Home > Paper > Menuju Devolusi PSDH

Prolog

Salah satu komitmen pemerintah dalam pertemuan CGI IX tanggal 1-2 Februari 2000 yang baru lalu berhubungan dengan sektor kehutanan, yakni komitmen untuk memanfaatkan proses desentralisasi sebagai sarana atau tools guna mengembangkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management-SFM). Dalam pandangan optimis, kita kemudian melihat adanya political will pemerintah (pusat) untuk ‘membagi’ sebagian wewenangnya kepada daerah. Namun demikian, apakah dengan demikian kita cukup menunggu saja success story skenario itu dengan sepenuhnya menerapkan sikap possitive thinking. Ataukah–sebagai salah satu proses menuju masyarakat madani—kita juga perlu terus mengkritisi komitmen itu. Barangkali alternatif terakhir ini jauh lebih realistis untuk dipilih, mengingat selama ini pemerintah pusat telah cukup lama memperoleh keuntungan (dalam jumlah yang cukup besar) dari proses pengusahaan hutan. Tidakkah terlalu naif jika kita memaksakan suatu persepsi bahwa pusat dengan ‘mudah dan ikhlas’ akan melepaskan keuntungan dan kekuasaan itu, dan merelakan agar daerah mengambil alihnya?

Desentralisasi, Tantangan di Depan Mata
UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 25 Th. 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan PP 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom merupakan titik sambung begulirnya asas desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi diartikan sebagai: systematic and rational dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so as to allow multi-sectoral decision-making as close as possible to problem areas  (1). Sementara dalam UU 22 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Secara teoritis, perluasan wewenang pemerintah daerah diharapkan akan menciptakan apa yang disebut oleh Smith (1985) dengan local accountability dan local government responsiveness, yakni kemampuan pemda dalam merespon hak-hak komunitasnya.
Wacana desentralisasi tidak dapat terlepas dari prinsip subsidiarity —yang mencakup mekanisme pembagian fungsi-fungsi apa yang harus dilakukan oleh suatu kelembagaan publik dan pada level-level yang mana. Secara umum transfer kewenangan dalam skenario desentralisasi, meliputi ruang-ruang sebagai berikut:

  • Dekonsentrasi, transfer kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada kantor wilayah di tingkat propinsi atau kabupaten tanpa perubahan locus of power, sehingga kewenangan pusat masih cukup besar. Pemerintah daerah tidak memiliki status kelembagaan yang otonom, dan lembaga-lembaga yang telah terdekonsentrasi biasanya merupakan perpanjangan tangan (outposts) pusat. Ini adalah bentuk paling lemah dari desentralisasi dan biasanya sering digunakan dalam sebuah negara kesatuan seperti Indonesia. Adanya dana Inpres untuk tiap sektor, dan bantuan pembiayaan rutin merupakan contoh dekonsentrasi fiskal, ketika otoritas daerah tidak memiliki kewenangan atas penggunaan biaya-biaya tersebut.
  • Devolusi, transfer kewenangan kepada unit-unit semi otonom di tingkat pemerintah daerah dengan status kelembagaan yang jelas, yang memilih pemerintah daerahnya sendiri, memiliki penghasilan sendiri, dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan investasi. Ini merupakan bentuk desentralisasi yang paling kuat. Di Indonesia, ‘memiliki sepenuhnya’ pendapatan dan dana Inpres adalah contoh kewenangan fiskal yang terdevolusi, meskipun kemudian dalam prakteknya terhambat oleh kewenangan pusat untuk menentukan kuota dan juklak-juknis
  • Delegasi, transfer tanggungjawab kepada organisasi semi otonom yang tidak berstatus sebagai suatu lembaga otonom, misalnya penanganan proyek-proyek pusat di daerah(2). Senada dengan itu, UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa terdapat tiga prinsip utama dari kebijaksanaan desentralisasi, yang meliputi:(3)
  1. Devolusi, adalah transfer fungsi pemerintah dari pusat ke tingkat yang lebih rendah, sehingga pemerintah daerah mempunyai otonomi lebih besar,
  2.  Dekonsentrasi, yakni pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat (departemen) kepada cabang departemen di daerah (kanwil dan kandep)
  3.  Co-administration (Medebewind/Tugas Pembantuan), yaitu penunjukan pemerintah daerah (wilayah) dengan melibatkan pemerintah pusat untuk mengimplementasikan fungsi pemerintah dengan bertanggung jawab ke pemerintah pusat atau tingkat yang lebih tinggi.

