Home > Paper > PSDHBM Wonosobo

PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (PSDHBM) WONOSOBO:
Desentralisasi yang tersendat

Download PDF

Krustanto memang tengah menghadapi dilema. Sebagai ketua komisi di DPRD Kabupaten Wonosobo yang membidangi persoalan lingkungan dan kehutanan, ia adalah orang yang paling merasa bertanggungjawab untuk menyuarakan nasib ribuan petani hutan dan ratusan ribu masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Di Kabupaten Wonosobo terdapat 154 desa hutan atau sekitar 70% dari total desa di Wonosobo dengan jumlah penduduk desa hutan ini mencapai hampir 500 ribu jiwa. Krustanto adalah pendorong utama digulirkan inisiatif kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat di Wonosobo hingga menjadi sebuah peraturan daerah.

Peraturan daerah tersebut adalah Perda Kabupaten Wonosobo No 22/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat yang kemudian dikenal dengan Perda PSDHBM. Namun pelaksanaan perda ini terhambat karena belum adanya rekognisi dari pemerintah pusat, bahkan puncaknya pada bulan Maret 2002 Sekjen Depdagri mengirimkan surat ke Wonosobo yang meminta Pemda Wonosobo membatalkan Perda PSDHBM ini. Alasannya, perda ini dianggap telah bertentangan dengan UU No 41/1999 utamanya menyangkut kewenangan penetapan status kawasan hutan. Posisi Krustanto, anggota DPRD yang lain dan pihak eksekutif Kabupaten Wonosobo tengah terjepit, mereka dituntut untuk segera melaksanakan perda yang telah mereka sahkan. Di saat yang bersamaan, mereka juga harus berhadapan dengan pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan dan Departemen Dalam Negeri, serta Perhutani sebagai BUMN Kehutanan di Jawa, yang tidak setuju atas keluarnya Perda ini.

 

Era Reformasi dan Degradasi Lingkungan

Indonesia mengalami tatanan baru memasuki era reformasi di tahun 1998, dengan munculnya era desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi euforia dalam merespon reformasi ternyata membawa dampak luar biasa terhadap lingkungan dan sumberdaya hutan. Laporan tentang pembalakan liar yang terjadi di hampir seluruh kawasan hutan negara baik di Jawa maupun luar Jawa seperti menjadi berita harian . Istilah illegal logging menjadi istilah yang sangat populer karena hampir setiap hari media massa menjadikannya berita utama. Belum lagi berita soal bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan di berbagai pelosok daerah yang juga kerap muncul, yang diduga kuat bencana-bencana ini erat kaitannya dengan kerusakan hutan yang sedemikian parah. Degradasi lingkungan dan deforestasi kawasan hutan yang luar biasa, ibarat menjadi monumen dimulainya orde reformasi dan era otonomi daerah ini.

Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Wonoosbo Jawa Tengah. Illegal logging atau pembalakan liar terjadi secara masif di hampir seluruh kawasan hutan negara di Kabupaten Wonosobo. Di awal tahun 1999, menurut laporan Perhutani 10% hutan negara di Wonosobo telah dirusak dan menjadi lahan kosong. Laporan tersebut menyebutkan bahwa 72% kerusakan disebabkan gangguan keamanan yang berkaitan dengan masalah sosial, terutama pembalakan liar. Lebih mencengangkan lagi data dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) Kabupaten Wonosobo yang menyebutkan bahwa di tahun 1999, luas kawasan hutan negara yang berupa tanah kosong (belukar) telah mencapai 9.025,3 Ha atau sekitar 44,56% dari seluruh luas hutan negara di Wonosobo. Kerusakan kawasan hutan negara di wilayah Wonosobo ini tetap berlangsung dan bahkan semakin tidak terkendali. Dalam kurun waktu setahun di tahun 2001, sedikitnya 2.345 hektare hutan yang ada di Wonosobo, Jawa Tengah, habis dan rusak dijarah massa yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kerusakan terparah terjadi di wilayah BKPH Wonosobo dan BKPH Ngadisono yang dijarah 1.212 hektare dari 5.900 hektare luas hutan yang ada. (Suara Pembaruan, 5 Januari 2002). 

Pembalakan liar di Wonosobo ini disinyalir terjadi secara sistematis. Terdapat keterlibatan oknum petugas Perhutani, oknum polisi dan militer, para cukong kayu dan masyarakat sekitar hutan. Situasi ini diperumit dengan masuknya modal dalam bisnis kayu haram ini, yang menjadikan pembalakan liar menjadi semakin sulit diberantas. Beberapa pertemuan multipihak kehutanan di Kabupaten Wonosobo yang membahas kasus pembalakan liar, sering hanya menjadi forum untuk saling menuding siapa yang harus bertanggungjawab atas kerusakan hutan negara. Perhutani seringkali menuding masyarakat sekitar hutan terlibat dalam aksi pembalakan liar, namun masyarakat justru balik menuding aparat dan petugas perhutani juga terlibat di dalamnya. Pemda dan DPRD juga menuding Perhutani telah gagal mengelola hutan negara di wilayah Kabupaten Wonosobo.

Akibat rusaknya hutan negara di Kabupaten Wonosobo seringkali menyebabkan banjir, tanah longsor, erosi dan pendangkalan waduk. “Wah…memprihatinkan sekali kalau kita melihat kondisi hutan Wonosobo, apalagi di daerah Pegunungan Dieng”, ungkap Krustanto dengan mata menerawang di sebuah kunjungan kerja di desa hutan. Kondisi degradasi lingkungan dan deforestasi kawasan hutan negara di Wonosobo tentu sangat mengkhawatirkan, melihat posisi Kabupaten Wonosobo yang sangat strategis dalam keseimbangan ekosistem pulau Jawa. Wonosobo merupakan satu dari 35 daerah tingkat II di Propinsi Jawa Tengah yang terletak hampir tepat di tengah Pulau Jawa di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing. Wilayah Wonosobo masuk dalam Kawasan Dataran Tinggi Dieng (2.088 m dpal) yang terletak pada ketinggian 270-2.250 meter di atas permukaan laut dan memiliki curah hujan yang tinggi (2270 – 4835 mm/th). Topografi umum Wonosobo berbukit dan bergunung. Lebih dari 27% lahan di Wonosobo memiliki kemiringan diatas 40% dan lebih dari 50% lahan memiliki kemiringan 15-40%. Kondisi fisik wilayah ini menggambarkan Wonosono sangat rentang terhadap bahaya longsor dan erosi. “Kalau kita tidak segera menyelamatkan kondisi hutan Wonosobo kita tidak bisa membayangkan dampak yang akan terjadi di kabupaten-kabupaten di bawah Kabupaten Wonosobo”, ungkap Wakil Bupati Wonosobo, Drs. Kholiq Arief, pada sebuah pertemuan multipihak kehutanan di pendopo wakil bupati.

Kabupaten Wonosobo memang memiliki peranan strategis dalam keseimbangan ekosistem beberapa daerah bawahnya terutama Kabupaten Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, Banyumas hingga Cilacap. Hal ini berkaitan dengan posisi Wonosobo yang merupakan hulu dari beberapa sungai besar yaitu: Serayu, Opak-Oyo, Luk Ulo dan Bogowonto. Di Wonosobo juga terdapat Waduk Wadaslintang yang memiliki luas muka air sebesar 1.320 hektare dengan volume air sebesar 443 juta m3. Waduk ini mengalami pendangkalan yang sangat cepat karena tingkat erosinya rata-rata mencapai 4,17 mm/tahun, jauh melebihi ambang batas maksimal sebesar 2 mm/tahun . Padahal waduk ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan air bagi ribuan lahan pertanian di daerah bawahnya.

