Studi kolaboratif ARuPA – KpSHK – Kemala, 2004
Di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul
Gambaran Umum
Secara administratif Desa Girisekar merupakan desa yang terletak di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Girisekar berbatasan dengan Desa Karang Duwet (Kecamatan Paliyan) di sebelah Utara, sebelah Timur dengan Desa Jetis (Kecamatan Saptosari), di sebelah Selatan dengan Desa Krambil Sawit (Kecamatan Saptosari), dan Desa Girimulyo di sebelah Barat. Desa ini terbagi dalam 9 dusun, yaitu Krambil, Warak, Sawah, Bali, Mendhak, Belimbing, Waru, Pijenan, dan Jeruken.
Menurut data monografi desa tahun 2002, Desa Girisekar memiliki areal seluas 2.115 hektar dengan pola pemanfaatan lahan terdiri dari hutan negara 433,41 hektar, tegalan 1.446,26 hektar, permukiman 120,49 hektar dan lain-lain peruntukan seluas 114,48 hektar. Sedangkan menurut data Biro Pusat Statistik Kabupaten Gunung Kidul, jumlah penduduk Girisekar pada tahun 2001 adalah sebesar 7.214 jiwa yang terdiri dari 3.494 laki-laki dan 3.720 perempuan, dengan jumlah keluarga sebanyak 1450 KK. Rata-rata pemilikan lahan per keluarga seluas 1,08 hektar. Girisekar berada pada ketinggian 400 meter di atas permukaan laut, dengan topografi berbukit-bukit (batuan). Suhu rata-rata berkisar 28,7 derajat Celsius, dengan musim hujan jatuh pada bulan Oktober-Maret dan musim kemarau bulan April-September.
Pola Produksi
Sebagaimana umumnya desa-desa daerah pegunungan di Jawa, sebagian besar penduduk Desa Girisekar memiliki mata pencarian sebagai petani. Kondisi alam Girisekar yang kurang kondusif bagi pengembangan pertanian persawahan sebagai akibat terbatasnya air menyebabkan masyarakat Giri Sekar mengembangkan pola-pola pertanian lahan kering. Pada daerah ini banyak dikembangkan pertanian model campur di mana tanaman pertanian dengan spesies yang berbeda-beda seperti ketela, kacang, jagung, padi, jwawut dan sayuran lainnya ditanam secara bersamaan pada suatu lahan dikarenakan pada musim kemarau tanaman tersebut diatas tidak dapat tumbuh di daerah ini. Mereka menyebut sistem penanaman ini dengan sistem campursari.
Menurut kalender musim yang diterapkan oleh masyarakat desa, musim tanam pertama kali dilakukan pada bulan oktober dengan pertama kali dilakukan pengolahan tanah dan perabukan dengan pupuk kandang. Beberapa minggu setelah pengolahan tanah masyarakat mulai menabur benih beberapa jenis tanaman pertanian sambil menunggu datangnya musim hujan. Datangnya musim hujan merupakan waktu yang sangat diperhitungkan oleh masyarakat Desa Girisekar. Mereka menggunakan ilmu titen (tren dan kecenderungan) dengan melihat fenomena alam yang ada di sekitar mereka, contoh dari kegiatan ini ialah, mereka biasa melihat pertumbuhan tunas dari tanaman uwi (sejenis umbi-umbian) yang mulai tumbuh meski hujan belum turun untuk dijadikan patokan kapan mulai menabur benih tanaman.
Ada suatu kepercayaan pada masyarakat Girisekar yang sangat berpengaruh terhadap pola produksi pertanian, mereka percaya penaburan benih kedua akibat gagalnya penaburan pertama pada satu musim tanam tidak diperkenankan (ora ilok) . Kepercayaan tersebut memunculkan teknik penyulaman untuk mengganti tanaman pertanian yang mati pada lahan mereka. Selain itu ada juga kebiasaan dari mereka untuk tidak mengkonsumsi semua hasil pertanian sehingga pada musim panen yang akan datang mereka masih memiliki stok untuk benih tanaman, namun seiring dengan waktu dengan diintroduksikannya spesies unggul oleh dinas pertanian, masyarakat desa jadi sangat tergantung terhadap ketersediaan bibit unggul yang kemudian harus mereka beli pada toko-toko pertanian.
