Sebagai upaya mewujudkan tata kelola kehutanan yang baik (good forestry governance), khususnya dalam tata niaga kayu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK) telah menginisiasi kebijakan mengenai penilaian kinerja pengelolaan hutan dan verifikasi legalitas kayu sejak 2009 silam.
Melalui Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 dan peraturan-peraturan turunan terkait lainnya, pemerintah mengintroduksi Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai regulasi yang menetapkan sebuah standar yang harus dipenuhi (mandatory) oleh pelaku usaha di bidang kehutanan dari hulu produksi hingga hilir. Dengan beberapa perubahan, hingga terakhir muncul Permenhut No. P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja PHPL dan VLK pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Peraturan teknisnya dapat diperiksa pada Perdirjen BUK P.14 tahun 2014 (sebagaimana dirubah melalui P.1 tahun 2015).
Konsep dasar dari kebijakan SVLK sendiri adalah mengkondisikan pelaku usaha kehutanan sedemikian rupa, agar dalam proses produksi dan tata niaga mematuhi semua prasyarat kesesuaian bukti fisik dengan dokumen. Mulai dari pemeriksaan izin usaha pemanfaatan, tanda-tanda identitas pada kayu dan dokumen yang menyertai kayu dari proses penebangan, pengangkutan dari hutan ke tempat produksi kayu, serta proses pengolahan hingga proses pengepakan dan pengapalan. Di mana, untuk selanjutnya terhadap pelaku usaha yang bersangkutan maupun fisik obyek usaha yang dihasilkan akan mendapatkan atribut sertifikasi sebagai bukti, bahwa pelaku usaha menunjukkan kepatuhannya yang merupakan pondasi utama bagi terwujudnya tata kelola dan niaga kehutanan yang baik.
SVLK sebagai sebuah instrumen perbaikan tata kelola kehutanan, pada satu sisi sangat baik untuk memberikan tekanan perbaikan kepada industri kehutanan skala besar. Namun pada sisi lain, Lembaga ARuPA berpendapat bahwa SVLK bisa dijadikan instrumen penguatan dan promosi pada industri kehutanan skala kecil dan menengah. Oleh karena itu, sejak tahun 2011, Lembaga ARuPA melakukan pendampingan kepada pemilik hutan rakyat (hutan hak) dan Industri pengolah hasil hutan skala kecil atau sering disebut Industri Kecil Menengah (IKM).
Dengan kerja sama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dengan dukungan dari European Union (EU), kami mendampingi 3 (tiga) UMHR yang terletak di Bantul, Gunung Kidul, dan Boyolali; Sedangkan untuk IKM, kami mendampingi 8 (delapan) IKM yang tergabung dalam 2 (grup) yaitu Jogja Kayu Legal (JAKAL) dan Perkumpulan Kayu Nusantara (PKN).
Tahun ini, baik hutan rakyat dan IKM yang kami dampingi tersebut telah mendapatkan Sertifikat Legalitas Kayu. (Lihat tabel 1, tabel 2 dan tabel 3)
Tabel 1. Tiga Unit Manajemen Hutan Rakyat Bersertifikat Legal.
Nama Kelompok | Alamat | Jumlah Anggota (KK) | Skema Sertifikasi mandatory SVLK (luas Ha) | Skema Sertifikasi voluntary PHBML (luas Ha) |
APHR Ngudi Utomo | Boyolali Jawa Tengah | 759 | 374.82 | 374.82 |
APHR Sekar Wana MAnunggal | Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta | 1.248 | 826.18 | 527.49 |
UMHR Wono Lestari | Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta | 3.566 | 959.30 | 959.30 |
(Sumber: ARuPA, 2015)
Tabel 2. Grup Industri Kecil Menengah Kayu Bersertifikat Legal JAKAL.
Nama IKM | Alamat | Owner | Kluster |
CV Palemcraft | Kantor : Jl. KH ahmad Dahlan 8, RT/RW 09/03, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta | Deddy Effendy | Furniture dan Kerajinan |
CV Annacraft | Nogosari/Dk. Nogosari RT 07, Trirenggo, Bantul, Bantul | Theofilus Hartono | Furniture, handycraft dan kerajinan dari rotan |
CV Nebula Craftwork | Jl.Imogiri Barat km6.5,no.200 Ngotho, Sewon, Bantul | Neri Novita | Furniture dan Kerajinan |
(Sumber: ARuPA, 2015)
Tabel 3. Grup Industri Kecil Menengah Kayu Bersertifikat Legal PKN.
