Home > Paper > Hutan Rakyat Wonosobo

Kearifan Rakyat yang Menjadi Sumber Inspirasi Perda No. 22/2001

Hutan rakyat di Wonosobo pada saat ini luasnya mencapai hampir 20.0001 hektare, dan luas ini adalah 10% dari luas hutan rakyat di seluruh Jawa Tengah. Tetapi bukan hanya bernilai ekonomis, keberadaan hutan rakyat sangat penting sebagai sistem pendukung pertanian desa, penyangga ekosistem, penjaga stabilitas ekologi, dan pengatur tata air wilayah; apalagi mengingat daerah Wonosobo yang sebagiannya terletak di dataran tinggi dan pegunungan.

Hutan rakyat atau kebun campur merupakan budaya pertanian turun temurun di desa-desa di Wonosobo, yang dikenal dengan sebutan wono atau alas. Kata “wono” itu sendiri, dalam khazanah kebudayaan pertanian di Jawa, tidak hanya berarti hutan sebagaimana yang kita kenal. Wono dalam pemahaman mereka berarti sumber daya (resource) yang bisa berguna bagi pertanian, peternakan, dan kebutuhan hidup lainnya . Itu sebabnya dalam konteks pertanian mereka tidak dikenal sistem tanaman monokultur atau tanaman satu lapis. Komposisi ini saling melengkapi dan begitu padunya, sehingga bertani adalah juga berhutan, dan sebaliknya.

Tanaman dalam hutan rakyat dibuat belapis-lapis (multi layers) dengan banyak jenis. Di dalamnya terdapat pohon kayu, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, pakan ternak, dan lain sebagainya2 . Tingginya keragaman jenis di dalam ekosistem menyebabkan peristiwa saling memakan sangat intensif sehingga mampu membendung serangan hama dan penyakit; bagi hutan itu sendiri maupun bagi daerah pertanian di sekitarnya. Sentuhan budaya berhutan di Wonosobo telah dengan sangat berhasil mengadopsi ekosistem alamiah hutan alam tropis ke dalam kehidupan pertanian mereka sehari-hari.

Jenis tanaman di hutan rakyat didominasi oleh sengon ( Paraserianthes falcataria, dalam bahasa lokal disebut besiah atau kolbi) yang pada awalnya ditanam oleh pemerintah Hindia Belanda di Kawasan Hutan yang dikuasai oleh Boschwezen3 , dengan variasi jenis lokal seperti mahoni ( Swietenia macrophylla ), suren ( Toona sureni ), kopi, dan berbagai jenis tanaman tahunan dan tanaman semusim yang dikembangkan dalam hamparan lahan secara efisien. Dari hutan yang dikuasai Boschwezen inilah biji sengon berterbangan, tumbuh, dan kemudian oleh masyarakat dirawat dan dipelihara.

Beberapa tanaman kayu yang lainnya adalah mei4 , dadap dan mindi (Melia azidarach). Sementara masyarakat juga terbiasa memanen buah petai (Parkia speciosa), kelapa (Cocos nucifera), pepaya (Carica papaya) dan pisang (Musa paradisiaca) untuk keperluan rumah tangga.

Budidaya tanaman kopi dimulai pada jaman Jepang. Bibit diperoleh dengan membeli di pasar. Pada waktu inilah dimulai pola campuran antara tanaman kehutanan dan perkebunan meskipun cara perawatannya masih minimal. Hanya tempat-tempat dimana kopi atau sengon akan ditanam sajalah yang dibersihkan dari rumput dan belukar. Jumlah batang yang ditanam pun tidak terlalu banyak. Sengon dipergunakan sebagai naungan kopi, sementara tanaman kayu yang lain seperti suren dan dadap ditanam sebagai tanaman tepi. Beberapa lahan juga masih bertahan dengan tanaman pangan semusim.

Introduksi tanaman yang memperkaya pola campuran dimulai pada tahun enam puluhan. Tanaman-tanaman introduksi tersebut adalah cengkeh ( Syzigium aromaticum ), kemukus, suruh , kapulogo dan panili. Para petani juga telah mulai mencampurkan tanaman di bawah tegakan seperti lombok/cabe ( Capsicum sp. ), jenu dan empon-empon, selain masih juga mempertahankan tanaman jagung dan ketela pohon.