 

Otonomi Daerah: Peluang Desentralisasi Pengelolaan Hutan

Bagi Krustanto dan anggota DPRD Wonosobo yang lain persoalan kehutanan di Wonosobo tidak bisa dibiarkan terus tanpa ada upaya untuk memperbaikinya. Mereka melihat, otonomi daerah merupakan sebuah peluang untuk mengambil peran tanggungjawab dalam pengelolaan hutan negara di Wonosobo. Menurut mereka hal ini tidak berlebihan, “Kita di daerah kan yang yang menerima dampak langsung kerusakan lingkungan dan hutan, kalau bukan kita yang mengambil tindakan, siapa lagi?” ungkap Krustanto dalam sebuah pertemuan di kantor DPRD. Otonomi daerah dan desentralisasi sepertinya telah menjadi konsensus nasional ketika Sidang Umum MPR Tahun 1998 menetapkan Tap MPR No. XV/MPR/1998. Ketetapan MPR ini berisi Penyelenggaraaan Otonomi Daerah; Pengaturan; Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional, yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 5 ketetapan ini memuat: Pemerintah Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Setahun kemudian, munculah kebijakan otonomi daerah dengan disahkanya Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Bagi Pemda Wonosobo otonomi daerah dianggap sebagai sebuah peluang dan penciptaan ruang untuk berperan dalam upaya memperbaiki kondisi dan menjawab permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan di Wonosobo. Pemerintahan daerah Wonosobo kemudian mencoba untuk menginisiasi sebuah kebijakan yang diharapkan akan menjadi jawaban atas tiga persoalan utama kehutanan di Wonosobo. Persoalan-persoalam tersebut menyangkut; persoalan ekologis berkaitan dengan degradasi sumberdaya hutan; peningkatan kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan fenomena kemiskinan di desa sekitar hutan; dan upaya penyelesaian berbagai konflik kepentingan di sektor kehutanan terutama menyangkut sistem tata kuasa dan tata kelola hutan negara.

Bulan Oktober 2001 lahirlah Perda No 22 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat yang kemudian dikenal dengan Perda PSDHBM dan masuk dalam lembaran Daerah No 36 Tahun 2001. Perda ini merupakan perda inisiatif pertama dari DPRD yang lahir dari proses panjang belajar dari kearifan lokal masyarakat bagaimana mengelola hutan. Perda ini diinisiasi melalui serangkaian proses panjang meliputi; konsultansi publik, dialog pakar, kunjungan lapangan dan serial dialog parapihak. Proses ini dilaksanakan untuk menjamin bahwa kebijakan yang dihasilkan merupakan kebijakan yang berbasis dan berpihak pada masyarakat, serta untuk menjamin akuntabilitas publik dan legitimasi atas inisiatif ini.

Seorang pakar kehutananan masyarakat dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dr. San Afri Awang, bahkan menyatakan bahwa lahirnya perda PSDBHM harus disebut sebagai sebuah “mukzizat” dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia. “PSDHBM ini merupakan peraturan pertama di Indonesia yang secara nyata mengisi celah kosong sistem pengelolaan hutan yang memiliki spirit dan nafas otonomi dan demokrasi, sesuai yang dinyatakan dalam kalimat “sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” yang tercantum pada pasal 33 UUD 1945“ ungkapnya. Tak heran jika kemudian apresiasi mengalir begitu deras dari berbagai pihak – akademisi, praktisi kehutanan, pemda lain, NGO nasional dan internasional – kepada Pemerintahan Wonosobo sebagai bentuk dukungan untuk mendorong implementasi inisiatif ini.

 

Proses Inisiasi Perda PSDHBM Wonosobo

Bulan November 1999, tim ARuPA (Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam), sebuah organisasi non-pemerintah bidang kehutanan yang berbasis di Yogyakarta, melakukan kunjungan awal ke lokasi penjarahan kayu rimba (non-jati) pertama dan terbesar di Jawa Tengah, yaitu di Desa Gunung Tugel, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Wonosobo. Bulan Februari – Maret 2000, tim liputan Bulletin Akar (buletin terbitan Lembaga ARuPA) melakukan investigasi penjarahan hutan di Desa Gunung Tugel untuk mengungkap latar belakang peristiwa penjarahan di desa tersebut. Hasil investigasi tersebut menjadi laporan utama Buletin Akar Edisi I, Mei 2000 yang kemudian disebarkan kepada Pemda, DPRD Wonosobo dan komponen masyarakat lain di daerah tersebut. Pada Bulan Juli 2000, ARuPA dan Koling mengeluarkan release bersama menanggapi pelibatan Pam Swakarsa dalam menangani masalah penjarahan di Wonosobo yang mengakibatkan konflik horisontal di kalangan masyarakat. Pada bulan itu pula ARuPA bersama dengan Koling mulai menjalin hubungan dengan DPRD Kabupaten Wonosobo, yang dimulai dengan rapat terbatas antara ARuPA – Koling dengan Pimpinan DPRD, Pimpinan Fraksi, dan Pimpinan Komisi B DPRD Wonosobo. Permasalahan yang diangkat dalam pertemuan tersebut antara lain adalah kasus penjarahan hutan dan kerusakan lingkungan, yang tengah mengancam Wonosobo. Dalam pertemuan tersebut cerita sukses hutan rakyat Wonosobo mulai diangkat, dan menjadi salah satu acuan pengelolaan hutan di yang akan datang.

Berangkat dari dialog intensif beberapa kali, dicapai kesepakatan untuk bersama-sama mengadakan dialog antar pihak yang cukup terbuka, dengan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah pada pertengahan Agustus 2000. Dialog ini dihadiri oleh DPRD Wonosobo, Pemda, Perum Perhutani (KPH Kedu Utara, KPH Kedu Selatan, dan SPH Yogyakarta), Ornop di Wonosobo, wakil-wakil kelompok masyarakat sekitar hutan, dan beberapa Ormas yang ada. Dialog ini diadakan untuk mencoba menemukan format pengelolaan hutan kabupaten Wonosobo yang lebih, baik, terlebih dengan adanya otonomi daerah yang mulai diberlakukan pada tahun 1999.

Dan proses pun bergulir cepat. Berbagai dialog digelar. Dialog intensif antara DPRD, Arupa dan Koling menyepakati diterapkannya konsep hutan kemasyarakatan di Wonosobo sebagai jalan keluar terhadap permasalahan kehutanan. Penerapannya akan dikukuhkan melalui Perda (Peraturan Daerah). ARuPA diberi kepercayaan untuk merumuskan draft Rancangan Perda (Raperda). Tim ARuPA kemudian menggandeng FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) dan beberapa pakar dari Fakultas Kehutanan UGM untuk menggodok draft tersebut. Setelah kembali berdiskusi dengan DPRD, draft Raperda disepakati dan kemudian berlabel PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat). Di dalamnya pengelolaan hutan akan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sekitar hutan dengan fasilitasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo. Untuk mendapatkan dukungan terhadap rancangan ini, dilakukan berbagai dialog antara DPRD, Pemda, masyarakat (petani hutan) , pers, NGO dan pakar akademisi. Rangkaian dialog yang terbungkus dalam kerangka Roundtable Discussion ini difasilitasi oleh FKKM Faswil Jawa Tengah. Tidak ada penolakan forum terhadap rencana penerbitan Perda PSDHBM Wonosobo tersebut. Roundtable Discussion akhirnya membentuk tim perumus yang akan bertugas menggodok Rancangan Perda dan menggali aspirasi lebih banyak.

Dalam penunaian tugasnya, tim perumus menggelar beberapa kali hearing di Gedung DPRD Wonosobo dengan pelibatan lebih banyak kalangan, terutama masyarakat desa hutan. Kasus okupasi lahan oleh masyarakat muncul dalam serial hearing yang menghadirkan masyarakat dari 15 desa pinggir hutan, DPRD, Pemda, Perhutani, Ornop dan kalangan pers. Dalam serial hearing yang lain dilakukan pembahasan tentang maraknya penebangan liar dengan segala permasalahan yang melingkupinya termasuk keterlibatan oknum aparat, baik kepolisian maupun aparat Perhutani sendiri. Dari beberapa serial hearing tersebut disepakati adanya Jeda Lingkungan. Kesepakatan Jeda Lingkungan ini sekaligus menjadi respon Pemda Wonosobo terhadap semakin tidak terkendalinya kerusakan pada kawasan hutan negara. Jeda lingkungan ini disepakati berlangsung selama enam bulan dari Bulan antara Bulan Maret hingga September 2001. Dalam masa jeda ini, semua stakeholder kehutanan tidak diperkenankan melakukan kegiatan apapun di wilayah hutan negara. Hal ini bertujuan untuk memudahkan koordinasi antarpihak dalam bekerjasama sehingga dapat menyelesaikan persoalan kehutanan Wonosobo secara komprehensif.

 

Proses pun terus Bergulir….

