Pembudidayaan Pupuk Organik oleh Petani Sebagai Bentuk Perlawanan Terhadap Kapitalisasi Pertanian
Budaya konservasi tanah dengan pembuatan terassering di wilayah-wilayah yang topografinya miring telah dilakukan sejak dahulu oleh para petani. Kesadaran/pengertian menjaga agar erosi tanah tidak terjadi merupakan kearifan lokal yang diwariskan turun temurun sampai saat ini. Sebagai penyangga erosi masyarakat juga menanam tanaman keras di sekitar terasering tersebut dan dilahan-lahan yang bersolum tanah cukup tebal petani memanfaatkannya dengan menanami tanaman pertanian/palawija dengan sistim campursari. Pola-pola ini secara umum telah dilakukan oleh para petani di Desa Girisekar. Penggunaan lahan untuk pertanian dihentikan jika pohon-pohon yang ditanam sudah besar dan tinggi. Pembagian jenis lahan serta penggunaannya di Desa Girisekar adalah sebagai berikut :
Lahan Pekarangan :
Lahan ini digunakan untuk menanam tanaman pertanian/apotek hidup dan ditanami tanaman keras sebagai batas kepemillikanTegalan : Untuk penggunaan tegalan dibagi dua menurut kondisi lahan dan tebal tipisnya solum tanah
Tegalan dengan solum tanah tebal : biasanya berada di lahan-lahan yang posisinya tanahnya datar dan digunakan khusus untuk menanam pertanian/palawija. Tanaman keras ditanam sebagai batas kepemilikan dan tanaman HMT.
Tegalan dengan solum tanah tipis: biasanya berada dilahan-lahan miring berbatu/berbukit. Tegalan ini digunakan khusus untuk menanam tanaman keras, kegiatan pertanian juga dilakukan diantara/dibawah tegakkan tanaman keras sampai tanaman keras itu besar dan tinggi. Selain itu dilahan ini juga ditanami HMT (Hijauan Makanan Ternak).

Pembuatan Pupuk Organik
Pola pertanian masyarakat petani di Girisekar mulai berubah pada tahun 1970. Menurut pemerintah, untuk mencukupi kecukupan pangan maka diperlukan langkah-langkan strategis di sektor pertanian yang hampir sama di pelosok negeri ini. Petani diarahkan untuk menggunakan benih-benih unggul, pupuk kimia, pestisida dan jenis saprotan yang lain yang kemudian dikenal dengan program revolusi hijau (Green Revolusion). Saat itu pemerintah mencanangkan swasembada beras yang kemudian diikuti dengan munculnya varietas padi yang baru (benih unggul) bagi masyarakat dan seiring dengan itu digelontorkan pula produk-produk pupuk maupun pestisida yang mempunyai kandungan kimia dan sejatinya tidak banyak diperlukan oleh tanah dan tanaman. Sejak saat itu eksploitasi tanah dengan penggunaan pupuk kimia terjadi. Perlu diketahui kondisi tanah-tanah yang ada di Desa Girisekar berbeda dengan tanah-tanah /sawah di daerah lain yang rata-rata mempunyai solum yang tebal dan mendapat irigasi yang baik. Sawah/tegalan di Desa Girisekar adalah sawah/tegalan tadah hujan. Tanah di Girisekar bersolum tipis, kering saat musim kemarau dan liat saat musim penghujan. Karena perbedaan struktur dan tekstur tanah ini maka penggunaan pupuk kimia dilahan “treatment” (perlakuan dan penanganannya) juga harus berbeda. Misalnya, harus diukur/diketahui dulu kandungan pH tanah dan unsur-unsur apa yang diperlukan oleh tanah kemudian di treatment dengan penggunaan pupuk yang mengandung zat/mineral yang sesuai dan dibutuhkan oleh tanah tersebut, dan masih banyak hal-lain tentang pemupukan yang harus diperhatikan dan disesuaikan dengan kondisi lahan.