Perkembangan pertanian di daerah ini dari masa ke masa mengalami perubahan, perubahan pola konsumsi dari mengkonsumsi gaplek ketela yang kemudian bergeser jadi mengkonsumsi padi merubah pola produksi pertanian mereka. Pada tahun 1970 dengan kondisi lingkungan yang kering tersebut, masyarakat lebih cenderung menanan tanaman ketela yang kemudian dijadikan gaplek untuk persedian makan mereka selama satu tahun. Saat ini masyarakat menanam ketela lebih condong untuk dijual dalam bentuk gaplek ke perusahaan tepung tapioka. Selain menanan ketela, pada tahun tersebut juga ditanam jenis padi gogo pada lahan mereka. Dengan dicanangkannya program swasembada beras dan intensifikasi pertanian masyarakat mulai mengenal spesies unggul jenis padi seperti IR 64 dan sanggreng .
Pengenalan spesies baru tanaman padi tersebut dilakukan dinas pertanian terkait melalui petugas penyuluh lapangan. Dengan melihat hasil produksi tanaman pertanian dari benih unggul yang lebih menjanjikan, masyarakat mulai tertarik untuk mengganti spesies tanaman padi gogo yang mereka kembangkan sebelumnya. Dampak dari penggatian spesies ini ialah kebutuhan input nutrisi meningkat, sehingga mereka merasa perlu untuk membeli pupuk buatan pabrik seperti urea untuk mensuplai kebutuhan nutrisi untuk tanaman padi mereka. Dari obrolan dengan beberapa penduduk desa Girisekar, mereka menyebutkan setelah pemakaian urea selama beberapa tahun mereka merasakan terjadinya perubahan struktur dan tekstur tanah mereka, tanah mereka menjadi keras dan tidak gembur. Namun hal tersebut tidak menjadikan mereka berhenti menggunakan pupuk urea, karena pupuk kandang yang dahulu mampu memenuhi kebutuhan nutrisi untuk padi gogo, saat ini tidak mampu untuk padi jenis unggul.
Tanaman pertanian yang dikembangkan penduduk Girisekar cukup beragam, rata-rata dari jenis tanaman tersebut merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan pengairan, di desa ini tidak terdapat sungai dan aliran irigasi, sehingga kebutuhan air untuk tanaman hanya dicukupi dari air hujan, sehingga kesalahan penentuan waktu tanam atau fluktuasi panjang musim hujan mengakibatkan gagalnya panen pada musim tersebut. pertanian di Girisekar tidak dapat terlepas dari sektor kehutanan dan peternakan. Pola Agroforestry yang berkembang pada daerah tersebut disesuaikan dengan kondisi lahan, kelerengan dan akses serta prioritas kebutuhan petani terhadap lahan tersebut. Pada lahan-lahan yang relatif datar, lahan tersebut lebih dioptimalkan untuk pertanian, demikian juga pada lahan-lahan dengan solum tanah yang tebal. Pada lahan dengan kondisi kelerengan yang curam dan bersolum tipis tanaman kehutanan relatif dominan. Sementara pada lahan dengan akses tinggi yang dikarenakan untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari tanaman pertanian juga ditanam pada daerah dengan kelereangan yang cukup miring. Pada daerah tersebut juga mulai muncul perubahan fungsi lahan, banyak lahan yang dulu dikembangkan untuk lahan pertanian mulai dimanfaatkan untuk menanam tanaman kehutanan secara monokultur. Hal ini terjadi karena permintaan kayu terutama kayu jati meningkat dengan tajam yang mengakibatkan harga kayu jati mulai merangkak naik. Selain itu pergeseran ini juga dipengaruhi oleh harga jual produk pertanian yang tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Produk pertanaian unggulan di desa ini berupa padi, jagung, kacang dan singkong. Jenis tanaman pertanian lain seperti sayuran, jwawut, mentimun dan lain-lain lebih banyak digunakan untuk mengisi ruang-ruang kosong di sela produk utama meskipun pada saat panen hasil dari produk sampingan tersebut selain dikonsumsi juga dijual. Penanaman tanaman dengan metode campur ini mengakibatkan penggunaan lahan pada daerah tersebut menjadi efisien.