Di saat pemberlakuan kesepakatan Jeda Lingkungan, dibentuklan sebuah forum penangangan permasalahan hutan Wonosobo yang dikukuhkan melalui SK Bupati No. 522/200/2001 tertanggal 21 Maret 2001. Forum ini bernama Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan (FKP3H) Kabupaten Wonosobo. Forum ini diketuai oleh Wakil Bupati Wonosobo dan dibagi dalam tiga kelompok kerja (pokja) yaitu; pengamanan hutan, pemulihan hutan, dan hubungan masyarakat. Anggota forum ini berasal dari berbagai unsur seperti pemerintah daerah (Dishutbun, Bappeda, Kantor Sospol, Bagian Lingkungan Hidup, Bagian Hukum, Bagian Ketertiban, Bagian Perekonomian dan Bagian Humas), DPRD (Komisi A dan Komisi B), Perhutani (KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan), kalangan pers (Jawa Pos, Wawasan, RPS, Poles dan PWI Wonosobo), masyarakat desa hutan (tokoh masyarakat dari Desa Bogoran, Jangkrikan dan Tlogo) dan ornop (Arupa, Koling, dan Pelita Garuda), dengan juga melibatkan pengadilan dan kejaksanaan negeri setempat.

Melalui forum inilah diadakan sosialisasi masa Jeda Lingkungan sekaligus dimulainya inisiatif konsultasi dengan masyarakat mengenai konsep Pengeloaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM). Selama hampir 2 (dua) bulan, melalui forum ini lebih dari 30 desa sekitar hutan terlibatkan dalam proses konsultasi ini. Seperti telah diduga sebelumnya, masyarakat desa tersebut—terutama petani hutan—amat sepaham dengan rencana penerapan PSDHBM di wilayahnya. Terhadap penetapan masa Jeda Lingkungan, konsultasi publik menghasilkan kesepakatan agar petani penggarap hutan negara diperbolehkan menyelesaikan sekali masa tanam. Kesepakatan tersebut merupakan salah satu upaya penyelesaian sengketa atas lahan-lahan hutan yang sudah dikelola oleh masyarakat. Enam bulan dari Bulan Maret hingga September 2001, masa Jeda Lingkungan berlangsung tidak efektif. Perhutani yang tidak merasa terikat dengan kesepakatan jeda lingkungan masih tetap melakukan penebangan rutinnya seperti termaktub dalam RTT (Rencana Teknik Tahunan), sedangkan ilegal logging masih juga marak tak terhentikan. Dalam perkembangannya, ketidakhadiran pengambil kebijakan di Perhutani dalam forum tersebut mengakibatkan pihak Perhutani secara sepihak tidak bersedia menerima kesepakatan yang dihasilkan. Representasi Perhutani dalam forum FKP3H memang sering mendapatkan kritik dan pertanyaan dari peserta forum yang lain. “Semestinya forum ini diwakili oleh pejabat Perhutani yang memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan, masa setiap kali pertemuan Perhutani hanya diwakili oleh Apser“ seru Wakil Bupati dengan nada kesal. Dalam proses ini, Perhutani telah mulai menunjukkan resistensinya terhadap keputusan-keputusan yang diambil dalam forum yang mereka anggap merugikan Perhutani. Seiring dengan proses inisiasi Perda PSDHBM yang semakin jauh, keterlibatan Perhutani juga semakin minim. Mereka merasa bahwa Perda PSDHBM yang akan dibangun akan menafikkan posisi Perhutani di Wonosobo.

Di sisi lain, menyaksikan pelanggaran kesepakatan jeda lingkungan tersebut, para petani hutan—selain juga disebabkan desakan kebutuhan—enggan berhenti menggarap lahannya ketika panen telah usai. Lahan hutan yang ter-okupasi menjadi tempat bercocok tanam pun semakin bertambah. Namun proses pengalihan pengelolaan hutan—dari Perhutani kepada masyarakat—dalam skema PSDHBM terus bergulir. Dukungan masyarakat untuk para anggota dewan datang silih berganti. Berkali-kali gedung DPRD Wonosobo dibanjiri warga masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, baik dengan cara berdialog maupun aksi demonstrasi. Ada pula yang hanya sekedar melayangkan surat pernyataan sebagai tanda dukungan. Dan ketika proses di dewan terasa berlarut, dukungan pun sekonyong berubah menjadi desakan yang datang kian bertubi. “Ini merupakan perda asipirasi rakyat, jadi tidak mengherankan kalau sambutan dan antusiasme masyarakat begitu besar“ ujar Krustanto suatu saat.

Tanggal 20 Oktober 2001, Perda PSDHBM akhirnya disahkan. Tidak ada pesta pora dan arak-arakan pawai turun ke jalan, namun masyarakat—terutama petani hutan—menjadi amat lega. Masyarakat Bogoran tidak lagi khawatir tanaman sengonnya akan dibabat Perhutani. Petani bawah tegakan di Gunung Tugel tak perlu lagi bayar 30 % dari hasil kopi tanamannya. Petani hutan lainnya tidak harus buru-buru meninggalkan lahannya karena—demi kepentingan negara—lahannya akan segera ditanami tanaman kehutanan.
Masa-masa penyusunan Perda PSDHBM hingga pengesahannya merupakan momentum perubahan pola kebijakan publik di tubuh pemerintahan Daerah Wonosobo. Ruang partisipasi masyarakat terbuka dengan lebar. Ruang DPRD dan kantor pemda Wonosobo tidak lagi menjadi tempat yang asing bagi masyarakat. Komunikasi intensif terjalin antara petinggi pemerintahan daerah, baik eksekutif maupun legislatif dengan masyarakatnya, dalam suasana reformasi untuk mendorong inisiatif desentralisasi pengelolaan hutan di Kabupaten Wonosobo.

 

Cerita Sukses Hutan Rakyat, Sumber Inspirasi PSDHBM

“Sungguh ironis kalau melihat parahnya kerusakan hutan negara yang dikelola Perhutani, sementara masyarakat dengan kearifan lokalnya terbukti berhasil mengelola hutan rakyat di tanah milik“, ungkap Muqorobbin, Wakil ketua Komisi B DPRD Wonosobo dalam dialog pakar menyusun draft Raperda PSDHBM. Lahirnya Perda ini memang dilandasi dari keprihatinan yang sangat mendalam atas parahnya kondisi hutan negara di Kabupaten Wonosobo akibat penjarahan yang berlangsung terus-menerus dan tersistematis. Sementara itu, dalam waktu bersamaan justru masyarakat di Kabupaten Wonosobo mampu membuktikan diri atas keberhasilannya mengelola hutan Rakyat. Hutan Rakyat di Wonosobo hingga saat ini telah mencapai lebih dari 20.000 hektar atau 10 persen dari luas hutan rakyat di Propinsi Jawa Tengah. Keberadaannya telah terbukti berdampak sangat positif sebagai penyangga ekosistem, penjaga ekologi, dan mengatur tata air wilayah. Terlebih lagi hutan rakyat juga telah terbukti berhasil mengangkat derajat ekonomi masyarakat pedesaan. ”Jika biacara soal ekologi dan ekonomi secara bersama-sama tanpa saling mengalahakan, hutan rakyat adalah contoh yang baik” tambah Muqorobin.

Cerita sukses soal pengelolaan hutan rakyat di tanah milik menarik ARuPA untuk melakukan riset mendalam guna mengungkap fenomena keberhasilan masyarakat mengelola hutan rakyat di lahan milik. Beberapa kali secara berturut-turut antara tahun 1994 hingga 1999, desa-desa di Kabupaten Wonosobo memperoleh juara nasional pengelolaan hutan rakyat tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Departemen Kehutanan. Didukung oleh Departemen for Internasional Development (DfID) Pemerintah Inggris dalam program MFP (Multistakeholder Forest Program), ARuPA berhasil mendokumentasikan cerita sukses pengelolaan hutan rakyat ini. Hutan rakyat atau yang biasa dikenal masyarakat Wonosobo sebagai “wono dusun” merupakan budaya turun temurun masyarakat Wonosobo dalam mengoptimalkan lahan di sekitarnya.

Salah satu yang menarik dari pengelolaan hutan rakyat adalah manajemen pengelolaan hutan secara individual per kepala keluarga, namun bila hamparan hutan rakyat ini dibentangkan secara mozaik maka akan membentuk landsekap hutan yang cukup luas dan kompleks. Pilihan jenis tanaman yang sangat beragam (multicrop) dari yang bertajuk rendah hingga yang bertajuk tinggi (multilayer), ataupun tanaman dengan umur pendek hingga berumur panjang terlihat sebagai kombinasi yang sangat harmonis dan saling melengkapi. Hal ini menyebabkan lahan hutan rakyat hampir tidak pernah kosong sepanjang waktu. Kondisi ini didukung dengan sistem tebang pilih dalam memanen kayu, menyebabkan selalu ada tegakan pohon di lahan hutan rakyat. Melihat kondisi ini, sangat logis apabila ekosistem wilayah hutan rakyat dapat senantiasa terjaga.

