Home > Paper > Kemandirian Rakyat Mengelola hutan

KEMANDIRIAN RAKYAT DALAM MENGELOLA HUTAN,

SEBUAH PELAJARAN BERHARGA DARI LAPANGAN

(Kasus Pengelolaan Hutan Rakyat di Gunung Kidul)1

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, khususnya di Pulau Jawa, tuntutan terhadap manfaat sumber daya hutan (SDH) semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi akibat kenaikan permintaan terhadap komoditas pertanian, kayu perkakas, kayu bakar, lapangan pekerjaan, pemukiman, bahan baku industri, dan jasa lingkungan hidup. Pengelolaan SDH bagimanapun tidak hanya ditujukan bagi terpenuhinya kebutuhan produk kehutanan yang berupa kayu. Masih sangat banyak manfaat lain yang tetap harus dijaga keberlanjutannya. Berbagai upaya yang ditujukan bagi tetap berlangsungnya keberadaan manfaat dan fungsi hutan terus diusahakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya.

Sebagaimana dikemukakan oleh banyak pakar, saudara-saudara kita yang hidup di daerah pedesaan telah cukup lama memiliki tradisi mengelola lahan milik mereka sebagai hutan . Ini tidak hanya terjadi di luar pulau Jawa, sebagaimana yang telah lama kita dengar selama ini. Di Jawapun tradisi yang demikian teramat kental. Pekarangan, tegalan, wono , karangkitri, atau lahan lain yang karena beberapa pertimbangan tidak dikelola bagi pertanian intensif, oleh warga pedesaan ditanami dengan aneka tanaman keras dicampur dengan berbagai tanaman pertanian jangka menengah. Praktek-praktek yang demikian terbukti telah menjadi pola manajemen lahan di pedesaan, dan oleh aparat birokrasi kemudian diberi label dengan hutan rakyat (HR).

Pengelolaan hutan rakyat sangat layak untuk dioptimalkan jika mengingat adanya tantangan berat bagi rehabilitasi hutan kita yang semakin hancur dewasa ini. Dengan mengelola hutan rakyat , tekanan yang hebat terhadap hutan negara lambat laun akan dapat dihilangkan atau setidaknya dapat ditekan. Berdasarkan UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pengembangan hutan rakyat diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan di luar kawasan hutan negara, penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan oleh masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, penyediaan kayu sebagai bahan baku bangunan, bahan baku industri, penyediaan kayu bakar, usaha perbaikan tata air dan lingkungan, serta sebagai kawasan penyangga bagi kawasan hutan negara.

Mengingat banyaknya manfaat yang bisa kita peroleh dari pengembangan dan pembangunan hutan rakyat, maka sudah saatnya pengelolaan hutan rakyat mendapatkan perhatian yang lebih besar agar diperoleh hasil produksi yang optimal. Di daerah Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta misalnya, hutan rakyat jenis sengon ( Paraserianthes falcataria ) dan jati ( Tectona grandis ) cukup berkembang. Jenis sengon ini disukai oleh masyarakat karena cepat tumbuh, perawatannya mudah, dan dapat digunakan untuk beragam pemanfaatan seperti kayu perkakas, kayu bakar, dan daunnya dapat digunakan untuk makanan ternak disamping untuk pupuk. Sementara jenis jati—meskipun umur panennya panjang—diminati karena kualitas kayunya yang tinggi.

2. Permasalahan

Tradisi pengelolaan HR yang telah mengakar di kalangan petani Gunung Kidul sangat baik untuk kita jadikan pelajaran. Akan tetapi sebagaimana umumnya kondidi petani pedesaan, perencanaan pengaturan hasil HR, seperti prediksi nilai tebangan akhir, tebangan penjarangan, dan output kegiatan-kegiatan lain dari hutan rakyat, masih belum tersusun dengan baik. Banyak permasalahan yang ditemui dalam melaksanakan tahap-tahap pengelolaan hutan rakyat untuk memperoleh hasil tebangan maksimal dengan tetap memperhatikan asas kelestarian. Penguatan kelembagaan masyarakat, sangat diperlukan pada tahap-tahap awal pengembangan hutan rakyat

1 Makalah Disampaikan pada Diskusi Pengelolaan SDH di HMI Bulaksumur, Rabu 21 Juli 1999

guna menyusun perencanaan pengelolaan berasas kelestarian yang tetap memperhatikan fungsi-fungsi sosial dan konservasi.

Permasalahan utma di kalangan petani pengelola hutan rakyat, mencakup dua hal yakni:

a. Aspek Bisnis dan Sosial

Aspek bisnis dan sosial menyangkut masalah-masalah ekonomi, organisasi, administrasi, akuntansi, statistik, hukum, dan pemasaran hasil.

b. Aspek Teknologi

Aspek teknologi menyangkut masalah-masalah sistem silvikultur, teknologi ukur kayu, eksploitasi, teknologi hasil hutan, satwa liar, rekreasi dan teknik sipil.

Untuk itulah banyak diperlukan pengkayaan ide bagi tercipatanya sistem pengaturan hasil hutan yang sesuai dengan pola dan kondisi pengelolaan hutan rakyat. Pengaturan hasil hutan menurut, yang akan digagas sebagai upaya meraih berbagai tujuan, antara lain:

•  Tujuan Silvikultur

Yaitu untuk memperoleh riap tahunan yang maksimum. Tujuan ini dapat dicapai dengan menentukan umur tebang atau rotasi tebang yang tepat, penjarangan yang tepat agar memberikan ruang tumbuh yang cukup kepada tegakan tinggal dan mengadakan perlindungan terhadap berbagai gangguan yang dapat merusak tegakan. Untuk itu perlu adanya sistem silvikultur yang mantap untuk menjamin berhasilnya permudaan tanaman.

•  Tujuan Ekonomis

Yaitu untuk mencapai hasil yang lestari. Tujuan ini dapat dipenuhi bila volume hasil yang dipungut sama besarnya dengan volume riap pertumbuhan dari seluruh tegakan pada waktu itu dalam satu unit kekekalan.

•  Tujuan Silvikultur dan Ekonomis

Yaitu dicapainya riap pertumbuhan yang maksimum dan hasil produksi yang lestari hendaknya dengan biaya yang semurah mungkin agar perusahaan memperoleh keuntungan yang optimal.

Beberapa hal di muka secara ideal belum dapat diterapkan dalam penanganan hutan rakyat, mengingat berbagai keterbatasan yang ada. Namun bukan berarti langkah harus berhenti, sebabab bagaimanapun potensi dan semangat yang terkandung dalam pengelolaan hutan rakyat telah cukup memberikan bukti akan terjaminnnya keberadaan hutan.

B. BEBERAPA PENGERTIAN

1 Pengertian Hutan Rakyat

Menurut UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan Pasal 2, berdasarkan kepemilikannya hutan dibedakan menjadi hutan negara dan hutan milik.

Hutan negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh diatas lahan yang tidak dibebani oleh hak milik, sedangkan hutan milik adalah hutan yang tumbuh diatas lahan yang dibebani oleh hak milik yang biasa disebut hutan rakyat .

Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perseorangan, maupun bersama-sama atau badan hukum.

Menurut Hardjosoediro (1980), hutan rakyat adalah hutan yang ada di wilayah Indonesia yang tidak berada di atas lahan yang dikuasai oleh pemerintah, jadi merupakan hutan yang dimiliki oleh rakyat.

Definisi lain dikemukan Alrasyid (1979), yang menyatakan bahwa hutan rakyat pada dasarnya adalah hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohonan yang pembinaan dan pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau badan hukum seperti koperasi dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah.

Nurwanto dan Prakoso (1979), memberikan definisi hutan rakyat adalah penghijauan suatu daerah untuk dibentuk sebagai hutan, yang oleh karena wilayah, peruntukan serta pengelolaannya ada pada rakyat. Hutan rakyat dapat juga diartikan sebagai hutan yang dimiliki oleh rakyat, baik secara perseorangan, kelompok, maupun suatu badan hukum atau koperasi. Hutan

rakyat merupakan hutan buatan, bukan hutan alam, dan terletak di luar kawasan hutan negara, luasnya minimal 5 ha dan terletak di kompleks atau satu lokasi (Anonimus, 1985)

Balai Informasi Pertanian (1982) menyebutkan bahwa HR mempunyai ciri khas, yaitu :

•  Tidak merupakan suatu kawasan yang kompak, tetapi terpencar di antara lahan-lahan untuk penggunaan lainnya.

•  Bentuk pertanamannya tidak selalu murni berupa kayu-kayuan, tetapi terpadu atau dikombinasikan dengan berbagai jenis tanaman lainnya, misalnya tanaman pertanian, tanaman perkebunan, tanaman pakan ternak, dan sebagainya.

•  Terdiri atas jenis tanaman yang cepat tumbuh dan cepat memberikan hasil bagi pemiliknya.

Hutan rakyat tersusun atas jenis-jenis vegetasi yang sangat bervariasi, namun demikian dominasi dari setiap jenis akan menentukan pola hutan rakyat yang ada. Berdasarkan jenis yang mendominasi ruang tumbuh, maka hutan rakyat dapat diklasifikasikan menjadi 6 pola ( Anonimus, 1985 ), yaitu :

•  Pola tanaman pangan ; hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman pangan.

