Home > Paper > Negosiasi Tanpa Henti

( Sebuah Pelajaran dari Proses Resolusi Kehutanan di Randublatung )1

No disputes exists unless and until the right claimant or some one of his behalf, actively raises the initial disagreement from the level of dyatic argument into the public arena, with the express intention of doing something about the desired claim (Gulliver, 1977).

Pengantar Kata

Model pembangunan di negara berkembang mengandung kadar kekerasan ( violence ) yang tinggi, akibat adanya pemaksaan oleh penguasa dan agen pembangunan lainnya. Masyarakat (yang selama ini hanya selalu dijadikan obyek pembangunan) lalu menampilkan kepatuhan dan ketundukan ( obedience dan docility ) di luar, namun menyimpan bara kemarahan ( outrage ) di dalam. Jika situasi krisis terjadi, maka muncullah konflik secara terbuka disertai fenomena kemarahan sosial yang tak jarang menghasilkan hal-hal yang destruktif dan kontra produktif terhadap proses pembangunan itu sendiri.

Pengubahan alas hak ( tenurial system ) atas tanah dan sumber daya hutan yang ada di atasnya secara sepihak, menyebabkan para pemegang hak pengusahaan (HPH, BUMN, maupun Departemen Kehutanan) mengalami konflik dengan masyarakat lokal, serta mengakibatkan adanya tekanan oleh kelompok-kelompok pecinta lingkungan internasional2. Hutan yang pada hakekatnya merupakan common property , hingga seharusnya alas hak yang diberlakukan adalah common property right; diubah begitu saja—tanpa proses transaksional melalui dialog secara terbuka dan demokratis dengan publik—menjadi bentuk private property dengan pemberlakuan private right yang subyek hukumnya bersifat monopolis; yakni pemerintah, pengusaha swasta, BUMN, maupun pemilik modal lainnya.

Sumber daya hutan dan sumber daya alam lainnya secara luas adalah bagian dari ekosistem, dan ketika pembangunan sebagai intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dilakukan, akan terdapat dua persoalan penting berupa krisis akibat pembangunan 3 . Yang pertama adalah krisis alam, yaitu hancur atau rusaknya lingkungan segala mahluk akibat intervensi proyek-proyek pembangunan, terutama yang dilakukan tanpa visi kelestarian ekosistem. Dan yang kedua adalah krisis keadilan, yakni terciptanya kondisi ketimpangan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial (kelas, gender, ras, dan lain-lain), terhadap tanah dan kekayaan alam yang berada di atasnya dan apa yang terkandung di dalamnya (Lihat Kotak 1).

Kotak 1. Konflik yang Sering Muncul dalam Pemanfaatan SDA

    a. Konflik tenurial atas tanah

  • konflik dalam kepemilikan tanah di lokasi proyek
  • konflik batas tanah antar kelompok kepemilikan tanah yang berbeda
  • konflik kepemilikan tanah akibat kegiatan spekulasi oleh perusahaan komersial
  • konflik hak akses antar partisipan proyek (pemilik tanah dan/atau pengguna SDA), terhadap unit lahan yang tidak terkena proyek
  • konflik dalam pembaharuan aturan sewa lahan.
    b. Konflik pendapatan ( income )

  • harapan peningkatan income tidak realistis
  • konflik tentang distribusi yang tidak merata dari pekerjaan dan keuntungan dalam pengembangan usaha berbasis masyarakat
  • konflik yang ditimbulkan oleh adanya kecemburuan sehubungan dengan peningkatan kesejahteraan yang tidak sama
    c. Konflik kultural dan hubungan antar manusia

  • kurangnya kerjasama antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda
  • konflik kultural antara kelompok masyarakat dengan ‘orang luar'
  • perselisihan manajemen proyek antara kelompok masyarakat dengan ‘orang luar' pendukung proyek
  • konflik yang timbul akibat penyimpangan politis (nasional, propinsi, atau lokal)
  • konflik laten antara keluarga dan hubungan antar manusia
  • konflik yang timbul dari harapan yang berbeda antara kelompok masyarakat (misalnya para pemilik lahan) dan aspirasi perusahaan-perusahaan komersial.
    d. Konflik mengenai sumber daya

  • introduksi teknologi pengelolaan SDA yang baru (misal: kendaraan bermotor, senjata, sawmills , jaring ikan, dan sebagainya) akan menimbulkan kompetisi yang mengancam keberlanjutan SDA yang terbatas (misalnya: hidupan liar, stok ikan, kayu, NTFP (hasil hutan non kayu), dan lain-lain)
  • dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh sekelompok pengguna sumber daya akan menimbulkan pengaruh buruk bagi kelompok lain (dampak muncul baik dari kelompok masyarakat maupun perusahaan komersial)
  • konflik yang timbul dari eksploitasi SDA yang tanpa rencana, akibat penggunaan jalan sehubungan dengan pelaksanaan proyek
  • konflik karena proyek berhadapan dengan kelompok pemilik tanah yang telah memiliki SDA dengan kualitas yang lebih tinggi.