Nyata kemudian bahwa tidak setiap inisiatif desentralisasi akan menjamin adanya pelimpahan kewenangan secara menyeluruh dari pusat ke daerah, apalagi jika ternyata desentralisasi hanya dimaknai sebagai dekonsentrasi administratif. Dari tiga prinsip utama desentralisasi versi UU No 5 tahun 1974 dan tiga ruang desentralisasi versi Sampriti (2000) di atas, hanya devolusi yang memberi kebebasan bagi pemerintah daerah untuk membuat keputusan. Devolusi fungsi pelayanan masyarakat dengan berlandaskan prinsip subsidiarity(4) akan lebih mampu menjamin kesesuaian konsepsi dan praktek pelayanan dengan kebutuhan masyarakat sebenarnya, serta meningkatkan sistem demokrasi yang partisipatif, representatif, dan kontestatif.

Apa yang harus lebih didorong oleh pemerintah, dan setiap penggiat demokrasi, adalah suatu kondisi pelimpahan wewenang secara devolutif yang mampu menjamin partisipasi setiap level kelembagaan masyarakat, dalam kerangka mewujudkan kehidupan berdemokrasi yang lebih luas. Tantangan yang hadir di depan mata kita adalah bagaimana desain desentralisasi dapat secara pasti identik dengan desain devolusi, khususnya dalam menangani persoalan-persoalan pengelolaan sumber daya hutan kita yang terlanjur parah. Bagaimana desentralisasi—dalam kerangka devolusi–dapat mempercepat terwujudnya agenda-agenda menuju pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management)

Sekian lama persoalan kehutanan Indonesia berjalan dalam suatu skema kelembagaan yang terpusat (centralized institutional arrangement) dan skema manajemen yang berbasis negara (state based management). Akibat dari kuatnya hegemoni negara atas sumber daya hutan adalah munculnya persoalan-persoalan terkait dengan tenurial system yang secara substansial amat sulit penanganannya. Masyarakat adat dan masyarakat lokal, yang hidup dan tinggal di dalam dan di sekitar hutan, kemudian terpinggirkan secara sistematis, atas nama stabilitas nasional, pembangunan, investasi, dan pertumbuhan ekonomi. Fenomena kemiskinan struktural dan konflik penguasaan kemudian merebak dengan cepat. Penanganan oleh pemerintah yang amat lambat akibat gemuknya birokrasi kemudian dimanfaatkan oleh para free riders  untuk menunggangi kondisi konfliktual  tersebut, sehingga kemudian marak pula fenomena illegal logging di seantero kawasan hutan di tanah air.

Persoalan sengketa tenurial biasanya bermula dari suatu asumsi politik hukum agraria yang mengabaikan–bahkan menegasikan–hak-hak rakyat melalui undang-undang pertanahan (land related laws) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya (government regulation). Akhirnya tidak pernah terdapat pegangan sebagai hasil kesepakatan antara rakyat dan negara mengenai 3 (tiga) persoalan berikut(5):

  • Siapa yang berhak menguasai tanah dan sumber daya alam
  • Siapa yang berhak memanfaatkan tanah dan sumber daya alam
  • Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam tersebut?

Ketiga pertanyaan dasar itu tentu harus dapat dijawab oleh pemerintah daerah ketika otonomi daerah telah bergulir. Persoalan riil di lapangan adalah bahwa tidak mudah bagi pemerintah daerah untuk menemukan the real problem -nya apalagi menyelesaikan konflik-konflik kehutanan tersebut. Sebenarnya yang terjadi adalah adanya fenomena ketika tidak terdapat kewenangan di tangan Pemda untuk mulai masuk ke kancah tersebut, sehingga persoalan-persoalan mendasarnya tidak akan pernah terselesaikan (lihat box 1). Pada sisi lain kapasitas aparat Pemda belum memungkinkan untuk dapat memulai membangun konsepsi pemecahan masalah, ketika selama ini ruang bagi inisiatif tersebut terlalu dikuasai oleh pusat, meskipun pusat juga telah terbukti tidak memiliki kemampuan untuk dapat menyelesaikan persoalan yang ada.

Box 1 .