•  Pola silvopastur ; hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman yang dapat menghasilkan makanan ternak/hijauan makanan ternak.

•  Pola kayu bakar ; hutan rakyat ini didominasi oleh jenis pohon-pohonan yang kayunya menghasilkan energi.

•  Pola hortikultura ; hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman buah-buahan.

•  Pola perdagangan/industri ; hutan rakyat ini didominasi oleh jenis tanaman perdagangan.

•  Pola kayu-kayuan ; hutan rakyat ini didominasi oleh jenis kayu-kayuan yang bisa menghasilkan bahan bangunan/kayu perkakas.

2. Tujuan HR

Pembuatan hutan rakyat dimaksudkan untuk merehabilitasi dan meningkatkan produktivitas lahan, serta kelestarian sumber daya alam agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya kepada pemiliknya, sehingga kesejahteraan hidupnya meningkat. Tujuan pembangunan hutan rakyat adalah (Anonimus, 1986):

•  Meningkatkan pendapatan masyarakat tani di pedesaan terutama petani di daerah kritis.

•  Memanfaatkan secara optimal dan lestari lahan yang tidak produktif untuk usaha tani tanaman pangan.

•  Meningkatkan produksi kayu bakar untuk mengatasi kekurangan energi dan kekurangan kayu perkakas.

•  Membantu penganekaragaman hasil pertanian yang diperlukan masyarakat.

•  Memperbaiki tata air dan lingkungan, khususnya pada lahan milik rakyat yang berada di kawasan perlindungan di daerah-daerah hulu suatu DAS.

Adapun sasaran lokasi pembangunan hutan rakyat (Anonimus, 1983 dalam Samekto, 1986) adalah :

•  Areal kritis dengan keadaan lapangan berjurang dan bertebing dengan kelerengan lebih dari 50%.

•  Areal kritis yang diterlantarkan atau tidak digarap lagi sebagai lahan pertanian tanaman semusim.

•  Areal kritis yang karena pertimbangan khusus, seperti untuk perlindungan mata air dan bangunan pengairan perlu dijadikan areal tertutup dengan tanaman tahunan.

•  Lahan milik rakyat yang karena pertimbangan ekonomi lebih menguntungkan bila dijadikan hutan rakyat daripada untuk tanaman semusim.

3. Manajemen Hutan Rakyat

Pada umumnya hutan rakyat tidak berwujud suatu kawasan hutan yang murni dan kompak, melainkan berdiri bersama-sama dengan penggunaan lahan yang lain, seperti tanaman pertanian, tanaman perkebunan, rumput pakan ternak atau dengan tanaman pangan lainnya yang

biasanya disebut sebagai pola agroforestry. Menurut Fandeli (1985) Agroforestry adalah suatu sistem pertanaman yang merupakan kegiatan kehutanan, pertanian dan atau perikanan, ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Achil dalam Satjapradja (1981) mengatakan bahwa Agroforestry merupakan bentuk usaha tani dalam rangka pengelolaan hutan serbaguna yang menyelaraskan antara kepentingan produksi dengan kepentingan pelestarian, berupa pengusahaan secara bersama atau berurutan jenis-jenis tanaman pertanian, bentuk lapangan penggembalaan, jenis tanaman kehutanan pada suatu lahan

Pola penanaman agroforestry pada umumnya tidak homogen, tidak seumur, dan terdiri atas berbagai macam tanaman yang mempunyai dua strata atau lebih. Pola ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat desa karena dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan serta dapat menjamin terjadinya kontinuitas produksi sepanjang masa luas lahan yag ada. Di samping itu pola agroforestry memiliki berbagai macam fungsi yang tidak ternilai ( intangible benefit ), seperti fungsi keindahan, fungsi perlindungan tata air, fungsi keseimbangan lingkungan hidup, pendidikan nonformal bagi anak-anak dan berbagai fungsi sosial lainnya (Sumitro, dalam Djuwadi 1991).

Agroforestry sebagai suatu istilah mencakup beberapa bentuk (Notohadiprawiro, 1981) :

•  Agri-Silvikultur , yaitu gabungan pertanaman pertanian-kehutanan atau pertanian-kehutanan-peternakan yang ternaknya tidak digembalakan, melainkan dipelihara dengan hijauan potong.

•  Silvopastoral , yaitu gabungan pertanaman kehutanan-peternakan yang ternaknya digembalakan.

•  Agro-Silvo-Pastoral , yaitu gabungan pertanaman pertanian-kehutanan-peternakan yang ternaknya digembalakan.

•  Sistem Perhutanan Serbaguna, yaitu budidaya pohon hutan untuk menghasilkan kayu dan atau juga pangan dan atau makanan ternak berupa daun dan atau buah.

Untuk merumuskan metode pengaturan hasil hutan rakyat maka akan diuraikan ciri-ciri hutan rakyat sebagai berikut :

•  Pengelolaan hutan rakyat berorientasi pada kawasan yang sempit dengan lebih menekankan pada pengelolaan pohon per pohon, sehingga setiap individu pohon mendapat perhatian yang khusus.

•  Penebangan pohon dilakukan apabila pohon telah mencapai umur tertentu dan ukuran fisik yang cukup besar, sehingga sudah siap diserap oleh pasar kayu setempat. Pada hutan rakyat umur masak tebamg kurang diperhatikan, seperti pada hutan negara, akan tetapi lebih menekankan pada umur tebang rata-rata pohon yang akan ditebang.

•  Dalam penebangan hutan rakyat tidak dilakukan pengukuran diameter dan tinggi pohon serta tidak dilakukan perhitungan volume pohon atau tegakan yang diusahakan untuk mengetahui besarnya produksi kayu yang dihasilkan.

Berdasarkan pada ciri-ciri itu, diperlukan suatu sistem pengaturan hasil hutan rakyat yang sesuai, dengan menitikberatkan pada pengelolaan pohon, bukan pada pengelolaan kawasan. Selain itu, tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tercapainya umur masak tebang (umur daur), bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan, serta menjamin terlaksananya kelestarian pendapatan petani pemilik, dan kelestarian sumber daya hutan itu sendiri.

4. Pemasaran Hasil Hutan Rakyat

Sumitro (1985), mengemukakan bahwa tujuan akhir dari pemasaran hasil hutan rakyat adalah untuk memperoleh efisiensi pasar dengan cara memperpendek rantai pasar, sehingga harga akan menjadi lebih baik terutama di tingkat petani. Untuk sampai ke tangan konsumen, suatu barang dapat dipasarkan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Secara langsung , apabila barang yang dipasarkan tidak melalui saluran tata niaga, jadi tidak ada lembaga lain yang terlibat kecuali produsen awal dan konsumen akhir.

Secara tidak langsung, apabila diantara produsen dan konsumen ada rantai pemasaran yang disebut saluran tata niaga (Dressler, 1970 ; Kottler, 1986). Menurut Dressler (1970), kehadiran pedagang perantara sering diperlukan, karena selain membantu menyederhanakan pelaksanaan fungsi pemasaran yang seharusnya dibebankan kepada produsen juga memperlancar arus komoditas. Namun sering terjadi, justru kehadiran pedagang perantara merupakan kendala bagi lancarnya arus barang, jika saluaran tata niaga sudah sedemikian panjang, sehingga

mengakibatkan tidak efisien dan tidak adil dalam pembagian keuntungan/ profit margin (Heynes, 1977)

C. PENGALAMAN DI GUNUNG KIDUL

1. Awal Mula HR

Wilayah Gunung Kidul sebagian besar merupakan tanah kritis dengan lapisan top soil yang tipis, kelerengan yang curam, serta topografi yang bergelombang sampai berbukit. Sebagian besar lahan kritis terjadi karena pada masa lalu pengelolaan lahan pertanian yang kurang tepat sehingga melebihi daya dukung lahan tersebut. Masyarakat melakukan upaya untuk merehabilitasi lahan pertanian miliknya dengan cara menanami lahan miliknya dengan tanaman berkayu. Penanaman tanaman berkayu tersebut umumnya dimulai pada awal tahun 1950-an untuk lahan yang sudah tidak sesuai lagi untuk ditanami tanaman pertanian, dilakukan secara perorangan (individual) dan belum secara bersama-sama (massal).

Masyarakat beranggapan dengan adanya tanaman berkayu di lahan miliknya, maka kualitas lahan dapat ditingkatkan di samping mereka memperoleh beberapa keuntungan, baik keuntungan ekonomis maupun keuntungan ekologis. Kegiatan penanaman tanaman berkayu pada lahan milik dilakukan serentak secara massal dalam kegiatan penghijauan bersama-sama dengan petugas lapangan penghijauan (PLP) dalam Proyek Bangun Desa pada tahun 1984 s/d 1985. Penghijauan tersebut dilakukan dengan menanami daerah-daerah kritis yang rawan erosi, di samping untuk meningkatkan produktifitas lahan. Pembangunan hutan rakyat tersebut dimulai dengan pembuatan terasering pada lahan-lahan dengan kelerengan curam dan menanami lahan-lahan tersebut dengan tanaman kayu-kayuan yang bermanfaat bagi masyarakat baik ekonomis maupun ekologis.