Secara ekonomis, keberhasilan pengelolaan hutan rakyat ini telah terbukti mengangkat tingkat perekonomian desa-desa di Wonosobo. Kayu albasia yang paling banyak ditaman di hutan rakyat, merupakan tanaman cepat tumbuh (fast growing) dan bisa dipanen dalam jangka waktu 5 atau 6 tahun. Orientasi ekspor dengan peluang pasar yang sangat terbuka membuat permintaan akan kayu jenis ini tetap besar, sehingga nilai ekonomisnya sangat baik. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek masyarakat dapat mengandalkan; kopi, kapulaga, salak dan beraneka tanaman lain yang ada di hutan rakyat. Hal lain yang juga menarik, ketika di masa reformasi puluhan ribu kawasan hutan negara habis terjarah, kondisi hutan rakyat hampir tidak terganggu sedikitpun.
Sederet cerita sukses pengelolaan hutan rakyat mulai dari aspek ekologis, ekonomis hingga sosial ini tentu saja sangat kontras apabila dibandingkan kondisi hutan negara yang dikelola Perhutani. Fenomena ini merupakan sesuatu yang sangat menarik bagi para anggota DPRD Wonosobo, “Mengapa hutan negara tidak dikelola sebagaimana hutan rakyat?” ungkap seorang anggota DPRD. Ketika Raperda PSDHBM disusun, kesuksesan pengelolaan hutan rakyat senantiasa dijadikan referensi.

Terinspirasi oleh kesuksekan pengelolaan hutan rakyat ini, DPRD Kabupaten Wonosobo melalui hak inisiatif, berhasil menginisiasi dan menetapkan Perda tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) No. 22 tahun 2001. Dengan disahkannya Perda PSDHBM memunculkan harapan akan terjadinya perubahan sistem pengelolaan hutan negara di Kabupaten Wonosobo. Krustanto melihat produk kebijakan ini mempunyai orientasi ekologis dan ekonomi rakyat yang sama kuat. ”Ini namaya produk kebijakan yang mempunyai orientasi local economic development yang sangat kuat, tapi tetap mengedepankan kelestarian ekologis” ungkap Krustanto suatu saat.

 

Tabel. Perubahan Sistem Pengelolaan hutan di Wonosobo dengan PSDHBM

Sumber: ARuPA, 2001 dengan perubahan

 

Upaya Implementasi PSDHBM di Lapangan

Sambutan dan antuasiasme masyarakat yang luar biasa terhadap pengesahan Perda PSDHBM menjadikan hampir seluruh kelompok tani hutan di sekitar kawasan hutan negara memilih skema ini untuk memayungi aktivitas pengolahan lahan yang telah mereka lakukan selama ini. “Kami sangat lega, akhirnya ada peraturan yang memayungi kegiatan kami di kawasan hutan negara” ungkap seorang ketua kelompok tani hutan. Meski demikian, belum diterbitkanya SK Bupati mengenai pedoman pelaksanan Perda PSDHBM sebagai petunjuk teknis atas skema ini, menyebabkan masyarakat berinisiatif sendiri untuk melakukan kegiatan pengelolaan di kawasan hutan negara. Bagi mereka, yang paling mendesak adalah segera mengembalikan hutan negara menjadi hijau kembali. Alasannya, kondisi hutan negara yang gundul paska penjarahan akan sangat berbahaya bagi desa tempat tinggalnya. “Kita tidak bisa membiarkan hutan negara yang gundul ini” ungkap seorang tokoh masyarakat. “Kalau kondisi ini dibiarkan terus kita hanya akan menunggu bencana longsor dan kekeringan melanda desa kita” sambut warga yang lain. Kondisi rusaknya hutan negara ini tentu akan sangat berdampak bagi desa-desa hutan di Wonosobo sebab sebagian besar lokasi hutan negara berada diatas wilayah desa.

Meski belum ada prosedur formal yang secara teknis dapat dijadikan acuan bagi kelompok tani dalam menerapkan skema PSDHM di lapangan, namun pengalaman keberhasilan mengelola hutan rakyat menjadi dasar untuk melakukan pengelolaan serupa di kawasan hutan negara. Menyikapi lambannya pemerintah daerah menetapkan pedoman pelaksanaan Perda PSDHBM ini, DPRD Wonosobo mengambil sikap terus mendorong masyarakat agar tetap mengelola hutan negara. DPRD beralasan, kondisi hutan negara tidak bisa dibiarkan terus dalam kondisi kosong sedangkan Perhutani juga tidak bisa berbuat banyak merespon kondisi ini. “Kami meminta masyarakat untuk segera menghijaukan kembali hutan yang telah gundul, sementara DPRD akan terus mendoroung Pemda untuk segera mengelurkan SK Pedomen Pelaksanaannya” ujar Muqorobin dalam suatu dialog dengan masyarakat.

Di saat yang bersamaan, ARuPA dan Koling dengan dukungan DPRD Wonosobo berinisiatif mendorong desa percontohan untuk implementasi skema PSDHBM di lapangan. Dua desa yang dipiliha adalah Desa Gunung Tugel Kecamatan Sukoharjo dan Desa Bogoran Kecamatan Sapuran. Dua desa ini melaksanakan perencanaan masyarakat (community planning) untuk meningkatkan pemahaman masyarakat secara umum mengenai prosedur teknis skema PSDHBM. Program ini sekaligus merupakan peningkatan kapasitas bagi kelompok tani dalam pengelolaan hutan negara, dimana menurut Perda PSDHBM, seluruh kegiatan pengelolaan hutan negara harus dilaksanakan secara komunal melalui kelompok tani. Kegiatan ini mendapat dukungan dari AFN (Asia Forest Network), sebuah jaringan kehutanan masyarakat di tingkat Asia yang berkantor di Philipina dan Amerika. Keberhasilan dua desa ini menyusun rencana kelola sebagaimana diatur dalam Perda PSDHBM mendapatkan apresiasi dari desa hutan-desa hutan di sekitarnya. Puluhan desa hutan lain yang diorganisir oleh Sepkuba (Serikat Petani Kedu Banyumas) dan JKPM (Jaringan Kerja Pendamping Masyarakat) menjadikan rencana kelola dua desa ini sebagai rujukan penyusunan rencana kelola di desa-desa lain.

Sementara kelompok tani-kelompok tani ini menyusun rencana kelola, mereka juga tetap beraktivitas di lahan hutan negara. Sedikit demi sedikit pengelolaan ini mereka disesuaikan dengan rencana kelola yang sedang mereka susun. Pada awal pengelolaan hutan negara biasanya mereka baru menanami dengan tanaman pangan dan tanaman palawija, namun seiring dengan penyusunan rencana kelola ini mereka mulai menanam tanaman keras. Tanaman yang paling banyak ditanam adalah jenis albasia atau sengon, persis seperti jenis tanaman utama mereka dalam pengelolaan hutan rakyat. Dalam waktu yang bersamaan, kelompok tani-kelompok tani yang telah menyusun rencana kelola ini terus mendesak Pemda Wonosobo untuk segera menerbitkan Pedoman Pelaksanaan Perda PSDHBM. Puluhan kali mereka mendatangi kantor DPRD dan Dinas Kehutanan untuk mencari kejelasan soal Pedoman Pelaksanaan Perda PSDHBM sekaligus menuntut agar rencana kelola yang telah mereka susun dapat segera ditindaklanjuti.

 

Upaya Mendapatkan Pengakuan Pemerintah Pusat

Tantangan terbesar bagi Kabupaten Wonosobo di tengah inisiatif peralihan pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo yang sedang dibangun adalah upaya mendapatkan pengakuan bagi Perda PSDHBM dari pemerintah pusat. “Sebagai aparatur negara, kita ingin bertindak sopan, sebelum Perda PSDHBM ini kita implementasikan, kita ingin inisiatif ini mendapat apresiasi dari pemerintah pusat” ungkap Krustanto dalam kunjungan ke Departemen Kehutanan. Pasal 113 Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU No 22/1999) menyatakan bahwa dalam rangka pengawasan, peraturan daerah—seperti juga Perda PSDHBM—harus disampaikan kepada Pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan. Pasal 114 menyatakan bahwa pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau peraturan lainnya yang masih berlaku.

