(Sebuah Catatan bagi Proses Belajar Bersama Masyarakat Tepian Hutan)
People first, and sustainable forestry will follow (DENR, Manila)
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, konflik penge lolaan sumber daya alam demikian marak dibicarakan, dan menjadi perhatian publik. Hampir setiap hari kita membaca ataupun menyaksi kan paparan informasi tentang terjadinya berbagai bentuk konflik seperti: pengusiran warga masyarakat oleh aparat, pendudukan lahan, peneba-ngan illegal pohon-pohon di hutan, penambangan tanpa ijin, perusakan sarana prasarana perusahaan, pengka plingan wilayah perairan secara liar, hingga penang kapan-penangkapan masyara kat awam maupun tokoh publik yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Konflik yang berhubungan dengan penngelolaan sumber daya hutan (SDH) misalnya, dalam banyak hal ternyata diidentikkan dengan terjadinya penjarahan hutan, suatu istilah yang sebenarnya merupakan bentuk lain dari adanya stigmatisasi terhadap masyarakat desa hutan. Kenapa demikian? Sudah jamak bahwa penjarahan hutan sebagai sebuah frase predikatif, mengandung penunjukan subyek pelaku, dan-sialnya ini yang selalu terjadi-subyek tersebut adalah masyarakat desa hutan. Artinya istilah ‘penjarahan hutan’ kemudian sama artinya dengan istilah penjarahan hutan (oleh masyarakat desa hutan).
Banyak pihak (termasuk NGO) mencoba meluruskan terjadinya deteriorasi yang demikian. Mereka menginisiasikan berbagai metode advokasi (dan riset), yang menunjukkan bahwa dalam fenomena penjarahan hutan, sangat mungkin masyarakat hanyalah meru- pakan kambing hitam. Banyak kasus menunjukkan bahwa mereka hanyalah obyek pelaku, dan tentu saja terdapat banyak pihak lain yang patut disebut subyek utama. (Salah satunya adalah studi ARuPA bertitel: Penjarahan Hutan; Fenomena Gunung Es di Tengah Lautan Reformasi Kehutanan Indonesia, 1999, Belum diterbitkan.)Tanpa harus melihat lebih jauh terhadap proses-proses pembelaan posisi masyarakat tersebut, sepatutnya bahasan secara khusus diberikan kepada persoalan latar belakang terjadinya penjarahan hutan.
Salah satunya persoalan besar yang mendasari terjadinya konflik pengelolaan SDH adalah terjadinya kesenjangan yang luar biasa antara pihak pengelola hutan (peme rintah, pengusaha, BUMN, dan BUMS) dengan masyarakat, khususnya mereka yang hidup dan menetap di dalam dan di sekitar hutan (untuk selanjutnya ditulis sebagai masyarakat desa hutan-MDH). Dengan demikian, setiap inisiatif penyelesaian konflik kehutanan, hanya akan berjalan dengan baik apabila terdapat kesetaraan posisi antara MDH dan pihak pengelola. Banyak literatur menyebutkan proses penye lesaian konflik yang menda sarkan pada berlangsung nya proses-proses penguatan MDH menuju kesetaraan antar pihak ini, sebagai Community Based Conflict Management (CBCM), atau Manajemen Konflik Berbasis Masyarakat.
KETERBATASAN SUMBER DAYA
Hutan Indonesia merupakan immense common resources atau suatu sistem sumber daya dengan kepemilikan bersa ma yang sangat luas; sementara pemerintah menerapkan jurisdiksi dan kewenangan sepenuhnya atas kawasan hutan. (Zerner, Charles, 1990, Legal Opinion for the Indonesian Forestry Sector, Forestry Studies, Field Document No. IV-4, FAO, United Nations). Kenyataannya, hutan Indonesia mengandung beranekaragam hak pengua saan (dan pemanfaatan) yang melibatkan banyak pihak, mulai dari perusahaan besar sampai para peladang berpindah dan para penambang tradisional. (Barber, CV., & Nels C. Johnson, & Emmy H., 1994, Barber, Charles, V., & Nels C. Johnson, & Emmy Hafild, 1994, Breaking the Logjam; Obstacles to Forest Policy Reform in Indonesia & The United States, WRI, Washington D.C., USA. halaman 13-22).