Pada perkembangannya masyarakat merasakan manfaat yang besar dengan adanya tanaman kayu-kayuan di lahan mereka, di antaranya keuntungan ekonomis berupa penjualan hasil hutan baik kayu, maupun hasil hutan nonkayu lainnya. Keuntungan lain yang diterima masyarakat adalah keuntungan ekologis berupa peningkatan produktivitas lahan yang meliputi peningkatan kesuburan tanah, perlindungan tata air dan sumber mata air agar selalu lestari, dan peningkatan ketrampilan petani dalam melestarikan sumber daya alam ( Anonimus, 1997)

Masyarakat terus melakukan kegiatan penghijauan secara swadaya di lahan miliknya, sehingga luasan lahan yang ditanami dan dihijaukan dari waktu ke waktu semakin luas. Pada tahun 1993 s/d 1994 masyarakat mulai membangun hutan rakyat secara swadaya pada lahan milik, yang mengelompok hingga mencapai luas kurang lebih 35 ha. Lahan tersebut dikelola secara kelompok melalui Kelompok Tani. Pada perkembangannya areal hutan rakyat tersebut semakin luas dengan adanya tambahan areal seluas kurang lebih 5 ha sebagai hasil dari Proyek Padat Karya tahun 1998.

Pembangunan HR akan terus dilakukan oleh masyarakat sampai keinginannya tercapai yakni memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan, yaitu :

  1.   Penghasilan petani bertambah dari hasil penjualan kayu rencek dan kayu perkakas.
  2.   Tersedianya sumber air sepanjang tahun meskipun pada musim kemarau.
  3.   Tersedianya tabungan jangka panjang berupa kayu yang dapat digunakan bila ada kebutuhan yang mendesak.
  4.   Tersedianya hijauan makanan ternak untuk mencukupi kebutuhan ternak peliharaannya.
  5.   Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2. Perkembangan

Hutan rakyat di Gunung Kidul pada umumnya berupa sekumpulan tanaman tahunan/berkayu yang ditanam baik di tegalan maupun di pekarangan. Hutan rakyat yang dikelola secara kelompok bnisaanya seluas 35-50 ha, yang terbagi menjadi blok-blok. Berdasarkan bentuk dan pola tanamnya dapat terdapat dua pola HR, yaitu hutan rakyat tumpang sari ( Agroforestry ) dan hutan rakyat yang murni/kompak.

HR biasanya tersusun atas beberapa jenis vegetasi di antaranya jenis Jati ( Tectona grandis ), Akasia ( Acacia auriculiformis ), Mahoni ( Swietenia microphylla ), Sengon Laut

( Paraserianthes falcataria ), Trembesi ( Samanea saman ), Kelapa ( Cocos nucifera ), Trengguli, Turi, Gliriside, Bambu, serta beberapa jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan, seperti mangga, rambutan, belimbing, jeruk, pepaya, dan pisang. Untuk jenis Sengon Laut, Trembesi, Trengguli, Turi, Gliriside, Kelapa, Bambu, dan jenis buah-buahan jumlahnya sedikit mengingat kondisi tanah dan iklim yang kurang sesuai. Potensi HR di Gunung Kidul terdiri atas potensi hasil hutan kayu, baik kayu perkakas maupun kayu bakar, maupun hasil hutan nonkayu berupa daun, hijauan makanan ternak, dan buah-buahan, serta struktur dan komposisi jenis vegetasi penyusunnya.

a. Potensi Kayu

Potensi kayu yang dihitung merupakan potensi untuk kayu perkakas dengan cara menghitung potensi jumlah pohon dan jumlah pohon per ha, serta potensi volume kayu dan volume kayu per ha. Potensi kayu bakar yang ada merupakan hasil prunning yang digunakan untuk konsumsi sendiri.

Hutan rakyat di Gunung Kidul tersusun atas beberapa jenis vegetasi, dengan kerapatan, sebaran, dan dominasi jenis yang berbeda. Jati memiliki nilai Kerapatan Relatif (KR), Kehadiran Relatif (HR) dan Dominasi Relatif (DR) yang paling besar untuk tingkat pertumbuhan tiang maupun tingkat pertumbuhan pohon. Urutan kedua biasanya adalah jenis Akasia, kemudian jenis lain-lain dan terakhir adalah jenis Mahoni. Tingkat pertumbuhan pohon terbanyak di lahan HR umunya berupa anakan ( seedlings dan saplings ).

INP untuk jenis Jati masih yang tertinggi, disusul Akasia, Mahoni, dan baru jenis-jenis yang lain. Dari besarnya nilai INP itu dapat dinyatakan bahwa jenis Jati untuk tingkat pertumbuhan tiang ( poles ) memiliki kontribusi yang paling besar terhadap pembentukan dan stabilitas ekosistem hutan rakyat, kemudian jenis Akasia, lalu jenis lain, dan yang terakhir adalah jenis Mahoni.  

b. Potensi Non Kayu

Hutan rakyat selain menghasilkan kayu juga menghasilkan hasil hutan ikutan yang berupa hasil hutan nonkayu, seperti buah-buahan, bambu, daun-daunan, dan hijauan makanan ternak (HMT). Di Gunung Kidul hasil hutan nonkayu yang diusahakan oleh masyarakat berupa buah-buahan, daun-daunan, bambu, dan hijauan makanan ternak (HMT). Hasil buah-buahan memegang peranan penting dalam menambah pendapatan masyarakat karena hasil hutan berupa buah-buahan biasanya dijual oleh petani. Untuk hasil hutan nonkayu yang lain seperti daun-daunan, dan hijauan makanan ternak biasanya untuk dikonsumsi sendiri, sedangkan bambu sebagian dijual dan sebagian dikonsumsi sendiri.

Potensi buah-buahan diperoleh hasil jumlah batang/rumpun, produksi tiap batang dalam sekali panen, dan total produksi tiap tahunnya. Hasil hutan nonkayu berupa buah-buahan cukup besar, sehingga diharapkan dapat menambah pendapatan petani dengan menjual hasil panenan buah-buahan yang biasanya dilakukan setahun sekali untuk tiap kali panen. Untuk potensi hasil hutan nonkayu berupa daun-daunan dan hijauan makanan ternak kurang terkuantifikasi dengan baik, karena biasanya hanya dikonsumsi sendiri, sehingga masyarakat tidak memiliki informasi yang akurat tentang produksi untuk item tersebut.

Masyarakat sangat membutuhkan hijauan makanan ternak yang berasal dari areal hutan rakyat guna memenuhi kebutuhan pakan ternaknya. Umunya potensi rumput-rumputan (HMT) yang ada masih belum mampu mencukupi kebutuhan pakan ternak, terutama pada saat musim kemarau sehingga mereka harus mencari sumber hijauan makanan ternak ditempat yang lain yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka, bahkan harus membeli dengan harga yang cukup tinggi.

3. Kenampakan Lapangan HR

a. Berdasarkan lokasi

Menurut letak lahannya, HR di Gunung Kidul terbagi menjadi dua, yaitu: hutan rakyat yang dikelola pada lahan milik perorangan (individual), dan hutan rakyat yang dikelola pada lahan kelompok (komunal). Hutan rakyat yang ada di lokasi lahan milik perorangan dikelola

berdasarkan keinginan pemiliknya, sedangkan hutan rakyat yang ada dilokasi lahan milik kelompok dikelola secara kelompok/komunal yang terikat pada aturan kelompok.

Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam aspek-aspek pengelolaan keduanya, yang membedakan hanya aturan main- nya. HR yang dikelola secara individual tidak terikat secara langsung oleh aturan kelompok, dan pemilik tidak menerima keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dari kelompok tani.

b. Berdasarkan pola tanam

(1) HR yang dikelola bersama dengan tanaman pertanian dengan bentuk tumpangsari

Pengelolaan hutan rakyat di Gunung Kidul sebagian besar menggunakan bentuk pertanaman tumpangsari, karena kepemilikan lahan petani relatif sempit dengan berbagai kepentingan dalam penggunaan lahan. Bentuk tumpangsari merupakan alternatif yang mampu menampung berbagai kepentingan tersebut. Pertimbangan tersedianya tenaga kerja dari anggota keluarga juga diperhitungkan dalam penentuan pola tanam yang demikian.

Dengan pola tumpangsari, diharapkan produktivitas lahan meningkat dan petani dapat memperoleh pendapatan dari hasil panenan secara berurutan dan berkesinambungan sepanjang tahun dari jenis-jenis tanaman yang diusahakan. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya paceklik.

Dalam bentuk tumpangsari tanaman berkayu biasanya ditanam di batas lahan dan pada tepi terasering. Pada batas kepemilikan lahan, tanaman berkayu memiliki fungsi sosial yaitu memberikan batas yang jelas terhadap masing-masing lahan milik petani, sedangkan pada tepi terasering tanaman berkayu memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai penguat dan stabilisator teras. Tanaman berkayu yang ditanam pada batas lahan dan tepi teras pada umumnya memiliki ukuran diameter yang relatif lebih besar karena merupakan tanaman hasil kegiatan penghijauan tahap pertama (tahun 1950-an).

