Home > Paper > Kehutanan Paca Pemberlakuan UU 41 1999

(Antara Keberlanjutan dan Maraknya Konflik)

Dengan berlakunya UU No. 41 tahun 1999, harapan pengelolaan hutan yang adil, lestari dan demokratis digantungkan. Permasalahannya ternyata UUK tersebut tidak juga beranjak dari pola pikir timber extraction dalam pendekatannya.

Konflik SDH dan Benturan Kepentingan antar Pihak

Persoalan yang terus menerus mendera keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan (SDH) Indonesia, oleh sementara pihak diasumsikan akan dapat dipercepat penyelesaiaannya, manakala aspek legal pengelolaan SDH mampu ditegakkan oleh pihak pemegang wewenang (pemerintah). Asumsi semacam itu berangkat dari begitu banyaknya pekerjaan rumah yang tertinggal dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, khususnya yang berkaitan dengan lemahnya aspek penegakan hukum. Berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi, secara keseluruhan telah menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas SDH secara drastis. Gambaran yang amat nyata tentang hal itu salah satunya terlihat manakala hamparan hutan asli kita yang semula menempati areal seluas lebih kurang 142 juta ha menjadi tinggal 96 juta ha, yang berarti mengalami laju kerusakan lebih dari 1 juta ha per tahun (Kompas, 13 Mei 2000).

Diundangkannya UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan kemudian diharapkan dapat berlaku sebagai penarik kereta bagi realisasi optimisme ke depan, terlepas dari begitu banyaknya catatan yang harus selalu disertakan dalam pembicaraan mengenai UU tersebut. Sebagai sebuah perwujudan amanat banyak pihak (termasuk generasi mendatang), implementasi peraturan yang baru itu semestinya mampu mempercepat tumbuhnya sistem pengelolaan hutan yang ideal. Selama ini – diakui atau tidak – sistem ideal tersebut tidak pernah terbangun, bahkan proses untuk menuju ke sana acapkali hanya tertinggal di laci-laci meja para birokrat. Sementara di sisi lain, masyarakat (lokal) yang telah sekian lama mampu membangun sistem ideal tersebut dengan segala keterbatasannya, sangat jarang memperoleh ruang gerak yang mampu menyediakan berkembangnya ide-ide dan referensi yang sebenarnya sangat diperlukan dalam menjaga keberlanjutan SDH Indonesia.

Yang tertinggal selama ini hanyalah tumbuhnya persepsi aparat pemerintah tentang posisi masyarakat lokal (dan pihak-pihak di luar pemerintah yang lain), yang selalu dianggap berpotensi untuk merusak hutan dan mengganggu usaha pemerintah melaksanakan agenda-agenda sustainable forest management. Pada prakteknya, keberpihakan lebih banyak diberikan kepada para pemodal besar dan kalangan birokrat dalam BUMN, dengan berbagai macam cara (termasuk peruntukan dana reboisasi bagi industri elit). Kesemuanya itu ternyata mengakibatkan suatu keprihatinan yang amat mendalam terhadap hutan kita; bukan saja karena kerusakan yang telah terjadi, namun lebih jauh lagi di sana-sini kemudian merebak fenomena konflik atau sengketa yang amat nyata berkaitan dengan pemanfaatan SDH. Konflik yang muncul tidak jarang bermula dengan kekerasan, berkembang menjadi kekerasan yang lebih besar, dan berakhir dengan cara-cara kekerasan pula. Berbagai informasi mengenai hal ini telah banyak kita ketahui, baik dari media massa yang melaporkannya maupun dengan mata kepala kita sendiri-sendiri di sekitar tempat tinggal masing-masing. Sungguh ini merupakan fakta sejarah kehutanan Indonesia, dan segenap pihak dituntut untuk segera mengagas tersusunnya titik-titik terang bagi upaya penyelesaiannya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik pengelolaan hutan yang terjadi, melibatkan berbagai kepentingan karena keberadaan banyak pihak yang sama-sama memanfaatkan keberadaan hutan. Perbedaan kepentingan terhadap SDH bagaimanapun tidak dapat dihindari, misalnya dalam hal property khususnya selama hutan tersebut belum menjadi hutan privat dengan property right yang relatif stabil. Faktanya, sebagian besar hutan kita berada pada kondisi dimana resource property right tersebut belum saling dihormati, dalam arti kesepakatan-kesepakatan untuk mengamankan hak kelola yang dimiliki masing-masing pihak belum cukup terbangun secara menyeluruh. Apa yang terjadi di lapangan, baik yang berupa konflik kawasan, konflik pemanfaatan hasil, birokrasi pengelolaan, hingga tata niaga hasilnya; mencerminkan besarnya perbenturan kepentingan tersebut. Pada bagian lain, tergambar pula adanya jurang pemisah yang amat dalam antara kepentingan masyarakat sekitar hutan, yang seharusnya menjadi prioritas pertama dalam pembicaraan tentang SDH, dengan berbagai pihak lain yang juga terlibat.

