Oleh: Totok Dwi Diantoro
Wacana Judicial Review selama ini – oleh sistem kita – hanya dipahami sekedar hak uji materiil terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang bertentangan secara hierarkis satu-sama lain (PERMA No. 1 tahun 1993). Akan tetapi secara substansial bahwa peraturan perundang-undangan tersebut –secara mandiri- tidak akomodatif serta jauh dari rasa adil dan demokratis belum juga tersentuh oleh hak uji materiil.
Rancangan Peraturan Pemerintah dalam bidang Kehutanan saat ini sedang dibahas secara serius oleh instansi sektoral, dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Informasi terbaru yang diterima oleh Litbang ARuPA, setidaknya sudah ada delapan legal drafting Rancangan Peraturan Pemerintah bidang kehutanan baru, sudah jadi dan siap diundangkan. Legal drafting RPP tersebut antara lain meliputi :
- RPP tentang Hutan Adat
- RPP tentang Peranserta Masyarakat Dalam Pembangunan Kehutanan
- RPP tentang Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan
- RPP tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
- RPP tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
- RPP tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
- RPP tentang Hutan Kota
- RPP tentang Perencanaan Hutan.
Draf jadi Rancangan peraturan Pemerintah tersebut disusun guna memenuhi tuntutan pengaturan lebih lanjut, dimana telah didelegasikan oleh beberapa pasal (17 pasal) dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang menentukan peraturan pelaksanannya dalam Peraturan Pemerintah. Terlepas dari pro dan kontra keberadaan UUK No.41 tahun 1999 yang menggantikan UU No. 5 tahun 1967 apakah telah demokratis, aspiratif-akomodatif mengadopsi hak-hak dan kepentingan rakyat, pada kenyataannya UU tersebut telah diundangkan (Lembaran Negara RI tahun 1999 No.167 tanggal 30 september 1999) sehingga membawa konsekuensi berlaku mengikat.
Oleh karena itu agenda selanjutnya adalah segera dibuatnya peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah. Mengingat bahwa proses pembuatan suatu suatu Peraturan Pemerintah sepenuhnya adalah otoritas instansi sektoral yang bersangkutan (eksekutif), maka tidak mustahil Peraturan Pemerintah tersebut nantinya tendensius berpihak pada kepentingan pembuatnya.Peraturan perundang-undangan yang lahir dari ambisi dan delegasi kewenangan (untuk mengatur lebih lanjut suatu peraturan perundangan dengan peraturan yang lebih rendah) tidak jarang merupakan pandangan dan kehendak sepihak dari pembuatnya yang konsistensinya dengan peraturan yang menjadi dasarnya sering sekali dipersoalkan (kecenderungan untuk menyimpang dari peraturan yang lebih tinggi dapat diselesaikan melaui judicial review ). Tanpa bermaksud apiori, hal itu mungkin sekali terjadi dikarenakan oleh tidak adanya ruang dan kesempatan bagi kontrol publik yang cukup berarti. Berbeda halnya dengan proses pembuatan dan penyusunan Undang-Undang. Dalam proses pembuatan dan penyusunan Udang-Undang, kontrol publik dilembagakan dalam perwakilan di parlemen, walaupun kontrol publik dalam lembaga perwalkilan tersebut sendiri masih debateble akseptabilitasnya.
Beranjak dari hal itu, tidak salah jika kemudian dikembalikan pada itikad baik eksekutif sebagai institusi perumus produk kebijakan tersebut. Namun tidak keliru dan tidak berlebihan juga kiranya kalau kemudian kemungkinan tetap ada peluang kritik dan koreksi untuk digunakan.