Jika tanaman berkayu ditanam pada batas kepemilikan lahan, dan tepi teras, maka tanaman rumput-rumputan, tanaman semusim seperti padi, jagung, kacang tanah, kacang kedelai, dan tanaman ketela pohon ditanam pada lahan (bidang olah). Tanaman berkayu berfungsi sebagai tabungan/simpanan bagi petani, sedang rumput-rumputan jenis King Grass dan Setaria digunakan untuk tanaman penguat teras dan untuk memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak (HMT) pemilik lahan. Tanaman semusim digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan jika ada kelebihannya dijual untuk menambah pendapatan.

Kegiatan pengelolaan tanaman berkayu dan tanaman semusim dilakukan secara bersamaan atau berurutan sesuai dengan tata waktu ( pranoto mongso ) yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut dilakukan oleh petani mengingat petani memiliki pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama bertahun-tahun dalam mengolah lahannya. Oleh karena itu kegiatan pengelolaan, baik pengelolaan tanaman semusim maupun tanaman kayu berdasarkan tata waktu yang telah lama dilakukan, karena apabila tata waktu pelaksanaan pengelolaan tidak sesuai dengan tata waktu yang ada, maka kegiatan lain akan terganggu karena antara kegiatan satu dengan kegiatan lain saling berurutan. Kegiatan pengelolaan tanaman kayu berkaitan erat dengan pengelolaan tanaman pertanian, karena beberapa kegiatan pengelolaan tanaman berkayu dilakukan bersamaan atau berurutan waktunya dengan kegiatan pengelolaan tanaman semusim. Pada umumnya kegiatan pengelolaan tanaman tahunan dilakukan setelah kegiatan pengelolaan tanaman semusim selesai, sehingga petani dapat mempergunakan waktu luangnya untuk mengelola dan memelihara tanaman kayu milik mereka.

(2) HR yang dikelola tanpa tanaman pertanian dengan bentuk hutan murni

Pada HR bentuk murni, jenis vegetasi penyusunnya adalah tanaman kayu, serta rumput-rumputan yang tumbuh dibawah tanaman kayu. Hutan rakyat bentuk hutan murni cukup banyak dijumpai di Gunung Kidul, disebabkan besarnya kesadaran masyarakat untuk menanami lahan miliknya dengan tanaman kayu-kayuan.

Hutan murni hanya ditanami tanaman kayu-kayuan serta rumput-rumputan sebagai sumber hijauan makanan ternak. Jenis pohon yang dipilih kebanyakan adalah jenis Jati, Akasia, Mahoni,

dan jenis lainnya seperti Trembesi, Sengon Laut, Trengguli, dan Kelapa. Pemilihan jenis-jenis itu berdasarkan keinginan pemilik yang biasanya lebih meniitikberatkan pada pertimbangan ekonomis, di samping pertimbangan yang lain, seperti pertimbangan kebutuhan HMT, pertimbangan ekologis sebagai pengatur tata air dan perlindungan sumber mata air.

Pada awalnya, hutan rakyat bentuk murni berasal dari hutan rakyat bentuk tumpangsari. Seiring dengan berjalannya waktu, yaitu selama kurang lebih 5-10 tahun kemudian, petani mulai mengkonversi lahan tumpangsari milik mereka menjadi hutan rakyat bentuk murni. Proses perubahan bentuk/konversi hutan rakyat bentuk tumpang sari menjadi bentuk hutan murni, tidak dilakukan secara langsung melainkan secara bertahap dalam jangka waktu yang cukup lama.

Banyak alasan yang mendorong petani mengkonversi lahan pertanian mereka menjadi hutan murni, antara lain:

(a) Kepemilikan lahan yang relatif luas

Para petani yang kepemilikan lahannya luas cenderung untuk mengkonversi sebagian lahan miliknya menjadi hutan murni, sedangkan sebagian lahan yang lain tetap dipertahankan sebagai lahan tumpangsari guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

(b) Adanya alternatif pendapatan lain di luar sektor pertanian

Beberapa penduduk memiliki pendapatan lain di luar sektor pertanian seperti menjadi pedagang, buruh batu, tukang kayu dan kegiatan lain yang mampu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal tersebut mendorong mereka untuk mengkonversi lahan pertanian miliknya untuk dijadikan hutan murni, karena tanaman kayu yang ditanam merupakan tabungan bagi mereka, dimana yang sewaktu-waktu diperlukan dapat diambil.

(c) Produktivitas hasil tanaman pertanian yang semakin menurun

Setelah tanaman berkayu cukup besar (umur 5 s/d 10 tahun) sedikit banyak memberikan dampak negatif terhadap tanaman pertanian berupa naungan yang semakin lama semakin berat, walaupun sudah ada usaha untuk menguranginya dengan melakukan pemangkasan cabang dan daun, bahkan dengan melakukan penjarangan tanaman kayu. Hal tersebut menyebabkan produksi hasil pertanian dari waktu ke waktu semakin menurun. Keputusan yang di ambil oleh petani adalah mengkonversi lahan tumpangsarinya menjadi hutan rakyat bentuk hutan murni. Lahan milik mereka dengan begitu dapat ditingkatkan produktivitasnya.

(d) Terbatasnya jumlah tenaga kerja untuk mengelola lahan pertanian

Keterbatasan tenaga kerja untuk mengelola lahan pertanian terutama yang berasal dari anggota keluarga menjadi salah satu alasan mengapa petani mengkonversi lahan tumpangsari milik mereka menjadi hutan rakyat bentuk hutan murni. Kurangnya minat para pemuda untuk meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai petani, menyebabkan mereka lebih suka pergi/merantau ke kota untuk mencari pekerjaan di kota . Hal ini menyebabkan kurang tersedianya tenaga kerja untuk mengelola lahan tumpangsari, karena jika digunakan tenaga penggarap, petani harus mengeluarkan uang cukup besar (buruh umumnya diupah Rp 5000,- /orang/hari). Dengan tidak tersedianya tenaga kerja dari anggota keluarga, mendorong petani untuk mengkonversi lahannya menjadi hutan rakyat bentuk murni. Setelah dikonversi menjadi hutan murni, mereka tidak perlu mengelola lahan milik mereka secara intensif seperti pada lahan pertanian tumpangsari.

Keempat alasan yang melatarbelakangi petani untuk mengkonversi pola/bentuk pengelolaan lahan mereka tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terkait antara satu dengan yang lain. Keterkaitan tersebut memperkuat motivasi petani, dengan harapan produktivitas lahan mereka meningkat, sehingga keuntungan yang diperoleh dari lahan tersebut juga optimal.

Di HR bentuk murni kegiatan pengelolaan kurang intensif jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan rakyat bentuk tumpang sari, hal ini disebabkan beberapa alasan di atas, sedangkan aspek-aspek pengelolaan hutan rakyat yang dikerjakan sama dengan pada hutan rakyat bentuk tumpangsari.

4. Manajemen HR di Gunung Kidul

Dalam mengelola hutan miliknya, para petani Gunung Kidul baik yang mengelola hutan rakyatnya secara individual maupun secara komunal, memiliki kesamaan dalam aspek-aspek kegiatan yang dilakukan. Dalam perkembangannya direncanakan suatu arahan bagi para petani hutan rakyat yang ada agar mampu aktif sebagai anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat. Hal ini dimaksudkan agar seluruh masyarakat dapat merasakan keuntungan dari kegiatan kelompok. Aspek-aspek pengelolaan hutan rakyat di Gunung Kidul digambarkan sebagai berikut.

a. Penanaman

Aspek penanaman terdiri atas 3 kegiatan pokok, yaitu :

(1) Penyiapan lahan

Kegiatan persiapan lahan merupakan usaha petani dalam menyiapkan lokasi untuk kegiatan penanaman. Kegiatan persiapan lahan ini biasanya bersamaan waktunya dengan kegiatan persiapan lahan untuk tanaman pertanian. Kegiatan persiapan lahan biasanya dilakukan pada bulan Agustus dan September, karena pada bulan-bulan tersebut belum turun hujan. Lamanya kegiatan persiapan lahan tergantung pada kondisi masing-masing petani yaitu berdasarkan luas kepemilikan lahan, dan ada/ tidaknya tenaga kerja yang cukup. Biasanya kegiatan ini dilakukan secara bersama-sama dalam mekanisme kerja kelompok. Dengan menggunakan mekanisme kerja kelompok kegiatan persiapan lahan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu 1-2 hari untuk tiap kepemilikan lahan.

Kegiatan persiapan lahan terdiri atas kegiatan pengolahan tanah, pemasangan acir, pembuatan lubang tanaman, dan pemberian pupuk. Pengolahan tanah dilakukan dengan mencangkul dan menggemburkan tanah dalam rangka mempersiapkan lahan garapan untuk penanaman tanaman semusim. Penggemburan tanah dilakukan dengan membalikkan tanah, pendangiran tanah dan pemberian pupuk. Biasanya pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang. Jumlah pupuk kandang yang dicampurkan dengan tanah disesuaikan dengan kebutuhan. Pengolahan tanah dan pemberian pupuk kandang biasanya dilakukan sebelum turun hujan agar pekerjaan menjadi relatif lebih ringan karena kondisi pupuk kering sehingga mempermudah pengangkutan ke lokasi penanaman.

