Hutan Jawa

HUTAN JAWA!1

Hutan Jawa seringkali luput dari pembicaraan ketika orang-orang ramai membicarakan hutan Indonesia. Setidaknya ada tiga penyebabnya. Pertama, karena hutan Jawa, dibandingkan hutan di pulau besar lain, tidaklah luas. Sebab kedua, barangkali, karena sebagian besar hutan Jawa tidak bisa dianggap hutan karena wujudnya yang lebih mirip kebun kayu homogen. Bisa disamakan dengan hutan tanaman, dan ada sementara orang yang berpendapat bahwa hutan tanaman—apalagi yang homogen—bukanlah hutan. Sebab ketiga, ada anggapan bahwa hutan di Jawa tidak banyak melindungi spesies langka dan unik. Kita kupas satu per satu.
Tabel berikut menjelaskan tipe hutan yang terdapat di Pulau Jawa pada tahun 2000.2

Active Image

Sumber: Peta penutupan lahan, NFI/World Bank 2000

Ketiga ‘prasangka’ tersebut ada benarnya. Dua dugaan pertama memang bisa dibenarkan oleh fakta, dan justru itu yang menjadi alasan mengapa hutan Jawa sangat krusial untuk dibicarakan, terutama dalam konteks sosial pulau Jawa sebagai pulau berpenduduk sangat padat. Lebih dari separo penduduk Indonesia tinggal di pulau sekecil Jawa. 3

Hutan Jawa itu Tidak Luas
Betul bahwa hutan Jawa sangatlah sempit. Luas hutan Jawa keseluruhan, menurut perkiraan GFW, pada tahun 1997 seluas 1,9 juta hektare. Luasan ini berada di bawah angka luasan hutan di Maluku (5,8 juta ha), Sulawesi (hampir 8 juta ha), dan jauh di bawah Papua dengan luasan 33 juta hektare lebih.
Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau Jawa sangat rendah, yaitu hanya 14% dari total luas daratannya. Sementara di pulau besar lainnya masih terdapat 35-81% hutan. Dari angka ini terlihat bahwa jika hutan di pulau lain masuk dalam kategori ‘rusak parah’, maka hutan Jawa masuk dalam kategori ‘terlalu lama dibiarkan rusak parah’.
Justru karena hutan Jawa sangat sempit dan langka itulah pelestariannya menjadi sangat relevan untuk dibicarakan. Kembali mengingat penduduk Jawa yang sangat padat, maka ada dua hal yang perlu dikaitkan dengan persoalan hutan ini.
Pertama, hutan Jawa mengalami tekanan yang besar dan terus menerus didesak oleh kebutuhan akan lahan pertanian. Yang kedua, kerusakan hutan yang kemudian menyebabkan banjir dan longsor selalu menimbulkan penderitaan bagi banyak orang karena—dimanapun bencana itu terjadi—selalu terjadi di daerah padat penduduk. Banjir rutin di Jakarta, misalnya, adalah contoh yang paling klasik.
Jadi inilah inti persoalannya. Sudah hutannya sedikit, digerogoti oleh kebutuhan lahan, sekali hutan itu rusak membawa banyak korban pula. Sesudah kerusakan hutan sepanjang sejarah kolonial, hutan Jawa kini sedang mengalami perusakannya yang paling parah dan cepat, baik di hutan produksi maupun di kawasan lindung dan areal konservasi. Penyebabnya, tak lain adalah penjarahan besar-besaran sejak 1998. Kekritisan Jawa semakin gawat saja ketika dalam waktu hanya 3 tahun Pulau Jawa telah kehilangan hampir seperempat hutannya (lihat tabel berikut ).4

Active Image

Sumber: Peta penutupan hutan, Pemerintah RI/Bank Dunia, 1997; Peta penutupan lahan, NFI/World Bank 2000; Data penutupan hutan, UNEP/WCMC, 2000 (berdasarkan data REPPPROT)

Ada sebuah energi yang sangat kuat dalam menggerakkan mesin-mesin perusak hutan itu di seluruh Jawa. Energi uang, itu satu. Tetapi energi uang ini tidaklah akan bisa bergerak leluasa jika tidak dibarengi dengan energi yang jauh lebih besar. Energi dari masyarakat yang kecewa dan marah. Seorang antropolog menyebut penjarahan hutan ini sebagai perlawanan sosial atas ketidakadilan sistem produksi hutan.5 Ya, sebagian besar hutan di Pulau Jawa adalah hutan tanaman.

