Home > Paper > Review Film Negosiasi Tanpa Henti

Representasi Perlawanan Masyarakat dalam Film Dokumenter “Negosiasi Tanpa Henti” 1

Ditulis oleh: Eko BW

 

Pendahuluan

Isu pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup sesungguhnya sudah menjadi kepedulian LSM Indonesia sejak awal dekade 1980-an. Sejalan dengan UU No.4 tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup, salah satu hal yang sangat penting dari UU tersebut adalah diakuinya peran LSM dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Jumlah dan ragam LSM yang bergerak dalam lingkungan hidup pun semakin meningkat dengan melaksanakan berbagai peran, antara lain:

Pertama, membantu masyarakat dengan program-program pengembangan lingkungan hidup seperti kehutanan masyarakat, pertanian lahan kering, pengembangan tanaman obat, penyelamatan danau dan rehabilitasi lahan kritis, penanaman bakau, dll. Kedua, melaksanakan program peningkatan kesadaran masyarakat dan membangun kapasitas untuk meningkatkan kualitas sumberdaya alam oleh masyarakat itu sendiri yang pada gilirannya akan meningkatkan keswadayaan mereka. Dan ketiga, melakukan advokasi untuk mengingatkan pemerintah dan sektor swasta mengenai masalah pencemaran, kerusakan lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati yang disebabkan pengelolaan yang salah oleh pemerintah dan kalangan industri.

Mendorong kehutanan masyarakat pada dasarnya adalah upaya untuk mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang baik (good forestry governance), di mana di dalamnya terdapat unsur-unsur keadilan, kesetaraan, transparansi, dan demokratisasi. Upaya mendorong kehutanan masyarakat tidak hanya sebatas untuk menangani kendala-kendala kehutanan seperti deforestasi. Karena proses deforestasi sendiri sesungguhnya tidak sesuai dengan pandangan-pandangan ortodoks yang menyebutkan bahwa itu terjadi secara bertahap, dengan penyebab utama pertambahan penduduk dan aktivitas ekonomi masyarakat lokal yang berbasis lahan. Deforestasi tidak hanya dikendalikan oleh faktor-faktor lokal (semacam populasi), tetapi juga oleh faktor ekstra lokal yang lebih bersifat struktural, dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik ekonomi.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kerja-kerja dari LSM dikemas dalam bentuk program yang ditawarkan pada lembaga donor. Salah output dari program tersebut adalah bagaimana mengkomunikasikan isu atau program yang sedang dikerjakan dalam bentuk media. Salah satu media yang sering digunakan oleh LSM untuk mengkomunikasikan suatu ide, gagasan, realitas sosial yang berhubungan dengan programnya adalah film dokumenter.

Budaya media (media culture), seperti dituturkan Douglas Kellner dalam bukunya Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern (1996), menunjuk pada suatu keadaan di mana tampilan audio dan visual atau tontonan-tontonan telah membantu merangkai kehidupan sehari-hari, mendominasi proyek-proyek hiburan, membentuk opini politik dan perilaku sosial, bahkan memberikan suplai materi untuk membentuk identitas seseorang.

Tetapi, Kellner juga menambahkan bahwa teori analisis media yang hanya mengedepankan kekuatan media untuk mempengaruhi atau membentuk opini publik secara total sudah ketinggalan. Teori media seperti ini menisbikan kekuatan masyarakat untuk membuat interpretasi sendiri mengenai tampilan yang dilihatnya. Dalam interaksinya dengan media masyarakat tentu mempunyai kemampuan untuk memaknai apa yang dilihat dan didengarnya sesuai dengan pemahaman dan pengalamannya sendiri. Dengan kata lain, pemaknaan terhadap media dalam budaya media ini akan selalu menjadi proses interaksi dan interpretasi yang panjang dan tiada akhirnya. Analisis media yang kritis, masih menurut Kellner, tidak akan meninggalkan analisis budaya masyarakat yang bersangkutan.

LSM Arupa menggunakan film dokumenter untuk mengvisualisasikan peristiwa atas realitas sosial yang terjadi sekitar tahun 1998 – 2002. Realitas sosial yang menggambarkan tentang pergolakan dan perlawanan masyarakat suatu daerah di Randublatung yang terjadi pada era reformasi 1998. Film dokumenter yang disajikan oleh LSM Arupa diberi judul ‘Negosiasi Tanpa Henti’ dengan durasi sekitar 20 menit. Makalah ini akan mencoba untuk melihat bagaimana bentuk representasi perlawanan masyarakat yang terdokumentasi film dokumenter tersebut? Apa yang menjadi akar penyebab terjadinya perlawanan dan pergolakan masyarakat tersebut ? Serta bagaimana pergolakan yang terjadi pada saat itu dan peran apa yang dimainkan oleh LSM Arupa dalam pergolakan masyarakat pada waktu itu ?