Pengolahan produk paska panen tidak cukup beragam. Hasil pertanian yang mereka peroleh tidak mengalami pemrosesan lebih lanjut kecuali singkong yang diolah menjadi gaplek dengan tujuan untuk meningkatkan harga jual dari produk ini. Masyarakat juga mengembangkan pengolahan lebih lanjut produk pertanian dalam industri rumah tangga skala kecil. Industri kecil yang mereka kembangkan ialah pembuatan tempe dan emping melinjo.
Sebagian besar penduduk Girisekar memiliki hewan ternak. Ternak yang dikembangkan di desa ini terbagi menjadi dua macam yaitu ternak besar yang terdiri dari sapi dan ternak kecil yang terdiri dari kambing dan unggas (ayam kampung, ayam ras, dan itik). Dalam mengelola ternak, masyarakat desa Girisekar mempunyai beberapa tujuan: Pertama, pemafaatan hewan ternak untuk mendukung produksi pertanian mereka, pemanfaatan seperti ini dilakukan dengan menggunakan tenaga dari hewan ternak mereka untuk membajak lahan, selain itu masyarakat juga memanfaatkan kotoran hewan ternak sebagai pupuk kandang. Kedua, pemanfaatan hewan ternak sebagai tabungan untuk mencukupi kebutuhan dalam skala besar seperti pernikahan, membeli tanah dan lain-lain. Ketiga, pemanfaatan ternak sebagi sumber pendapatan utama (peternakan ayam ras).
Menurut penuturan beberapa warga masyarakat Desa Girisekar, hutan rakyat di desanya mulai berkembang pada tahun 70-an. Perkembangan hutan rakyat tersebut terus berlangsung hingga kini dan dipengaruhi beberapa kondisi, seperti kondisi lahan pertanian di desa Girisekar sangat tandus sehingga tidak menguntungkan jika ditanami tanaman pertanian. Tanaman pertanian yang dapat ditanam hanya singkong yang hasilnya diolah menjadi gaplek sebagai makanan pokok. Kondisi serba sulit tersebut mendorong warga untuk mencoba menanam tanaman keras yang sewaktu-waktu kayunya dapat ditebang dan dijual sehingga tanaman kayu tersebut dapat juga diartikan sebagai suatu bentuk tabungan. Setelah berjalan beberapa lama, bagi masyarakat ternyata menanam kayu lebih menguntungkan dibandingkan menanam tanaman pertanian. Hal inilah yang mendorong terus berkembangnya hutan rakyat baik dilihat dari pertambahan luasan maupun produksi kayunya.
Sebelum tahun 1963, masyarakat dilarang menanam tanaman jati. Akan tetapi seiring pencanangan program reboisasi oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul pada waktu Darmakum Darmokusumo sebagai bupati, larangan tersebut tidak berlaku lagi. Justru pemerintah daerah banyak memberikan bantuan bibit jati agar ditanam di lahan milik masyarakat.
Sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya, masyarakat desa Girisekar juga mengenal budaya “jati”. Seseorang akan merasa bangga jika memiliki rumah ataupun peralatan rumah tangga lainnya terbuat dari kayu jati. Di sisi lain, harga kayu jati yang menjadi monopoli negara (Perhutani) sangat mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Dari sini tumbuhlah inisiatif dan kreativitas masyarakat menanam kayu jati guna memenuhi kebutuhan kayu sendiri.