 

Aspek Keberlanjutan Sumber Daya Hutan

Ketika KTT Bumi di Rio tahun 1992 mencuatkan isu tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan, maka peluang bagi terlibatnya masyarakat secara penuh dalam pengelolaan hutan semakin berkembang, paralel dengan tumbuhnya wacana baru dalam pengelolaan SDH di banyak negara. Secara umum, sustainable forest mangement (SFM) berlandaskan pada prinsip berikut:

  • Batas-batas SDH dan kelompok-kelompok pengguna yang jelas
  • Aturan pemanfaatan yang spesifik dan sesuai dengan kondisi lokal
  • Modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal
  • Para pengguna memantau ketaatan terhadap aturan-aturan yang telah dibuat
  • Terdapat mekanisme penyelesaian konflik yang efisien
  • Hak-hak dan institusi lokal bersifat independen
  • Para pengguna menetapkan dan menerapkan sanksi yang mengikat

Pada situasi khusus, dikembangkan sistem pemerintahan daerah yang secara keseluruhan overlapping (bertaut) dengan sistem lokal (Orstom, 1990).
Sementara itu dunia kehutanan akhir-akhir ini telah diwarnai pula dengan berkembangnya paradigma community based forest management (CBFM), yang dicirikan oleh tersedianya ruang yang memadai bagi masyarakat (khususnya masyarakat desa hutan) untuk bertindak selaku manager dalam pengelolaan SDH di sekitar mereka. Diyakini bahwa CBFM merupakan alternatif sistem kehutanan baru yang dapat menjamin keberlanjutan SDH, sekaligus sarana mengarahkan perubahan sosial di kalangan masyarakat. Konsepsi tentang elemen-elemen penting dari CBFM, secara umum terdiri dari:

  1. Jaminan proses partisipasi
  2. Kesetaraan gender
  3. Mekanisme pengelolaan sengketa
  4. Penguatan proses produksi ekonomi level rumah tangga
  5. Penerapan desentralisasi
  6. Pengembangan sistem, prosedur, dan pola-pola manajemen yang adaptif (FTP, Mei 1999).

Terlihat bahwa dalam kerangka besarnya, terdapat overlapping dan kesesuaian yang nyata antara prinsip SFM dan konsepsi CBFM. Kebutuhan tentang jaminan partisipasi, kesetaraan, manajemen atas dasar kesepakatan antar pihak, dan hal-hal lain yang secara garis besar membuka akses bagi terbangunnya mekanisme pengelolaan berbasis masyarakat; terbukti amat diperlukan bagi pembicaraan tentang keberlanjutan SDH. Salah satu aspek yang cukup mendasar dalam mengagas pengelolaan SDH berkelanjutan di masa depan adalah tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa yang praktis, cepat, efisien, dan berlangsung secara terbuka. Dengan demikian terdapat pembenaran konseptual terhadap perlunya menginisiasikan proses-proses penyelesaian konflik secara berkesinambungan, dalam setiap skenario pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

Penyelesaian Konflik Alternatif

Belajar dari kondisi faktual yang ada sekarang, semua pihak menyadari bahwa memang tidak mudah untuk segera mengimplementasikan apa yang disyaratkan oleh paradigma SFM dan CBFM itu. Pengalaman yang telah sekian lama terbangun dalam kehutanan Indonesia adalah munculnya kekakuan sistem state based yang melibatkan berbagai kebijakan yang amat top down. Aparat departemen kehutanan yang selama ini merasa menduduki posisi sebagai pemegang otoritas pengelolaan hutan, belum mampu secara faktual menyediakan jembatan bagi dialog kepentingan menuju penyelesaian konflik tersebut, yang berlangsung dalam suatu proses yang demokratis dan terbuka. Prinsip yang selama dianut oleh aparat memunculkan pengambilan posisi yang mengesankan bahwa kepentingan tersebut seolah-olah menjadi bagian dari birokrasi, dan semangat untuk menempatkan diri sebagai fasilitator tidak pernah diusahakan dengan serius. Dalam konteks pengelolaan hutan, konflik sering terjadi dalam cakupan yang beragam dan intensitas yang bermacam-macam. Konflik yang terjadi dapat melibatkan dua pihak, banyak pihak, dan bahkan dapat merentang antar generasi. Adanya kompleksitas konflik SDH menyebabkan praktek-praktek penyelesaiannya harus fleksibel dan beragam pula.

Apa yang kemudian dituntut oleh banyak pihak akhir-akhir ini adalah perlunya suatu Grand Design baru mengenai upaya pengelolaan SDH Indonesia masa depan yang berlandaskan keberlanjutan dan ruang gerak yang memadai bagi masyarakat. Oleh karenanya dialog-dialog antar pihak menjadi sebuah prakondisi yang amat diperlukan bagi upaya tersebut, sebelum secara lebih jauh menindaklanjuti proses-proses penyelesaian konflik secara praktis. Kebutuhan tentang hal ini tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan dengan demikian UU 41 sebagai inisiatif kebijakan terbaru diharapkan akan dapat memberikan ruang-ruang secara legal serta mempercepat proses dimaksud.

Pada dasarnya inisiatif penyelesaian konflik yang berkaitan dengan pengelolaan SDH melalui proses-proses dialog antar pihak, telah memperoleh peluang dan diatur pada pasal 74 UU 41 tahun 1999 ayat (1), yang menyebutkan bahwa: “Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.”