PP 25 tahun 2000 Bab IV Pasal 8, berbunyi:

Perizinan dan perjanjian kerjasama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan kerjasama

Perizinan dan perjanjian kerjasama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan kerjasama

SFM dan Desentralisas

Ketika KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992 mencuatkan tema pembangunan berkelanjutan (sustainable development), maka peluang bagi ideologi pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management-SFM) semakin berkembang, dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip berikut (Orstom, 1990

Batas-batas sumber daya hutan dan kelompok-kelompok pengguna yang jelas Aturan pemanfaatan yang spesifik dan sesuai dengan kondisi lokal Modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal Para pengguna memantau ketaatan terhadap aturan-aturan yang telah dibuat Terdapat mekanisme penyelesaian konflik yang efisien Hak-hak dan institusi lokal bersifat independen Para pengguna menetapkan dan menerapkan sanksi yang mengikat Pada situasi khusus, dikembangkan sistem pemerintahan daerah yang secara keseluruhan overlapping (bertaut) dengan sistem lokal.

Dalam skenario SFM, perpaduan desentralisasi sektoral dan politis amat penting peranannya terutama dalam menjamin kontinuitas pergeseran kelembagaan, yang diharapkan makin bertaut dengan sistem lokal. Pada intinya desentralisasi pengelolaan sumber daya hutan akan membantu menyediakan suatu mekanisme kelembagaan untuk memperbaiki sistem pengaturan kewenangan oleh instansi terkait. Ironisnya, sekalipun desentralisasi memungkinkan tranparansi yang lebih luas, di sisi lain juga memperbesar keterikatan lembaga pengguna hutan di tingkat lokal dengan negara; suatu perubahan yang dapat ditafsirkan sebagai sentralisasi dan bukannya desentralisasi. Departemen Kehutanan, sebagai contoh, selama ini masih memegang kekuasaan dan kendali utama atas masyarakat desa hutan-MDH, yang menunjukkan bahwa proses desentralisasi hanya diterapkan sebagian kecilnya saja. Saat ini MDH tidak memiliki struktur kelembagaan yang dapat mempertanyakan dan menggugat tindakan Departemen Kehutanan atau instansi terkait lainnya; sebaliknya Departemen Kehutanan memegang hak untuk menggugat MDH jika mereka menganggap masyarakat melanggar kesepakatan.

Pengalaman di Indonesia, menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralisasi pada sektor kehutanan secara terbatas, justru membawa lebih banyak penetrasi negara ke daerah, tanpa pernah memberikan kesetaraan bagi rakyat untuk mengakses kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebagaimana negara yang selalu mengklaim kepemilikan atas lahan hutan, masuknya kepentingan pejabat kehutanan dalam lembaga pengguna hutan lokal dapat dianggap sebagai peningkatan kontrol negara atas rakyat, yang ini berarti memperkuat sentralisasi. Di masa lalu, banyak dijumpai kelembagaan kehutanan di daerah–termasuk kelembagaan di dalam masyarakat desa hutan (MDH)–praktis lebih berfungsi sebagai perpanjangan tangan Departemen Kehutanan daripada menjadi lembaga otonom yang dapat mewakili kepentingan masyarakat.

Di India, beberapa pengamat mencatat bahwa sekalipun retorika desentralisasi kehutanan dalam kerangka Joint Forest Management (JFM) mengacu pada terjadinya pengambilan keputusan di tingkat bawah, kenyataannya pengambilan keputusan tetap berada pada hierarki politik dan administratif pusat, yang dibuat sedemikan rupa sehingga seolah-olah berasal dari berbagai lembaga otonom lokal. Keluasan wewenang panchayat ternyata menghalangi fungsi utamanya sebagai unit manajemen hutan (lihat box 2). Kecil kemungkinan suatu organisasi yang mencakup keragaman lingkungan sosial dan ekologis (semacam panchayat), untuk bisa mencapai konsensus tentang pengelolaan sumber daya (Poffenberger dan Singh, 1992; Raju dkk., 1993; Bahaguna dkk., 1994). Pertanyaan lain muncul pula terutama dikaitkan dengan seberapa representatif suatu panchayat dapat mewakili kebutuhan masyarakat setempat(6). Pada akhirnya, desentralisasi kehutanan harus terus dilanjutkan ke arah terwujudnya pengelolaan sumber daya hutan yang devolutif. Dalam kerangka ini pengembangan kemandirian kelembagaan lokal, baik pengguna hutan maupun instansi pemerintah daerah menjadi suatu keniscayaan.