(Sumber: Anonim, 1998; halaman 3 )

MITOS-MITOS PENGELOLAAN HUTAN JAWA

Sejarah penguasaan hutan Jawa amatlah panjang, sampai saat ini ketika Perum Perhutani mengelola kawasan hutan di Jawa seluas lebih dari 3 juta ha. Jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia, kaum pemukim di pesisir utara Jawa telah mengembangkan industri kapal dan perlengkapan bangunan dengan kayu jati sebagai bahan baku utama. Ketika akhir abad 18 terlihat bahwa mulai terjadi kerusakan serius atas hutan jati (alam) di Jawa, penjajah Belanda mencoba melakukan pengaturan kelestarian, dengan melakukan perintisan berdirinya Dienst der Boshwezen meskipun akhirnya organisasi tersebut baru dapat terbentuk pada akhir abad ke 18 (Supardi, 1974; Simon, 2000) .

Kotak 2. Beberapa Dasar Yuridis Penguasaan Perhutani atas Hutan di Jawa

  • Regeringsreglement 1854, pasal 62 dan Staatsblad 1870 No. 15 tentang Akkerwet atau lebih dikenal sebagai Agrarischwet yang meletakkan dasar kepemilikan atas hutan kepada kerajaan-kerajaan.
  • Staatsblad 1875 No. 199a yang kemudian dikenal sebagai Algemene Domeinverklaring menyatakan bahwa: Tanah-tanah yang di atasnya tak dapat dibuktikan adanya hak eigendom ( eigendomsrecht) adalah di bawah kuasa ( domein ) negara.
  • Staatsblad 1873 No. 215 yang membagi hutan Jawa menjadi 13 Daerah Hutan, termasuk salah satunya adalah Daerah Hutan Rembang dan Blora.
  • Staatsblad Th. 1911 No 110, Th. 1927 No. 227 dan Th. 1940 No. 430 yang menyatakan bahwa tanah negara berupa hutan dikuasai oleh instansi kehutanan (di Jawa dikuasai oleh Djatibedriff dan Dienst der Wildboutbossen ).
  • UUD 45 pasal 33 ayat 3, yang dipraktikkan sebagai pengertian bahwa negara (cq. Perhutani) menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya.
  • PP No 8/1953, tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara Pasal 2 dan Pasal 10; dan UUPK (No. 5/1967 Pasal 5, ayat 1) membenarkan bahwa kawasan hutan (di Jawa) telah dikuasakan kepada Perusahaan Jawatan Kehutanan Negara.
  • Penyerahan kekuasaan atas hutan kepada PN Perhutani melalui penetapan PP No. 15 th. 1972, yang kemudian diperbarui dengan PP No. 2 th 1978, PP No. 36 th. 1986 yang melimpahkan kekuasaan kepada Perum Perhutani Unit I, II dan III.
  • PP No. 53 tahun 1999 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani).

( Diolah dari Berbagai Sumber )

 Dengan panjangnya sejarah yang demikian, dapat dikatakan bahwa (seharusnya) secara teknis sistem pengelolaan hutan di Jawa telah cukup memadai bagi tercapainya keberlanjutan tujuan pengelolaan, yakni lestarinya hutan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Pengalaman tentang penanaman, pemeliharaan, pemanenan, hingga pemasaran produk kehutanan, telah menyebabkan kayu Perhutani ‘merajai' perniagaan kayu Indonesia. Hingga sekarang pun pemerintah mengacu kepada BUMN yang satu ini, terutama di tahun-tahun terakhir ketika isu Perumisasi mulai marak dan juga mulai dikritisi oleh banyak kalangan. Namun demikian apa yang sekian lama telah dilakukan Perhutani untuk menuju tercapainya cita-cita pengelolaan hutan, tampaknya masih jauh panggang dari api. Sementara itu masyarakat desa-desa di dalam dan di sekitar hutan (tercatat sebanyak 6.150 desa di sekitar hutan di Jawa, dengan jumlah penduduk lebih dari 35 juta jiwa), yang sesungguhnya menjadi pelaku utama pengelolaan hutan, jarang sekali diakui keberadaan dan perannya, malahan banyak stigma-stigma yang selama ini memojokkan posisi mereka.