Fenomena distorsi dalam suatu peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah adalah bukan hal baru lagi. Distorsi pengaturan lebih lanjut boleh jadi merupakan usaha pemlintiran bahasa terjemahan dalam Peraturan Pemerintah maupun interpretasi dalam contens/materi peraturan pelaksanaan yang bersangkutan. Sering sekali (kalau tidak selalu) di dalam Udang-Undang sudah mengatur secara bagus dan ideal, tetapi kemudian mengalami disfungsii dalam pelaksanaannya. Bukan saja karena tidak segera keluar peraturan pelaksanaanya, tetapi juga karena peraturan pelaksanaan tersebut malah mereduksi peran Undang-Undang itu sendiri. Akan tetapi di sisi lain tidak tertutup kemungkinan ada juga Peraturan Pemerintah yang bagus dan ideall yang bisa mendukung peran berlakunya suatu Undang-Undang yang materinya secara teknis teoritis-normatif tidak baik.
Suatu peraturan perundang-undangan idealnya harus memenuhi tiga unsur sebagai parameter guna mempunyai kekuatan berlaku. Ketiga unsur tersebut: harus mempunyai kekuatan berlaku yuridis, sosiologis dan filosofis sekaligus (Mertokusumo, 75: 1991).
Pertama, kekuatan berlaku yuridis (juristsche geltung), peraturan perundang-undangan mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal (meliputi proses) terbentuknya perundangan tersebut terpenuhi. Di samping itu hirarki tata urutan peraturan perundangan tersebut juga diperhatikan.
Kedua, kekuatan berlaku sosiologis (soziologische geltung), yaitu intinya adalah efektivitas atau guna kaedah hukum di dalam kehidupan bersama. Yang dimaksudkan ialah, bahwa berlakunya atau diterimanya hukum di dalam masyarakat itu, terlepas dari kenyataan apakah peraturan hukum itu terbentuk menurut persyaratan formal atau tidak. Jadi berlakunya peraturan perundangan merupakan kenyataan di dalam masyarakat. Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat ini sendiri ada dua macam:
- Menurut teori kekuatan (Machtstheorie), hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
- Menurut teori pengakuan (Anerkennungstheorie), hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat. Teori yang terakhir tersebut adalah kekuatan berlaku sosiologis yang ideal.
Ketiga,kekuatan berlaku filosofis (filosofische geltung), peraturan perundangan mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi. Selain itu adalah latar belakang/dasar pemikiran yang memberikan alasan yang memberikan pandangan hendak dibawa kemanakah (:tujuan normatif) peraturan perundang-undangan tersebut. Jadi idealnya ketiga unsur tersebut harus terpenuhi secara komulatif.
Sekilas mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat
Dalam mengkritisi rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat, khususnya dari segi contents/materi draf jadi yang dibuat oleh Departement Kehutanan dan Perkebunan terdapat beberapa ketentuan yang patut diberi catatan dan koreksi. Secara heirarkhis rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat ini merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yatiu Pasal 5 dan Pasal 67 yang memang secara eksplisit mendelegasikan untuk adanya peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah.
Dari sisi disiplin susunan legal drafting RPP tentang Hutan Adat ini bisa dikatakan telah terpenuhi. Antara lain yaitu, dalam hal Pembukaan, Penamaan, Isi dan Penutup secara redaksional telah terpenuhi semua, mengingat hal tersebut memang sudah baku. Bagian Isi peraturan perundangan itu sendiri meliputi: Ketentuan Umum, Materi Yang Bersangkutan, Sanksi/Ketentuan Pidana dan Ketentuan Peralihan. Kajian kritis contens RPP tentang Hutan Adat tersebut, antara lain:
- Bagian Pembukaan/konsideran, pada bagian ini meliputi; ketentuan menimbang dan mengingat. Pada ketentuan menimbang yang merupakan konstatasi latar belakang keberadaan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu rancangan Peraturan Pemerintah tersebut terdapat kalimat yang pada substansinya merupakan bentuk deklarasi kooptasi negara terhadap penguasaan sumber daya hutan. Kalimat tersebut ada pada huruf a. yang berbunyi,” …merupakan kekayaan yang dikuasakan kepada Negara…” Kalimat ini hanya akan memperlihatkan bahwa pemberian pengelolaan Hutan Adat kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemenscaap) masih setengah hati. Tidak memperlihatkan itikad negara untuk mengakui dan mengembalikan hak hutan adat yang telah dinegaraisasi kepada masyarakat hukum adat. Pada ketentuan mengingat, peraturan-peraturan yang yang lebih tinggi yang mendasari rancangan Peraturan Pemerintah tersebut telah terpenuhi
- Bagian Penamaan, tidak terdapat permasalahan yang cukup berarti dengan judul/ nama rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat. Tetapi lebih sepakat jika menggunakan nama Hutan Ulayat.