 Box 2 . Kegagalan Sistem Gram Panchayat(7)
(Tanda *: Kegagalan Organisasi JFM)

  • Warga desa yang awam tidak mampu membedakan gram sabha  (dewan desa) dengan panchayat,  serta tidak menyadari hak dan kewajibannya sebaga anggota gram sabha .
  • Suasana politik desa yang sedemikian rupa sehingga ketika seseorang terpilih menjadi Kepala Desa, warga merasa mereka tidak perlu mengerjakan apapun sesudahnya dan menganggap Kepala Desalah yang harus mengerjakan segalanya. Di sisi lain, jika ada calon kepala desa pesaing yang terkalahkan, maka ia dan pendukungnya akan menarik diri dari pertemuan gram sabha.
  • Jika gram sabha  beraggotakan beberapa desa, biasanya sukar menemukan tempat perkumpulan bersama yang mudah dicapai semua warga desa anggotanya.
  • Jadwal pertemuan gram sabha banyak tergantung pada partisipasi sebagian besar anggotanya.
  • Warga yang mendapatkan informasi mengenai pertemuan gram sabha  selanjutnya sangat sedikit. Metode komunikasi dengan menggunakan cara-cara lokal (misal dengan kentongan) sudah jarang diperhatikan.
  • *. Pertemuan-pertemuan yang diprakarsai Departemen Kehutanan biasanya hanya mengundang sedikit orang (hanya anggota komite). Pertemuan seringkali diadakan menyesuaikan dengan jadwal Departemen Kehutanan dan sering dibatalkan tanpa pemberitahuan. Hal ini menciptakan rasa kesal dan membuang-buang waktu. Informasi dan keputusan-keputusan dari pertemuan ini jarang disampaikan kepada pengguna hutan yang lain.

Sumber:

  •  Diwaker Committee Report on Gram Sabhas, 1963 dalam Webster (1990)
  • * Tambahan diambil dari pengalaman lapangan di India

Devolusi dan Kemandirian Lembaga Masyarakat

Devolusi diartikan sebagai transfer kewenangan kepada unit-unit semi otonom di tingkat lokal dengan status kelembagaan yang jelas, yang memilih sistem pemerintah lokalnya sendiri, memiliki penghasilan sendiri, dan memiliki kewenangan untuk membuat keputusan-keputusan investasi. Dalam pengelolaan hutan, karakter sumber daya dan interaksi sistem-sistem di luarnya yang unik mendorong perlunya sifat pengelolaan yang lokal spesifik—termasuk yang berkaitan dengan sistem kelembagaannya. Susunan kelembagaan (institutional arrangements) masyarakat mengacu pada pengertian yang luas, yang didasari oleh dua konsep yang saling melengkapi, yaitu:

  1. Mekanisme pengaturan–seperti adat istiadat, peraturan lokal, nilai-nilai atau praktik-praktik–yang diterima oleh anggota kelompok masyarakat tertentu dan memiliki kecenderungan membentuk pola-pola perulangan perilaku, dan
  2.  Penataan organisasi yang mengikutsertakan kelompok perorangan yang tertata dalam keluarga, satuan usaha pertanian, perusahaan swasta, dinas pemerintahan, atau organisasi nirlaba.

Organisasi lokal pengelola hutan dapat terbentuk melalui berbagai macam cara, sebagai tanggapan masyarakat lokal terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya yang ada, atau sebagai reaksi mereka yang dipercepat dari luar, misalnya dengan keterlibatan NGO pendamping. Dalam persoalan kehutanan, beberapa pokok pembicaraan mengenai hal-hal yang mendasari pengaturan suatu lembaga, terutama berkaitan dengan kebijakan desentralisasi adalah:

  •  Lembaga hak kepemilikan (property rights instutions)
  •  Lembaga formal (Departemen Kehutanan, BUMN)
  •  Lembaga pengelola sumber daya non-formal (yang sudah ada, maupun yang baru

Penentuan sistem kelembagaan akan dapat dilaksanakan, jika telah dilakukan serangkaian kalkulasi yang matang. Banyak literatur menunjukkan bahwa privatisasi sumber daya hutan—seperti yang selama ini dilakukan oleh negara c.q. Departemen Kehutanan–hanya mungkin dilaksanakan jika biaya untuk mengamankan batasnya tidak lebih besar daripada keuntungan yang dihasilkan (cetak miring oleh penulis). Pada kasus pengelolaan hutan, hampir tidak mungkin bagi siapapun untuk melakukan pengamanan terhadap gangguan yang dilakukan orang luar, kecuali hanya pada areal-areal sempit yang dimiliki penduduk atau di sebagian kecil lahan negara yang memang memberikan manfaat bagi penduduk. Kondisi yang demikian memerlukan biaya pengamanan yang jauh melebihi keuntungan yang akan dihasilkan. Akan jauh lebih masuk akal jika pengelolaan hutan kemudian dilakukan bersama oleh beberapa kelompok pengguna hutan, sehingga biaya pengamanan yang mahal tersebut dapat ditanggung oleh lebih banyak orang.