Sebagian Besar Hutan Jawa adalah HTI
Lagi-lagi, prasangka ke dua benar adanya. Dan sekali lagi, justru inilah persoalannya. Sebagian besar kawasan hutan di Jawa adalah hutan produksi, terutama jati, yang dikelola oleh Perhutani, satu-satunya HPH(TI) yang beroperasi di Jawa.
Apa yang salah dengan pengelolaan HTI di Jawa. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa hutan tanaman, apalagi yang homogen, tidaklah dapat disebut sebagai hutan. Tetapi ada masalah yang lain yang lebih mendesak untuk diselesaikan, yaitu sistem produksi hutannya. Hutan produksi di Jawa tidak pernah membawa kemanfaatan bagi masyarakat luas. Lebih dari itu sistem pengelolaan ini justru meciptakan kemiskinan struktural warga sekitarnya karena akses mereka terhadap sumber daya alam ini sangat terbatas.
Sistem pengupahan petani yang dikembangkan dari periode ‘pengelolaan hutan ilmiah’ abad 19 sangat tidak adil dan merugikan para petani. Hanya keterpaksaan dan kebutuhan akan lahan sajalah yang membuat mereka tetap ‘setia’ membantu pengelolaan hutan jati. Tabel di bawah adalah hasil penelitian beberapa desa di sekitar KPH Randublatung yang menjelaskan ketidakadilan sistem tarif upah Perhutani

Active Image

Sumber: Laporan Bulanan ARuPA: Studi Kasus Sembilan Desa di BH Randublatung, 2001.

Tabel ini menunjukkan bahwa petani mensubsidi Perhutani sekitar 590 ribu rupiah dari setiap hektar proyek penanamannya. Tidak kurang, petani pun selalu disuluhkan untuk ikut bertanggung jawab atas kemanan jati, sementara pada setiap tebangan tidak secuil pun kayu dibagi-hasilkan kepadanya. Pembiaran petani atas setiap kejadian penjarahan hutan sebetulnya dapat menjadi indikasi adanya sebuah konflik terpendam antara petani dengan Perhutani.

Konflik, Produk Hutan Jawa yang Lestari
Masyarakat Jawa—kecuali pada masa pra-kerajaan—praktis tak pernah mengalami kebebasan dalam mengelola sumber daya alamnya sendiri, termasuk dalam mengelola hutan. Pada zaman kerajaan, kekuasaan sudah mengatur tata-cara eksploitasi hutan, dan sedikitnya membatasi keleluasan warga untuk menikmati sumber daya alam di kampungnya sendiri. Kemudian bertubi-tubi datang sistem produksi hutan kolonial mulai Belanda sampai Jepang. Lalu sistem pengelolaan ala Indonesia merdeka sampai dibentuknya BPU Perhutani tahun 1966, diubah menjadi Perum Perhutani pada 1972, menjadi PT pada tahun 2001, dan kembali lagi menjadi perum menurut keputusan MA tahun 2002.
Pengelolaan hutan di Jawa selalu dipenuhi dengan konflik. Ada pula yang berpendapat bahwa satu-satunya produk yang berhasil dilestarikan dalam pengelolaan hutan Jawa adalah konfliknya. Ada berbagai macam konflik, yang paling sering terjadi adalah akibat pencurian kayu, masalah agraria, dan tindakan represif dari pengelola hutan.
Konflik paling mendasar adalah persoalan tenurial. Tepatnya pada pertanyaan pokok, “Atas hak apa dan mandat siapa orang-orang ini menguasai hutan yang sebetulnya bisa kami kelola demi kesejahteraan kami? Mengapa kami tak pernah diajak bicara soal pengelolaan hutan ini?”
Pengelolaan hutan yang memisahkan warga desa dari hutan selalu mendapatkan perlawanan dari petani yang tinggal di sekitarnya. Perlawanan ini biasanya berupa—apa yang disebut oleh James C. Scott sebagai—perlawanan hari demi hari (day to day resistance). Perlawanan ini adalah strategi yang dipilih petani untuk melawan struktur kekuasaan yang masif dan bersenjata. Bentuk pilihan strateginya, misalnya, penebangan dan pencurian kayu, sabotase tanaman, perusakan tanaman muda, pembibrikan (penggerogotan) hutan untuk lahan pertanian, pembakaran hutan, perusakan kantor dan rumah dinas, atau penggembalaan sapi di dalam hutan.