Kerangka Konseptual tentang Representasi, Film Dokumenter, dan Perlawanan

Representasi

Representasi adalah sebuah fenomena yang, dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll), memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner.

Representasi menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam media massa. Menurut Eriyanto, representasi penting dalam dua hal. Pertama, apakah seseorang, satu kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kedua, bagaimana representasi itu ditampilkan, dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan visualisasi apa dan bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan dalam media massa kepada khalayak (Eriyanto, 2001 ; 113.2
Hal yang paling utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau obyek tersebut ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan obyek, peristiwa, gagasan, kelompok, atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang dihadapi oleh para pembuat teks media.

Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas, bagaimana peristiwa itu dikonstruksikan sebagai realitas oleh media. Dalam media, film atau sinema merupakan salah satu media yang berpengaruh besar dalam pembentukan pandangan masyarakat terhadap representasi-representasi yang ditampilkan  dalam film, termasuk juga representasi gerakan perlawanan oleh masyarakat pada sang penguasa. Media film dianggap wahana yang cukup efektif untuk menyebarkan ide sekaligus meraih dukungan terhadap gerakan-gerakan rakyat yang sedang berlangsung. Dan di kalangan gerakan-gerakan NGO, salah satu yang sering digunakan adalah film dokumenter.

Film dokumenter

Film Dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan.  Dokumenter sering dianggap sebagai rekaman dari ‘aktualitas’— potongan rekaman sewaktu kejadian sebenarnya berlangsung, saat orang yang terlibat di dalamnya berbicara, kehidupan nyata seperti apa adanya, spontan, dan tanpa media perantara. Walaupun kadang menjadi bahan ramuan utama dalam pembuatan dokumenter, unsur-unsur itu jarang menjadi bagian dari keseluruhan film dokumenter itu sendiri, karena semua bahan tersebut harus diatur, diolah kembali, dan ditata struktur penyajiannya. Terkadang, bahkan dalam pengambilan gambar sebelumnya, berbagai pilihan harus diambil oleh para pembuat film dokumenter untuk menentukan sudut pandang, ukuran shot (type of shot), pencahayaan, dan lain-lain, agar dapat mencapai hasil akhir yang mereka inginkan.

John Grierson pertama-tama menemukan istilah ‘dokumenter’ dalam suatu pembahasan mengenai film karya Robert Flaherty, Moana (1925).3 Dia mengacu pada kemampuan suatu media untuk menghasilkan dokumen visual tentang suatu kejadian tertentu. Dia sangat percaya bahwa “…sinema bukanlah seni atau hiburan, melainkan suatu bentuk publikasi dan dapat dipublikasikan dengan 100 cara berbeda untuk 100 penonton yang berbeda pula.” Oleh karena itu, dokumenter pun termasuk di dalamnya sebagai suatu metode publikasi sinematik yang, dalam istilah Grierson sendiri, disebut ‘perlakuan kreatif atas keaktualitasan’ (creative treatment of actuality). Karena ada perlakuan kreatif, sama seperti dalam film fiksi lainnya, dokumenter dibangun dan bisa dilihat bukan sebagai suatu rekaman realitas, tetapi sebagai jenis “representasi lain” dari realitas itu sendiri.

Kebanyakan penonton film/ video dokumenter di layar kaca sudah begitu terbiasa dengan berbagai cara, gaya, dan bentuk-bentuk penyajian yang selama ini paling banyak dan umum digunakan dalam berbagai acara siaran televisi. Sehingga, mereka tak lagi mempertanyakan lebih jauh tentang isi dari dokumenter tersebut. Misalnya, penonton sering menyaksikan dokumenter yang dipandu oleh suara (voice over) seorang penutur cerita (narator), wawancara dari para pakar, saksi-mata atas suatu kejadian, rekaman pendapat anggota masyarakat. Demikian pula dengan suasana tempat kejadian yang terlihat nyata, potongan-potongan gambar kejadiannya langsung, dan bahan-bahan yang berasal dari arsip yang ditemukan. Semua unsur khas tersebut memiliki sejarah dan tempat tertentu dalam perkembangan dan perluasan dokumenter sebagai suatu bentuk sinematik.