Dari sudut pandang tertentu, mekanisme ini dapat dianggap sebagai privatisasi oleh kelompok, dengan ciri sekelompok orang ‘berbagi hak milik’ untuk bersama-sama mengelola sumber daya komunal. Pengelolaan komunal, yang dilengkapi dengan aturan dan sanksi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, menuntut adanya tanggung jawab masing-masing individu untuk ikut mengawasi lahan orang lain tanpa mengabaikan dampak negatif aktivitasnya yang mungkin mengenai orang lain. McKean (1995) melihat bahwa sejalan dengan peningkatan populasi di pedesaan, pengelolaan hutan secara komunal justru akan layak menjadi pilihan, terutama di daerah-daerah yang ‘nilai-nilai budayanya mampu mendukung kerjasama masyarakat sebagai sarana mengelola konflik’.

Tugas yang diemban oleh pejabat kehutanan di daerah (yang nantinya diharapkan hanya akan bertindak sebagai fasilitator), adalah mengidentifikasi respon kelembagaan yang relevan dalam konteks sosial, budaya, ekologis, dan politis di wilayah lokal. Dalam situasi tertentu—sebagaimana telah dikemukakan oleh McKean di muka—pengelolaan secara kolektif bisa menjadi respon yang tepat. Pada akhirnya, semua perubahan sistem kelembagaan memerlukan adanya pemberdayaan melalui kerangka kebijakan, dan jaminan kepastian terhadap hak akses dalam jangka panjang.

Pelajaran dari Lapangan

Pengelolaan hutan dengan mekanisme kelembagaan komunal sebagai bentuk nyata devolusi kehutanan dapat dipandu oleh seperangkat pedoman yang dibuat oleh pemerintah daerah. Pedoman tersebut setidaknya harus mendefiniskan empat tahap proses perencanaan:

  1. Tahap investigasi: mencakup pendalaman persoalan bersama penduduk desa, pengumpulan data/informasi sumber daya, dan identifikasi seluruh pengguna dan sistem pengelolaan yang sudah ada.
  2. Tahap negosiasi: mencakup pencapaian konsensus, pembentukan kelompok pengguna hutan, negosiasi menuju kesepakatan mengenai pengelolaan hutan, dan penulisan draft rencana operasional (dibantu oleh staf Departemen Kehutanan)Tahap implementasi: mencakup pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai rencana operasional oleh kelompok pengguna hutan, dengan pemantauan, dukungan, dan pemberdayaan kegiatan oleh staf lapangan.
  3. Tahap evaluasi: mencakup penilaian dan negosiasi ulang untuk memodifikasi kesepakatan pengelolaan.

Dalam keempat tahap ini harus terdapat banyak sekali kelonggaran yang memungkinkan dilakukannya improvisasi dan penyesuaian implementasi dengan situasi setempat. Kesulitan justru akan muncul jika dalam pelaksanaan dituntut adanya kepatuhan mutlak dan kaku pada serangkaian petunjuk yang baku, yang belum tentu sesuai dengan tuntutan kondisi setempat. Masalah seperti ini banyak terjadi di awal-awal pengembangan proyek-proyek Kehutanan Masyarakat (HKm) di Indonesia. Masalah ini juga terjadi di India dengan adanya aturan-aturan yang mekanistik dan baku dalam implementasi JFM (Joint Forest Management). Kejadian yang mirip juga terjadi pada tahap awal pengembangan Community Forestry di Nepal, akibat pendekatan dengan implementasi yang baku. Akhir-akhir ini, petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan di masing-masing negara tersebut dikembangkan supaya lebih tanggap terhadap kondisi setempat.