Active Image

Sumber: DKP Biro Kamagra dan Humas Perhutani,2000

Perlawanan gerilya ini cukup merepotkan Perhutani. Dari sembilan kriteria penyebab kerugian, delapan di antaranya disebabkan oleh ulah manusia. ‘Gangguan’ ini tidak pernah surut dan menahun, seolah-olah menjadi takdir. Ketika ‘gangguan’ ini melonjak naik 15 kali lipat pada tahun 1998, Perhutani menargetkan untuk menurunkan tingkat pencurian sampai mendekati angka tahun-tahun sebelumnya. Sama sekali tidak pernah berpikir untuk menanggulangi persoalan konflik ini dari akarnya dan bercita-cita untuk membuat gangguan ini turun ke titik nol. Angka 200 ribu-an pohon yang hilang dicuri dianggap bukan masalah—atau semacam takdir yang tak bisa diingkari. Sama sekali bukan indikasi terhadap ketidakberesan apapun.
Bentuk-bentuk perlawanan seperti tabel di atas sudah ada sejak zaman kolonial Belanda sebagai bentuk protes kepada ‘penguasa’ hutan. Bahkan sekelompok blandong (penebang kayu) pernah menyerbu benteng Belanda di Juwana (Jawa Tengah) akibat ketidakpuasan terhadap upah.6
Perlawanan dari masyarakat bukannya tanpa balas. Perhutani sering bertindak tidak manusiawi dalam menangani kasus pencurian kayu. Penembakan warga desa tak bersenjata,7 misalnya, tidak jarang menimbulkan korban tewas. Kasus paling hangat adalah penganiayaan atas Wiji karena kedapatan membawa kayu tanpa surat yang baru dibelinya dari desa lain. Wiji yang hanya membawa satu balok kayu jati dengan sepedanya itu tewas di rumah sakit setelah mengalami koma selama empat hari. Pada akhirnya masyarakat dan Perhutani masuk ke dalam siklus balas dendam yang tak berkesudahan. Dan konflik semakin mengeras.
Namun bentuk perlawanan tanpa kekerasan juga dikembangkan dalam bentuk aksi non-kooperatif, misalnya, dengan menolak semua perintah penguasa hutan—waktu itu Boschwezen 8—termasuk menolak untuk membayar pajak kepala dan pajak tanah. Perlawanan pada awal abad 20 ini dipimpin oleh Samin Surosentiko yang menjadi pelopor ajaran saminisme. Ajaran sosialisme tradisional ini kemudian dikenal secara luas sebagai ajaran ndableg.9 Samin juga memproklamasikan statutanya, “Tanah, air, dan kayu adalah milik semua orang. Tanah, air, dan kayu untuk semua orang.”
Perlawanan ini tidak serta merta berhenti karena punahnya kolonialisme dari bumi nusantara, melainkan semakin mengeras dan terstruktur dalam lembaga sosial pada masa pemerintah Orde Baru. Perlawanan sosial ini kemudian mendapatkan dorongan besar dari pedagang besar kayu sehingga lambat laun pencurian kayu kehilangan gaung keadilannya dan tereduksi menjadi persoalan ekonomi biasa. Perlawanan sosial ini kemudian berubah menjadi perbanditan kapital yang tergorganisasi dengan baik. Pada mulanya adalah protes kini menjadi bagian dari mesin besar kapitalisme yang serakah.10
Mesin Serakah Bernama Illegal Logging
Kejadiannya bisa sama. Orang desa, tanpa izin resmi, masuk ke hutan lalu menebang pohon dan membawanya pulang. Tapi ketika niatnya berbeda, maka namanya pun seharusnya berbeda. Kalau motivasinya memenuhi kebutuhan kayu untuk rumahnya yang reot, dan yang ditebang adalah pohon yang ditanam kakek buyutnya, perbuatan ini disebut nyamin atau berlaku mengikuti statuta Samin. Jika yang ditebang adalah pohon-pohon muda dan bekas tebangannya ditinggalkan begitu saja, ini disebut kemarahan sosial. Kalau memang sekadar mencari sejumlah uang, dan biasanya dihabiskan untuk kebiasaan konsumtif seperti minuman keras dan berjudi, nah, ini yang namanya njarah.11
Begitulah kira-kira ‘filsafat’ ngemek kayu 12 yang begitu polos dan lugu. Definisi yang ambigu—khas Jawa—barangkali cukup menyulitkan melihat dengan jelas peristiwa illegal logging itu. Siapa penjahat, siapa pahlawan. Siapa penjahat tapi kelihatan seperti pahlawan. Kesulitan definisi ini yang terutama adalah: siapa yang bisa mengadili niat?
Terlepas dari itu, kita ketahui bahwa jauh sebelum meledaknya penjarahan hutan tak lama sesudah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998, Perhutani secara terus-menerus dihantui oleh pencurian kayu dan sejumlah gangguan lainnya. Pada tahun 1999 Perhutani kehilangan 3,1 juta pohon. Gangguan ini tentunya memukul basis perekonomian Perhutani. Bagaimana tidak, pada tahun itu Perhutani kehilangan 1,2 juta meter kubik kayu, lebih dari dua kali lipat dari panen resmi yang berhasil dikumpulkan Perhutani (lihat tabel berikut13).