Beberapa mitos yang terlanjur mengemuka ke ruang-ruang publik perihal sistem pengelolaan hutan di kawasan Perhutani, misalnya:

  1. Bahwa secara legal, pengukuhan kawasan hutan di wilayah Jawa telah selesai – dengan demikian persoalan agraria dianggap bukan lagi menjadi prioritas untuk diselesaikan. Tukar menukar kawasan cukup diselesaikan oleh sebuah tim kerja yang biasanya bersifat ad hoc, di bawah otoritas dan kebijakan Departemen Kehutanan.
  2. Bahwa secara struktural dan fungsional, Perum Perhutani telah terorganisir dengan baik, khususnya dalam hal pengambilan keputusan, pembagian wewenang, tata kerja, serta jenjang karir. Dalam hal ini, heirarki kekuasaan berlaku sangat kental dan semakin ke atas semakin kuat dalam mengambil keputusan.
  3. Bahwa masyarakat sekitar hutan selama ini selalu dicap sebagai pihak yang mengganggu keamanan hutan; misalnya dalam pengambilan rencek (kayu bakar), penggembalaan ternak, kebakaran hutan, pencurian kayu jati, pengambilan daun, dan perusakan terhadap areal tanaman baru.
  4. Bahwa masyarakat sekitar hutan yang ‘miskin dan berpendidikan rendah' dianggap tidak pernah mampu untuk mengelola hutan, sehinga setiap persoalan kehutanan harus selalu ‘dikendalikan' oleh aparat Perhutani maupun pihak-pihak lain di luar masyarakat.
  5. Bahwa keterlibatan masyarakat dalam penanaman hutan (misalnya melalui tumpangsari, banjar harian, cemplongan, borongan dan sebagainya) dan pekerjaan-pekerjaan kehutanan lainnya (penjarangan, pemeliharaan, penebangan), sudah cukup memberikan imbalan bagi mereka (misalnya dalam tumpangsari dengan tersedianya lahan garapan dan hasil pertanian yang diperoleh), selama masa kontrak.
  6. Bahwa program-program ‘Perhutanan Sosial' yang dijalankan oleh Perhutani telah berdampak cukup besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Misalnya sejak masa prosperity approach di tahun 70-an sampai PMDHT di akhir 90-an; pihak Perum Perhutani selalu mengklaim bahwa sekian milyar rupiah telah dikeluarkan untuk membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Berbagai mitos di atas menyebabkan sekian lama pengelolaan kawasan hutan di wilayah Perhutani seolah-olah bebas dari konflik. Persoalan-persoalan yang timbul di lapangan seperti kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan, pencurian rutin, kekerasan aparat, perebutan kawasan, ketimpangan tata niaga kayu, mafia kejahatan perdagangan hasil hutan, hingga terjadinya kerusakan-kerusakan ekologis di wilayah hutan Jawa; mampu diredam dengan cukup sukses. Namun seiring dengan bergulirnya angin demokrasi dan reformasi, akhirnya persoalan-persoalan tersebut muncul pula ke permukaan. Dimulai pada awal tahun 1998 ketika di beberapa tempat mulai marak terjadi penyerbuan ke kawasan hutan, persoalan-persoalan yang lain kemudian ikut serta tergeser ke permukaan. Apa yang oleh pers dieskspos sebagai ‘penjarahan hutan' – ternyata kemudian hanyalah sepenggal kecil persoalan dari segudang lainnya, ibaratnya hanyalah sebuah puncak gunung es dari sekumpulan material permasalahan yang terpendam di bawah permukaan.

RANDUBLATUNG, SEBUAH MOZAIK KONFLIK

Randublatung adalah sebuah kota kecamatan kecil di Kabupaten Blora Jawa Tengah, sekitar 2 jam perjalanan ke arah timur laut dari kota Surakarta. Wilayah ini sekian lama terkenal sebagai tempat asal kayu dari jati terbaik di Jawa, juga cukup dikenal dengan sejarah perlawanan masyarakat kepada penjajah Belanda, melalui gerakan-gerakan pembangkangan sosial yang dipimpin oleh Samin Surosentiko di akhir abad 19, sehingga dianggap sebagai daerah basis Saminisme . Secara geografis, interaksi masyarakat Randublatung dengan hutan sangat tinggi. Salah satu indikatornya adalah bahwa dari luasan wilayah Randublatung sebesar 21.113,097 hektare, seluas 13.366,605 hektare di antaranya merupakan kawasan hutan Perum Perhutani, atau sekitar 64%. Dengan jumlah penduduk sekitar 73 ribu jiwa (17 ribu KK atau rata-rata setiap rumah tangga terdiri dari lebih dari 4 jiwa) maka terlihat bahwa Randublatung tergolong padat penduduk.

Seperti juga sebagian besar desa hutan di Jawa, pada umumnya masyarakat Randublatung memilih untuk menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian lahan kering. Mengingat kondisi tanah di daerah ini yang relatif kurang menguntungkan bagi pertanian intensif (berkapur dan berbukit-bukit), biasanya hasil pertanian kurang mendukung bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Ini ditambah dengan penguasaan lahan yang relatif sempit (angka pada tahun 1998 menyebutkan bahwa setiap rumah tangga petani di Randublatung hanya memiliki lahan pertanian dengan luasan di bawah 0,5 ha).

Dari luasan lahan yang demikian, sebagian besar masih diolah dengan mengandalkan pada musim, terutama karena sistem irigasi teknis belum banyak berkembang. Tidak heran apabila masyarakat kemudian banyak bergantung pula kepada wilayah hutan di sekitar tempat hidup mereka, yang selain mampu menyediakan lahan pertanian juga dapat diandalkan bagi pemenuhan-pemenuhan kebutuhan jangka pendek lannya (misalnya kayu bakar, hijauan makanan ternak, areal panggembalaan, daun-daunan, satwa buruan, empon-empon, madu hutan, serta hasil hutan non kayu lainnya). Tingginya interaksi masyarakat desa hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya di satu sisi menyebabkan tumbuhnya budaya berhutan (kebiasaan menanam dengan sistem tumpangsari, kebiasaan ‘nyadran' di hutan, kebiasaan mengambil hasil hutan non kayu lewat pranoto mongso, dll.) di kalangan masyarakat, khususnya para petani, buruh tani, dan keluarga miskin. Namun di sisi lain (khususnya bagi masyarakat yang relatif ‘berani'–yang sebagian besar adalah generasi muda), interaksi ini juga acapkali diwujudkan dengan seringnya mereka mengambil kayu (mencuri menururt versi Perhutani) di hutan, bagi keperluan sendiri maupun untuk diperdagangkan. Sesungguhnya fenomena ‘pencurian rutin' ini telah terjadi sangat lama, jauh sebelum Perhutani menguasai wilayah hutan Jawa. Bagaimanapun ‘budaya' ini juga telah diwariskan dari generasi ke generasi, apalagi jika dikaitkan dengan beberapa faham gerakan kaum Samin yang diyakini masyarakat yang antara lain menyebutkan bahwa :

Kamu sekalian tidak dilarang untuk mengambil kayu di hutan negara, sebab hutan negara adalah hutan milik rakyat juga. Namun jangan mengambil sesuatu dari rumah tetangga kamu, karena merekalah yang akan membantu jika kamu mengalami kesulitan ( Terjemahan bebas oleh penulis) .

Fenomena yang demikian ternyata didukung juga oleh perkembangan manajemen kehutanan kita yang kian lama kian tidak terkontrol. Industri kayu tumbuh subur di mana-mana tanpa ada satu pihakpun yang mampu mengontrolnya, terutama jika harus disesuaikan dengan daya dukung hutan Perum Perhutani sendiri. Pada sisi lain perilaku aparat dalam ‘mengamankan hutan' sama sekali tidak menunjukkan adanya kepastian hukum di kalangan masyarakat. Sudah jamak bila ‘pencurian kayu' di sekitar Randublatung melibatkan (bahkan diinisiasikan) oleh aparat sendiri, baik aparat Perhutani, aparat Pemda, maupun aparat keamanan (Polri dan militer). Kerjasama ‘illegal' antara pengusaha kayu (baik lokal maupun regional) dengan aparat sangat terbuka dan menjadi rahasia umum. Sementara itu proses-proses pengadilan yang berjalan sehubungan dengan terjadinya ‘illegal logging' di kawasan Perhutani, sangat jauh dari keterbukaan dan tanggung gugat sosial publik.

Hal-hal yang demikian secara komulatif telah menyebabkan munculnya suatu bara api yang besar di Randublatung. Kecemburuan sosial, dendam antar institusai, dendam antar pribadi, ketertindasan campur aduk menjadi satu–dan ketika pintu reformasi tiba, apa yang terjadi kemudian adalah sebuah ledakan konflik yang amat hebat, tanpa satu pihakpun mampu mengurai hulu dan hilirnya (Lihat Tabel 1). Oleh karenanya pula, tak ada satu pihakpun yang kemudian mampu merancang sistem penyelesaiannya secara menyeluruh, adil, dan menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

Tabel 1. Kronologi (Awal) Konflik Kehutanan di Randublatung

Waktu Kejadian

Deskripsi Kejadian

Maret 1998

  • Kerjasama perangkat desa, pengusaha lokal, dan oknum Perhutani
  • Oknum Perhutani meloloskan kayu ilegal (menerbitkan pas kayu)

April 1998

     

  • Ajun mendatangi masyarakat, meminta kayu diserahkan
  • Masyarakat menolak
  • Masyarakat meminta penengah dari Muspika
  •  

Mei 1998

     

  • Ajun memimpin operasi, masyarakat melawan, petugas kocar-kacir
  • Masyarakat mendirikan bangunan dari kayu ilegal
  • Masyarakat lain ikut-ikutan mengambil kayu ilegal
  • Perum melibatkan militer lokal (Koramil dan Polsek)
  • Oknum militer lokal justru ikut ‘bermain'
  •  

Juni 1998

     

  • Unit I berinisiatif mendatangkan Brimob
  • 28 Juni, 3 orang warga Desa Bapangan tertembak, 2 di antaranya tewas
  • 29 Juni, masyarakat Bapangan, Menden, Temulus dan sekitarnya membakar beberapa bangunan Perhutani
  •  

Juli 1998 – September 1998

  • Penjarahan berlangsung terus
  • Ada mutasi beberapa pegawai Perum setempat

Oktober 1998

     

  • Ada pergantian beberapa petugas Koramil dan Polsek
  • Ada operasi oleh Polda Jateng, penjarahan berkurang
  • Beberapa warga ditangkap, lolos setelah membayar polisi
  •  

November 1998

     

  • Operasi berhenti, penjarahan mulai lagi.
  •  

KONFLIK KEHUTANAN, NEGOSIASI TANPA HENTI

Konflik adalah kondisi atau situasi benturan yang melibatkan dua pelaku atau lebih, yang masing-masing berusaha membenarkan dan memperjuangkan kepentingannya. Terlihat bahwa suatu kejadian dapat disebut konflik apabila disertai dua faktor, yakni adanya perkara dan artikulasi. Perkara adalah perbuatan pelanggaran, yang dikaitkan dengan jenis dan karakteristik perkara, pelaku, dan hubungan antar pelaku yang terlibat dalam suatu perkara. Artikulasi adalah pemicu terjadinya konflik karena para pelaku atau pihak yang bersengketa memposisikan diri saling mempertahankan kepentingannya, dengan mengeluarkan kecaman, pengaduan, atau tuntutan.

Faktor perkara inilah yang kenyataannya amat identik dengan fenomena sosial sebagai resultante dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Manakala proses awalnya adalah adanya benturan yang nantinya dapat sewaktu-waktu berubah menjadi konflik, maka artikulasi memperjelas kepada pihak-pihak yang terlibat mengenai adanya perkara tersebut di antara mereka. Pada akhirnya konflik timbul dan berkembang dengan sendirinya manakala kedua faktor tersebut telah saling terkait dan saling mendukung.

Berbicara tentang konflik kehutanan, khususnya di Jawa – lebih khusus lagi di wilayah hutan Perum Perhutani, tampak bahwa kedua hal tersebut ( perkara dan artikulasi -red) amat mudah diidentifikasi pada hampir setiap level pengelolaan hutan. Fenomena konflik ini kian kentara dalam 2 tahun terakhir, manakala pers banyak mengekspos mengenai kejadian-kejadian penjarahan hutan . Umumnya, konflik kehutanan Jawa identik dengan besarnya gap yang selalu terjadi antara masyarakat desa hutan (MDH) dengan aparat Perum Perhutani.

 Namun sesungguhnya di balik semua itu terdapat suatu kompleksitas benturan antara berbagai pihak yang sama-sama memiliki kepentingan (yang acapkali berbeda) terhadap hutan, yang amat tidak mudah untuk dipetakan secara jelas akar persoalannya. Oleh sebab itu, resolusi konflik pengelolaan hutan Jawa tidak dapat hanya dilihat sebagai sebuah simplifikasi proses mempertemukan kepentingan MDH dengan Perum Perhutani. Lebih jauh lagi setiap upaya penyelesaian konflik kehutanan di Jawa akan selalu memerlukan pendekatan yang lebih holistik, sesuai dengan karakter wilayah dan karakter masyarakat setempat, serta para pihak yang terlibat.

Benang merah dari semua itu adalah bahwa terjadinya kesepahaman antara satu kepentingan dengan yang lain dipastikan akan berjalan, apabila proses identifikasi stakeholder maupun user group yang berkepentingan langsung terhadap hutan dapat berjalan dengan baik. Tahapan selanjutnya adalah perlunya aspirasi satu pihak kemudian terkomunikasikan dengan baik kepada pihak lain, secara terbuka dan bertanggung jawab. Proses-proses negosiasi dalam pemanfaatan suatu wilayah hutan harus dapat berjalan terus menerus, dengan keterwakilan dan hak/kewajiban yang dapat disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan.

STARTING FROM PERIPHERY

Lembaga ARuPA mulai memulai inisiatif program di Randublatung tepat satu hari setelah terjadi peristiwa penembakan terhadap 3 warga Randublatung. Program dimulai dengan beberapa kegiatan investigasi, riset, dan pendekatan masyarakat – khususnya berkaitan dengan latar belakang konflik kehutanan yang terjadi, hingga akhirnya dirumuskanlah sebuah pendekatan yang diberi label Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi (PHPT). Program yang direncanakan berlangsung selama 1 tahun ini menitikberatkan pada dikembangkannya mekanisme resolusi konflik kehutanan di tingkat lokal, dengan berbasis pada mekanisme kelembagaan masyarakat setempat.

Di banyak literatur, disebutkan bahwa acapkali proses resolusi konflik kehutanan diletakkan pada pengembangan institusi lokal dan proses fasilitasi perencanaan partisipatif, yang dilanjutkan dengan membangun kesepakatan-kesepakatan sebagai hasil dari kedua proses tersebut. Namun demikian di dalam masyarakat sendiri, selalu timbul persoalan yang tidak kalah mendasarnya – jika seluruh proses tersebut tidak didahului oleh suatu identifikasi yang mendalam pada tahap awalnya. Dengan hipotesa tersebut pendekatan awal yang dilakukan di Randublatung kemudian lebih banyak berkutat pada persoalan-persoalan bagaimana ‘mengangkat moral masyarakat' untuk dapat mengartikulasikan kepentingan mereka terhadap hutan secara lebih terstruktur (Lihat Kotak 3). Pada sisi lain dibangun pula koridor-koridor komunikasi dengan pihak-pihak lain, salah satunya adalah dengan perum Perhutani.

Kotak 3. Proses Terabaikannya Kebutuhan Masyarakat Miskin

Ketika proses pembentukan kelompok pengguna hutan dibuat dengan tergesa-gesa atau potong kompas , maka yang akan menderita seringkali adalah masyarakat miskin. Hal ini telah terjadi, sebagai contoh, ketika identifikasi awal pengguna dilakukan dengan buruk, misalnya mengganti proses kunjungan rumah ke rumah dengan pertemuan kelompok pemuka masyarakat, dan orang-orang yang terlupakan kemudian tidak pernah ditindaklanjuti.

Mereka yang tergolong miskin di desa, tidak terbiasa diberi kesempatan untuk mengambil keputusan (dan menyuarakannya). Seringkali terdapat suatu ‘sikap tunduk' yang secara psikologis menghambat mereka untuk bicara. Jika tidak ada upaya sebelumnya untuk membangun rasa percaya diri mereka, maka mereka akan selamanya membisu. Waktu yang diberikan dalam pertemuan kelompok pengguna hutan seringkali terlalu singkat untuk mencapai konsensus. Jika konsensus tidak dapat diraih sebelumnya, maka usulan-usulan kelompok yang paling gencar diajukanlah yang akan disepakati. Dengan demikian, pertemuan hanya akan mengesahkan aturan berdasarkan mayoritas dan bukannya atas konsensus, sehingga selalu merugikan masyarakat miskin yang ‘bisu'.

Sering juga susunan kelembagaan kelompok pengguna hutan tidak menguntungkan bagi kaum miskin. Contohnya, jika ‘si miskin' tidak terwakili dalam kelompok pengguna maka mereka tidak akan mengetahui jadwal dan isi pertemuan selanjutnya. Anggota kelompok –yang lebih dipilih karena kepribadiannya dan bukannya sebagai perwakilan kelompok tertentu–sering tidak mewakili kepentingan kelompok miskin.

Beberapa rencana pengelolaan yang ditujukan untuk memperbaiki pengelolaan hutan sering juga merugikan masyarakat miskin. Sebagai contoh, daur hutan yang panjang, prioritas pada produksi kayu, tertutupnya akses masuk hutan dalam jangka waktu yang lama, larangan pengembalaan dan produksi arang – mempunyai dampak negatif langsung pada kelompok termiskin yang hidupnya bergantung penuh pada akses mereka kepada sumber daya hutan.

Sumber: Julian Gayfer, pers. comm . Dalam Hobley, 1996

Terhadap konflik yang telah merebak, disimpulkan bahwa kebanyakan konflik mempunyai sebab ganda sebagai kombinasi dari adanya masalah hubungan antar pihak yang bertikai hingga mengarah pada konflik yang terbuka. Konflik itu menempati ruang-ruang konflik yang menyebabkan terjadinya benturan. Karena konflik seringkali terlihat menjadi sangat rumit, dirasakan penting untuk dapat mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya, atau penyebab pertikaiannya dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai. Untuk itu dalam pelaksanaan program di lapangan, dalam tahap awal dilakukan pemetaan konflik yakni mengelompokkannya dalam beberapa ruang konflik dan selanjutnya dilakukan penanganan jangka pendek dan menengah sesuai dengan kriteria-kriteria di bawah ini:

1. Konflik data : yang terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau terjemahan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengumpulan atau pengkajian yang berbeda.

Contoh kasus di lapangan:

Petani hutan tidak pernah mengetahui apa yang direncanakan oleh Perum Perhutani, petugas tidak pernah mengkomunikasikan dengan baik apa-apa saja yang berhubungan dengan kepentingan petani. Misalnya bahwa tarip upah pekerjaan kehutanan, selalu saja tidak pernah diketahui dengan sebenar-benarnya oleh petani, demikian pula petani jarang mengetahui isi kontrak kerja yang dilakukan dalam pekerjan-pekerjaan kehutanan.

Pemecahan jangka pendek:

Konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal ini disebabkan kurangnya komunikasi, oleh karena itu difasilitasi tumbuhnya komunikasi antara petugas dengan petani hutan melalui serial pertemuan dua pihak secara berkala, serta penyebaran bulletin berbahasa Jawa yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan rencana kegiatan kehutanan di sekitar Randublatung.

2. Konflik kepentingan : yang disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan sumber daya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya), atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan,rasa hormat). Banyak kasus yang terjadi berkenaan dengan ruang konflik ini, sebab biasanya dalam konflik kepentingan, pihak-pihak yang terlibat mulai terlihat jelas dan cenderung menimbulkan konflik yang terbuka.

Contoh kasus di lapangan:

Petani hutan berkepentingan untuk mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya, sementara Perum Perhutani berkepentingan untuk menyelesaikan program tanaman dan pengamanan hutan dengan ‘cepat, efisien, dan bebas masalah' – salah satunya dengan mendapatkan tenaga kerja yang murah dan 'tidak rewel'. Pengusaha hutan berkepentingan untuk mendapatkan kayu dengan cepat dan murah, sementara Perum Perhutani (oknum-red) berkepentingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari panjangnya birokrasi tata niaga kayu.

Pemecahan jangka pendek:

Menfasilitasi penyusunan rencana kelola hutan versi masyarakat desa (dengan deskripsi kejelasan hak dan kewajiban mereka) untuk dinegosiasikan dengan Perum Perhutani. Kesepakatan diresmikan dalam kontrak yang jelas, disaksikan oleh aparat yang berkepentingan (Lurah, camat, dan Kapolres). Memfasilitasi terbentuknya networking pengusaha kehutanan untuk dapat berdialog dengan Perum Perhutani, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, serta aparat keamanan setempat, agar tercapai kesepakatan tentang mekanisme tata niaga kayu yang terbuka dan adil. Kesepakatan dituangkan dalam semacam MoU dan dikomunikasikan dengan Pemda dan DPRD untuk dijadikan bahan tersusunnya Raperda tentang tata niaga kayu lokal.

3. Konflik nilai : yang disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang ada. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya, menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak selalu menimbulkan konflik, sebab manusia dapat saja hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika suatu pihak berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau meng- klaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan interpretasi.

Contoh kasus di lapangan:

Sebagian petani hutan masih meyakini bahwa hutan di sekitar mereka adalah ‘milik umum', dengan demikian mereka merasa berhak untuk mengambil keperluan mereka dari hutan. Perhutani (dengan asas legalitas yang mereka tetapkan diri), meyakini (dan memaksakan kepada pihak lain) bahwa tidak ada satu pihak pun yang dapat memasuki hutan tanpa ‘ijin' dari mereka.

Pemecahan jangka pendek:

Perhutani setempat bersama masyarakat dan pihak-pihak lain difasilitasi melalui dialog-dialog intensif untuk dapat menyadari bersama bahwa hutan yang demikian luas tidak dapat hanya dikontrol oleh satu pihak. Dengan demikian ‘kerjasama' harus dibangun sebagai sebuah sistem nilai bersama–dengan penjelasan-penjelasan tentang hak dan kewajiban yang merupakan kesepakatan secara terbuka.

Pemecahan jangka menengah:

Dialog masyarakat dengan Perum Perhutani harus terus diarahkan pada pencapaian kesepakatan tenurial system yang dianut bersama. Dialog ini juga bisa mengarah pada proses agrarian reform.

4. Konflik struktural: yang terjadi ketika terjadi ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau faktor waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan struktur kekuasan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Pada akhirnya konflik ini akan banyak berhubungan dengan tidak transaksionalnya proses perubahan sosial, misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan.

Contoh kasus di lapangan:

Kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini sangat sentralistik tidak pernah ‘sampai' kepada level operasional di daerah. Institusi masyarakat sangat jauh dari isu-isu perubahan kebijakan publik, misalnya bahwa aparat pemda tidak pernah mengetahu atau terlibat dalam persoalan-persoalan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Demikian pula kecamatan, kelurahan dan aparat keamanan hanya tahu ‘sambil lalu' sementara masalah-masalah substansi kebijakan pengelolaan hutan tidak pernah mereka ketahui.

Pemecahan jangka pendek/menengah:

Pengembangan institusi lokal sebagai sarana peleburan peran dan tanggung jawab semua pihak perihal kehutanan (pemda, pengusaha, Perum Perhutani, masyarakat, petani hutan, kaum wanita, dan sebagainya) yang diatur dalam mekanisme kebijakan publik di tingkat lokal. Pengembangan institusi dimulai dari proses membangun mekanisme lembaga rembug hutan di tingkat desa, forum komunikasi kehutanan antar desa, working group (kelompok kerja) kehutanan di tingkat kecamatan dan kabupaten, serta fasilitasi munculnya perda-perda tentang otonomi pengelolaan sumber daya hutan di tingkat kabupaten Blora. Pengelolaan yang terdesentralisasi ini diharapkan mendekatkan pengawasan dan perencanaan pada masyarakat dan pemerintahan lokal sekaligus secara bertahap mengubah struktur Perhutani dari pusat kekuasaan menjadi pelayan publik. Inilah yang disebut sebagai mendekatkan struktur kekuasaan dengan struktur sosial dan pemerintahan lokal.

Keempat ‘ruang konflik' tersebut bukanlah berdiri sendiri namun merupakan suatu sistem, sehingga satu sama lain bisa saling berhubungan dan bahkan acapkali berada dalam suatu kesatuan. Beberapa konflik menempati banyak ruang dan untuk proses penyelesaiannya memerlukan pendalaman yang cukup kompleks. Pada bagian lain, konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang yang satu ke ruang yang lain dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya. Seperti telah banyak dibahas pada bagian muka, sebagian besar konflik pengelolaan sumber daya hutan di Randublatung selama ini telah berada pada kompleksitas ruang-ruang konflik tersebut. Oleh sebab itu pendekatan progran yang dilakukan tidaklah bersifat terpisah satu dengan lain, namun merupakan inisiatif yang berjalan simultan dan terus-menerus.

BEBERAPA PEKERJAAN RUMAH

Permasalahan awal yang melatarbelakangi merebaknya konflik kehutanan di Randublatung sebagai contoh kasus, serta di Indonesia pada umumnya–yang berupa paradigma pembangunan, sistem penguasaan, alokasi, dan manajemen SDH memang banyak mengalami persoalan di masa lalu. Namun harus disadari bahwa hal tersebut tidak berdiri sendiri, serta memiliki keterkaitan dengan sistem ekonomi dan politik global amatlah erat. Model pembangunan yang digunakan di negara berkembang pada umumnya tidak didasrkan pada prinsip penghargaan terhadap hak-hak warga negara. Pengelolaan SDH secara umum dan mendasar akhirnya dimonopoli oleh elite penguasa dengan mengatasnamakan kepentingan negara. Dengan berbagai dalih, pengelolaan SDH dilepaskan dari konteks historis, sosial, kultural masyarakat; dan kemudian diambil alih oleh pemerintah dengan mengatasnamakan kepentingan negara Oleh karena itu setiap inisiatif penyelesaian konflik kehutanan memerlukan kerja keras dari semua pihak. Persoalan pendampingan masyarakat yang mengemuka adalah bagaimana mereka mampu merumuskan sekaligus menyuarakan kepentingannya (sebagai grass root agenda ). Pekerjaan ini tidak terbatas pada upaya mendapatkan legitimasi menyuarakan grass root agenda belaka, tetapi merupakan pekerjaan membimbing masyarakat agar mampu menyuarakan suaranya sendiri. Tetap harus dijaga kemungkinan-kemungkinan advokasi bagi perubahan kebijakan publik yang lebih memihak masyarakat sebagai agenda middle class; bukan sebagai agenda terpisah. Diperlukan jembatan komunikasi yang cukup memadai bagi kedua inisiatif tersebut. Pada akhirnya tugas ini memang disadari menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, semata-mata agar pengelolaan hutan di Indonesia dapat lebih berkelanjutan, adil dan demokratis.

Yogyakarta, September 2000

 

RUJUKAN PUSTAKA

Anonim, 1998, A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource Projects in the South Pacific; Context, Principles, Tools, and Training Materials, Overseas Development Institue, Portland House, London, June, 1998.

Aliadi, Arif, et al. (ed.), 1999, Kembalikan Hutan Kepada Rakyat, Pustaka Latin, Bogor.

Barber, Charles, V., & Nels C. Johnson, & Emmy Hafild, 1994, Breaking the Logjam; Obstacles to Forest Policy Reform in Indonesia & The United States, WRI, Washington D.C., USA.

Effendi, Saman, et al., & Nurjaya, I Nyoman, (ed.), 1993, Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Tim Studi WALHI, Jakarta.

Lembaga ARuPA , 1999, Penjarahan Hutan, Fenomena Gunung Es di Tengah Lautan Reformasi Kehutanan Indonesia, Serial Laporan Studi Investigasi, Tidak Dipublikasikan.

_____, 1999, Rancang Bangun Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Studi Kasus di KPH Randublatung, Serial Laporan Studi Kolaborasi, Tidak Dipublikasikan.

Poffenberger, Mark, 1992, Sustaining Southeast Asia's Forest, Center for Southeast Asian Studies, University of California, Berkeley.

Simon, Hasanu, 2000, Hutan Jati dan Kemakmuran, Problematika dan Strategi Pemecahannya, Cetakan II, Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Soepardi, R., 1974, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman, Jilid I, Perum Perhutani, Jakarta.

Wijardjo, Budi, Ichsan Malik, & Noer Fauzi, Mitra-mitra BSP Kemala, tt, Konflik, Bahaya atau Peluang; Buku Panduan Latihan Cara Menghadapi dan Mengelola Konflik atas Sumber Daya Alam; Kerjasama USAID-WWF-Nature Conservancy-WRI.

Fotnotes:

1) Makalah dalam Semiloka Nasional Penanganan Konflik, Auditorium UII Yogyakarta, 28-9-2000

2) Poffenberger, Mark, 1992, halaman 11

3) Wijardjo, Budi, et al., halaman 30-31

4) Aliadi, A., (ed.), 1999, halaman 21

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*