Ini penting ditekankan, karena –dalam berbagai hal– bentuk dokumenter sering diabaikan dan kurang dianggap di kalangan film seni, seakan-akan dokumenter cenderung menjadi bersifat ‘pemberitaan’ (jurnalistik) dalam dunia pertelevisian. Bukti-bukti menunjukkan bahwa, bagaimanapun, dengan pesatnya perkembangan film/ video dokumenter dalam bentuk pemberitaan, ada kecenderungan kuat di kalangan para pembuat film dokumenter akhir-akhir ini untuk mengarah kembali ke arah pendekatan yang lebih sinematik. Dan, kini, perdebatannya berpindah pada segi estetik. Pengertian tentang ‘kebenaran’ dan ‘keaslian’ suatu film dokumenter mulai dipertanyakan, diputarbalikkan, dan diubah, mengacu pada pendekatan segi estetik film dokumenter dan film-film non-fiksi lainnya.

Perlawanan

Secara umum perlawanan (resisten) adalah semua tindakan oleh anggota kelas bawah  dengan maksud melunakkan atau menolak tuntutan yang dikenakan bagi kelas itu oleh kelas yang lebih atas. Perlawanan tersebut merupakan semua bentuk penolakan dan protes masyarakat atau petani sekitar hutan, baik yang bersifat perlawanan terbuka, semi terbuka, maupun tertutup atau tersembunyi terhadap penguasa.

Perlawanan adalah tindakan sosial yang tidak disukai oleh penguasa negara (baca: Perum Perhutani).  Perlawanan petani sesungguhnya merupakan kristalisasi dari berbagai macam keresahan atas kebijakan dan tata aturan negara dan pemerintah yang sudah berjangka lama dan tidak ada solusi untuk memecahkan keresahan tersebut. Tatanan sosial merupakan pengetahuan masyarakat yang sudah terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan eksistensi mereka. Eksistensi masyarakat petani yang hidupnya bergantung kepada pemanfaatan sumberdaya hutan lindung milik negara (yang dinyatakan tidak boleh ada kegiatan budidaya manusia di dalamnya) sangat terganggu manakala muncul tudingan-tudingan yang dirasakan oleh masyarakat yang berasal dari negara/pemerintah, bahwa mereka adalah pelaku-pelaku deforestasi.

Menurut James C Scott 4, gaya perlawanan petani dapat digambarkan dalam  dua bentuk cara perlawanan yaitu pertama, perlawanan “sehari-hari” dari petani. Perlawanan ini bersifatincidental atau epi-fenomenal biasanya tidak terorganisir, sembunyi-sembunyi, kecil-kecilan, tidak sistematis, individual, untung-untungan dan mempunyai pamrih, tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan tujuannya hanya menyesuaikan dengan sistem dominasi yang berlaku.Kedua, konfrontasi yang lebih terbuka dan langsung yang secara tipikal mendominasi studi tentang perlawanan. Perlawanan ini bersifat sungguh-sungguh dicirikan sifatnya terorgansisir, sistematis, kooperatif, berprinsip, mempunyai akibat-akibat revolusioner dan mengandung gagasan untuk meniadakan dasar dari dominasi. Bentuk lain dari perlawanan dapat berupa pemberontakan, pembangkangan dan kekerasan terhadap pemerintah yang berkuasa.

Ada 4 jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi (Douglas dan Waksler, 2002:11) yaitu: (1) kekerasan terbuka, kekerasan yang dapat di lihat seperti perkelahian; (2) kekerasan tertutup, kekerasan tersembunyi atau tidak dilakukan langsung seperti prilaku mengancam; (3) kekerasan agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk perlindungan, tetapi untuk mendapatkan sesuatu; (4) kekerasan defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan perlindungan diri. Problem dalam deforestasi sangat mungkin mengikuti salah satu dari tindak kekerasan pemerintah dan atau masyarakat terhadap sumberdaya hutan.