Sebagaimana daerah Gunung Kidul pada umumnya, kondisi alam di desa Girisekar didominasi oleh gunung-gunung (bukit-bukit) batu kapur. Kandungan tanah sangat tipis, sehingga dapat dikatakan sebagai “batu bertanah”. Dengan kondisi lahan seperti tersebut tidak banyak yang dapat diharapkan oleh penduduk Girisekar yang sebagian besar adalah petani. Dengan harapan dapat memperbaiki struktur tanah/lahan pertanian masyarakat mencoba menanam tanaman kayu. Daun yang gugur dari pohon-pohon yang mereka tanam diharapkan dapat menambah lapisan tanah, dan akarnya akan membantu mempercepat proses pelapukan batu kapur.
Kayu dari hutan rakyat terdistribusi di dalam desa dan keluar desa. Distribusi di dalam desa terbagi melalui dua jalur yaitu dari petani langsung ke pemakai atau pengrajin, dan dari petani dibeli oleh penebas (pengumpul kayu) kemudian dibeli oleh pengrajin atau pedagang/penggergajian. Sedangkan jalur pemasaran ke keluar desa melibatkan banyak pelaku. Baik jalur ke luar desa maupun di dalam desa yang tidak langsung ke pemakai selalu melalui penebas. Penebas adalah orang-orang yang berasal dari dalam desa yang umumnya adalah pemilik modal dan hampir selalu ada di setiap dusun. Penebas ini melakukan usahanya hanya berdasar pesanan dan hanya beberapa penebas saja yang bekerja secara rutin, tidak tergantung pesanan.
Beberapa permasalahan dalam pola produksi, (1) produk hutan rakyat kurang dihargai dibandingkan dengan hutan negara, (2) kualitas kayu hutan rakyat (ukuran diameter, kelurusan) yang rendah jika dibandingkan hutan negara, (3) tebang butuh juga mengancam keberadaan hutan rakyat, (4) tidak bisa menjangkau pasar, dan (5) sistem birokrasi perijinan kayu yang berbelit-belit dan biaya tinggi telah menjadikan harga kayu di petani rendah.
Namun demikian ada beberapa peluang positif, seperti masyarakat sudah sadar betul akan fungsi hutan rakyat terutama dari sisi ekonomi, dan ada keinginan kuat dari masyarakat untuk dapat mengelola hutan negara.
Pola Konsumsi
Kebutuhan masyarakat Desa Girisekar tidak dapat dicukupi dari hasil pertanain saja, hal ini dikatakan oleh petani yang diwawancarai. Mereka mengatakan, untuk kebutuhan makanan pokok sebenarnya hasil pertanian sudah mencukupi, namun untuk pencukupan kebutuhan lain seperti sandang, pendidikan, perumahan dan biaya sosial yang lain mereka harus mencari pendapatan dari sektor selain pertanian. Banyak kaum lelaki dari warga Girisekar yang menjadi pekerja informal dan pertukangan di kota terdekat seperti Yogyakarta , sebagian lainnya (sekitar 500 orang) bekerja dan menetap di Jakarta dan Suarabaya.
Perubahan pola konsumsi yang dahulunya lebih cenderung mengkonsumsi gaplek kemudian berubah mengkonsumsi beras menjadikan masyarakat desa ini harus membeli beras beras kepasar jika hasil padi mereka tidak mencukupi. Menurut beberapa petani yang kami tanyai pada satu kali musim panen beras, hasil panen itu mampu memenuhi kebutuhan selama 6 bulan. Perubahan pola konsumsi makanan ini berdampak pada pola pemenuhan kebutuhan yang dulunya cukup mengandalkan dari apa yang ada pada lahan mereka (subsisten) menjadi harus melakukan proses jual beli dipasar untuk mendapatkan beras sebagai bahan makanan pokok. Perubahan pola konsumsi ini dipengaruhi oleh kebijakan negara pada saat Indonesia menuju swasembada pangan dan intensifikasi pertanian yang di sama ratakan untuk semua daerah.