Berangkat dari apa yang termaktub dalam pasal tersebut, terdapat celah yang besar bagi pihak-pihak yeng bersengketa untuk menempuh mekanisme penyelesaian baik melalui pengadilan, maupun di luar pengadilan secara sukarela-atau yang lebih dikenal dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Tanpa harus membahas lebih jauh tentang mekanisme ADR ini, harus diakui bahwa dengan munculnya klausul ini dalam UU 41, keragu-raguan terhadap tegaknya proses adjudikasi melalui peradilan formal setidaknya telah memperoleh jawabannya. Banyak literatur menyebutkan bahwa proses ADR memiliki latar belakang historis yang signifikan di dalam masyarakat kita, khususnya ketika praktek-praktek musyawarah untuk mufakat disepakati menjadi akar bagi berkembangnya proses-proses sosial budaya. Masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya alam termasuk hutan, diyakini memiliki pandangan budaya dan praktek-praktek tradisional yang spesifik tentang konflik dan cara penyelesaiannya. Masyarakat biasanya menggunakan praktek-praktek tradisional, mekanisme kelembagaan lokal, serta aturan-aturan yang melengkapi perspektif kebudayaan yang mereka anut.

Berkenaan dengan jenis-jenis konflik yang dapat diselesaikan melalui proses resolusi alternatif ini, lebih jauh dijelaskan di dalam pasal 75 (2) yang berbunyi: “Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan.”

Dengan demikian konflik yang berkaitan dengan benturan hak (termasuk tenurial system), kehilangan akses atas sumber daya hutan, kerugian akibat kerusakan sumber daya hutan, serta sistem pemulihan fungsi dan manfaat sumber daya hutan; secara keseluruhan dapat ditempuh proses penyelesaiannya melalui mekanisme di luar pengadilan (ADR). Ayat (3) dari pasal 75 menyebutkan bahwa:Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi non pemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan.

Penyelesaian konflik alternatif dalam konteks pengelolaan SDH secara berkelanjutan harus mengenali lebih jauh aspek-aspek yang telah berkembang di masyarakat; dengan penyesuaian yang optimal terhadap kondisi, pengetahuan, dan informasi yang telah ada. Mengingat dari waktu ke waktu konflik SDH yang terjadi belum juga mereda, amatlah mendesak untuk memahami penyebab konflik yang ada, melalui pendekatan manajemen penyelesaian konflik yang sesuai; dengan melandasi pada perbedaan kepentingan yang ada. Ketimpangan yang terjadi antara pihak masyarakat desa hutan dan pihak-pihak lain di luarnya, sebagai contoh, mensyaratkan proses penggalian lebih jauh terhadap kebutuhan mereka secara partisipatif. Persoalan yang kemudian muncul di depan mata adalah perlunya mekanisme-mekanisme ini dapat terlembagakan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Inisiatif ini akan sulit dilakukan ketika kebijakan operasional yang dikembangkan oleh aparat pelaksana belum mampu mengadopsi berbagai participatory tools yang sebetulnya tersedia secara luas.

Catatan sebagai Epilog

Proses dialog secara terbuka antar berbagai pihak dalam proses penyelesaian konflik menuju pengelolaan hutan berkelanjutan memiliki arti yang amat penting. Dialog tersebut bertujuan untuk menjamin adanya representasi para pihak secara penuh dan akurat, serta menjamin adanya pengakuan terhadap posisi, kepentingan-kepentingan, dan keterlibatan mereka dalam konflik yang ada. Pendekatan penyelesaian konflik alternatif hanya akan berkembang selama diterapkan dalam situasi yang melibatkan banyak pihak, terutama atas kenyataan adanya berbagai kepentingan dan posisi yang berbeda dalam pengelolaan SDH. Mengingat konflik yang demikian marak akhir-akhir ini, percepatan mutlak diperlukan dan gagasan untuk merevisi sistem perencanaan kehutanan secara mendasar, dengan mengikutsertakan aspirasii masyarakat di dalamnya, telah menjadi catatan penting. Semangat untuk memunculkan dialektika antar pihak sepatutnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada saat-saat ini, khususnya ketika klausul-kalusul pada UU 41 telah mulai diterjemahkan dalam aturan-aturan pelaksanaan (antara lain Peraturan Pemerintah). Keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat selanjutnya menjadi suatu keniscayaan, mengingat dalam setiap konflik yang muncul, pihak yang paling menderita adalah masyarakat sekitar hutan, di samping tentu saja sumber daya hutan itu sendiri.

 

Daftar Bacaan
Forest, Tree and People Newsletter, No. 41/42, Mei 1999
Kompas, 13 Mei 2000
Orstom, 1990 dalam Momiaga, Sandra, 1998, Pembangunan Kehutanan Berwawasan Lingkungan, Tidak dipublikasikan

Faisal Husnul Fuad (Penulis) adalah Presidium Aliansi Relawan Untuk Penyelamatan Alam (ARUPA) dan menjabat sebagai Kepala Hubungan Luar.

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*