Fenomena itu kemudian menjadikan hutan bersifat open acces, karena tidak ada satu pihakpun yang memiliki kepastian hak yang dapat menjadi insentif bagi pengelolaan hutan secara lestari, dalam manajemen jangka panjang. Tidak ada pula yang mampu mengem bangkan praktek-praktek agar berlangsung sistem kontrol terhadap faktor-faktor dari luar, terutama di areal yang terpisah atau saling berjauhan. Hutan adalah sumber daya yang sangat bernilai dan karenanya pengaturan terhadap SDH selalu mengundang permasalahan, manakala ketergantungan dan hak-hak masyarakat desa hutan untuk membuat keputusan terhadap pemanfaatan SDH, tidak mendapatkan ruang yang memadai. (Barber, CV., & Nels C. Johnson, & Emmy H., 1994, Barber, Charles, V., & Nels C. Johnson, & Emmy Hafild, 1998, A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource Projects in the South Pacific; Context, Principles, Tools, and Training Materials, Overseas Development Institue, Portland House, London, June, 1998.)(Lihat Box 1)
Box 1
Konflik Pengelolaan SDH yang Sering Muncul danMempengaruhi Keberhasilan Program Pembangunan Hutan Konflik pertanahan
B. Konflik pendapatan (income) 1. harapan peningkatan income tidak realistis keuntungan dalam pengembangan usaha
3. konflik yang ditimbulkan oleh adanya kecemburuan sehubungan dengan peningkatan kesejahteraan yang tidak sama c. Konflik kultural dan hubungan antar manusia 1. kurangnya kerjasama antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda
2. konflik kulutural antara kelompok masyarakat dengan ‘orang luar’ 3. perselisihan manajemen program antara kelompok masyarakat dengan ‘orang luar’ pendukung program
4. konflik yang timbul akibat penyimpangan politis (nasional, profinsi, atau lokal)
5. konflik laten antara keluarga dan hubungan antar manusia 6. konflik yang timbul dari harapan yang berbeda antara kelompok masyarakat (misalnya para pemilik lahan) dan aspirasi perusahaan-
perusahaan komersial. d. Konflik mengenai sumber daya 1. introduksi teknologi pengelolaan SDH yang baru (misal: chainsaws,
kendaraan bermotor, senjata, sawmills, dan sebagainya) akan
menimbulkan kompetisi yang mengancam keberlanjutan SDH yang
memang sangat terbatas (misalnya: hidupan liar, stok ikan, kayu, NTFP,
dan lain-lain)
2. dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh sekelompok pengguna sumber daya akan menimbulkan pengaruh buruk bagi kelompok lain
(dampak muncul baik dari kelompok masyarakat maupun perusahaan
komersial)
3. konflik yang timbul dari eksploitasi SDH yang buruk dalam perencanaan, misalnya akibat penggunaan jalan sehubungan dengan pelaksanaan
program
4. konflik karena program berhadapan dengan kelompok pemilik tanah yang telah memiliki SDH dengan kualitas yang lebih tinggi.
|
Jika kita mengembalikan pengertian SDH sebagai suatu common pool resources (CPR), yang kemudian memberikan implikasi perlunya banyak pihak (yang biasa disebut sebagai user group) mengadakan kesepa katan-kesepakatan secara terbuka terhadap sistem pamanfaatannya; maka argumentasi bahwa pengelo laan SDH mutlak memerlu kan kesetaraan segera muncul. Bagaimanapun hutan memiliki keterbatasan, dalam arti kuantitas hasil dan distribusinya, sehingga para user group memerlukan suatu pembatasan-pembatasan dalam mengambil manfaat sumber daya yang satu ini.
PENGAKUAN PERAN MDH
Pada proses memba- ngun aturan-aturan sebagai bentuk kesepakatan antar pihak tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat suatu keniscayaan adanya satu, atau beberapa pihak (dan biasanya mereka adalah MDH), yang kebetulan berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Dalam konteks penyelesaian konflik, ketidaksetaraan power di dalam masyarakat sendiri, dan antara masyarakat dengan pihak-pihak lain, mencirikan adanya suatu variasi konflik pengelolaan hutan yang cukup besar. Dukungan formal yang terbatas terhadap pihak-pihak yang lemah, akan mempengaruhi bentuk konflik-apakah konflik bersifat terbuka atau laten; dan akhirnya mempengaruhi pula proses penyelesaian konfliknya. Sebaliknya, dukungan yang luas bagi peran MDH akan menghasilkan sesuatu yang produktif, dan hal yang demikian pasti akan kembali kepada keberlanjutan pemanfaatan SDH dalam jangka panjang (Lihat Box 2).