Untuk penyiapan lahan tanaman berkayu dilakukan pemasangan acir, pembuatan lubang tanaman dan pemberian pupuk kandang atau kompos. Pembuatan lubang tanaman dilakukan dengan jarak tanam (4mx4m) atau 2m x lebar bidang olah teras untuk bentuk tumpangsari, dan (2×2) m untuk lahan yang menggunakan bentuk hutan murni. Pemasangan acir dilakukan dengan menggunakan acir yang terbuat dari bambu atau ranting cabang yang dapat diperoleh di sekitar lahan yang sedang disiapkan. Panjang acir 1,5 m dengan bagian yang ditanam sedalam 0,5 m. Untuk lubang tanaman dibuat dengan ukuran (20x20x30) cm. Setelah lubang tanaman siap kemudian diberi pupuk kandang ke dalam setiap lubang sebanyak 1-2 kg. Kegiatan ini juga membutuhkan waktu kurang lebih 1-3 hari jika dikerjakan secara kelompok. Setelah semua kegiatan selesai, lahan dibiarkan sampai turun hujan, baru lahan mulai ditanami.

(2) Persiapan bibit tanaman

Bibit tanaman berasal dari dua sumber yaitu dari permudaan generatif dengan menggunakan cabutan dan permudaan vegetatif dengan menggunakan trubusan. Dilihat dari asal permudaannya maka HR di Gunung Kidul dapat diklasifikasikan sebagai Middle Forest karena berasal dari permudaan generatif atau vegetatif. Kedua bentuk hutan rakyat, baik bentuk murni maupun tumpangsari menggunakan kedua tipe permudaan tersebut. Untuk jenis Jati, Akasia, dan Mahoni permudaan generatif diperoleh dari anakan alami yang cukup melimpah, sedangkan permudaan vegetatif diperoleh dari trubusan pohon yang telah ditebang. Permudaan yang berasal dari anakan alami yang berupa cabutan biasanya digunakan untuk menambah jumlah tanaman yang ditanam sebagai kewajiban petani setelah menebang dan untuk menyulam tanaman yang gagal, sedangkan permudaan yang berasal dari trubusan biasanya digunakan untuk mengganti pohon yang telah ditebang pada hutan rakyat bentuk tumpangsari. Permudaan yang berasal dari cabutan tidak membutuhkan kriteria khusus, dengan demikian bibit diambil dari anakan alami dengan ukuran kurang lebih 30 cm, kemudian langsung ditanam pada lubang tanaman yang telah disiapkan. Perlakuan yang biasa dilakukan hanya mengurangi jumlah daun dan pemangkasan akar serabut. Permudaan yang berasal dari trubusan, tidak mendapat perlakuan khusus, kecuali hanya menjarangi jumlah trubusan dalam satu tonggak. Biasanya dalam satu tonggak biasanya dapat tumbuh 2-4 trubusan yang saling bersaing dalam pertumbuhannya, sehingga seiring dengan berjalannya waktu perlu dilakukan penjarangan terhadap trubusan yang kondisinya tertekan ( inferior ) untuk memperoleh hasil yang lebih baik.

Untuk tanaman jenis lain seperti jenis Turi, Gliriside, Nangka, Pete, dan Sengon Laut, bibit diperoleh dari areal KBD (Kebun Benih Desa) atau membeli. Pada kenyataannya pemanfaatan bibit yang berasal dari areal KBD kurang optimal karena bibit yang dikembangkan di areal KBD sebagian besar merupakan jenis yang kurang diminati oleh masyarakat atau jenis yang anakan alaminya melimpah. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak perlu mengambil bibit dari areal KBD untuk menanami lahannya sehingga fungsi KBD belum optimal.

Petani umumnya lebih menyukai menggunakan permudaan yang berasal dari trubusan, terutama untuk hutan rakyat bentuk tumpangsari, karena memiliki pertumbuhan yang lebih baik jika dibandingkan dengan yang berasal dari cabutan. Hal ini dimungkinkan karena permudaan yang berasal dari trubusan tidak memerlukan adaptasi yang lama terhadap lingkungannya, sedangkan yang berasal cabutan perlu beradaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan.

Kegiatan persiapan bibit tanaman yang berasal dari cabutan maupun trubusan tidak memerlukan waktu yang lama, karena biasanya bibit yang hasil cabutan langsung ditanam di lokasi penanaman, sedangkan untuk pembuatan bibit untuk areal KBD memerlukan waktu kurang lebih 1-2 bulan sampai bibit siap tanam.

Peran dari kelompok tani dalam penyediaan bibit tanaman dapat dilihat dari kegiatan penyiapan bibit tanaman, yaitu mulai dari pengumpulan benih, pengumpulan anakan alami, perlakuan terhadap bibit sampai bibit siap tanam dilakukan oleh seluruh anggota kelompok dalam bentuk mekanisme kerja kelompok. Di samping itu, kelompok tani juga merupakan lembaga yang mengelola kebun benih desa (KBD), dimana pada areal KBD tersebut dibudidayakan jenis-jenis tanaman kayu untuk memenuhi kebutuhan petani.

(3). Penanaman

Kegiatan penanaman tanaman tahunan biasanya dilakukan bersamaan dengan penanaman tanaman semusim, yaitu pada saat hujan turun pertama kali sekitar awal bulan Oktober. Lama kegiatan ini juga tergantung dari besarnya volume pekerjaan, akan tetapi biasanya kegiatan ini dilakkan dalam bentuk kerja kelompok sehingga hanya membutuhkan waktu 1-2 hari untuk menyelesaikannya. Kegiatan penanaman dilakukan pada awal musim penghujan dengan harapan tanaman tahunan dan tanaman semusim mendapatkan air yang cukup. Tanaman semusim yang ditanam adalah Padi ( Gogo Rancah ), Jagung, Kacang, Kedelai, Ketela Pohon, dan rumput-rumputan, sedangkan tanaman kayu yang ditanam adalah Jati, Akasia, Mahoni, dan jenis yang lain. Untuk memacu pertumbuhan baik tanaman pertanian maupun tanaman berkayu ditambah dengan pemberian pupuk TSP. Pemberian pupuk kimia tersebut hanya bersifat tambahan, yaitu jika pemberian pupuk kandang dan kompos dirasa masih kurang.

b. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman tahunan tidak terlepas dari tata waktu ( pranoto mongso ) pengelolaan tanaman pertanian, karena kegiatan itu biasanya dilakukan bersamaan atau berurutan waktunya dengan kegiatan pengelolaan tanaman pertanian. Aspek pemeliharaan tanaman tahunan terdiri atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

(1) Rehabilitasi Teras dan Saluran Pembuangan Air (SPA/SPAT)

Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan pemeliharaan tanaman tahunan, karena tanaman tahunan pada hutan rakyat biasanya berada pada tepi teras sehingga kesempurnaan dan kestabilan bangunan teras merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan tanaman. Kegiatan perbaikan teras dan saluran pembuangan air (SPA/SPAT) dilaksanakan pada bulan Oktober-November di saat petani sudah selesai melakukan penanaman. Di sisi lain pada awal

musim penghujan dimana curah hujan belum terlalu tinggi, sehingga kegiatan itu merupakan antisipasi terhadap datangnya curah hujan yang lebih tinggi. Pada waktu itu diperlukan bangunan teras yang kokoh dan saluran pembuangan air/air tanah yang baik. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh anggota kelompok tani., sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya menjadi lebih singkat dan lamanya disesuaikan dengan volume pekerjaannya. Menurut masyarakat setempat esensi dari kegiatan ini adalah untuk menyempurnakan bangunan teras sehingga dapat mengurangi degradasi lahan akibat terjadinya erosi sehingga kualitas lahan dapat terjaga.

(2) Pendangiran Tanah dan Penyulaman Tanaman

Kegiatan ini biasanya dilakukan secara bersamaan, yaitu pada saat petani tidak terlibat dalam kegiatan pengelolaan tanaman semusim. Lama waktu pelaksanaan kagiatan ini biasanya 1-2 hari untuk tiap kepemilikan lahan. Pendangiran tanah dimaksudkan untuk memperbaiki struktur tanah sehingga tercipta kondisi aerasi dan drainase tanah yang baik, sedangkan penyulaman tanaman dimaksudkan untuk mengganti tanaman yang mati guna meningkatkan keberhasilan tanaman. Pendangiran tanah dan penyulaman tanaman dikerjakan sekitar bulan Desember-Januari, pada saat hujan masih turun sehingga tanaman hasil sulaman memiliki kesempatan untuk mendapatkan air. Bibit tanaman untuk penyulaman berasal dari cabutan anakan alami yang terdapat di sekitar areal hutan rakyat.

(3). Pemupukan

Kegiatan pemupukan dilakukan pada bulan Maret, bersamaan dengan kegiatan penanaman tanaman palawija berupa kacang tanah. Pada saat penanaman kacang tanah tersebut dilakukan pendangiran tanah yang dilanjutkan dengan pemupukan. Setelah pemupukan tanaman kacang selesai kemudian dilakukan pemupukan terhadap tanaman tahunan dengan menggunakan pupuk kandang atau dengan pupuk kompos yang berasal dari daun-daunan yang ada di lahan tersebut. Jumlah pupuk kandang yang diberikan disesuaikan juga dengan kebutuhan. Lama waktu yang digunakan untuk menyelesaikan kegiatan pemupukan ini biasanya 1-2 hari untuk tiap kepemilikan lahan, bila melalui mekanisme kerja kelompok.