Setelah disahkan, Perda PSDHBM segera disampaikan kepada Departemen Kehutanan dan Perkebunan untuk dikaji, tetapi baru satu tahun kemudian pemerintah pusat memberikan tanggapannya. Pada awal audiensi dengan Menteri Kehutanan M. Prakoso, sepertinya Perda PSDHBM akan mendapat rekognisi secara meyakinkan dari Departemen Kehutanan. Pada waktu itu Menteri Kehutanan pernah menyatakan; ”Kalau PSDHBM Wonosobo ini berhasil maka Wonosobo dapat kita jadikan sebagai laboratorium pengelolaan hutan nasional” . Betapa gembiranya hati para utusan Pemerintahan Wonosobo yang menghadap menteri saat itu. Salah seorang staf biro hukum Departemen Kehutanan juga menyatakan bahwa pada prinsipnya Perda PSDHBM ini tidak bermasalah dan dapat dilanjutkan implementasinya.

Namun cerita menjadi berbalik ketika Perhutani, baik yang berada di daerah maupun jajaran direksi di pusat, mulai resisten terhadap keluarnya Perda ini. Resistensi Perhutani atas keluarnya perda ini nampak dari berbagai upaya yang dilakukan untuk menghambat perjalanan inisiatif PSDHBM. Dalam suratnya kepada Bupati Wonosobo tertanggal 6 Maret 2002, tiga orang Administratur/KKPH Perhutani selaku wakil para rimbawan sarjana kehutanan dan Administratur/KKPH Perhutani se-Jawa dan Madura menyatakan keberatan atas terbitnya Perda PSDHBM. Pada Bulan April 2002, Perhutani mengajukan permohonan judicial review terhadap Perda Kabupaten Wonosobo No. 22/2001 kepada Mahkamah Agung RI. Perkara ini terdaftar di Mahkamah Agung dengan No. Register 12P/HUM/2002. Meski tiga tahun berlalun, belum diketahui bagaimana keputusan Mahkamah Agung atas permohonan tersebut.

Bagi Perhutani, desentralisasi kepada pemerintah kabupaten berarti penyerahan wewenang pengelolaan 19.000-an hektare lahan hutan negara di Wonosobo. Meski luasan itu kurang dari 1% luas seluruh lahan hutan negara di Jawa yang dikuasai dan secara ekonomis pengusahaan hutan negara di Wonosobo kurang menguntungkan, namun Perhutani sangat khawatir inisiatif ini akan membawa dampak bola salju. Mereka melihat pengalihan kekuasaan di Kabupaten Wonosobo dapat menjadi pemicu yang dapat menyebabkan tuntutan serupa di kabupaten-kabupaten lain. Hal ini tentu akan menyebabkan kemerosotan kekuasaan Perhutani atas wilayah kelolanya di Pulau Jawa.

Melihat gejala ini, Departemen Kehutanan dan Perkebunan berbalik arah dan sepertinya tidak lagi merespon inisiatif ini secara positif. Beberapa bulan kemudian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan bahkan mengirimkan surat kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya meminta pembatalan Perda PSDHBM. Melalui surat No. 1665/Menhut-11/2002 tanggal 11 September 2002, Menteri Kehutanan meminta kepada Menteri Dalam Negeri agar membatalkan Perda No. 22 Tahun 2001 dengan alasan bahwa ketentuan dalam pasal 5 Perda No 22 Tahun 2001 Kabupaten Wonosobo bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan pasal 2 ayat (3) angka 4 huruf c PP No. 25 Tahun 2000 Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom, karena yang berwenang menetapkan kawasan hutan negara termasuk hutan hak dan hutan adat berikut dengan perubahan status dan fungsinya adalah Pemerintah.

Departemen Dalam Negeri juga bereaksi negatif, dengan alasan mendasarkan pada hasil kajian tim Depdagri dan rekomendasi Menteri Kehutanan, Departemen Dalam Negeri meminta Pemda Wonosobo untuk membatalkan Perda PSDHBM. Surat bernomor 188/342/2434/SJ tertanggal 24 Oktober 2002 yang ditandatangani Sekretaris Jendral Departemen Dalam Negeri meminta agar Bupati menghentikan perlaksanaan Perda PSDHBM dan segera mengusulkan proses pencabutan kepada DPRD. Meski pihak Depdagri mengaku telah mengkaji secara khusus Perda PSDBHM, namun secara substansial materi surat permohonan pembatalan perda PSDHBM ini sama persis dengan materi surat dari Departemen Kehutanan.

“Otonomi macam apa ini? Ini namanya otonomi setengah hati, kepala dilepas tapi ekornya masih masih dipegangi” ungkap Krustanto dengan nada kesal, mengetahui Depdagri mengirim surat permintaan pembatalan Perda PSDHBM. “ Pemerintah Daerah kan menjadi bagian pemerintah pusat, apa gunanya otonomi daerah kalau semuanya masih dikendalikan pusat” tambahnya. Surat Depdagri ini memang seperti petir di siang hari dan menjadi pukulan berat bagi para pencetus dan pendorong inisiatif Perda PSDHBM, terlebih lagi bagi Krustanto dan anggota DPRD komisi B yang lain. Yang lebih mencengangkan lagi, Pemda Wonosobo tidak melihat alasan yang logis dari surat permintaan pembatalkan Perda ini. “Kalau alasan pembatalan karena Pemda Wonosobo dianggap akan mengubah status kawasan hutan, Pemda Wonosobo jelas-jelas tidak akan melakukan itu” ungkap Krustanto dengan nada tinggi. “Hutan negara tetap akan menjadi hutan negara dan status kawasan lindung atau produksi juga tetap, kita tidak akan mengubah sedikitpun” tambahnya.

Pemda Wonosobo juga semakin tidak mengerti dengan alasan pembatalan tersebut, sebab Perda PSDHBM yang mereka sahkan secara substantif berusaha untuk merehabilitasi kawasan hutan negara yang telah rusak. Di sisi lain, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan negara yang lebih besar didasari pada bukti cerita sukses pengelolaan hutan rakyat di tanah milik. “Kita ini sedang berupaya membangun hutan negara di wilayah kita sendiri yang telah rusak, tapi mengapa justru pemerintah pusat menghambatnya” ungkap Krustanto dengan nada heran. Permintaan pembatalan Perda PSDHBM ini sangat kontras realitas yang terjadi di lapangan. Ribuan hektare kawasan hutan negara yang tadinya gundul kini telah mulai hijau kembali. “Di lapangan, keberhasilan pengelolaan hutan negara oleh masyarkat melalui skema PSDHBM di beberapa desa telah mulai bisa dibuktikan, lantas apa lagi yang diminta pusat” celetuk Krustanto dengan nada keras. Kondisi ini jelas sangat ironis, di saat pemerintah pusat berusaha menekan Pemda Wonosobo untuk membatalkan Perda PSDHBM, di saat yang bersamaan puluhan desa hutan di Kabupaten Wonosobo telah mulai menunjukkan keberhasilan mengelola hutan negara dengan skema PSDHBM.

Tak urung, seluruh pihak di Kabupaten Wonosobo menjadi gundah atas surat permintaan pembatalan perda ini. Bagi Krustanto dan anggota DPRD Wonosobo lain yang menjadi inisiator digulirkankannya perda PSDHBM, kondisi ini berarti ketidakpastiaan pengakuan pemerintah pusat atas inisiatif ini. Bagi Bupati, Dinas Kehutanan dan jajaran eksekutif kabupaten lain, kondisi ini berarti munculnya ketidakpastian implementasi Perda PSDHBM di tingkat lapangan. Sedangkan bagi petani hutan dan masyarakat akar rumput, kondisi ini berarti ketidakpastiaan status legal formal dari pengelolaan di hutan negara yang telah mereka lakukan selama ini. LSM pendamping dan organisasi tani pendukung PSDHBM juga seperti kehilangan pegangan untuk tetap melakukan aktivitas pendampingan di desa. Sebaliknya bagi Perhutani, kondisi ini dianggap sebagai dukungan politis bagi Perhutani untuk menerapkan program PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat) secara efektif. PHBM sebagai kebijakan resmi Perhutani dalam pengelolaan hutan negara di Pulau Jawa, selama ini memang tidak dapat berjalan efektif di Wonosobo karena munculnya inisiatif PSDHBM.

Ternyata, meski mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari pemerintah pusat dan Perhutani untuk membatalkan Perda PSDHBM, DPRD Wonosobo tidak bergeming dan tetap berkomitmen untuk mempertahankan Perda itu. “Perda ini kan kita yang membuat, masa kita disuruh mencabut sendiri, apa kata rakyat kita nanti” ungkap Krustanto menanggapi semakin banyaknya tekanan pusat untuk yang menghedaki pembatalan Perda PSDHBM. “Yang jelas kita tidak ingin menjilat ludah kita sendiri, dimana harga diri kita sebagai wakil rakyat” sambut anggota DPRD yang lain.