Bentuk perlawanan petani dapat terbuka dan dapat sembunyi-sembunyi. Perlawanan yang terbuka seperti pemberontakan selalu tertindas oleh kepentingan kekuasaan dan kapital dan hilang ditelan proses waktu. Melihat kondisi seperti itu maka realitas petani dalam melakukan perlawanan lebih kepada perlawanan tersembunyi melalui tindakan sehari-hari. Perlawanan petani dan masyarakat terhadap claim hutan milik negara dilakukan dengan cara perjuangan sehari-hari, karena itu satu-satunya pilihan yang ada. Bentuk perlawanan sehari-hari sesuai untuk daerah-daerah yang terpencar, sulit koordinasi untuk tindakan kolektif. Perlawanan sehari-hari merupakan pergulatan kaum tani kepada mereka yang akan menghisap dan menindas tenaga kerja petani, pangan, pajak, sewa-sewa dan kepentingan lainnya. Gaya perlawanan petani terbuka biasanya melakukan penyerbuan dan pendudukan atas sejumlah lahan milik negara atau pengusaha. Gaya perlawanan sehari-hari dilakukan dengan cara diam-diam dan sedikit demi sedikit yang oleh para petani dipakai untuk mendesak tanah perkebunan dan tanah-tanah negara lainnya (Scott, 1993:268-275).


Film Dokumenter “Negosiasi Tanpa Henti”

Film Dokumenter “Negosiasi Tanpa Henti” merupakan film yang diproduksi oleh LSM Arupa. Film ini disajikan dengan penonton diajak menyaksikan film yang dipandu oleh suara (voice over) seorang penutur cerita (narator), wawancara dari pelaku, saksi mata atas suatu kejadian, rekaman pendapat anggota masyarakat dengan beberapa kejadian dan peristiwa nyata yang mendukung film.

Seperti yang diungkapkan oleh Robert Flaherty diatas, film ini juga merupakan film untuk mempublikasikan gerakan-gerakan masyarakat yang di daerah Randublatung, Blora, Jawa Tengah. Film ini menceritakan tentang perlawanan masyarakat Randublatung terhadap hegemoni Perum Perhutani dalam pengelolaan sumberdaya hutan, yang meledak pada kisaran tahun 1998 – 2001. Meminjam istilahnya Bazin, film ini mencoba untuk menceritakan sejarah perlawanan masyarakat Randublatung yang benar-benar terjadi. Film ini menggali, memaparkan, dan memberi wacana baru atas peristiwa yang terjadi di masyarakat Randublatung dan memcoba memberikan pemahaman yang realistis terhadap peristiwa pergolakan masyarakat waktu itu. Dan dalam tataran yang lebih jauh, film ini lebih bersifat advokasi atas bangkitnya perlawanan masyarakat.

Film ini dilatar belakangi oleh sebuah sejarah dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa. Jauh dimasa silam, sumber daya hutan di Jawa menjadi sumber daya bebas bagi setiap orang. Sekelompok  yang pada masa pra kolonial maupun kolonial, bertekad meninggalkan tinggalnya, menepi ke daerah-daerah tertentu di sekitar hutan, demi memperoleh kawasan baru untuk bercocok tanam dalam rangka mempertahankan hidupnya, atau sekedar menghindar dari kewajiban-kewajiban yang memberatkan – biasanya berupa pajak, upeti, atau kerja paksa – yang harus ditunaikan kepada para elite lokal.

Kemudian datanglah pemerintah hindia belanda yang mempersempit ruang gerak mereka, dengan menetapkan tata batas yang secara tegas memisahkan wilayah pemukiman – termasuk di dalamnya pertanian – dengan wilayah-wilayah tertentu yang dikukuhkan sebagai hutan. Lalu Hindia Belanda menyatakan bahwa hutan ini milik Negeri Hindia Belanda dan bukan lagi milik rakyat. Masyarakat kemudian dipisahkan dari hutannya, hidup dalam enclave dan dilarang memperluas lahan pertaniannya. Ketika Belanda dapat diusir dari Indonesia dan kemerdekaan datang tetapi akses masyarakat ke hutan masih tetap terbatas walaupun hutan sudah dikuasai oleh Negara RI dan diserahkan pengelolaannya ke Perum Perhutani (sebagai kepanjangan dari negara). Sejarah panjang itu penuh dengan konflik dan perlawanan masyarakat untuk mendapatkan kembali kemerdekaan dan keleluasaan atas lahan dan hasil hutan disekitarnya. Konflik dan perlawanan yang bertumpuk itu akhirnya pecah pada tahun 1998 dalam bentuk penjarahan besar-besaran merata hampir di seluruh hutan Jawa.

