Walaupun telah diyakini masyarakat telah mengelola hutan secara lestari, banyak yang mengatakan bahwa bicara pengelolaan hutan rakyat sulit, sebab adanya tebang butuh. Berawal dari sebuah komunitas yang berkomitmen melakukan pengelolaan hutan rakyat lestari, ancaman tebang butuh dapat dikontrol sehingga hutan dapat dipastikan lestari.
Udara sejuk Desa Terong, Kabupaten Bantul siang itu menerpa wajah kami, rombongan Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alama (ARuPA) bersama 30 pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Jasema yang ada di Desa Terong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta pada Kamis, 26 Juni 2014.
Bertempat di rumah Sugiyono, ketua dari KTH Jasema, suasana siang itu cukup teduh dan sejuk. Maklum rumah Sugiyono bergaya Limasan. Terbuat dari kayu-kayu kokoh.
Namun suasana sejuk dan teduh itu lama-lama berubah hangat. Hangatnya suasana itu bukan karena pohon-pohon di Desa Terong habis ditebang, melainkan adanya diskusi serius yang dilakukan oleh para pengurus KTH Jasema. Diskusi serius siang itu mengupas tentang permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan hutan rakyat, yakni “tebang butuh”.
“Kita tidak bisa membiarkan permasalahan “tebang butuh” terjadi di Desa Terong,” ujar Sugiyono membuka diskusi. “Kalau nebangnya masih wajar, tidak akan jadi masalah. Tapi bagaimana kalau ada kebutuhan masyarakat yang hampir bersamaan pada tahun yang sama, bisa-bisa hutan rakyat kita hancur,” tambah Sugiyono.
Para pengurus KTH Jasema lainnya sendiri terlihat serius mendengar apa yang disampaikan tuan rumah tersebut. Tebang butuh yang dimaksud oleh Sugiyono sendiri adalah penebangan pohon yang dilakukan secara mendadak oleh petani atau pemilik hutan rakyat guna memenuhi kebutuhan yang mendadak, seperti biaya pengobatan, biaya sekolah, perbaikan rumah dan lain sebagainya.
“Ya, kalau itu kita semua tahu pak, bahwa masalah “tebang butuh” jadi masalah besar. Tapi kan kita tidak bisa melarang warga untuk menebang pohon,” sergah Mbah Umpluk, salah satu pengurus KTH Jasema, yang kemudian diikuti suara-suara lirih mengiyakan dari pengurus lainya.
Pendamping Lembaga ARuPA siang itu yang ikut hadir dalam pertemuan itu takjub menyaksikan diskusi dalam KTH Jasema sangatlah hidup. Proses diskusi yang ada di masyarakat merupakan pembelajaran yang menarik, dimana ada kepeduliaan masyarakat dalam mengatasi permasalahan “tebang butuh”.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu!” ujar pendamping ARuPA menyela. “apa bisa tebang butuh itu saya bisa sebut sebagai ancaman?”tanyanya.
“Iya mas, itu ancaman. Bisa-bisa hutan rakyat kita habis, kalau tidak dikontrol,” jawab Rubikem, sekretaris KTH Jasema.
“Nah, bagaimana kalau tebang butuh adalah sebuah tantangan?”tanya balik dari pendamping Lembaga ARuPA tersebut. “Adanya tebang butuh, sebenarnya tanpa diperintah oleh siapapun masyarakat mau menanam. Kan kayu harganya mahal, jadi tebang butuh bisa diposisikan sebagai ancaman dan juga sebagai tantangan karena kemudian masyarakat mau menanam karena harga kayu tinggi,” jelas pendamping ARuPA itu lagi.
“Benar yang dikatakan Bu Rubikem. Yang perlu kita lakukan adalah kontrol, mengurangi adanya tebang butuh sehingga ancaman hutan rakyat rusak tidak terjadi,” lanjut pendamping ARuPA tersebut.
“Menurut bapak, apa solusinya yang kira-kira bapak bisa lakukan? Kan salah satu tujuan kelompok ini berdiri untuk kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan hutan rakyat lestari”, tanya lagi pendamping ARuPA dengan serius.
“Wah, kita bisa itu mas, bisa bikin simpan pinjam. Biar anggota enggak perlu nebang pohon,” sahut Mbah Umpluk.
Dari diskusi yang terjadi siang itu, akhirnya disepakati untuk membangun sebuah lembaga simpan pinjam guna mengatasi tebang butuh yang terjadi di Desa Terong.
Diskusi barusan tersebut merupakan salah satu bentuk pendampingan yang dilakukan oleh Lembaga ARuPA.
Pendampingan di Desa Terong sendiri telah dilakukan oleh Lembaga ARuPA sejak 2012. Lembaga ARuPA sendiri adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang reforma tata kelola kehutanan dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari. Saat itu, Lembaga ARuPA melakukan pendampingan KTH Jasema dalam pengelolaan hutan yang lestari.
Setelah pertemuan siang itu, 4 bulan kemudian proses pembentukan lembaga keuangan tunda tebang mulai dipersiapkan.
Beberapa persiapan dilakukan untuk mewujudkan pembentukan lembaga keuangan tersebut, berkolaborasi antara Lembaga ARuPA dan KTH Jasema serta Pemerintah Desa dan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul menyelenggarakan pelatihan mengenai administrasi lembaga keuangan, pelatihan pengelolaan keuangan lembaga simpan pinjam, pelatihan tentang penyusunan standar operasional prosedur dan beberapa diskusi terkait teknis pelaksanaan dan minimalisir masalah yang dihadapi nantinya.
Setelah berbagai proses yang telah dilalui, akhirnya pada 23 Juli 2014 terbentuk Koperasi Tunda Tebang (KTT) Jasema yang merupakan lembaga keuangan untuk mengurangi tebang butuh yang dilakukan oleh anggota KTH Jasema. KTT Jasema juga telah mendapatkan izin dari Dinas Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Bantul.
Modal awal KTT Jasema adalah sebesar 87 juta rupiah. Dana tersebut merupakan tabungan awal anggota KTH Jasema sebanyak 556 anggota. Proses pengumpulan modal tersebut menjadi sesuatu yang menarik dan merupakan pembelajaran di masyarakat, karena adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan, sehingga KTT Jasema dapat terbentuk.
Hingga saat ini, walaupun belum bisa memberikan pinjaman kepada seluruh anggota Jasema, paling tidak sudah ada sekitar 50 anggota yang meminjam dan mengagunkan pohonnya kepada KTT Jasema untuk mendapatkan pinjaman. Dan untuk jumlah pohon yang telah diagunkan sebanyak 500 pohon.
Dengan adanya KTT Jasema ini, masyarakat desa Terong jadi tidak perlu menebang pohon bila membutuhkan uang, tetapi bisa meminjam KTT Jasema.
Proses itulah yang menarik. Sebuah permasalahan besar dalam pengelolaan hutan bisa diselesaikan melalui proses diskusi oleh masyarakat, oleh komunitas.
Dwi Nugroho, Direktur Eksekutif Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA). Tulisan ini diterbitkan dalam majalah komunitas milik Combine Research Institute (CRI). Kami, pihak redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkan sebagai sumber informasi dan pengetahuan bagi khalayak banyak.