Mempertahankan Panen dengan Overcutting

Active Image

Merugikah Perhutani akibat penjarahan hutan jati ini? Ternyata tidak. Perusahan ini selalu mampu membukukan keuntungan dan tetap setia membayar pajak.

Active Image

Sumber: Buku Statistik Perhutani, 1998

 14.

Bagaimana mungkin ada sebuah perusahaan yang kerugiannya meningkat tajam tetapi pada saat yang sama keuntungannya juga terus bertambah? Perusahaan apa yang bisa mengambil keuntungan dari sebuah kerugian?
Jawabannya dapat dilihat pada tabel “Mempertahankan Panen dengan Overcutting”. Keuntungan yang diraih tidak lain dilakukan dengan memaksakan target tebangan. Target tebangan Perhutani yang dihitung berdasarkan tabel buatan tahun 1912 itu sudah ditetapkan dan harus dipenuhi, sekalipun itu berarti harus menebang lebih dari kemampuan hutan untuk meregenerasi diri.
Keuntungan yang dibukukan oleh Perhutani hanyalah merupakan pendapatan dari penjualan produk kayu jati dikurangi pengeluaran dan kerugian. Kerugian akibat pencurian tidaklah besar, hanya 55 milyard rupiah akibat 3,1 juta batang pohon yang dicuri. Ada tipu muslihat lagi di sini. Kalau kita perhatikan lagi, tarif kerugian Perhutani 15 hanya menghargai satu batang pohon rata-rata sebesar 17.600 rupiah. Dengan menggunakan tabel tarif, yang bisa dipastikan kuno ini, angka nominal kerugian Perhutani bisa diredam.
Tipu muslihat yang paling gawat adalah bahwa neraca tegakan Perhutani—yaitu neraca yang menggambarkan penambahan dan pengurangan volume pohon di hutan—tidak pernah diikutsertakan dalam perhitungan rugi-laba perusahaan. Padahal justru perhitungan ini menjadi pokok pengelolaan hutan. Tegakan jati di hutan harus dihitung sebagai asset yang tidak boleh berkurang, baik dari segi jumlah, maupun umur rata-ratanya.
Jika pengusahaan hutan dilakukan dengan fokus keuntungan nominal belaka dan itu dicapai dengan mengorbankan hutan yang ada, maka tidak mengherankan jika struktur hutan jati di Jawa semakin lama semakin berstruktur muda, ditandai dengan luasnya hutan berumur belia (KU I dan II 16), sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berikut:

Active Image

Sumber: Perhutani, 1998

Kesimpulannya: Perhutani meraup keuntungan dengan biaya yang ditanggung oleh sumber daya hutan dan sumber daya sosial di sekitarnya.Rasanya cukup sudah pembicaraan tentang Perhutani. Hutan Jawa bukan semata-mata HTI Perhutani. Ada banyak hutan lainnya di kawasan lindung dan konservasi yang menyimpan berbagai spesies dan ekositem khas Jawa. 