- Bagian Isi, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 butir (10) terdapat kalimat,” Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah” . Agar lebih menekankan pada pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat tersebut ada baiknya jika dalam definisi tersebut ditambah menjadi sebagai berikut,” Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat dalam satu kesatuan hukum adat yang diakui keberadaannya dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Dalam bagian Materi Yang Bersangkutan pada Pasal 2 perlu ditambah klausul yang merupakan tujuan utama yang berbunyi,” Tujuan Pemberian dan atau Pengembalian Pengelolaan Hutan Adat kepada Masyarakat Hukum Adat adalah memberi dan menjamin perlindungan sepenuhnya hak mengelola kawasan hutan adat oleh Masyarakat Hutan Adat”. Hal itu sangat perlu mengingat dalam Peraturan Pemerintah tersebut harus jelas bahwa tujuan kebijakan ini adalah pemberian hak pengelolaan kawasan hutan kepada Masyarakat Hukum Adat. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan mengenai kriteria keberadaan masyarakat hukum adat. Hal itu sebenarnya merupakan pengulangan dari penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUK, seyogyanya tidak perlu lagi diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah. Tetapi langsung saja ditetapkan menurut Peraturan Daerah. Pasal 7 huruf d. mengenai kewajiban masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya wajib untuk,” Sesuai tahapan pemanfaatan Hutan Adat, membayar pajak bumi dan bangunan atas lahan hutan adat” . Ada baiknya pemuatan ketentuan tersebut dihilangkan. Hal itu mengingat penetapan pajak bumi dan bangunan atas lahan hutan adat logikanya tidak berdasar. Pasal 10 ayat (3) tertulis ,” Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Adat disahkan oleh Menteri”. Tawaran revisinya adalah disahkan oleh pemerintah daerah dengan diketahui oleh Menteri. Sehingga Menteri sekedar berperan sebagai pejabat yang bersifat konsultatif saja. Ketentuan Sanksi pada Pasal 15 ayat (1) yang menyebutkan ,“Pelanggaran atas ketentuan Pasal 7 dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, hal ini perlu lebih dielaborasi lagi mengingat Pasal 7 merujuk kewajiban masyarakat hukum adat sebagai sebuah institusi, bukan personal. Bagaimana mekanisme penjatuhan sanksi “sesuai dengan ketentuan yang berlaku” terhadap kapasitas sebagai sebuah institusi. Dalam Pasal 18 mengenai Ketentuan Peralihan sudah terpenuhi, yaitu,” Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka peraturan lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan hutan adat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini”
- Bagian Penutup, yaitu pasal terakhir Pasal 19 sudah terpenuhi,” Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia”.
Yang juga tidak kalah penting, agenda selanjutnya adalah penjelasan rancangan Peraturan Pemerintah tersebut menjadi lebih detail dan jelas dalam Penjelasan guna meminimalisir potensi multiinterpretasi.
Polemik Judicial Review suatu Peraturan Pemerintah
Obyek ilmu hukum adalah hukum yang terutama terdiri dari kumpulan peraturan-peraturan hukum yang tampaknya bercampur aduk dan sepertinya merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan setiap tahunnya. (Mertokusumo, 102: 1991). Ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau “mass rules”, tetapi melihatnya sebagai suatu “stuctured whole” atau sistem. Hukum itu sendiri bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Arti pentingnya suatu peraturan hukum adalah karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain. Hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.
Di dalam kesatuan itu tidak dikehendaki adanya konflik, pertentangan atau kontradiksi antar bagian-bagian.
