Diskusi ini adalah presentasi bagian dari riset bertajuk “Uneven Urbanization: Politicizing flood events and infrastructures in (post-) new order Jakarta”. Di sini banjir Jakarta dilihat bukan hanya sebagai masalah yang secara spasial terkunci di area apa yang dianggap sebagai “kota”, tapi juga sebagai permasalahan yahng terkait dengan dinamika sosiospasial seperti perubahan-perubahan di sektor agraria, khususnya sejak masa Orde Baru. Presentasi terutama didasarkan pada riset di Jakarta tahun 2016 berupa kuisioner di 5 Kampung-Kota dan di 1 desa di Jawa Tengah pada 2017 yang dipilih mengikuti interlocutor.
Menghadirkan seorang scholar activist bernama Bosman Batubara, Mahasiswa UNESCO-Institute for Water Education dan University of Amsterdam. Diskusi ini dilaksanakan Rabu, 15 November 2017 15.00-17.00 bertempat di Garasi ARuPA. Ini merupakan diskusi SAHURA yang ke-3 yang dilaksanakan oleh Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam.
Ketertarikan Bosman pada studi perkotaan terutama dalam isu banjir Jakarta dilatarbelakangi oleh pergulatan dia beberapa tahun lalu saat meletusnya bencana lumpur porong Sidoharjo. Bosman melihat, bahwa bencana lumpur porong tersebut merupakan bencana yang tidak sepenuhnya dibuat oleh proses alam. Bencana tersebut adalah bencana yang diakibatkan oleh perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi. Bosman salah satu penulis dalam buku Kronik Lumpur Lapindo: Skandal Bencana Industri Pengeboran Migas di Sidoarjo.
Sama halnya dengan kasus tersebut, Bosman melihat banjir jakarta adalah buah dari kerakusan kapitalisme yang beroperasi terutama dalam kisaran era orde baru di Indonesia. Kapitalisme beroperasi melalui industrialisasi pertanian di desa-desa dan pembangunan gedung pencakar langit di Jakarta serta pembangunan villa di puncak Bogor. Banjir Jakarta adalah persoalan politis. Ini berhubungan dengan bagaimana kota Jakarta dibentuk dari sejak jaman kolonial hingga sekarang.
Bosman menggunakan pendekatan Urban Political Ecology. Pendekatannya pada orang. Dengan menggunakan teori Uneven Development yang dipopulerkan oleh Neil Smith. Dalam buku Neil Smith dengan judul Uneven Development: Nature, Capital, and the Production of Space, Neil Smith menganalisa produksi kapitalisme yang telah membentuk tataruang serta ekploitasi sumberdaya alam. Secara ringkas, Jakarta (termasuk banjirnya) dan pembangunan pedesaan era orde baru adalah buah dari produk sosionature dimana alam merupakan ciptaan dari campurtangan manusia dengan dimensi politis.
Yang menarik dari penelitian Bosman, ia mewawancarai warga Jakarta yang terdampak banjir serta menelusuri riwayat tempat asal dari warga Jakarta tersebut. Dua orang dari 100 responden tersebut berasal dari satu desa di Kebumen yang melakukan migrasi ke Jakarta pada tahun 1970an. Uniknya, proses perpindahan ke Jakarta disebabkan oleh tergusurnya lahan pertanian dan pemukiman di desa karena proses pembangunan waduk Sempor di Kebumen. Dua orang warga tersebut tidak lagi mempunyai sumber mata pencaharian di desa, karena sawahnya tenggelam oleh waduk, lalu mencoba peruntungan di Jakarta. Waduk Sempor dibangun tahun 1917, kemudian jebol pada tahun 1967 dan memakan korban jiwa sebesar 128 orang. Lalu dibangun kembali tahun 1975 dan diresmikan pada tahun 1978. Bosman mewawancari sebanyak 30 responden di salah satu desa di Kebumen.
Desa yang diteliti oleh Bosman sangat unik. Proses perampasan tanah dilakukan oleh dua rezime rakus tanah yaitu revolusi hijau yang telah meluaskan waduk sempor pada tahun 1975 serta rezime kehutanan ilmiah dalam bentuk hutan negara sejak jaman kolonial. Kelaparan tanah membuat warga desa terdorong untuk bermigrasi ke kota mencari pekerjaan dan uang tunai. Tanah hutan yang ditanami pinus pada tahun 1977 oleh Perum Perhutani membuat tanah-tanah disekitar menjadi kering dan tidak subur.
Secara ringkas, menurut Bosman, kapitalisme yang beroperasi di melalui industrialisasi di dua landscape baik di desa maupun di kota menciptakan kemiskinan dan kerentanan bencana bagi manusia yang berada di dua landscape tersebut sekaligus. (abp)