Yogyakarta – ARuPA (28/9/2012). Pada tanggal 27 September 2012 bertempat di Hotel Santika Yogyakarta, ARuPA bekerjasama dengan JAVLEC dan Kemitraan menyelenggarakan workshop hasil riset Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Sebagai sebuah kebijakan, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) telah diintodusir selama 11 tahun oleh Perum Perhutani dalam pengelolaan 2,5 juta hektar hutan di Jawa. Secara sederhana, kebijakan tersebut bermaksud memberikan ruang serta melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Kebijakan ini muncul sekaligus awalnya menjadi paradigma andalan Perum Perhutani pada tahun 2001, sebagai reaksi politis atas kekisruhan penjarahan hutan tahun 1998-1999 merata di seluruh hutan Jawa.
Setelah 11 tahun berjalan, ketika kebijakan PHBM telah berganti 3 kali, Perum Perhutani mendeklarasikan kesuksesan PHBM dalam berbagai aspek baik sosial, ekonomi, maupun ekologi. Workshop ini bermaksud menguji klaim sukses tersebut melalui pembahasan hasil riset tentang kebijakan dan implementasi PHBM yang dilakukan oleh 3 lembaga yaitu Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ), Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR) UGM, dan ARuPA. Workshop ini dipandu fasilitator Hari Cahyono dari Paramitra. Melibatkan akademisi, Lembaga Studi, LSM, Organisasi Tani, dan LMDH.
Pertama, Barid Hardiyanto dari PPHJ mempresentasikan hasil identifikasi PPHJ terhadap tipologi pengurusan hutan serta ragam gerakan petani hutan yang ada di Jawa. Menurut Barid, petani hutan tidak semua paham tentang PHBM. Pemahaman tersebut sebanding dengan ragam model perlawanan yang dilakukan petani untuk mendapatkan aksesnya ke hutan. Ragam kepengurusan hutan oleh masyarakat di berbagai wilayah terjadi, misalnya ada yang mengelola hutannya dengan skema PHBM, skema PHBM Konsesi, PSDHADL, PSDHBM, Plong-plongan, hingga hak kelola rakyat 100%. Keragaman ini tergantung pada sejarah perlawanan, intensitas pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani, serta faktor-faktor yang lain. Menurut Barid, keragaman ini merupakan hasil identifikasi yang berharga untuk menentukan roadmap perjuangan petani hutan di masa yang akan datang demi terwujudnya kesejahteraan petani hutan dan kelestarian hutan.
Kedua, Prof. Wahyu Andayani dari PKHR mempresentasikan hasil riset tentang analisis usaha tani di Kabupaten Pemalang Petak 69a dan 49a dan Kabupaten Ciamis pada lokasi hutan seluas 250 hektar yang dikelola organisasi tani setempat. Hasil riset ini menyimpulkan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan memberikan manfaat financial yang bervariasi, tergantung pada jenis dan kombinasi komoditas yang diusahakan serta derajat keterlibatannya dalam pengelolaan hutan di mana wilayah Pemalang dan wilayah Ciamis memiliki perbedaan. Di ciamis, dengan masyarakat sebagai aktor dominan serta jenis dan variasi komoditas yang marketable memiliki kontribusi ekonomi yang lebih tinggi ke masyarakat ketimbang wilayah Pemalang yang berkebalikan dari Ciamis dari berbagai hal.
Ketiga, Ronald Ferdaus dari ARuPA mempresentasikan hasil riset tentang kebijakan dan implementasi PHBM dengan lokasi studi di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Blora yang melibatkan 10 Paguyuban Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di 10 Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Perum Perhutani. Riset ini menyimpulkan bahwa PHBM telah gagal. Dari aras kebijakan, PHBM sengaja di desain untuk tidak akan berhasil dengan bukti bahwa direksi sering mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif dengan spirit PHBM. Saat ini, PHBM sudah tidak lagi menjadi spirit dan icon utama Perum Perhutani. Ada dua hal yang menyebabkannya yaitu 1) usaha perhutani untuk mengoptimalisasikan usaha melalui pendirian Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) dan pengembangan usaha lain semisal wisata, jasa lingkungan, hasil hutan bukan kayu, dan hutan rakyat; 2) Perum Perhutani berusaha keras untuk meraih sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari guna melegitimasi kelestarian pengelolaan hutan serta tantangan pasar dunia.
Melihat fakta riset yang demikian, maka workshop ini merekomendasikan beberapa hal antara lain: Pertama, Melakukan identifikasi dan pengumpulan hasil riset dalam berbagai bentuk dan dalam rentang waktu sejak kajian social forestry dilakukan tahun 1984 hingga sekarang; Kedua, Memperbanyak riset-riset tentang hutan Jawa dari berbagai kompetensi peneliti serta berbagai sudut pandang; Ketiga, Bahwa 3 hasil riset ini diharapkan menjadi sebuah rekomendasi bagi berbagai pihak terutama Pemerintah Pusat untuk pemulihan hutan Jawa.