Kebutuhan bahan makanan lain seperti sayur dan lauk, masyarakat mendapatkanya dari lahan sendiri(subsisten) untuk jenis-jenis yang memang ada pada lahan mereka, membeli di warung desa, dan membeli dipasar. Menu makanan mereka sehari-hari cenderung sama, berkisar antara nasi, sayur, dan lauk (tahu, tempe, telur, ikan, daging, dan mie) dan frekuensi pembelian bahan makanan tersebut tergantung oleh hari pasaran, jika mereka harus membeli di pasar.
Kebutuhan bahan baku perumahan dipenuhi dengan membeli bahan bangunan yang tidak tersedia di daerah mereka. Jenis kebutuhan bahan bangunan berupa semen, pasir, batu bata, genteng, dan batu kapur. Kebutuhan kayu perkakas biasanya berasal dari lahan mereka sendiri. Kayu yang biasa mereka gunakan untuk membangun rumah adalah jenis kayu jati, akasia dan kelapa. Upah tenaga kerja biasanya hanya untuk tukang dan pembantunya. Pada saat membangun rumah biasanya para tetangga tanpa diminta bantuanya ikut membantu pekerjaan tersebut. untuk membangun sebuah rumah di desa ini biasanya dilakukan oleh 20-30 warga desa secara bergotong royong tanpa upah. Pada saat pembangunan rumah tersebut penduduk yang berkeinginan membangun hanya menyediakan makan untuk para pekerja yang bergotong-royong.
Ada satu kebudayaan dimasyarakat desa Girisekar yang sangat berpengaruh terhadap pola konsumsi mereka. Kebudayaan menyumbang dalam bentuk uang dan barang kepada saudara atau tetangga yang sedang melakukan resepsi atau hajatan menambah pengeluaran mereka pada bulan-bulan “baik” menjadi semakin meningkat. Ada perasaan malu pada masyarakat desa ini apabila suatu keluarga tidak bisa menyumbang saudara atau tetangga mereka yang melakukan hajatan. Besar kecilnya biaya yang dikeluarkan masyarakat tergantung strata sosial yang mereka miliki, orang-orang dengan strata sosial yang lebih tinggi biasanya menyumbang lebih banyak daripada sumbangan dari masyarakat kebanyakan.
Pola Distribusi
Pola distribusi produk di desa sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tipe dan intensitas kebutuhan, hari pasaran, kwantitas produk dan keberhasilan panen. Bagi Desa Girisekar sarana jalan dan transportasi tidak menjadi masalah yang berarti dan terlalu berpengaruh terhadap distribusi barang. Hal ini disebabkan karena desa ini dilalui jalan kabupaten.
Secara umum terdapat empat pola penjualan barang dari Desa Girisekar. Pada saat musim panen produk pertanian, pedagang dari luar desa akan membawa angkutan untuk mengangkut produk-produk desa ke luar. Untuk distribusi barang masuk ke Desa Girisekar dilakukan dengan pembelian langsung oleh masyarakat bersamaan dengan mereka menjual produk pertaniannya di pasar. Selain itu ada pula pedagang pengecer di Desa Girisekar. Selain pedagang lokal, di desa ini ada pedagang yang menawarkan barang dagangannya dengan cara berkeliling kampung. Pedagang keliling ini biasanya medatangi desa untuk menjual barang-barang perkakas rumah tangga (panci, ember dan gelas) serta kebutuhan sandang (pakaian anak, sepatu, baju) yang dijual secara kredit. Distribusi ini dilangsungkan dengan cara mendatangi rumah-rumah warga dengan membawa barang yang bisa dikredit.
( Fasilitator & Peneliti : Suryo & Farid (ARuPA), Rina (KPShk); Akomodasi : Sutarpan (Mendhak-Girisekar).
Views: 27

Leave a Reply