Box 2.Di beberapa desa di Gujarat, India, SIPFGs (Self Initiated Forest Protection Groups) berhasil membuat kesepakatan informal dengan jagawana (forest ranger) yang didasari pengakuan kontribusi warga desa terhadap kelestarian hutan. Sebagaimana diungkapkan salah satu tokoh masyarakat, mereka memahami bahwa jagawana harus menjalankan tugasnya dan tidak mungkin mengawasi pencurian kayu sepenuhnya. Pada saat yang sama jagawana juga harus menyadari pentingnya kerjasama dengan warga desa sekitar. Kesepakatan yang mereka buat menyatakan bahwa setiap kali warga desa memerlukan kayu untuk pembangunan rumah, warga akan memberitahu jagawana pada saat pembangunan rumah dimulai. Pada saat rumah tersebut selesai dibangun, jagawana tersebut diundang untuk menghitung jumlah kayu yang digunakan dan mengkalkulasi denda yang harus dibayar warga. Pada gilirannya, jagawana memberikan diskon 50% dengan hanya mencatatkan 50% kayu yang dipergunakan dalam laporannya. Ini adalah contoh pengakuan atas sumbangsih warga desa pada kelestarian hutan. |
Pendekatan penyele- saian konflik alternatif hanya akan berkembang, selama diterapkan dalam situasi yang melibatkan banyak pihak (khususnya MDH), dengan berbagai kepentingan dan posisi yang berbeda. Pengenalan kembali kepentingan dan posisi para pihak amat diperlukan, mengingat dalam perkembangan selama ini kedua aspek tersebut berada dalam situasi yang amat fluktuatif, terutama yang berhubungan dengan kepastian akses MDH terhadap hutan yang kurang stabil. Arti penting negosiasi dalam penyelesaian konflik alternatif adalah untuk menjamin adanya representasi secara akurat, serta pengakuan penuh terhadap posisi dan kepentingan-kepentingan MDH dan keterlibatan mereka penyelesaian dalam konflik yang muncul.
Negosiasi (internal) merupakan hal yang krusial pula dalam menimbulkan kembali budaya-budaya dan sistem kelembagaan dalam pengelolaan hutan oleh MDH. Bagaimanapun harus disadari bahwa setelah sekian lama masyarakat terpinggirkan dari sistem kehutanan secara luas, maka mekanisme-mekanisme kelembagaan lokal yang seharusnya menjadi tradisii mereka dari waktu-ke waktu perlahan-lahan telah mulai menghilang. Secara nyata terlihat bahwa proses penyelesaian konflik alternatif dalam pengelolaan SDH harus mendasarkan diri pada kian menguatnya posisi, keberadaan, dan peran MDH. Masyarakat desa hutan yang telah sekian lama terkungkung dalam ‘monointerpretasi’ bentuk-bentuk pengelolaan hutan oleh pemerintah, sangat diperlukan untuk kembali menimbulkan institusi kehutanannya yang pernah hilang, atau tertekan. Dalam banyak hal, beberapa MDH yang masih menjunjung tinggi proses-proses itu sangat signifikan untuk berperan sebagai salah satu referensi yang potensial.
SIKLUS YANG BERKELANJUTAN
Untuk menggagas penguatan MDH dalam mengefektifkan inisiatif-inisiatif penyelesaian konflik alternatif, diperlukan suatu tahapan proses penguatan yang bersifat siklis. Beberapa langkah dapat dijelaskan dalam bagan berikut:
Tahap investigasi mencakup pelaporan bersama MDH, pengumpulan data dan identifikasi seluruh pengguna (user groups), serta pengenalan terhadap sistem pengelolaan yang sudah ada. Pada prakteknya proses pelaporan bersama penduduk desa dapat dilakukan dengan mengoptimalkan beberapa Participatory Tools seperti PRA atau PAR; dan dapat dilengkapi dengan pendekatan riset-riset kuantitatif. Hasil investigasi sangat perlu untuk disosialisasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, baik dalam pertemuan kelompok MDH maupun diskusi-diskusi awal dengan lembaga pengelola. Banyak kalangan menggarisbawahi bahwa proses identifikasi user group seyogyanya didasarkan kepada kondisi aktual mereka di lahan hutan, dan bukan kepada batas-batas administratif belaka, namun hal ini tidaklah bersifat rigid, dan tetap menyesuaikan sepenuhnya dengan situasi masyarakat dan kondisi SDH yang dijumpai.