Menurut beberapa narasumber yang ditemui, selang beberapa tahun tepatnya pada seitar tahun 1984-an (setelah penggunaan pupuk kimia dilahan), produktivitas pertanian memang terjadi kenaikan yang signifikan. Dengan hasil yang menggembirakan itu masyarakat mulai meninggalkan pola pertanian tradisional mereka dan beralih pada pola pertanian yang berorientasi pada kuantitas produksi. Segala bentuk kemudahan diberikan pemerintah kepada petani yang berupa subsidi/pinjaman benih (produk impor), pupuk dan beragamnya bentuk pestisida. Alih-alih untuk mendukung dan berpihak kepada petani, kemudahan-kemudahan yang diberikan itu pada saatnya nanti harus ditebus dengan harga yang cukup mahal oleh petani itu sendiri, seperti hilangya bibit-bibit padi unggulan lokal, terjadinya ketergantungan bibit/benih dan dampak-dampak serius lain yang akan dijelaskan dibawah ini . Bibit lokal mulai ditinggalkan dan diganti dengan varietas baru yang cenderung rakus akan unsur hara bahkan ada yang rakus terhadap pupuk kimia. Akibatnya adalah pemberian pupuk kimia yang berlebihan yang belum tentu kandungan zat kandungan lain didalamnya sesuai dengan kebutuhan tanah. Penggunaan pupuk kimia menjadi suatu kebutuhan yang harus terpenuhi setiap tahunnya oleh petani walaupun biaya untuk pembelian pupuk itu mahal.
Kegembiraan itu mulai hilang secara perlahan-lahan setelah tahun 1986 sampai sekarang, produktifitas pertanian tidak lagi sebesar dulu, bahkan terjadi kecenderungan penurunan kuantitas dan kualitas panen..Dan Dampak ekologi yang dirasakan adalah semakin sulitnya mengolah lahan karena residu dari pupuk kimia telah mencemari kondisi tanah mereka setelah sekian lam,. karena terjadi penumpukkan zat-zat yang tidak bisa diserap oleh tanah maupun tanaman. Dampak ini juga mengancam produktifitas pertanian kedepan jika tidak ada langkah-langkah nyata untuk memperbaiki kondisi tanah yang sudah rusak dan miskin unsur hara akibat penggunaan pupuk yang berlebihan.
Mengingat dampak-dampak tersebut diatas, ARuPA mendorong dan mengajak sebagian petani yang merupakan anggota KTHR untuk mengembalikan kesuburan tanah dengan memanfaatkan sumber/bahan baku yang ada untuk kemudian diolah menjadi pupuk organik. Serangkaian diskusi dengan petani kemudian diikuti dengan pelatihan pembuatan pupuk organik beserta aplikasinya dilahan ini dikerjakan bersama-sama antara ARuPA dan petani . Beberapa metode digunakan untuk praktek pembuatan pupuk organik yang walaupun berbeda dalam bahan (pemicu bakteri) nya tetapi pada akhirnya hasilnya sama. Pelatihan sekaligus pembuatan pupuk organik dimulai dari anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) di Dusun Jeruken. Praktek pembuatan pupuk kemudian dilanjutkan di Dusun Pijenan, Dusun Blimbing kemudian Dusun Waru. Dalam hal ini, semua pengurus inti KTHR yang merupakan ketua rt dan perwakilan dari kelompok-kelompok lain di tiap dusun dilibatkan dalam pelatihan dan pembuatan pupuk organik, yang harapan kedepan dari pengurus-pengurus inti KTHR ini nantinya menjadi sumber pengetahuan tentang pembuatan pupuk ini sekaligus bisa menjadi trainer diwilayah mereka masing-masing. Dari pengalaman dan pengamatan dilapangan, antusias petani terhadap pembuatan pupuk organik ini sangat tinggi, setelah mengetahui mudahnya proses pembuatan dengan bahan baku pembuatan (kecuali stater bakteri) yang ada di sekitar mereka. Dalam pelatihan maupun dalam prakteknya selalu ditekankan bahwa proses untuk mengembalikan kesuburan tanah ini memerlukan waktu yang tidak pendek. Tetapi dalam waktu yang tidak pendek itu diharapkan akan terjadi pembelajaran bersama mengenai betapa pentingnya konservassi tanah melalui pembuatan pupuk organik dengan dukungan bahan baku yang melimpah.
ARuPA dan mitra-mitra dampingan sadar bahwa apa yang dilakukan ini hanyalah langkah kecil dari sebuah proses yang panjang menuju “sustainable agriculture system” (sistem pertanian berkelanjutan), dan tanpa kesadaran dan dukungan dari petani maka harapan untuk mengembalikan kesubutan tanah/konservasi tanah maka hal itu takkan pernah terwujud. Semoga dengan langkah kecil ini kemandirian petani dari bayang-bayang kapitalisasi pertanian akan terwujud, kesejahteraan petani akan meningkat dengan tetap menjaga keanekaragaman hayati pertanian dan mampu berdaulat atas pangan.