Pola percampuran berbagai jenis tanaman dalam satu lahan (mixed plantation) bukan tidak berarti apa-apa bagi petani. Ia lahir sebagai penyikapan terhadap tidak stabilnya produk-produk pertanian. Andaikan salah satu produk harganya jatuh, diharapkan akan tertutupi oleh produk lain yang stabil atau bahkan meningkat harganya. Aneka jenis tanaman dengan musim panen yang berbeda-beda juga mencerminkan prinsip kelestarian hasil. Setiap waktu sepanjang tahun selalu ada saja yang dapat dipanen5 .

Variasi jenis tanaman pada hutan rakyat berkaitan erat dengan variasi kebutuhan yang beragam kualitas dan kekerapannya. Tanaman cabe yang bisa dipetik 15 hari sekali dan kapulogo yang dapat dipanen sebulan sekali diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga petani hutan rakyat. Kebutuhan jangka menengah disuplai dari hasil tumpang sari kopi dan salak. Setiap tahun kopi berbuah, sementara salak dapat dipetik hasilnya setiap dua bulan6 . Tanaman kayu, oleh petani, dijadikan tabungan untuk menjaga keperluan jangka panjang yang membutuhkan biaya besar, seperti hajatan, biaya mengawinkan anak, biaya sekolah, pembangunan rumah, naik haji dan lain sebagainya.

Prinsip kelestarian juga terlihat dari mekanisme permudaan hutan. Dalam melakukan penebangan sengon, misalnya, petani lebih memilih tidak menebang seluruh tegakan yang ada. Disamping umurnya yang tidak sama, model tebang habis akan menjadikan tanah terdegradasi dan perlu waktu untuk memulihkannya. Upaya nyata yang lain terlihat dalam melakukan permudaan. Setiap tegakan sengon yang ditebang, petani menggantinya dengan tiga buah tanaman baru. Bibit tanaman ini berasal dari permudaan alami yang kemudian dipindahkan tempatnya.

Dari pelajaran sepanjang sejarah inilah masyarakat Wonosobo menyadari pentingnya arti hutan secara ekonomi. Di sisi lain, mereka juga sadar akan pentingnya nilai ekologis hutan bagi kehidupan mereka. Masyarakat petani menanam pohon di lereng-lereng perbukitan agar sawah mereka tidak kekeringan, agar desa mereka tidak tertimpa longsor, dan agar mereka tetap mendapat cukup air.

Ketika hutan pinus yang dikelola Perhutani dijarah, hutan hutan rakyat tetap lestari dan menjadi benteng pelindung dari terjadinya erosi dan tanah longsong. Hutan tersebut berfungsi sebagai daerah penyangga (buffer zone) bagi pemukiman di desa7 .

Secara umum, diseluruh Jawa, terdapat hutan rakyat seluas hampir 400.000 hektare dan mampu memasok kurang lebih 895.000 m 3 kayu pertahunnya; dan jumlah ini adalah 10% serapan kayu berbagai industri di pulau Jawa. Masih belum cukup fantastis? Produktivitas hutan rakyat di pulau Jawa rata-rata adalah 2,29 m3 /ha/tahun; lebih dari tiga kali lipat produktivitas hutan Perhutani yang hanya 0,73 m 3 /ha/tahun itu8 . [end]

Catatan Kaki :

1.Tepatnya seluas 19.492 hektare, lebih luas daripada hutan negara di Kabupaten Wonosobo. Rincian pada Lampiran 4 tabel 1.
2. Struktur lapisan hutan ini selengkapnya pada Lampiran 1.
3. Dinas Kehutanan Pemerintah Hindia Belanda.
4. Bahan pembuat arang.
5. Selengkapnya lihat Lampiran 2.
6. Hanya berhenti selama tiga bulan (April sampai Juni) setiap tahun.
7. Sketsa zonasi kebon dan wono dapat dilihat pada Lampiran3.
8. Lebih rinci pada Lampiran 4 tabel 3

 

Lampiran 1. Struktur banyak lapis pada hutan rakyat Wonosobo

 

Lampiran 2. Jenis tanaman dan masa panen

 

Lampiran 3. Sketsa penggunaan lahan di desa perbukitan Wonosobo

Lampiran 4. Beberapa data yang relevan

Lampiran 5. Pasokan kebutuhan bahan baku kayu bagi industri di Jawa

Lampiran 6. Produktifitas hutan rakyat dan perbandingannya dengan hutan negara

Lampiran 7. Estimasi nilai tegakan hutan rakyat sengon di Wonosobo

Lampiran 8. Kerusakan hutan negara di dua KPH di Wonosobo tahun 1999

Lampiran 9. Jumlah batang pohon tercuri di dua KPH di Wonosobo (1995 – 1999)

 

 

 

 

 

 

 

Print Friendly, PDF & Email

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*