Hanya Ada di Jawa17, Kini Tak Ada di Jawa
Prasangka ketiga mengenai hutan Jawa lagi-lagi betul. Tidak banyak spesies khas yang hidup di hutan Jawa. Kebanyakan hutan alam tempat satwa hidup dan berkembang biak kini sudah musnah, entah akibat pembukaan hutan sejak zaman purbakala, atau terkena traktor pembangunan. Sekalipun tidak banyak, jumlah spesies khas ini hanya dapat ditemukan di Pulau Jawa, dan tidak terdapat di tempat lain di penjuru dunia manapun. Spesies tersebut, misalnya saja, Harimau Jawa, Badak Jawa, Elang Jawa dan pelalar.
Pelalar (Diptrerocarpus littoralis) adalah pohon besar sejenis keruing yang tumbuh di hutan dataran rendah Pulau Nusakambangan. Wilayah persebaran pohon ini hanyalah sebuah areal seluas 80 km2. Dari segala tempat di permukaan bumi yang luas ini, pelalar memilih untuk hidup hanya di daerah seluas kecamatan di pojok selatan Pulau Jawa. Pilihan yang agak aneh.
Harimau Jawa kini dianggap sudah punah. Badak Jawa dan Elang Jawa populasinya terancam punah, dan pelalar? Kini pohon pelalar dewasa tidak dapat lagi dijumpai di Nusakambangan. Populasi pelalar makin hari makin menyusut, salah satu penyebabnya adalah kerusakan ekosistem akibat—lagi-lagi—illegal logging.
Rasanya begitulah nasib hutan di Jawa, mungkin sama tragisnya dengan nasib hutan di pulau lain di Indonesia. Sebuah proses penghancuran alam dan penghancuran diri sendiri menuju banyak kepunahan.
Mudah-mudahan bukan kepunahan kemanusiaan kita.
—————–

  1. Ditulis oleh Rama Astraatmaja—Koordinator FWI-Simpul Jawa untuk Media Intip Hutan
  2. Ada beberapa peringatan yang harus saya sampaikan dalam membaca beberapa tabel dalam tulisan ini. Angka ini adalah hasil rata-rata beberapa peta yang memiliki cara perhitungan yang berbeda. Angka ini kemudian di proyeksikan dengan luas hutan pada tahun 2000.
  3. Tepatnya, penduduk Jawa pada tahun 1999 adalah 116.324.536 jiwa. Luas pulau Jawa adalah 131.412 km2. Kepadatan penduduk Jawa adalah 887 jiwa/km2. Ada 6.324 desa di Jawa yang bertampalan dengan hutan atau berada di tengah hutan sepenuhnya. Jumlah desa hutan ini adalah seperempat jumlah desa di Jawa.
  4. Baca catatan kaki nomor 1.
  5. Santoso, Herry. 2001. “Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan Jati Perum Perhutani”. Tesis S-2. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
  6. Menurut buku Sejarah Kehutanan Indonesia upah tersebut ternyata dipotong oleh pembesar Jawa, bukan oleh pihak VOC.
  7. Juga oleh kesatuan polisi Brigade Mobil yang sering ‘disewa’ Perhutani untuk mengamankan hutan.
  8. Boschwezen adalah Jawatan Kehutanan bentukan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
  9. Ndableg sukar ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Kurang lebih artinya: keras kepala. Dalam bahasa Inggris padanannya adalah persistent.
  10. Secara umum dapat disebut begitu karena para pencuri kayu tidak lagi menghormati petani di sekitarnya. Tidak jarang kayu gelondongan itu diangkut dengan merusak tanaman pertanian. Di beberapa tempat bahkan para pencuri kayu itu juga mencuri buah-buahan dan hasil pertanian sepanjang perjalanan.
  11. Njarah = menjarah.
  12. Ngemek kayu = mengambil kayu. Penduduk desa di sekitar hutan tidak pernah menggunakan istilah “mencuri” ketika mereka melakukan penebangan tanpa izin. Mengambil, berarti mereka—sedikit banyak—merasa berhak. Mungkin ini adalah tafsir bebas dari istilah melu handarbeni, sebuah cuplikan filsafat Jawa yang sempat populer di kalangan penyuluh kehutanan zaman Orde Baru, artinya “ikut memiliki.”
  13. Riap dapat dianalogikan dengan bunga bank. Riap sering juga disebut bunga kayu. Kelestarian hutan yang paling klasik didefinisikan sebagai menebang di bawah riap. Seperti menabung di bank, hanya bunganya yang boleh diambil, tetapi pokok simpanannya (standing stock) harus tetap.
  14. Angka untuk tahun 1998 dan 1997 adalah proyeksi korelatif dari keuntungan tahun 2001.
  15. Tabel Kerugian Akibat Gangguan Keamanan Hutan Perhutani (1995-1999)
  16. KU I (atau kelompok umur I) adalah kelompok tegakan jati berusia antara 1-10 tahun. KU II adalah kelompok tegakan jati berusia antara 21-30 tahun. Begitu seterusnya,
  17. Diilhami oleh kaos bergambar Anoa produksi Yascita dengan tulisan “Hanya ada di Sulawesi”.

Views: 21

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *