Dalam bulan ini, setidaknya Dunia Kehutanan dihebohkan dengan 2 isu. Pertama, yaitu kabut asap yang menyelimuti Kalimantan dan Sumatra. Kedua, Deregulasi tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Pada isu yang pertama, setidaknya sudah menjadi perhatian banyak kalangan. Hal ini terlihat dari headline koran atau majalah yang tiap hari menampilkan isu ini. Namun, pada isu yang kedua, yaitu Deregulasi SVLK, belum banyak menjadi perhatian. Padahal, SVLK yang sedang dilemahkan tersebut kami sinyalir mencerminkan langkah mundur dalam upaya memperbaiki kelola hutan Indonesia.
Setidaknya sejak 2010, Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alama (ARuPA) telah turut serta mengawal serta mendampingi SVLK pada hutan rakyat serta Industri Skala Kecil dan Menengah (IKM) yang bergerak dalam bidang perkayuan. Dalam kurun waktu tersebut, kami melihat bahwa SVLK sebagai sebuah sistem, yang memberikan andil dalam perbaikan tata kelola kehutanan.
SVLK sendiri sebagai alat perbaikan tata kelola kehutanan, setidaknya dapat dilihat dalam dua dimensi. Dimensi yang pertama, SVLK memberikan best practice bagaimana usaha kehutanan dijalankan dengan menganut prinsip legalitas, keterlusuran bahan baku, serta kelestarian hutan. Dengan munculnya hutan rakyat dan IKM ber-SVLK diharapkan dapat menjadi contoh bagaimana usaha kehutanan dijalankan dengan baik dan lestari.
Lalu pada dimensi yang kedua, SVLK dapat menjadi insight bagi peraturan tentang tata usaha kayu dalam arti produk kebijakan maupun dalam konteks penegakan hukum (law enforcement). Secara langsung maupun tidak, SVLK menjadi cermin bagaimana sebenarnya regulasi tata usaha kayu diterapkan.
Sayang gayung ini tak bersambut. Upaya perbaikan tata kelola kehutanan melalui SVLK yang dikerjakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan para stakeholder kehutanan, mendapatkan respon tidak mengenakkan pada pertengahan tahun ini. Kementarian Perdagangan membuat peraturan pengganti dari Permendag 97/2014 jo 66/2015 dengan Permendag 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Secara ringkas, Permendag baru ini tidak mewajibkan industri kehutanan hilir (setidaknya eksportir mebel) tidak wajib menyertakan dokumen V-Legal pada komoditas ekspornya. Berbagai kalangan, terutama aktivis lingkungan menyayangkan Permendag ini.
Kami mencatat, dalam Permendag 89/2015 setidaknya merubah 3 hal besar:
Pertama, beberapa produk ekspor kertas dan mebel tidak lagi wajib SVLK. Dalam permendag lama, bagi eksportir yang belum bisa urus SVLK bisa menggunakan Deklarasi Ekspor (DE) untuk berlaku sementara sampai 31 Desember 2015. Namun dalam permendag 66/2015 masa berlaku DE tidak ada batas waktu. Dan dalam permendag 89/2015 justru ketentuan mengenai DE dihapuskan. Sehingga bagi yang belum ber-SVLK tidak lagi mengurus DE.
Bagi kami, ini langkah mundur, karena industri kertas dan mebel sarat dengan peluang pencampuran kayu illegal. Sehingga, upaya memerangi illegal logging serta upaya perbaikan tata kelola kehutanan menjadi terlemahkan.
Kedua, dalam Permendag 89/2015 tidak lagi diatur tentang Eksportir Terdaftar Industri Kehutanan (ETPIK). ETPIK sebelumnya, ada 2 jenis yaitu ETPIK produsen dan ETPIK non-produsen. Tidak jelas mengapa ETPIK ditiadakan. Padahal ETPIK digunakan sebagai kontrol negara atas pengekspor produk-produk kehutanan. Jika dihapus, maka negara tidak lagi memegang kontrol atas itu. Dalam permendag 89/2015, negara hanya melakukan pengecekan muatan barang ekspor melalui surveyor.
Bagi kami, itu tidaklah memadai dalam kontrol negara atas lalu lalang ekspor produk kehutanan.
Ketiga, Deklarasi Ekspor (DE) yang pada Permendag 66/2015 diberlakukan seterusnya, tetapi dalam Permendag 89/2015 justru DE tidak atur. Dengan tidak diaturnya DE, maka dapat diasumsikan bahwa saat ini jika tidak SVLK maka justru sama sekali tidak menggunakan piranti pengganti (DE). Semakin lapang saja deregulasi yang konon pro investasi ini.
Melihat ketiga perubahan tersebut, sangat nampak, bahwa paket kebijakan ekonomi Jokowi Jilid III awal Oktober lalu dimaknai oleh Menteri Perdagangan dengan serampangan, yang mana tidak mempertimbangkan inisiasi yang telah diupayakan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam perbaikan tata kelola kehutanan.
Sangat disayangkan memang, bila Permendag ini mewadahi kepentingan segelintir pengusaha yang tidak mau bersusah payah dalam SVLK, tidak ingin turut serta dalam perbaikan urusan kehutanan Indonesia.
Jika memang demikian, apakah Negara kalah oleh kartel pengusaha? Kami kira, IYA.
Agus Budi Purwanto, Direktur Eksekutif Lembaga ARuPA Yogyakarta