Secara teoritis kondisi idealnya memang seperti apa yang telah diuraikan di atas. Namun dalam kenyataannya konflik, pertentangan ataupun kontradiksi antara satu peraturan perundang-undangan dengan yang lain sering sekali terjadi dan banyak dijumpai. Bahkan materi pasal-pasal dalam satu peraturan perundang-undanganpun kadang terjadi kontradiksi dan bertentangan satu sama lain. Walaupun dalam sistem hukum sendiri secara teoritis terdapat mekanisme-mekanisme penyelesaian melalui asas-asas umum sebagai jalan keluar, namun dalam prakteknya hal tersebut sulit untuk dioperasionalkan.
Asas-asas tersebut seperti: peraturan yang lebih tinggi tingkatannya secara heirarkhis mengalahkan berlakunya atas peraturan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi inferiori), peraturan yang mengatur lebih khusus/spesifik mengenyampingkan berlakunya peraturan yang mengatur bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis) dan peraturan yang lebih baru keberadaannya mengenyampingkan berlakunya peraturan terdahulu dalam hal mengatur materi yang sama (lex posteriori derogat legi priori). Secara prinsip jika itu terjadi maka peraturan yang bersifat inferiori, generalis dan priori tersebut harus dinyatakan batal demi hukum (neiteg). Permasalahannya kemudian bagaimana mekanisme operasional penyelesaiannya jika ternyata terjadi kontradiksi/pertentangan materi peraturan yang satu dengan yang lain atau materi peraturan itu jauh dari rasa adil dan demokratis sehingga perlu digugat.
Sebagai contoh, misalnya suatu peraturan perundangan berupa Peraturan Pemerintah bertentangan dengan peraturan perundangan tingkat atasnya berupa Undang-Undang sebagai peraturan rujukannya. Atau suatu Peraturan Pemerintah materi pasal-pasalnya tidak adil, tidak demokratis, tendensius terhadap kepentingan-kepentingan tertentu dan tidak berpihak kepada rakyat. Penyelesaiannya tentu saja adalah menguji hal itu dengan melembagakan ke dalam suatu kewenangan untuk mengujinya. Kemudian institusi apa yang mempunyai kewenangan untuk menguji?
Hak menguji secara materiil (judicial review) di Indonesia hanya dikenal terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Yaitu kewenangan untuk menyatakan tidak sah suatu peraturan perundangan (tingkat Peraturan Pemerintah ke bawah) karena isinya bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Sementara untuk tingkat Undang-Undang tidak tersentuh sama sekali (bagaimana dengan Undang-Undang yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat).
Sampai saat ini hak seperti itu menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku di Indonesia dimiliki oleh Mahkamah Agung dengan batas-batas tertentu yang menyebabkan tidak dapat dioperasionalkan (Mahfud, 368: 1999). Mekanisme judicial review belum bisa dilakukan untuk menyelesaikan fenomena semacam Peraturan Pemerintah karena belum ada perangkat aturan yang dapat dioperasionalkan untuk itu. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1993 yang dikeluarkan untuk membuka jalan bagi adanya judicial review masih mengandung kekacauan teoritis sehingga tidak dapat dioperasionalkan (Mahfud, 151: 1999). Persoalan-persoalan yang menghalangi dapat dilaksanakannya judicial review itu sebagai berikut:
- Menurut PERMA No. 1 tahun 1993, judicial review dapat dilakukan melalui gugatan (berperkara melalui pengadilan di tingkat bawah) atau melalui permohonan ( meminta Mahkamah Agung melakukan penilaian)
- Persoalannya siapakah yang dapat melakukan/mengajukan gugatan/permohonan tersebut? Perseorangan, badan hukum privat ataukah badan hukum publik?
- Jika jawabannya perseorangan atau badan hukum privat, apakah legalitasnya sehingga seseorang atau badan hukum privat menggugat peraturan yang berlaku untuk umum? Siapa yang memberi mandat sehingga dia bertindak atas nama kepentingan umum? Bagaimana jika ada perseorangan/badan hukum privat lain yang justru minta agar peraturan yang dipersoalkan itu tidak dijadikan obyek judicial review? Yang manakah yang oleh Mahkamah Agung dapat dianggap mewakili kepentingan umum yang terkena peraturan yang dipersoalkan itu?