Representasi Perlawanan

Dalam film dokumenter ‘Negosiasi Tanpa Henti’, dua bentuk perlawanan dari James Scott, sangat pas diidentikkan dengan perlawanan petani untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan di jawa, dalam rangka memperbaiki nasibnya. Untuk bentuk perlawanan yang pertama, perlawanan sehari-hari di representasikan dalam bentuk pencurian kayu, pengambilan kayu bakar di hutan, bibrikan lahan5 , sabotase tanaman, gosip, dan berbagai macam perbuatan sembrono (merusak tanaman jati).

Representasi perlawanan ini bukan sesuatu yang bersifat kebetulan dan bukan pula sesuatu yang tidak terkait dengan klaim-klaim sumberdaya hutan yang dilakukan oleh Perhutani.  Itu semua, oleh Scott, disebut sebagai senjatanya orang-orang kalah, atau dengan bahasa yang lebih rinci bisa dikatakan sebagai aksi-aksi yang secara orisinal menjadi milik orang-orang yang terpinggirkan, mereka-mereka yang tak pernah bisa menikmati kemewahan ruang publik, akibat proses dominasi yang sedemikian kuat oleh kalangan suprastruktur.

Representasi perlawanan ini hanya diceritakan secara singkat dalam film “Negosiasi tanpa henti” yang digambarkan sebagai masa-masa penuh konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani sebelum era 1998. Hampir dipastikan bahwa representasi perlawanan ini tidak diketahui dengan pasti, sejak kapan aksi-aksi semacam itu mulai dilakukan. Mereka pada umumnya hanya mengatakan bahwa aksi-aksi demikian sudah dilakukan sejak dulu, sejak kedua orang tua, dan kakek nenek mereka hidup 6 . Diakui atau tidak, aksi-aksi seperti inilah yang secara konsisten menciptakan berbagai tantangan bagi penyelenggaraan kehutanan di Jawa.

Untuk bentuk perlawanan kedua, konfrontasi yang lebih terbuka dan langsung direpresentasikan dalam bentuk kekerasan bersenjata dan penyerangan. Pada film “Negosiasi tanpa Henti”, representasi perlawanan ini diawali ketika terjadinya pada saat reformasi politik indonesia 1998 yang berubah menjadi euforia reformasi. Aksi pertama diawali dengan terjadinya penjarahan7 kayu jati pada kawasan hutan Perhutani oleh masyarakat di sekitarnya. Aksi ini menimbulkan reaksi balasan dari Perhutani yang bersama aparat keamanan, melakukan tindakan represif. Tindakan represif ini mengakibatkan jatuhnya korban pada pihak masyarakat yang ditandai dengan tertembaknya 3 orang masyarakat oleh aparat keamanan dan perhutani. Tertembaknya 3 orang anggota masyarakat, menyebabkan timbulnya gerakan massa penyerangan balik terhadap perhutani.

Ini ditandai dengan penyerangan berupa pembongkaran dan pembakaran terhadap kantor-kantor perhutani yang di daerah Randublatung dan  rumah-rumah dinas Mantri dan Asper, dan pengusiran aparat-aparat perhutani. Representasi perlawanan ini kemudian berlanjut dalam bentuk Anarkhisme masyarakat yang tidak produktif ini disusul oleh masuknya penjarahan terorganisasi yang sangat produktif. Penjarahan terorganisasi ini menunggangi keadaan yang tak terkendali itu lalu para industrialis dan pedagang kayu mengambil keuntungan terbanyak. Tidak ada kinerja pemanenan yang lebih cepat sepanjang sejarah dibandingkan kecepatan menggunduli 4.433,85 hektare, lalu mengeluarkan dan mengolah sebagian dari 318.000 m3 kayu jati dari KPH Randublatung dalam jangka waktu dua tahun saja 8.(sanyoto dalam ardana, 2009).

Penjarahan jati yang terjadi di Randublatung meluas ke hampir seluruh hutan di jawa. Representasi perlawanan ini merupakan kristalisasi dan puncak dari berbagai macam keresahan masyarakat dan munculnya konflik ke permukaan, baik timbunan masalah masa lampau seperti hubungan inter-personal dan pemenuhan kebutuhan yang tertunda – sebagai representasi perlawasan sehari-hari –  maupun masalah kontemporer seperti upaya memberi makan para penganggur. Kedua masalah ini hanya menjadi pemicu dimulainya penjarahan (ARuPA, 1999b).