Situasi kebuntuan kebijakan ini beimpas pada situasi di lapangan. Selain permasalahan lingkungan yang semakin mengkhawatirkan, persoalan konflik antar kelompok tani pendukung PSDHBM dan PHBM ini juga menjadi perhatian serius. Konflik ini biasanya terjadi di desa-desa yang terdapat kelompok tani yang memilih skema PSDHBM dan ada pula yang memilih program PHBM Perhutani. Hampir-hampir di beberapa desa terlibat bentrok fisik karena masing-masing kubu berusaha untuk mendapatkan pengaruh yang lebih luas di desa sedangkan mereka mengelola kawasan hutan negara yang sama. Beberapa kali kasus konflik seperti ini dibawa ke DPRD untuk dibicarakan bersama, sebagian terselesaikan namun sebagian lain tidak pernah teresolusi secara tuntas.

Kondisi ini menjadi semakin serba tidak menentu, proses kebijakan berjalan di tempat, sementara dinamika di lapangan terjadi beigitu cepat. Pembalakan liar belum bisa ditangani dan konflik horisontal menjadi semakin tajam antar pendukung inisiatif PSDHBM dan pendukung program PHBM Perhutani. Pemerintah Daerah dan DPRD Wonosobo sadar betul dengan apa yang terjadi di lapangan, namun lagi-lagi mereka tidak bisa berbuat banyak.

 

Mencari Jalan Tengah, Memecah Kebuntuan

Di tengah kebutuntuan proses rekognisi inisiatif PSDHBM, Pemda dan DPRD Wonosobo semakin mendapatkan tekanan dari masyarakatnya, terutama petani hutan untuk segera mengimplementasikan Perda PSDHBM secara efektif. Apalagi, secara faktual para petani hutan ini telah mengolah dan memanfaatkan lahan hutan negara. Bahkan beberapa kelompok tani hutan telah menyusun rencana kelola hutan negara sebagaimana diatur dalam Perda PSDHBM, yang kemudian mereka ajukan ke Pemda. “Kami telah menyusun rencana kelola seperti aturan Perda PSDHBM, kami menuntut Dinas Kehutanan dan Perkebunan segera memprosesnya” ungkap salah seorang ketua kelompok tani. Sementara itu Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagai kepanjangan tangan Bupati yang seharusnya bertanggungjawab atas permasalahan ini menjadi ragu untuk menindaklanjuti rencana kelola masyarakat.

Dalam situasi kebijakan yang buntu ini, Pemda Wonosobo berinisiatif membangun dialog dengan berbagai pihak baik di pusat maupun di daerah. Secara proaktif mereka melakukan beberapa kali audiensi ke Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri dan DPR-RI untuk mencari dukungan seluas-luasnya dalam upaya mencari jalan keluar atas permasalahan kebijakan pengelolaan hutan Wonosobo. Menanggapi inisiatif dialog ini, Menteri Kehutanan menugaskan seorang pejabat Departemen Kehutanan setingkat Direktur untuk memfasilitasi dialog kebijakan PSDHBM Wonosobo. Di tingkat Propinsi Jawa Tengah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan menyatakan siap menjadi mediator dan memfasilitasi negosiasi Pemda Wonosobo dengan Perhutani.

Komunikasi intensif juga dibangun langsung oleh Pemda Wonosobo dengan pihak Direksi Perhutani Jakarta guna memastikan pengambilan keputusan yang lebih legitimate bagi struktur Perhutani di daerah. Tujuan utama membangun dialog ini adalah mempertemukan dan mencari titik kompromi atas dua konsep pengelolaan huntan di Wonosobo yaitu skema PSDHBM Wonosobo dengan skema PHBM Perhutani. Skema PSDHBM Wonosobo secara formal dilandasi dengan Perda PSDHBM No 22/2001, sedangkan skema PHBM Perhutani yang merupakan skema resmi pengelolaan hutan Perhutani di seluruh wilayah kelolanya yang dilandasi dengan SK Direksi No 136 Tahun 2001. Untuk membantu proses dialog ini Pemda Wonosobo membentuk tim multipihak kehutanan Wonosobo sebagai tim negosiasi di setiap proses dialog yang dilakukan. Tim ini merupakan penjelmaan dari FKP3H yang terbentuk semasa inisiasi awal Raperda PSDHBM. Anggota tim ini lebih bersifat dinamis yang terdiri atas: DPRD Komisi A dan B, Pemda (Dinas Kehutanan, Bagian Hukum, Asisten Tata Praja, Kantor Lingkungan, Bappeda), LSM dan perguruan tinggi.

Puncak dari rangkaian proses dialog ini adalah ditandatanganinya MoU (Memorandum of Understanding) antara Pemda Wonosobo dengan pihak Perhutani pada tanggal 2 Oktober 2002 di Pendopo Kabupaten Wonosobo. Kesepakan ini secara substantif mencoba mencari jalan tengah atas rumusan pengelolaan hutan Wonosobo, sebagai titik kompromi atas pertentangan skema PSDHBM versi Pemda Wonosobo dengan PHBM versi Perhutani. Kesepakatan ini berisi kesepahaman bersama untuk membangun kembali hutan Wonosobo dengan prioritas menjawab permasalahan; degradasi kondisi hutan, peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan mengurangi konflik antar pihak dalam pengelolaan hutan. MoU ini juga menyepakati bahwa konsep pengelolaan hutan Wonosobo yang telah disepahami akan dituangkan secara teknis melalui sebuah Surat Keputusan Bupati.

Sampai dengan tahap ini sepertinya kebuntuan proses kebijakan kehutanan di Wonosobo akan terjawab, tetapi ternyata cerita berkata lain. Ketika dialog digelar untuk penyusunan rumusan teknis, kembali terjadi perdebatan panjang antara tim multipihak Wonosobo dengan Perhutani. Puluhan kali dialog digelar, namun puluhan kali juga kesepakatan tidak dapat tercapai. Masing-masing pihak, baik Pemda Wonosobo maupun Perhutani, belum sepenuhnya satu kata untuk bisa menyepakati rumusan pengelolaan hutan Wonosobo secara teknis. Masing-masing memiliki argumentasi dengan landasan legal formal yang sama kuat.

Poin-poin krusial ketidaksepakatan Pemda Wonosobo dengan Perhutani tentang pengelolaan hutan Wonosobo berakar dari siapa yang paling berwenang atas pengelolaan hutan negara di Wonosobo. Pemda Wonosobo merasa memiliki tanggungjawab secara langsung mengelola hutan negara di wilayahya didasari atas urgensi penanganan kerusakan kawasan hutan negara paska reformasi yang sangat parah. Di pihak lain, Perhutani tetap bersikukuh dengan landasan hukum sebagai BUMN yang diberi wewenang mengelola hutan negara Pulau Jawa. Selain itu, persoalan pola tanam dan pola bagi hasil pengelolaan hutan negara juga menjadi perdebatan tersendiri.

Sampai dengan batas jangka waktu berakhir setelah dua tahun, MoU ini tidak menghasilkan apa-apa. SK Bupati yang seharusnya terbit sebagai rumusan teknis pengelolaan sumberdaya hutan Wonosobo juga tidak lahir. Kondisi ini semakin membuat kedua belah pihak semakin frustasi untuk bisa mencapai kesepakatan. “Perda PSDHBM setelah disahkan mungkin akan menjadi perda termahal di Wonosobo karena selama hampir dua tahun kita terus melakukan dialog dan negosiasi ke berbagai tempat, namun selalu tidak menghasilkan apa-apa“ ungkap Krustanto dalam sebuah perjalanan menuju negosiasi di Jakarta.

Upaya mencari jalan tengah ini sebenarnya mulai dirintis oleh Pemda Wonosobo ketika mereka mulai mendengar resistensi berbagai pihak atas keluarnya Perda PSDHBM, terutama dari Perhutani. Ibarat berjalan di dua jalur yang berbeda, langkah-langkah yang ditempuh Pemda Wonosobo menjadi kurang efektif. Pemda Wonosobo mulai mencoba mencari peluang kompromi dengan pihak Perhutani jika upaya rekognisi dirasa gagal, namun di sisi lain Pemda Wonosobo tetap berupaya mendapatkan rekognisi atas inisiatif Perda PSDHBM secara utuh. Kondisi yang sama juga berlaku bagi Perhutani, mereka bersedia melakukan dialog dan negosiasi namun di lapangan mereka tetap menerapkan PHBM secara murni. Perhutani beralasan bahwa kondisi hutan tidak bisa menunggu proses dialog yang panjang dan mereka juga menyatakan bahwa penerapan PHBM merupakan tugas rutin mereka. Seorang anggota tim multipihak kehutanan Wonosobo pernah berujar; “Saya semakin pesimis negosiasi ini bisa mencapai kesepakatan yang berarti jika Perhutani selalu melangkah diluar kesepakatan yang sedang dibangun“. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan bagi sebuah proses dialog dan negosiasi, karena masing-masing pihak tidak sepenuhnya tunduk pada kesepakatan-kesepakatan negosiasi yang telah dibangun. Melihat kondisi ini, sangat masuk akal jika upaya membangun dialog dan kompromi ini selalu menemui jalan buntu.