(4). Penyiangan

Kegiatan penyiangan dilakukan pada bulan Juni-Juli setelah kegiatan panen kacang tanah dan ketela pohon. Penyiangan dilakukan dengan tujuan membersihkan lahan dari gulma, rumput dan tanaman penggangu lainnya. Bersamaan dengan kegiatan itu, dilakukan pula pembersihan lahan dari sisa-sisa hasil panenan. Hasil kegiatan itu merupakan sumber tambahan untuk mendapatkan hijauan makanan ternak. Hasil kegiatan penyiangan berupa rumput-rumputan dan batang tanaman kacang dapat digunakan untuk hijauan makanan ternak apalagi pada bulan Juni-Juli adalah bulan-bulan kering dimana produksi rumput untuk pakan ternak sangat kurang. Bagi tanaman tahunan kegiatan penyiangan dimaksudkan untuk menghilangkan tanaman pengganggu yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman dan mengurangi kompetisi dengan tanaman pengganggu dalam memperoleh air, unsur hara, dan cahaya matahari. Kegiatan penyiangan ini dilakukan secara perorangan (individual) setiap hari pada bulan Juni-Juli, karena pada saat itu petani tidak memiliki waktu yang relatif senggang. Kegiatan tersebut dapat juga dilakukan secara kelompok jika memang volume pekerjaannya relatif besar.

(5) Pemangkasan Cabang ( Prunning )

Kegiatan pemangkasan cabang biasanya bersifat kondisional karena tanaman tahunan sudah cukup besar sehingga menaungi tanaman pertanian sehingga mengganggu produktivitas tanaman pertanian. Kegiatan prunning dilakukan secara periodik pada bulan Juni-Juli, setelah tanaman kayu berusia kurang lebih 5 tahun, sedangkan intensitasnya tergantung dari kebutuhan. Jika naungan dirasa berat maka intensitasnya tinggi demikian pula sebaliknya. Jika naungan tidak dapat dikurangi lagi dengan prunning maka perlu dilakukan penjarangan.

Kegiatan prunning, biasanya dilakukan secara perorangan (individual) oleh petani dan bersamaan dengan kegiatan penyiangan. Jadi sambil mencari HMT petani juga mencari kayu bakar

melalui kegiatan ini untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan kebutuhan energi rumah tangganya. Lama kegiatan ini tidak bisa ditentukan biasanya tiap hari pada saat petani memiliki waktu luang. Hasil dari kegiatan prunning yang berupa cabang dan ranting kayu digunakan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan energi berupa kayu bakar, sedangkan hasil kegiatan prunning yang berupa daun-daunan terutama untuk jenis Mahoni dan Sengon Laut juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hijauan makanan ternak.

Esensi dari kegiatan prunning ini adalah mengurangi gangguan tanaman pertanian berupa naungan dari tanaman tahunan, meningkatkan kualita batang dengan mengurangi cacat mata kayu, memenuhi kebutuhan energi berupa kayu bakar, serta untuk memenuhi kebutuhan akan hijauan makanan ternak.

(6) Penjarangan

Kegiatan penjarangan juga bersifat kondisional karena penjarangan baru dilakukan bila pemangkasan cabang ( Prunning ) dirasa tidak dapat mengatasi/mengurangi naungan. Di samping itu kegiatan penjarangan berguna untuk memberikan ruang tumbuh yang lebih baik terhadap tegakan tinggal sehingga pertumbuhannya dapat optimal. Kegiatan penjarangan dilakukan setelah tanaman tahunan berumur 5-10 tahun, di mana pada saat itu tanaman kayu sudah menaungi tanaman pertanian. Kegiatan penjarangan dilakukan petani secara perorangan (individual) dengan sepengetahuan kelompok tani, karena setiap penebangan pohon baik untuk pemanenan maupun penjarangan harus sepengetahuan kelompok. Penjarangan yang dilakukan adalah penjarangan bawah karena pohon yang dijarangi adalah pohon-pohon yang pertumbuhannya jelek dan tertekan ( inferior ), sedangkan intensitas penjarangan disesuaikan dengan kebutuhan. Kayu hasil kegiatan penjarangan juga dapat digunakan sebagai sumber pendapatan antara bagi petani hutan rakyat.

Dari uraian mengenai aspek kegiatan penanaman dan pemeliharaan terlihat jelas besarnya peranan kelompok tani dalam membantu petani untuk mengelola lahan mereka terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja. Tabel 17. berikut ini menggambarkan keterlibatan kelompok tani maupun anggota keluarga petani dalam aspek kegiatan penanaman dan pemeliharaan.

c. Pemanenan

Kegiatan pemanenan/penebangan kayu pada hutan rakyat dilakukan sesuai dengan kebutuhan petani pemilik hutan rakyat. Kayu yang dipanen/ditebang adalah kayu yang sudah cukup umur dan sudah laku di pasaran, sedangkan bentuk dan ukuran kayu dijadikan faktor penentu harga, sehingga makin baik kualita kayu maka harga kayu makin mahal. Kayu dijual oleh petani kepada pengumpul dalam keadaan kayu berdiri, sedangkan sistem penebangannya didasarkan atas peraturan dan tata tertib kelompok tani yakni sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih tersebut didasarkan pada umur tanaman minimal yang boleh dipanen, sehingga diharapkan kayu yang ditebang adalah kayu yang sudah cukup umur dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Berdasarkan tata tertib kelompok tani, kegiatan penebangan umumnya ditetapkan dengan sistem tebang pilih dengan menggunakan batas minimal umur. Untuk jenis Jati umur tebang minimal 20 tahun, untuk Jenis Akasia umur tebang minimal 10 tahun, dan untuk jenis Mahoni umur tebang minimal 15 tahun. Pada prakteknya umur tebang rata-rata untuk jenis Jati adalah 15 tahun, untuk jenis Mahoni 20 tahun, dan untuk jenis Akasia 10 tahun.

Pada umumnya kegiatan penebangan dilakukan oleh pembeli yang merupakan pedagang pengumpul. Penebangan dilakukan secara manual dengan menggunakan gergaji tangan, dengan komponen-komponen kegiatan sebagai berikut perebahan pohon ( felling ), pembersihan cabang ( limbing ) dan pembagian batang ( bucking ), serta kegiatan penyaradan ( skidding ) dan pengangkutan ( haulling ). Kegiatan penebangan dilakukan oleh 1 regu tebang yang beranggotakan 6 orang blandong, yang tugasnya melakukan penebangan, penyaradan dengan di pikul dan loading/reloading kayu ke atas truk. Dalam kegiatan penebangan semua biaya ditanggung oleh pembeli. Komponen biaya eksploatasi terdiri atas biaya upah blandong Rp 7000,-/hari/orang, biaya transportasi (truk) Rp 20.000,-/rit, dan biaya untuk pas angkutan kayu Rp 50.000,- untuk sekali angkut.

Dalam kegiatan penebangan ini peranan kelompok tani dan perangkat desa sangat besar dalam mengontrol pemanenan kayu karena setiap penebangan harus diketahui/ mendapat ijin dari perangkat desa dan kelompok tani. Dengan demikian lembaga-lembaga di atas dapat berfungsi sebagai pengawas dalam kegiatan penebangan agar asas kelestarian dapat terjamin.

Berikut proses pemberian ijin/pemberitahuan kegiatan tebangan bagi petani yang hendak menebang pohon miliknya :

Skema 1. Proses pembuatan ijin tebang

Selesai kegiatan penebangan, kayu kemudian dibawa ke tempat penumpukan kayu (TPn). Tempat itu dapat terletak di pinggir jalan atau di area khusus seperti di halaman pekarangan milik pedagang kayu. Setelah melakukan penebangan petani diwajibkan untuk menanami lahan mereka dengan permudaan baru sebanyak 5-10 batang untuk tiap pohon yang ditebang. Jumlah tersebut diharapkan mampu mengganti jumlah pohon yang ditebang, dengan asumsi keberhasilan tanaman rata-rata 70% (berdasarkan pengalaman) ditambah permudaan hasil trubusan jumlah tersebut mampu menjamin kelestarian.

d. Pengaturan Hasil

Pada dasarnya aspek pengaturan hasil hutan rakyat di Gunung Kidul tidak didefinisikan secara khusus oleh petani, karena petani biasanya melakukan pemanenan kayu berdasarkan kebutuhan, dan belum direncanakan secara baik. Dari hasil wawancara dengan pedagang kayu setempat diperoleh informasi bahwa petani rata-rata memanen/menebang pohon miliknya secara periodik dan kontinyu, yaitu rata-rata setahun 2 kali. Waktu penebangan biasanya menjelang hari raya dan pada tahun ajaran sekolah dimulai, karena kedua kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang agak besar. Kedua kebutuhan itu memerlukan biaya lebih, sehingga mereka perlu untuk melakukan pemanenan kayu miliknya. Mengenai jenis, volume dan jumlahnya kurang diperhatikan, dalam hal ini disesuaikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dikuatkan dengan besarnya volume perdagangan kayu pada waktu-waktu tersebut.