Perlawanan-perlawanan masyarakat yang mencuat pada tahun 1998, tidak bisa dilepaskan dari sejarah penyelenggaraan kehutanan di Jawa. Menengok kembali perjalananan penyeleggaraan kehutanan di Jawa, sesungguhnya kita tidak hanya dihadapkan pada sebuah sekuensi linier yang menampilkan cerita bagaimana orang-orang belanda dan para petinggi di Jawa bahu membahu, bersekongkol, bernegosiasi, dan pada akhirnya bersepekat untuk melakukan eksploitasi hutan. Model-model penyelenggaraan kehutanan seperti penambangan dan perkebunan kayu, langsung atau tidak langsung, telah menyingkirkan kalangan subkultur, khususnya mereka-mereka yang tergolong sebagai masyarakat desa hutan, dari sumber daya lokalnya yang selama ini menjadi penopang hidupnya. Penyelenggaraan kehutanan seperti itu juga telah memungut, jika bukan memeras tenaga kalangan masyarakat rendahan, untuk kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik suprastruktur, yang terkadang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kehidupan yang dihadapi masyarakat. Perblandongan, persewaan desa partikelir, tanam paksa adalah fakta sekaligus tonggak penderitaan masyarakat yang sulit untuk dilupakan, seperti bencana, gagal panen, wabah penyakit, dan juga menciptakan lingkaran kemiskinan, keterbelakangan, dan kehancuran peradaban masyarakat pedesaan.

Itulah, mengapa perjalanan kehutanan di Jawa yang menempuh waktu berabad-abad, tak pernah sepi dari berbagai persoalan sosial, baik yang berupa aksi kecil-kecilan, aksi-aksi simbolis, perbuatan-perbuatan sembrono yang disengaja, pembangkangan, perbanditan, hingga aksi-aksi terbuka yang merusak dan memporakporandakan, seperti direpresentasikan dan diceritakan dalam film ‘Negosiasi Tanpa Henti’. Dan bila dicermati lebih lanjut, sesungguhnya perlawanan-perlawanan masyarakat desa terhadap penyelenggaraan kehutanan selama ini– yang dari masa ke masa telah mengalami perubahan, penyesuaian-penyesuaian, akan tetapi narasi besarnya, yakni bisnis kayu – merupakan perlawanan terhadap kapitalisme kehutanan, yang tidak bergeser dalam rentangnya waktu.

Peran LSM Arupa

Lembaga ARuPA mulai memulai inisiatif program di Randublatung tepat satu hari setelah terjadi peristiwa penembakan terhadap 3 warga Randublatung. Lembaga Arupa menitikberatkan pada dikembangkannya mekanisme resolusi konflik kehutanan di tingkat lokal, dengan berbasis pada mekanisme kelembagaan masyarakat setempat.

Di banyak literatur, disebutkan bahwa acapkali proses resolusi konflik kehutanan diletakkan pada pengembangan institusi lokal dan proses fasilitasi perencanaan partisipatif, yang dilanjutkan dengan membangun kesepakatan-kesepakatan sebagai hasil dari kedua proses tersebut. Namun demikian di dalam masyarakat sendiri, selalu timbul persoalan yang tidak kalah mendasarnya – jika seluruh proses tersebut tidak didahului oleh suatu identifikasi yang mendalam pada tahap awalnya. Dengan hipotesa tersebut pendekatan awal yang dilakukan oleh Arupa di Randublatung kemudian lebih banyak berkutat pada persoalan-persoalan bagaimana ‘mengangkat moral masyarakat’ untuk dapat mengartikulasikan kepentingan mereka terhadap hutan secara lebih terstruktur. Pada sisi lain dibangun pula koridor-koridor komunikasi dengan pihak-pihak lain, salah satunya adalah dengan perum Perhutani.

Arupa juga menfasilitasi berbagai upaya-upaya dialog dan komunikasi dengan pihak-pihak berkepentingan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Arupa ini berlanjut hingga sampai pada proses negosiasi-negosiasi menyangkut pemecahan persoalan dan konflik, kompromi dan berembug untuk pengelolaan hutan bersama. Tetapi kepentingan antara masyarakat dan perhutani belum ada titik temu karena perhutani masih lebih mementingkan perusahaan yang lebih condong pada bisnis. Beberapa kegiatan rembug desa dan dialog oleh masyarakat desa untuk mendiskusikan pemecahan persoalan Randublatung dihentikan secara sepihak oleh Perhutani dengan alasan dialog desa itu illegal dan tidak berijin serta perhutani tidak ingin ada mediator dari pihak luar.