- Untuk jenis regeling (peraturan yang berlaku untuk umum) yang dapat meminta judicial review seharusnya hanya badan hukum publik. Tetapi PERMA No. 1 Tahun 1993 tidak memberi penegasan tentang ini sehingga sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai lembaga hukum piblik mana yang dapat melakukan itu. Jika lembaga hukum publik itu dari eksekutif (seperti kejaksaan atau yang lain), akan menjadi janggal, sebab akan terjadi bahwa lembaga eksekutif minta judicial review atas peraturan yang dibuatnya sendiri. Tetapi jika lembaga hukum publik yang berhak minta judicial review ada di luar eksekutif, pertanyaannya lembaga hukum publik yang mana.
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perangkat peraturan yang ada untuk ini (PERMA No. 1 Tahun 1993) hanyalah formalitas yang memuat kekacauan teoritis. Oleh karena itu peraturan-peraturan tentang judicial review hendaknya segera direvisi agar bisa dioperasionalkan. Di samping itu sudah saatnya wacana judicial review untuk dipahami sebagai koreksi kritis materiil atas semua produk peraturan perundang-undangan baik karena bertentangan/kontradiksi dengan peraturan perundangan tingkat atasnya maupun karena isi/materinya sendiri yang sarat akan vested-intersest tertentu sehingga jauh dari rasa adil, demokratis dan tidak berpihak kepada rakyat.
Revisi/perombakan aturan mekanisme judicial review bisa menggunakan alternatif penyelesaian sebagai berikut:
- Mahkamah Agung dapat melakukan judicial review secara langsung tanpa menunggu ada gugatan/permohonan (terlepas dari keprihatinan kita akan keberadaan lembaga Mahkamah Agung sendiri yang jauh dari derajat kredibilitas figur hakim agungnya sekarang ini). Sebab jika harus menunggu ada gugatan/permohonan akan sulit untuk menemukan subyek yang dapat mewakili kepentingan umum.
- Jika judicial review dapat dilakukan melalui gugatan/permohonan, perlu ditentukan suatu lembaga hukum publik di luar eksekutif yang dapat bertindak atas nama umum untuk dapat melakukan gugatan/permohonan tersebut. Perlu juga dibuka kemungkinan badan hukum privat, dalam hal ini Lembaga Swadaya Masyarakat, juga diberikan hak untuk melakukan gugatan/permohonan judicial review atas nama kepentingan umum dengan mekanisme gugatan perwakilan (class action).
Penutup
Polemik mengenai lembaga judicial review, tanpa mengurangi arti segi legal formal, sebenarnya cukup sederhana dan tidak berbelit-belit. Kalau pada kenyataannya memang telah diatur mekanismenya (walaupun disfungsif), bukan berarti kemudian tertutup kemungkinan masyarakat untuk melakukan fungsinya sebagai kontrol publik. Terlebih era reformasi sekarang ini ruang kontrol publik tidak bisa dinafikkan lagi bergaining posisinya sebagai salah satu pilar demokrasi.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah di bidang Kehutanan,nantinya adalah momentum yang sangat bagus untuk menggulirkan wacana judicial review bagi kalangan lembaga swadaya masyarakat. Bahkan tidak hanya terbatas pada peraturan perundangan tingkat Peraturan Pemerintah tetapi juga produk peraturan Undang-Undang yang tidak hanya mengatur dalam bidang Kehutanan tetapi juga produk peraturan perundangan dalam bidang lain.
Sumber Bahan
Mahfud,Moh,MD, Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yoyakarta 1999
Mertokusumo,Sudikno, Mengenal Hukum (suatu pengantar), edisi ketiga, Liberty, Yogyakarta 1991.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Rancangan Peraturan Pemerintah bidang Kehutanan, Jakarta, Mei 2000.
Ditulis oleh Totok Dwi Diantoro, S.H., Staf Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (Arupa) dan Aktivis pada Lembaga Bina Kesadaran Hukum Indonesia (LBKHI) Yogyakarta.