Dari keterangan di atas dapat diasumsikan bahwa petani rata-rata menebang kayu miliknya dua kali pertahun dengan jumlah batang dan volume yang disesuaikan kebutuhan, yaitu jika kebutuhan kecil pohon yang ditebang jumlah dan volumenya relatif kecil, sedangkan bila kebutuhan besar pohon yang ditebang jumlah dan volumenya juga besar. Untuk menjamin kelestarian, petani yang menebang kayu diwajibkan menanami lahannya dengan 2-5 batang untuk setiap batang pohon yang ditebang. Di samping itu, kelestarian diperoleh dari hasil permudaan berupa trubusan tonggak sebanyak 2-4 batang. Metode pengaturan hasil hutan rakyat, seperti digambarkan di atas sangat spesifik dan berbeda dengan metode pengaturan hasil konvensional yang biasa diterapkan pada hutan negara, karena mereka lebih menekankan pada pengelolaan individu pohon per pohon dan bukan pengelolaan kawasan. Bagi masyarakat setempat yang penting adalah terjaminnya kelestarian baik kelestarian produksi maupun kelestarian sumber daya hutan, sehingga mereka dapat secara kontinu memanen produksi kayu miliknya.

Petani memiliki rutinitas dalam pemanenan kayu setiap tahunnya, dengan jumlah batang dan volumenya disesuaikan kebutuhan. Kegiatan penebangan ini diimbangi dengan kewajiban melakukan permudaan setiap kali mereka menebang pohon miliknya sehingga dapat tercipta kelestarian baik kelestarian produksi maupun kelestarian sumber daya hutan. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk metode pengaturan hasil yang dipraktekkan oleh petani walaupun metode tersebut belum merupakan model yang konseptual.

e. Aspek Pemasaran

Pemasaran hasil hutan rakyat berupa hasil hutan kayu atau nonkayu pada dasarnya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Untuk pemasaran hasil hutan berupa kayu, kesulitan yang sering

dihadapi oleh petani adalah posisi tawar mereka yang rendah dalam penentuan harga jual. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani tentang potensi volume kayu dan tentang kualita kayu. Di samping itu, penjualan kayu oleh petani hanya didasarkan pada kebutuhan yang mendesak menyebabkan petani selalu berada pada posisi tawar yang rendah, karena petani butuh segera mendapatkan uang, sehingga harga jual kayu yang menentukan biasanya tengkulak.

Pemasaran hasil hutan kayu baik dalam bentuk kayu gelondong maupun kayu gergajian setengah jadi tidak mengalami kesulitan, karena biasanya petani yang akan menjual kayu miliknya, akan didatangi oleh pedagang/tengkulak kayu. Pemasaran hasil hutan kayu dibagi menjadi dua untuk kayu jenis komersial dijual dalam bentuk gelondongan, sedangkan untuk kayu rimba dari jenis nonkomersial dijual dalam bentuk bahan baku mebeler setengah jadi. Volume pemasaran kayu rata-rata untuk Dusun Kedung Keris juga bervariasi antara 4 m3-24 m3 untuk tiap bulannya.

Untuk pengolahan hasil tebangan berupa kayu nonkomersial dilakukan oleh pedagang. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keuntungan yang didapat dengan memberikan nilai tambah pada produk. Bentuk produk hasil olahan biasanya berupa bahan baku mebel dalam bentuk setengah jadi. Untuk pengolahan hasil produksi tersebut diperlukan tambahan biaya Rp 80.000,- per hari, untuk keperluan sewa circle saw dan upah tenaga kerja. Produk yang dihasilkan berupa kayu gergajian yang digunakan untuk bahan baku mebeler, dengan kapasitas produksi 50 set bahan mebeler per hari. Satu set kayu gergajian untuk bahan mebeler dijual dengan harga jual Rp 17.000, sehingga diperoleh pendapatan total Rp 850.000,- tiap hari. Usaha untuk memberikan nilai tambah pada hasil produksi kayu non komersial, yang dilakukan oleh petani yang merangkap sebagai pedagang pengumpul merupakan salah satu bentuk usaha hutan rakyat ( Small Scale Forest-Based Enterprises ).

Tabel Harga Dasar Kayu Berdasarkan Jenis dan Kelas Diameter

No.

Kelas diameter (cm)

Harga menurut Jenis ( Rp/ m 3 )

Jati

Mahoni

Akasia/Lain-lain

1.

10 – 15

250.000

200.000

70.000

2.

16 – 19

450.000

350.000

150.000

3.

20 – 29

750.000

450.000

250.000

4.

30 – 39

1.500.000

750.000

400.000

5.

40 – 49

2.500.000

750.000

750.000

Sumber : Hasil Wawancara dengan Pedagang, 1999

Dalam kegiatan pemasaran, jalur distribusi perdagangan kayu bulat dan kayu gergajian dalam bentuk bahan baku mebeler setengah jadi dapat digambarkan dalam skema berikut ini :

Skema 2. Jalur Distribusi Kayu Bulat

Skema 3. Jalur Distribusi Kayu Gergajian untuk Bahan Baku Mebeler

Dari skema jalur distribusi kayu bulat maupun kayu gergajian petani menjual langsung kepada pengumpul kecil yang biasanya merupakan pedagang kayu lokal, selanjutnya pengumpul kecil menjual kepada pengumpul besar yang biasanya merupakan pedagang yang berasal dari luar daerah, dari pengumpul besar kemudian didistribusikan ke industri pengolahan baik industri

penggegajian atau industri mebeler, akhirnya setelah keluar dari industri pengoalahan produk kayu olahan didistribusikan ke konsumen, baik lokal maupun ekspor.

Dalam kegiatan pemasaran terjadi proses jual beli. Pembeli yang akan membawa kayunya ke tempat ( kota ) lain memerlukan pas angkutan kayu. Untuk mendapatkan pas angkutan kayu, pembeli (pedagang kayu) dapat memperolehnya dari Cabang Dinas Kehutanan. Pas angkutan kayu yang diperoleh hanya dapat digunakan untuk sekali pakai untuk satu kota tujuan, sehingga untuk kota yang lain diperlukan pas angkutan kayu yang lain pula. Prosesnya sebagai berikut :

Skema 4. Proses Pembuatan Pas Angkutan Kayu

5. Kelembagaan

Aspek kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan baik formal maupun nonformal yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat. Kelembagaan formal meliputi organisasi/lembaga yang berada di bawah struktur pemerintah, baik pemerintah Daerah Tingkat I maupun pemerintah Daerah Tingkat II, sedangkan kelembagaan nonformal berupa organisasi kelompok tani. Kelembagaan formal dalam prakteknya lebih berperan dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada petani baik melalui kelompok tani maupun secara individual, sedangkan lembaga nonformal lebih berperan dalam operasional pengelolaan hutan rakyat.

Gambaran mengenai struktur kelembagaan formal pengelolaan hutan rakyat menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah Tingkat II melalui Dinas Kehutanan Tingkat II dan Kanwil Kehutanan melalui Dinas PKT Tingkat II memiliki peranan dalam pengembangan hutan rakyat. Secara teknis yang bertanggung jawab terhadap pengembangan hutan rakyat adalah Dinas PKT Tingkat II, sedangkan Dinas Kehutanan Tingkat II hanya berperan dalam proses pemasaran hasil hutan yang berupa pemberian ijin/pas angkutan kayu.

Kontribusi kelembagaan formal adalah memberikan bimbingan dan penyuluhan teknis tentang pengelolaan hutan rakyat, serta membantu kelompok tani dalam menyusun Perencanaan Pengelolaan Hutan Rakyat (PPHR). Di samping itu, kelembagaan formal juga memberi bantuan berupa insentif dalam bentuk proyek yang membantu petani bila ingin melakukan penanaman tanaman berkayu di lahan miliknya. Lembaga formal juga dapat berperan sebagai mediator yang menghubungkan kelompok tani dengan instansi/lembaga lain yang dapat bekerja sama dalam pengembangan hutan rakyat.

Target dan tujuan yang ingin dicapai oleh kelembagaan formal dalam pengembangan hutan rakyat adalah mengembangkan hutan terutama di luar kawasan hutan negara. Arahan pengembangan hutan rakayat tersebut diharapkan mampu menciptakan kawasan hutan seluas 30% dari total luas daratan di Kabupaten Gunung Kidul. Untuk kelembagaan nonformal kontribusi yang diberikan lebih besar karena lembaga nonformal yang berupa Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) merupakan alternatif solusi yang dapat membantu petani apabila mereka mengalami permasalahan di dalam mengelola hutan rakyat miliknya. KTHR dapat berperan secara langsung dalam membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan petani hutan rakyat dalam mengelola hutan rakyat milik mereka, diantaranya kebutuhan akan tenaga kerja, kebutuhan akan modal, dan kebutuhan akan peralatan pertanian.