Persoalan krusial yang harus diperhatikan dalam pengembangan skema devolusi kehutanan adalah mengidentifikasi pengguna hutan yang sesungguhnya. Penyerahan kewenangan manajemen hutan kepada lembaga masyarakat harus menjamin bahwa lembaga tersebut menjamin keterwakilan masyarakat setempat dengan baik. Kelembagaan desa mungkin sekali akan memainkan peranan yang penting dalam mengambil alih tanggung jawab pengelolaan hutan, dengan persyaratan bahwa kredibilitas organisasi kehutanan tingkat desa terintegrasi dengan sistem kebijakan politik. Pada masa lalu banyak ditemukan kesenjangan komunikasi yang lebar antara lembaga desa dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya di desa, akibat kurangnya akuntabilitas dan transparansi mengenai alokasi penggunaan dana proyek-proyek bagi kegiatan-kegiatan pembangunan desa.

Perangkat desa di masa lalu acapkali gagal merepresentasi kepentingan-kepentingan kelompok pengguna hutan secara luas, tetapi pada saat yang sama kelembagaan desa sendiri tidak pernah diberdayakan oleh pemerintah. Wewenang atas pengambilan keputusan pengelolaan hutan tetap berada di tangan pemerintah pusat, atau dinas-dinas terkait. Para penentu kebijakan sedikit sekali untuk berniat mendorong lembaga desa yang dapat menjadi basis kekuatan politik alternatif. Pertanyaannya kemudian, apakah pengalaman yang terjadi selama lebih dari 30 tahun itu, akan menghancurkan impian kita untuk menciptakan kelembagaan lokal yang lebih demokratis? Jawabannya tentu tidak, meskipun optimisme ini harus disertai dengan penilaian yang realistis mengenai waktu dan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan perubahan pada mekanisme kelembagaan lokal. Perubahan ini menuntut hilangnya perencanaan top-down, menuju hierarki administrasi yang lebih berkarakter horisontal melalui pendekatan bottom-up dalam sistem pemerintahan daerah. Perubahan seperti ini adalah suatu tantangan fundamental dalam pengembangan struktur sosio-politis pada semua level kelembagaan pemerintah daerah, jika memang desentralisasi akan identik dengan devolusi.

Devolusi, Pintu Partisipasi?

Pengelolaan sumber daya hutan sebagai common property menyebabkan perlunya resiko-resiko manajemen ditanggung bersama oleh seluruh kelompok pengguna. Dengan demikian partisipasi semua pihak adalah suatu keniscayaan, tanpa harus bersifat mekanis dan struktural. Pengembangan kelembagaan kehutanan dalam kerangka devolusi diharapkan akan mampu menjamin local accountability dan local government responsiveness secara lebih luas. Dalam kerangka devolusi, pemerintah daerah diharapkan mampu merangsang munculnya partisipasi dan peran seluruh kelompok pengguna hutan, bagi keberlanjutan sumber daya yang satu ini. Dillinger dalam Putra (1999) menyarankan tiga hal agar devolusi ini dapat berjalan dengan efektif, dalam meningkatkan kehidupan demokrasi yang partisipatif dan kontestatif.

Pertama, merumuskan secara lebih jelas fungsi dan tanggung jawab seluruh tingkatan pemerintahan, memberikan kewenangan kepada pemerintah lokal serta pengaturan pajak yang melewati fungsi yang dibebankan kepada mereka.

Kedua, memperbaharui pendapatan daerah, karena pemerintah lokal memerlukan otonomi keuangan dalam melakukan tanggung jawabnya.

Ketiga, keseimbangan regulasi pusat dan otonomi lokal, agar pengaturan secara nasional dapat dipertanggungjawabkan dan mekanisme manajerial pemerintahan lebih mantap.

Kriteria yang dapat dijadikan ukuran tentang keberhasilan pemerintah daerah merangsang kedua hal itu antara lain berkaitan dengan transparansi. Pada dasarnya semua tahap kegiatan dalam pengelolaan hutan harus dapat diikuti oleh semua orang, termasuk proses-proses pengambilan keputusan di tingkat pemda. Sementara itu akses informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas sebaiknya tersedia untuk diakses terutama yang berkaitan dengan kebijakan dan informasi program-program kehutanan. Faktor akuntabilitas (tanggung gugat sosial) mengharuskan dinas-dinas yang terlibat dalam pengelolaan dan implementasi manajemen kehutanan secara teratur dan sesuai prosedur menyampaikan pertanggungjawaban kepada publik. Pada sisi lain masyarakat sepatutnya dapat berpartisipasi dalam kegiatan kehutanan dengan sukarela, tanpa desakan dan paksaan ata sebaliknya karena tidak diberikan pilihan lain. Bagi efektivitas manajemen, ketercakupan (comprehensiveness) harus diusahakan dengan konsultasi kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menelaah masalah dan kesempatan yang ada sejak awal, sebelum akhirnya disepakati suatu sistem pengelolaan hutan tertentu. Masyarakat yang telah berpartisipasi dengan demikian tidak merasa berjarak dan terasing dari kegiatan pembangunan kehutanan, proses implementasi sistem manajemennya, serta untuk menikmati hasil-hasilnya.