 

Ketika PSDHBM masuk ranah politis

Tidak bisa dipungkiri, isu pengelolaan hutan berkaitan dengan Perda PSDHBM menjadi isu yang hangat baik di berbagai kalangan di Wonosobo, terutama di pemerintahan Kabupaten Wonosobo baik eksekutif maupun legislatif. Terlebih lagi bagi anggota dewan yang secara aktif terlibat dalam proses inisiasi awal perda, dialog dengan berbagai pihak hingga proses-proses negosiasi dengan pemerintah pusat dan Perhutani. Di tingkat lokal perjalanan inisiatif PSDHBM juga tidak terlepas dari nuansa politis anggota dewan yang terlibat.

Berkaca dari proses di belakang, pada awalnya inisiatif Perda PSDHBM didukung oleh seluruh anggota DPRD tanpa terkecuali, semua fraksi dan komisi secara bulat mendukung inisiatif ini. Fraksi PDIP dan Fraksi PKB yang merupakan dua kekuatan politis terbesar di DPRD Kabupaten Wonosobo bersatu padu menggiring inisiatif ini. Belum lagi dukungan fraksi-fraksi yang lain seperti Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PAN dan Fraksi TNI-Polri. Sampai dengan Perda ini disahkan hampir tidak ada friksi dalam tubuh DPRD atas inisiatif Perda PSDHBM ini, sehingga perjalanan perda ini mulus dalam pembahasan raperda hingga pengesahannya.

Inisiator Perda PSDHBM memang berasal dari dua kekuatan politis besar ini, Krustanto berasal dari PDIP sedangkan Muqorobin berasal dari PKB ditambah dengan Supomo, seorang politikus kawakan dari Golkar. Ketiganya bersama-sama dengan anggota komisi B yang lain dan sebagian anggota komisi A, bahu membahu menginisiasi dan mengawal proses inisiasi perda PSDHBM hingga pengesahannya. Sementara itu di pihak eksekutif, pasangan bupati dan wakil bupati yang sedang berkuasa adalah Trimawan Nugrohadi dari PDIP sebagai bupati dengan Kholiq Arief dari PKB sebagai wakil bupati. Kondisi ini memungkinkan komunikasi politis antara legislatif dan eksekutif dalam inisiatif Perda PSDHBM ini menjadi sangat intensif.

Hubungan harmonis antar partai politik dan antar faksi di DPRD Kabupaten Wonosobo dalam menggiring inisiatif PSDHBM mulai diuji ketika Perda PSDHBM telah disahkan. Resistensi atas keluarnya Perda PSDHBM dari berbagai pihak baik pemerintah pusat maupun Perhutani membuat konstelasi politis ini sedikit demi sedikit berubah. Namun demikian, konstelasi politis lokal ini tidak terlepas dari konstelasi politis di tingkat nasional. Megawati adalah presiden dari kader PDIP, Menteri Kehutanan, M. Prakoso juga dikenal sebagai kader PDIP, sedangkan direktur utama Perhutani, Marsanto juga dikenal dekat dengan PDIP. Ketika Menteri Kehutanan yang merupakan kader PDIP merespon negatif inisiatif PSDHBM ini, tentu saja Bupati Wonosobo yang juga kader PDIP berfikir ulang atas rencana implementasi Perda PSDHBM yang telah dia sahkan. Trimawan menjadi sangat ragu. Pada akhirnya Pemda Wonosobo mengambil sikap menunggu. Draft SK Bupati mengenai Pedoman Pelaksanaan Perda PSDHBM yang telah selesai disusun pada akhirnya tidak pernah ditandatangani oleh Bupati. Padahal SK ini merupakan petunjuk teknis bagi aparat Pemda dalam mengimplementasikan secara teknis skema PSDHBM di lapangan. Praktis, Perda PSDHBM tidak dapat berlaku secara efektif di lapangan.

Departemen Kehutanan dan Departemen Dalam Negeri yang belum memberikan sinyal positif atas rencana implementasi Perda PSDHBM membuat Trimawan risau. Namun yang lebih merisaukan lagi, orang-orang pusat yang merespon negatif Perda PSDHBM ini adalah kader-kader dari partainya yang posisinya sangat jauh di Trimawan. Bupati Wonosobo ini sangat khawatir, keberanian Kabupaten Wonosobo untuk melaksanakan Perda PSDHBM akan berakibat buruk bagi posisi politisnya di mata para petinggi partainya. Menyikapi ini semua, Trimawan pada akhinrya hanya bersikap menunggu dan tidak mengambil keputusan yang strategis dalam rangka pelaksanaan Perda PSDHBM. Kerisauan Bupati Wonosobo ini semakin bertambah, ketika ia mendengar sinyalemen bahwa DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk Wonosobo dari pusat akan terhambat jika Wonosobo tetap bersikukuh menerapkan PSDHBM. Isu ini memang tak berdasar, namun situasi ketidakpastiaan yang sedang melingkupi pemerintahan Wonosobo membuat isu DAU dan DAK menjadi isu yang sangat sensitif

Kondisi ini tentu juga sangat merisaukan Krustanto yang juga kader PDIP. Sebagai pendorong utama pelaksanaan Perda PSDHBM, terpaksa ia harus berhadapan dengan Trimawan yang merupakan kawan seperjuangannya di partai. Situasi ini mejadi satu dilema yang cukup berat bagi Krustanto untuk secara konsisten tetap memperjuangkan Perda PSDHBM. Namun sikap ksatria Krustanto suatu saat tetap muncul, ia pernah berucap; “Biarlah saya dipecat dari partai tidak apa-apa, sebab yang saya perjuangkan dengan PSDHBM ini adalah kepentingan rakyat banyak, bukan golongan atau partai tertentu“. Krustanto mengucapkan kalimat itu seakan ia tidak mempunyai masa depan lagi di partai yang telah membesarkannya itu, meski ia masih sangat yakin akan dukungan dari konstituen pendukungya di tingkat basis.

Keberanian Krustanto menentang arus politik partainya ini memang patut diacungi jempol, sebab sejak bupati Wonosobo menjadi ragu melaksanaan PSDHBM, hampir seluruh anggota DPRD dari F-PDIP juga menjadi ragu. Tinggalah Krustanto sendirian dari PDIP yang tetap konsisten mendorong Perda PSDHBM. Fraksi Golkar yang dahulu juga menjadi gerbong inisiatif PSDHBM , entah mengapa semakin lama juga semakin menarik dukungannya. Sebaliknya, justru F-PKB yang semakin keras mendorong pelaksanaan Perda PSDHBM secara efektif. Kholiq Arief yang menjadi wakil bupati Wonosobo dan merupakan ketua forum FKP3H yang kemudian menjelma menjadi tim multipihak kehutanan Wonosobo, ternyata juga sebagai Ketua DPC PKB Wonosobo. Secara tegas mereka selalu menyatakan mendukung dan akan selalu mendorong pelaksanaan PSDHBM di Wonosobo. Sebagai konsekuensinya, hubungan politis Trimawan sebagai bupati dengan Kholiq Arief sebagai wakil bupati mulai renggang. Banyak pihak menilai Bupati Trimawan lebih condong mendukung PHBM Perhutani sedangkan Wakil Bupati Kholiq Arief lebih pro PSDHBM. Situasi ini secara internal jelas tidak menguntungkan bagi pengambilan kebijakan kehutanan di lingkungan pemerintah daerah Wonosobo. Namun itulah realitas yang harus dihadapi ketika PSDHBM dipaksa masuk dalam ranah politis.