KTHR merupakan kelompok tani yang dibentuk oleh petani hutan rakyat. Tujuannya adalah mewujudkan tujuan bersama dalam mengelola hutan rakyat mereka secara bersama. Kelompok tani tersebut memiliki areal hutan rakyat seluas rata-rata 35 ha yang dikelola secara komunal. Umumnya struktur organisasi KTHR telah lengkap menurut kebutuhan petani. Kelompok itu juga memiliki administrasi yang baik dan kegiatan kelompok yang kontinu dan sudah direncanakan dengan baik untuk menunjang pengelolaan hutan rakyat maupun untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Struktur organisasi yang berlaku dalam kelompok tani itu adalah pembagian wewenang dan tanggung jawab yang jelas dari setipa pengurusnya, serta administrasi kegiatan misalnya pencatatan buku-buku administrasi untuk setiap kegiatan yang ada. Di samping itu telah dilakukan Perencanaan Pengelolaan Hutan Rakyat (PPHR) terhadap kegiatan-kegiatan

pengelolaan tanaman tahunan seperti penanaman dan pemeliharaan, serta pencatatan realisasi kegiatan dan evaluasi hasil yang di capai untuk tiap-tiap kegiatan. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh KTHR:

 

a. Pertemuan Rutin

Pertemuan rutin kelompok tani dilakukan setiap malam tertentu (Selapan). Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh seluruh anggota dan oleh Petugas Lapangan Penghijauan (PLP) kecamatan. Agenda pertemuan biasanya terdiri atas penyuluhan dan bimbingan teknis dari PLP, mendiskusikan permasalahan yang dihadapi beserta solusinya, serta arisan anggota kelompok tani. Kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan teknis petani dalam mengelola hutan rakyat milik mereka, kegiatan diskusi dimaksudkan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam mengelola hutan rakyat dan mencari solusi pemecahannya, sedangkan kegiatan arisan merupakan kegiatan sosial guna mempererat hubungan sosial antar anggota kelompok di samping untuk melatih anggota untuk menabung.

 

b. Kegiatan Kerja Kelompok

Kegiatan kerja kelompok merupakan kegiatan yang besar menfaatnya bagi anggota kelompok tani dalam mengelola lahan miliknya. Kegiatan kerja kelompok diikuti oleh seluruh anggota kelompok, yang dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan jumlah anggota kurang lebih 10 orang. Salah seorang anggota kelompok tersebut dipilih menjadi ketua. Masing-masing anggota kelompok kecil tersebut dapat menggunakan tenaga anggota kelompok yang lain secara bergiliran, dalam melakukan kegiatan pengelolaan lahan baik pengelolaan tanaman pertanian maupun tanaman tahunan. Kompensasi dari penggunaan tanaga itu adalah membayar biaya Rp 100,- per orang per hari yang disetorkan ke dalam kas kelompok. Giliran penggunaan tenaga anggota kelompok diatur secara musyawarah dengan prioritas pada anggota yang kebutuhan tenaganya paling mendesak.

Kegiatan ini sangat besar manfaatnya karena banyak petani yang kekurangan tenaga kerja dalam mengelola lahan miliknya sehingga adanya kegiatan kerja kelompok kesulitan untuk mencari tenaga kerja untuk mengelola lahan tidak dialami. Keuntungan yang diperoleh adalah petani dapat memenuhi kebutuhan tenaga kerja dengan biaya murah karena jika menggunakan tenaga kerja/buruh penggarap mereka harus mengeluarkan upah sebesar Rp 5000,- per orang per hari. Di samping itu, kegiatan kerja kelompok ini mengandung nilai sosial yang tinggi karena setiap pekerjaan dilakukan secara gotong royong.

 

c. Kegiatan Simpan Pinjam

Kegiatan kelompok tani yang lain adalah kegiatan simpan pinjam kepada anggota. Anggota memiliki hak untuk meminjam uang yang berasal dari kas kelompok tani dengan bunga rendah ( 1%) dan angsuran sebanyak 10 kali. Jumlah pinjaman disesuaikan dengan kebutuhan petani dan jumlah uang kas milik kelompok tani. Kegiatan simpan pinjam ini dilakukan agar anggota kelompok yang memiliki kebutuhan mendesak dapat memenuhi kebutuhannya tanpa harus menebang pohon milik mereka. Hal ini dimaksudkan agar petani tidak terburu-buru menjual kayu miliknya karena kebutuhan yang mendesak. Dengan demikian petani menjual kayu miliknya karena kayu tersebut memang telah cukup umur.

Kendala yang dihadapi dalam kegiatan simpan pinjam ini adalah jumlah modal/kas kelompok tani yang relatif masih kecil sehingga belum mampu mengakomodir semua kebutuhan anggota, tetapi dalam perkembangan selanjutnya kegiatan ini diharapkan dapat mengakomodir semua kebutuhan anggota, sehingga tidak lagi ada istilah tebang butuh.

 

d. Persewaan Alat-alat pertanian

Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan yang menunjang pengelolaan lahan, karena dari sebagian uang kas kelompok tani diinvestasikan untuk membeli alat-alat pertanian yang dibutuhkan petani . Peralatan itu disewakan baik kepada anggota kelompok maupun di luar anggota kelompok. Kompensasi yang diperoleh dari penyewaan alat pertanian tersebut dimasukkan ke

dalam kas kelompok. Besarnya kompensasi penyewaan alat adalah sebagai berikut : untuk anggota kelompok biayanya Rp 150,- per hari, sedangkan untuk petani di luar anggota biayanya Rp 500,- per hari.

Kegiatan ini diharapkan dapat membantu petani baik anggota kalompok tami maupun masyarakat Dusun Kedung Keris pada umumnya untuk meringankan beban biaya produksi dengan menekan pengeluaran untuk membeli alat-alat pertanian atau menyewanya di tempat lain. Disamping itu bagi kelompok tani kegiatan ini dapat dijadikan salah satu sumber pendapatan untuk mengisi kas kelompok.

 

e. Persewaan Peralatan/Perlengkapan Sosial

Kelompok juga menginvestasikan sebagian dari uang kas kelompok untuk membeli satu set peralatan/ perlengkapan sosial antara lain berupa ; kursi, meja, piring, gelas, dan sendok. Peralatan tersebut disewakan kepada anggota kelompok atau masyarakat umum dengan membayar kompensasi sebesar Rp 1500,- tiap kali pakai untuk anggota kelompok, sedangkan untuk masyarakat umum sebesar Rp 5000,- tiap kali pakai untuk satu set peralatan. Hasil penyewaan peralatan pesta tersebut juga dimasukkan ke dalam kas kelompok tani. Kegiatan ini juga merupakan salah satu sumber pemasukan kas Kelompok Tani Ngudi Makmur.

 

f. Pengelolaan Kebun Benih Desa (KBD)

Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh KTHR adalah kegiatan pengelolaan KBD. Kegiatan pengelolaan KBD tersebut terdiri atas:

a. Persiapan lahan untuk KBD.

b. Pembuatan bedengan pada lokasi KBD.

c. Pengisian Kantong plastik ( polybag ).

d. Pengumpulan benih pada KBD.

e. Penaburan benih pada KBD.

f. Penyiraman tanaman pada KBD.

Kegiatan pengelolaan KBD dilakukan secara bergantian antara beberapa kelompok tani, dan lokasinya juga sering berpindah-pindah, sehingga pengelolaan KBD juga dilakukan secara bergiliran. KBD tersebut biasanya mengusahakan jenis-jenis yang ada atau jenis-jenis lain yang ingin dikembangkan di daerah tersebut, seperti jenis tanaman buah-buahan, jenis Mahoni, jenis Sengon Laut, jenis Turi, Jenis Gliriside dan yang lain-lainnya.

D. PENUTUP

Masyarakat melakukan pembangunan hutan rakyat di lahan milik mereka didorong atas kesadarannya akan besarnya peranan tanaman berkayu dilahan milik mereka. Pada awalnya tanaman berkayu dilahan mereka ditanam untuk mengurangi erosi tanah, meningkatkan produktivitas lahan kritis, melindungi sumber air, serta meningkatkan kemampuan petani dalam melestarikan sumber daya alam. Dalam perkembangannya masyarakat banyak memperoleh manfaat dari adanya tanaman berkayu di lahan milik mereka, baik manfaat ekonomis maupun manfaat ekologis. Manfaat ekonomis yang dapat dirasakan adalah tambahan pendapatan dari hasil tanaman tahunan, serta tambahan sumber hijauan makanan ternak. Manfaat ekologis yang dirasakan adalah peningkatan kesuburan tanah, dampak erosi tanah dapat diperkecil dan dikendalikan, dan lestarinya sumber mata air sehingga masyarakat tidak lagi mengalami kekurangan air terutama pada musim kemarau.

Banyaknya manfaat yang diperoleh oleh masyarakat mendorong mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan pengembangan hutan rakyat dan meningkatkan kemampuannya dalam pengelolaan hutan rakyat, sehingga manfaat yang diterima dapat maksimal untuk jangka waktu yang tak terbatas. Atas dasar itu, masyarakat selalu berusaha mengembangkan metode pengelolaan hutan yang telah dilakukan dengan mencari informasi dan pengetahuan yang baru dalam pengelolaan hutan guna menjawab permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*