Oleh karena itu setiap inisiatif penyelesaian konflik kehutanan memerlukan kerja keras dari semua pihak. Persoalan pendampingan masyarakat yang mengemuka adalah bagaimana mereka mampu merumuskan sekaligus menyuarakan kepentingannya (sebagai grass root agenda ). Pekerjaan ini tidak terbatas pada upaya mendapatkan legitimasi menyuarakan grass root agenda belaka, tetapi merupakan pekerjaan membimbing masyarakat agar mampu menyuarakan suaranya sendiri. Tetap harus dijaga kemungkinan-kemungkinan advokasi bagi perubahan kebijakan publik yang lebih memihak masyarakat sebagai agenda middle class; bukan sebagai agenda terpisah. Diperlukan jembatan komunikasi yang cukup memadai bagi kedua inisiatif tersebut.

 

Penutup

Bagian akhir Film “Negoisasi Tanpa Henti” berkisar tahun 2001 merepresentasikan bahwa perlawanan dalam bentuk negosiasi belum selesai. Pengelolaan hutan di Perhutani masih diganggu oleh sengketa akibat ketidakseimbangan peran antara masyarakat dengan Perhutani. Keseimbangan hanya bisa dicapai dengan negosiasi dalam kesetaraan, terus menerus tanpa henti.

Benang merah dari semua itu adalah bahwa terjadinya kesepahaman antara satu kepentingan dengan yang lain dipastikan akan berjalan, apabila proses identifikasi stakeholder maupun user group yang berkepentingan langsung terhadap hutan dapat berjalan dengan baik. Tahapan selanjutnya adalah perlunya aspirasi satu pihak kemudian terkomunikasikan dengan baik kepada pihak lain, secara terbuka dan bertanggung jawab. Proses-proses negosiasi dalam pemanfaatan suatu wilayah hutan harus dapat berjalan terus menerus, dengan keterwakilan dan hak/kewajiban yang dapat disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan.

 

Footnote :

1 Makalah merupakan tugas ujian akhir mata kuliah Politik Representasi dan Media Demokrasi yang dikumpulkan tanggal 28 Januari 2010

2 Dalam Representasi Terorisme dalam Media. Blog Heru Sutadi (2009)

3 Dalam Film Dokumenter (2008) .www.kawanusa.org

4 Dalam Awang (2005) dan Hakim (2009)

5 Penggerogotan lahan hutan yang dilakukan secara diam-diam oleh masyarakat untuk bercocok tanam

6 Hery Santoso, Perlawanan Di Simpang Jalan: kontes harian di desa-desa sekitar hutan di jawa, 2004

7 Pemanenan kayu jati yang dilakukan illegal dan secara massal oleh masyarakat

8 Sebagai perbandingan, Perum Perhutani hanya menebang kurang lebih 300 hektare/tahun dengan etat tebangan sekira 42.000 m3/tahun

 

 

Bahan Bacaan:

Anonim, 2008. Film dokumenter,  www.wikipedia.org

Anonim , 2008. Apa itu film dokumenter.  www.kawanusa.or.id

Ardana, Rama, 2009. Desa Mengepung Hutan. www.arupa.or.id

Awang, 2005. Negara, Masyarakat, dan Deforestasi. Disertasi S3. Tidak di publikasikan.

Bungin, Burhan, 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Kencana Prenada Media Group. Jakarta

Fuad, Faisal, 2000. Negosiasi Tanpa Henti. www.arupa.or.id

Heru Sutadi, 2009. Representasi Terorisme dalam Media. Blog Heru Sutadi

Hakim, 2009. Refleksi Kerusuhan Banjarmasin 1997. www.persma.com

Hery Santoso, 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes harian di desa-desa sekitar hutan di Jawa. Damar. Yogyakarta

Idhamsyah, 2008. Pengantar representasi sosial. Blog Idhamsyah

James C. Scott, 2000. Senjatanya Orang-Orang Kalah: Bentuk Perlawanan Sehari-hari Kaum Tani. Yayasan obor. Jakarta

Suhartami, wiwik, 2007. Media dan Perjuangan Identitas Perempuan Pasca Orde Baru. www.kesrepro.info

Sztompka, Piotr, 2008. Sosiologi Perubahan Sosial. Kencana Prenada Media Group. Jakarta

 

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*