Kesimpulan

  • * Tujuan utama dari perluasan desentralisasi kehutanan dilihat dari perspektif state-society relationship, adalah membuka akses yang lebih besar kepada civil society untuk berpartisipasi dan berkompetisi baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan setiap inisiatif pengelolaan sumber daya hutan.
  • * Perluasan otonomi kemungkinan besar akan membuka peluang semakin terkonsentrasinya kekuasaan di tangan local state actors, yakni para birokrat dan politisi di daerah. Oleh karena itu, desentralisasi kehutanan harus dilanjutkan ke arah terciptanya devolusi, suatu kondisi optimum dari desentralisasi—ketika kewenangan untuk mengelola sumber daya hutan diberikan kepada lembaga-lembaga masyarakat yang otonom, lembaga yang mampu menjamin keterwakilan dan merespon kebutuhan masyarakat.
  • * Dalam skema desentralisasi kehutanan, sangat penting untuk memahami perilaku elit lokal, karena implementasi pengelolaan nantinya jangan sampai lebih banyak diwarnai oleh tawar-menawar dan koalisi antara elit-elit lokal, dan aktor-aktor tertentu dalam masyarakat. Kebijaksanaan kehutanan bagaimanapun harus dicegah agar tidak lagi dipengaruhi oleh pemerintah pusat, tetapi pada tingkat implementasinya harus dicegah juga agar tidak banyak ditentukan oleh persepsi elit daerah, tujuan yang mereka rumuskan, dan cara-cara terbaik ‘versi mereka’ untuk meraih tujuan-tujuan tersebut.

————

  1. Endriga, Jose, 1996, Decentralization, Concept and Strategy for Local Development, University of   Philippines, Manila.
  2. Sampriti Julie Ganguli, Decentralization of Natural Resource Management; Opportunities and constraints to Reform, June, 1999 dalam Anonim, 2000
  3. Gerritsen dan Situmorang, 1997
  4. Asas subsidiarity: pembuatan keputusan (policy making) harus dilaksanakan di level atau tingkatan yang paling relevan dan paling dekat dengan lingkungan keputusan di mana kebijakan (policy) itu akan dilaksanakan.
  5. Gunawan Wiradi, Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta, KPA-Insist Press-Pustaka Pelajar, Naskah akan terbit, dalam Noer Fauzi dan Ifdhal Kasim (2000).
  6. Hobley, 1996
  7. ibid

DAFTAR RUJUKAN:
Anonim, 2000, Indonesia; Environment and Natural Resource Management in A Time of Transition, June, 30, 2000.

Ganguli, Sampriti, Julie, 1999, Decentralization of Natural Resource Management; Opportunities and constraints to Reform, June, 1999.

Gerritsen, Rolf and Saut Situmorang, 1997, Central-Local Relations in Indonesia, University of Canberra, Canberra.

Hobley, M., J.Y. Campbel dan A. Bathia, 1996, Community Forestry in India and Nepal: Learning from Each Other, International Centre for Intregated Mountain Development, Kathmandu, Nepal.

Smith, BC., 1985, Decentralization; The Territorial Dimension of the State, London, George Allen & Unwin.

Fauzi, Noer dan Ifdhal Kasim, 2000, Sengketa Agraria dan Agenda Penyelesaiannya, Makalah untuk Roundtable Discussion bertema Pembahasan RUU Pengelolaan SDA, kerjasama FH-UGM dan KMNLH, Yogyakarta, 16 September 2000.

Putra, Fadillah, 1999, Devolusi; Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara-Rakyat, Cetakan 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

One Comment, RSS

  • terimakasih…..maaf mau tanya yang tahapan proses perencanaan pengelolaan hutan yang terdiri dari tahap investigasi, negosiasi, implementasi dan evaluasi itu….penulis aslinya siapa ya…terimakasih

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*