mengatur/mengurusi sharing bagian lmdh, namun mengarahkan agar penggunaanya sesuai dengan ART/ADRT dari LMDH itu sendiri. maaf kalau ini salah

  • Hingga tahun 2020 berakhirpun masih belum bisa dilaksanakan sebagaimana ketentuan yang dibuatnya sendiri (Perhutani)

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*