Nama IKM | Alamat | Owner | Kluster |
CV Natural House | Tirtonirmolo, Kasihan Bantul | Siswati | Handycraft, Furniture besi + kayu |
CV Benya | Bangunjiwo, Kasihan Bantul | Adnan | Furniture kayu mix logam |
CV Jogjatok | Mrisi RT 10 Tirtonirmolo Kasihan Bantul | Rahman Lufi Satoto (Atok) | Furnicraft |
CV Nafarrel | Ngentak RT 01, Timbulharjo Sewon Bantul | Jayadi | Furniture & Handicraft dari Logam, kayu & Kulit |
CV Enclave (Industri Classica Variasi) | Jl. Bantul Km 5.6 Sawit RT 01 Desa Panggungharjo Kec. Sewon Bantul | Dian | Furniture dan handicraft mix dengan kulit |
(Sumber: ARuPA, 2015)
Dalam rantai pasokan kayu industri kehutanan di Jawa, peran hutan rakyat sangat penting dan besar. Namun sayangnya, posisi tawar pemilik kayu rakyat masih rendah karena kemampuan budidaya tidak dibarengi dengan kemampuan berbisnis kayu.
Pada konteks inilah, SVLK menjadi alat bagi pemberdayaan petani hutan rakyat untuk mampu merencanakan bisnis kayu komunitas.
Sejauh ini, dengan kelembagaan yang solid dan diperolehnya sertifikat Legalitas Kayu, kelompok hutan rakyat sedang menyiapkan rencana bisnis kayu komunitas dengan mendirikan warung kayu serta menyusun business plan.
Sedangkan untuk persoalan utama dalam IKM adalah tentang persaingan usaha. Sertifikasi Legalitas Kayu dalam konteks IKM, bermuara pada dua tujuan, yakni memperkuat posisi saing dalam perdagangan, khususnya dalam menggaet pembeli dari luar negeri khususnya Eropa dalam konteks FLEGT-VPA. Kedua, perbaikan tata usaha kayu dalam proses produksi barang yang mereka jual.
Perbaikan ini mulai dari tata usaha kayu dari hutan, penampungan log, pengolahan primer (penggergajian), pemproduksi setengah jadi (supplayer) hingga produk jadi. Dari 8 IKM tersebut, karena keterbatasan biaya untuk menyiapkan dan mengurus SVLK, maka mereka mempersatukan diri dalam 2 kelompok yaitu JAKAL dan PKN.
Upaya Menghubungkan Hutan Rakyat dan IKM
Pada dua aktor industri kehutanan skala kecil tersebut (yaitu hutan rakyat dan IKM), ke depan Lembaga ARuPA akan mengupayakan jaringan pasar antara kelompok hutan rakyat yang telah bersertifikat Legal dan Lestari dengan IKM yang bersertifikat Legal.
Tentu saja, sebelum menjembatani proses tersebut, kami harus memastikan keduanya berada pada frekuensi yang sama, yaitu sama-sama memiliki itikad baik untuk mengembangkan produk hasil hutan, baik itu furniture maupun handicraft yang legal dan ramah lingkungan.
Di titik ini, kesiapan kelompok hutan rakyat untuk berbisnis juga perlu dibenahi dengan menyegerakan peningkatan kapasitas dalam negosiasi perdagangan dan juga perencanaan bisnis komunitas.
Upaya jelajah kerjasama antara hutan rakyat dan IKM akan dilalui lewat serangkaian temu bisnis untuk mendapatkan pemahaman dari kedua belah pihak atas prinsip fair trade, kesesuaian kebutuhan dan pasokan. Dan bila kedua aktor “kecil” ini telah bersatu dan bekerjasama, maka pekerjaan rumah selanjutnya adalah menemukan pasar ekspor yang berada pada frekuensi sama yaitu mengutamakan legalitas dan kelestarian lingkungan. Tentu saja, kualitas produk furniture dan handicraft menjadi prakondisi atas ke semuanya itu.
Tantangan bagi “yang kecil” sebenarnya adalah intervensi pemerintah untuk memberikan tidak hanya dukungan dan bimbingan, tetapi juga perlindungan atas keberlanjutan usaha. Salah satu wujud dari perlindungan pemerintah salah satunya yaitu setidaknya kebijakan procurement atau pengadaan barang dan jasa yang dapat seoptimal mungkin menyerap produk kayu legal dan lestari yang telah diupayakan oleh “yang kecil” tadi.
Agus Budi Purwanto, Direktur Eksekutif Lembaga ARuPA