
Merangin (31/8). Seperti dejavu, warga lima desa di kabupaten merangin dipertemukan dalam sebuah konsolidasi yang berbicara sesuatu tidak sepenuhnya baru bagi mereka, yaitu hutan desa dan hutan adat. Masih terngiang proses yang mereka lalui sejak 2007 sampai setidaknya tahun 2012. Kali ini mereka dipertemukan dalam kegiatan Workshop UU Desa yang diadakan oleh Konsorsium IPHD Merangin yang dikelola oleh Satunama, ARuPA, G-cinDe, dan Univ Mercu Buana Yogyakarta, dengan dukungan dari MCA Indonesia.
Kali ini kami akan menginformasikan hari per hari acara ini. Berlangsung selama tiga hari tanggal 31 september – 2 Agustus 2016 di Hotel Royal Bangko. Menghadirkan Yando Zakaria Mantan Tenaga Ahli DPR untuk RUU Desa dan Widyo HM Dosen APMD Yogyakarta sebagai narasumber, dan difasilitasi oleh Damar DN dari Yayasan Satunama. Workshop ini bertujuan membedah UU Desa untuk menemukan strategi dan pelaksanaan UU Desa dalam memperkuat akses masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya alam (hutan desa).
Sebelum membincangkan lebih dalam tentang UU Desa, pada hari I para penggiat perhutanan sosial dari 5 desa tersebut diajak oleh fasilitator dan narasumber untuk memanggil ulang memori mereka tentang proses perjuangan yang telah dilakukan selama ini untuk menyelamatkan hutan yang ada di desanya.
Dalam proses pemanggilan memori tersebut, ada kisah keberhasilan ada pula kisah ketidakberuntungan. Sebagai contoh, proses pengajuan hutan desa oleh masyarakat Durian Rambun tergolong lebih progresif kemajuannya ketimbang masyarakat Lubuk beringin, Lubuk birah, dan Birun. Sementara itu, agak sedikit berbeda, masyarakat Tiaro menempuh jalur beda yaitu mengupayakan rekognisi hutan adat yang mereka klaim seluas 200 hektar di desanya.
Durian Rambun melaju pesat tidak hanya telah mendapatkan SK HPHD dari Gubernur Jambi, tetapi hingga kini kegiatan-kegiatan yang lain telah dilakukan misalnya membangun ekowisata dan menghitung potensi karbon hutan desa. Bahkan telah 2 tahun mendapatkan kompensasi jasa lingkungan hingga 150 juta per tahun atas upaya penyerapan karbon dari hutan desa Durian Rambun. Akhir tahun ini, LPHD Durian Rambun akan mendapatkan sertifikat ekolabel melalui skema PHBML-LEI.
Betapapun demikian, aktivis hutan desa Durian Rambun tetap mengajak 4 desa yang lain untuk terus memacu proses perjuangan ini di desa masing-masing hingga setidaknya pencapaian dapat setara atau menyusul sepertihalnya pencapaian masyarakat Durian Rambun.
Menurut Yando Zakaria, jika proses pengupayakan Perhutanan Sosial di 5 desa tersebut bukan hal yang baru, maka perlu mengenali kondisi saat ini, mengevaluasinya, hingga masyarakat menemukan tahapan-tahapan selanjutnya untuk dilakukan. Hal yang diluar dugaan, 3 desa yaitu durian rambun, lubuk beringin, dan lubuk birah pada dasarnya merupakan satu marga yaitu margo pesanggrahan. Secara lugas, mereka menjawab bahwa margo pesanggrahan sebagai masyarakat adat masih dihidupi hingga sekarang. Persoalannya penyeragaman kampung-kampung di Indonesia sejak 1979 melalui UU 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah “mencabik-cabik” masyarakat adat di Indonesia khususnya di luar Jawa.
Berbekal hari pertama ini, malam hari peserta sambil istirahat diminta untuk memikirkan dua hal yaitu apa tahapan selanjutnya dalam memperjuangkan perhutanan sosial, dan yang kedua memikirikan margo pesanggrahan sebagai ikatan adat dari tiga desa tersebut.