 

Drama Panjang yang Belum akan Berakhir

Perjalanan inisiatif ini sepertinya masih akan sangat panjang dan berliku. Drama inisiatif PSDHBM ini, kini tengah memasuki babak baru setelah hampir empat tahun dalam ketidakpastian hukum (baca hukum positif) atas legalitas perda ini dimata pemerintah pusat. Klimaksnya, pada tanggal 21 Maret 2005 DPRD Kabupaten Wonosobo menerima Kepmendagri No 9 Tahun 2005 tertanggal 3 Maret 2005 yang berisi pembatalkan Perda PSDHBM. Pembatalan perda PSDHBM didasari pada alasan bahwa perda ini dianggap telah bertentangan dengan UU No 41/1999 utamanya menyangkut kewenangan penetapan status kawasan hutan. Sekali lagi, Kabupaten Wonosobo harus menerima palu godam atas inisiatif Perda PSDHBM yang samasekali tidak mereka sangka. Perubahan pemerintahan negara pada awalnya mereka anggap dapat memberikan angin segar bagi kebuntuan kebijakan pengelolaan hutan di Wonosobo, tetapi lagi-lagi cerita berkata lain. Surat Mendagri ini bukan hanya berisi permintaan pembatalan Perda PSDHBM sebagaimana surat Depdagri terdahulu, namun sudah merupakan vonis mati bagi inisiatif PSDHBM Wonosobo.

Bagi pemerintahan Wonosobo, pembatalan perda setelah empat tahun disahkan merupakan hal yang tidak masuk akal. Pemerintahan negara telah berganti, Presiden Megawati telah diganti Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kehutanan Prakoso telah diganti MS Kaban dan Menteri Dalam Negeri telah berganti dari Hari Sabarno menjadi M. Ma’ruf. Di tingkat lokal sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Wonosobo juga telah berganti. “ Bagaimana bisa perda dibatalkan setelah disahkan empat tahun, ungkap Krustanto dengan nada heran. “Apa saja yang dilakukan Departemen Dalam Negeri selama empat tahun ini?” tambahnya dengan nada kesal. Yang lebih mengejutkan lagi, substansi alasan pembatalan Perda PSDHBM tidak berubah sedikitpun dengan isi surat permintaan pembatalan Perda PSDHBM oleh Sekjen Depdagri di tahun 2002. Yang sedikit berbeda, di surat pembatalan ini muncul konsideran UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah. UU No 32/2004 ini merupakan UU hasil revisi dari UU 22/1999 yang menjadi dasar pembentukan Perda PSDHBM. “Dengan munculnya surat pembatalan dari Mendagri yang isinya persis dengan surat permintaan pembatalan terdahulu, saya semakin yakin bahwa Depdagri sebenarnya tidak pernah melakukan kajian yang mendalam atas perda PSDHBM“ ungkap Krustanto dengan yakin.

Beragam respon muncul atas pembatalan perda PSDHBM melalui Kepmendagri ini, banyak yang “gembira” dan merasa lega tetapi tidak sedikit yang merasa sangat terpukul dan terpanggil untuk memperjuangkan kembali inisiatif ini. Respon di pemerintahan Wonosobo pun terbelah, sebagian besar aparat pemda termasuk Bupati mengamini Kepmendagri ini dan secara resmi pemda Wonosobo menyatakan tidak keberatan atas keluarnya Kepmendagri ini. Bagi Bupati, pembatalan Perda PSDHBM melalui Kepmendagri ini bisa menjadi pengurang “beban tanggungjawab“ atas tidak terimplementasikannya Perda PSDHBM secara efektif selama ini. Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menyatakan keberatan atas pembatalan ini baik dari aparat pemda secara individu maupun dari anggota DPRD.

Banyak spekulasi dan dugaan muncul berkaitan dengan pembatalan perda ini. Apapun alasannya, DPRD Kabupaten Wonosobo semakin yakin bahwa Pemerintah Pusat sebenarnya tidak pernah memiliki argumentasi yang jelas dan substansial untuk membatalkan perda ini. “Kalaupun akan ditelusur lebih jauh pembatalan ini pasti hanya berkaitan dengan unsur politis semata“ ungkap Krustanto. Hal ini yang mendorong sebagian anggota DPRD untuk berencana melakukan perlawan hukum atas pembatalan perda PSDHBM. Terjadi perdebatan di kalangan DPRD Wonosobo untuk tetap memperjuangkan perda PSDHBM atau menerima begitu saja pembatalan dari Mendagri ini. Namun, sebagian dari mereka telah merencanakan untuk melakukan tindakan hukum guna melawan SK pembatalan ini melalui proses judicial review. Atas rencana judicial review oleh DPRD ini, pihak eksekutif Kabupaten Wonosobo menyatakan tidak keberatan namun juga tidak akan memberikan dukungan secara langsung.

Bagi sebagian anggota DPRD Wonosobo, judicial review merupakan sebuah alternatif dan bentuk perjuangan yang sangat realistis untuk ditempuh. Krustanto yang kini menjabat sebagai wakil ketua komisi B DPRD Wonosobo menanggapi pembatalan ini dengan nada keras; “Kita harus segera melayangkan judicial review, tindakan pemeintah pusat ini tidak bisa kita terima begitu saja“. Ketua Komisi B DPRD Wonosobo, Drs. Muhamad Albar juga tak kalah keras bereaksi: “Pokoknya kita akan melakukan judicial review”. Langkah judicial review oleh DPRD Wonosobo dinilai strategis karena ini adalah bentuk perlawanan atas logika hukum yang telah dilakukan Pemerintah Pusat terhadap Perda PSDHBM Wonosobo.

Melalui serangkaian pertemuan formal dan informal akhirnya dibentuk sebuah tim hukum yang dimandatkan untuk akan membantu DPRD Wonosobo menyusun draft Judicial Review Kepmendagri No 9/2005 tentang pembatalan perda PSDHBM. Tim hukum ini terdiri atas relawan dari organisasi SPHP (Serikat Pengacara Hukum Progresif, sebuah serikat pengacara berbasis di Yogyakarta) dibantu dengan beberapa relawan dari Huma (sebuah LSM bidang hukum di Jakarta). Beberapa ornop lain seperti: Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), Pokja PSDA (Kelompok Kerja Pengelolaan Sumberdaya Alam), JKPM (Jaringan Kerja Pendamping Masyarakat), Koling dan ARuPA turut membantu untuk memobilisasi dukungan atas inisiatif judicial review ini. Tidak ketinggalan dua organisasi tani di Wonosobo yaitu: Sepkuba (Serikat Tani Kedu Banyumas) dan PPM (Persatuan Petani Mandiri) juga terlibat dalam memobilisasi dukungan dari kelompok tani. Tanggal 26 Agustus 2005 judicial review atas SK Mendagri tentang pembatalan Perda PSDHBM didaftarkan di Mahkamah Agung. Tanggal pendaftaran ini hanya berkisar 3 hari dari masa batas judicial review karena Kepmendagri pembatalan tersebut terbit tanggal 3 Maret 2005.

Tidak banyak orang Wonosobo yang berharap bahwa proses judicial review ini akan dapat mereka menangkan melihat masih semrawutnya kondisi penegakan hukum di Indonesia. Namun demikian, semangat Kabupaten Wonosobo, anggota DPRD, masyarakat sekitar hutan dan sebagian aparat pemda untuk tetap menyuarakan desentralisasi dan otonomi pengelolaan hutan yang lebih adil dan lestari masih menyala. Setidaknya, para pendorong isu PSDHBM di Wonosobo masih tetap mempunyai cita-cita untuk pengelolaan hutan Wonosobo yang lebih baik, meski kondisi kenegaraan saat ini mereka rasakan semakin tidak mendukung inisiatif mereka. Di dalam hati yang paling dalam Krustanto masih menyimpan semangat yang berkobar untuk memperjuangkan rakyat, petani hutan dan lingkungan Wonosobo agar lebih baik. Dan alat perjuangan yang ia pilih adalah PSDHBM yang telah ia dorong selama ini, meski suatu saat Krustanto pernah berucap: Otonomi sudah mati, otonomi daerah sudah tidak ada lagi.

 

Referensi:
Sanyoto, Rohni. 2001. Proses Inisiasi Perda PSDBM. ARuPA. www.arupa.or.id.
Adi, Juni dkk. 2004. Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang tersendat. BP ARuPA. Yogyakarta.
BPS Kabupaten Wonosobo. 2002. Wonosobo Dalam Angka Tahun 2002. BPS Kabupaten Wonosobo
Thoha, Mochamad Muqorrobin.2001. PSDHBM Menuju Rekognisi. Tidak diterbitkan.
Suara Pembaruan, 5 Januari 2002.
Suara Merdeka, 30 April 2004

Print Friendly, PDF & Email

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*