Pelaksanaan tahap negosiasi mencakup pencapaian konsensus, dimana hasil konsensus tidak hanya berhubungan dengan pihak-pihak di luar MDH tetapi juga bentuk-bentuk konsensus lainnya dalam pembentukan kelembagaan pengguna hutan. Negosiasi dilakukan untuk menuju kesepakatan mengenai vara-cara mengelola hutan, yang dilanjutkan dengan penulisan draft rencana operasional dengan atau tanpa dibantu oleh staf lembaga pemerintah.
Tahap implementasi mencakup pelaksanaan pengelolaan hutan sesuai rencana operasional yang telah disusun oleh lembaga pengguna hutan, dengan pemantauan, dukungan, dan pemberdayaan kegiatan oleh staf lembaga pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan konsensus yang telah disepakati akan diuji dalam tahap ini, artinya manakala konsensus dapat ditaati secara aplikatif oleh semua pihak maka hutan dapat diselamatkan. Sebaliknya ketika kesepakatan itu dalam pelaksanaannya akhirnya hanya berlaku sepihak, besar kemungkinan pihak lainnya akan melanggarnya, dan akibatnya hutan menjadi rusak kembali. Tahap evaluasi mencakup penilaian dan negosiasi ulang untuk memodifikasi kesepakatan pengelolaan. Hasil evaluasi bukanlah akhir segalanya, namun lebih berfungsi sebagai sarana dan argumentasi yang lebih mendasar bagi MDH agar mampu memperbaiki sistem manajemen hutan mereka secara berkelanjutan.
Dalam keempat tahap ini terdapat banyak sekali kelonggaran yang memungkinkan munculnya improvisasi dan implementasi yang sesuai dengan situasi setempat. Masalah justru akan muncul jika dalam pelaksanaan masing-masing atau seluruh tahap itu disertai dengan tuntutan adanya kepatuhan mutlak dan kaku pada serangkaian petunjuk baku. Terdapat kecenderungan bahwa belum tentu apa yang disusun sebagai petunjuk baku itu kemudian sesuai dengan tuntutan kondisi setempat. Masalah seperti ini banyak terjadi di tingkat pengambilan kebijakan ketika aturan bersifat mekanistik dan baku mengenai implementasi pengelolaan hutan. Pada akhirnya, proses penyelesaian konflik memerlukan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan di masing-masing lokasi yang lebih tanggap terhadap kondisi setempat.
SIMPULAN
Bagaimanapun pemanfaatan sumber daya hutan adalah suatu bentuk pemanfaatan yang bersifat jangka panjang, dengan demikian proses-proses penyelesaian konflik seyogyanya tetap didasarkan pada kepentingan-kepentingan jangka panjang secara menyeluruh. Hutan dan masyarakat berada pada tataran hubungan yang sangat intaraktif, sehingga proses perubahan sosial yang berlangsung di dalam masyarakat; secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan. Inisiatif penyelesaian konflik pengelolaan hutan tidak dapat berlangsung secara terpisah dengan proses penguatan MDH, mengingat tahapannya yang bersifat siklis.
Pada sisi lain, konflik pengelolaan hutan justru muncul dari karakter sumber daya hutan itu sendiri yang acapkali berfluktuasi dalam ruang-ruang interaksi yang bersifat open acces. Terbangunnya kesepakatan antar pihak yang amat diperlukan dalam melakukan pembatasan-pembatasan pemanfaatan hutan, akan dapat berjalan dengan baik selama konsensus tersebut diadopsi dalam kerangka institusional secara luas. Pada akhirnya institusi kebijakan maupun penguatan kelembagaan masyarakat yang dicoba dikembangkan -sebagai bagian tidak terpisahkan dari proses-proses penyelesaian konflik pengelolaan hutan- harus bersifat local spesific, dan lebih peka terhadap situasi dan kondisi setempat dimana hutan dan masyarakat tersebut berada dan saling berinteraksi.
Yogyakarta, Mei 2000