Merangin (2/9). Sesi pagi sampai tengah hari, Widyo Hari Murdianto, narasumber yang juga dosen APMD Yogyakarta memberikan materi tentang UU Desa. Pasal per pasal dijelaskan dengan detail. Peserta yang merupakan Kepala Desa, BPD dan tokoh masyarakat di 5 desa terlihat antusias, karena ternyata tidak ada satupun peserta yang pernah membaca atau mempelajari UU Desa. Mengherankan, karena UU Desa hampir dua tahun diimplementasikan.
Menurut Widyo, kekuatan dari UU No 6 Tahun 2014 adalah desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD 1945.
“Misalnya pada pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat; memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia”
Tanggapan dari peserta beragam. Sebagai contoh, Basarudin, Kepala Desa Tiaro, menyatakan bahwa mayoritas Kades yang hadir di sini, termasuk dirinya yang baru dilantik 3 bulan ini, merasa sangat berterimakasih karena mendapatkan pengetahuan yang banyak soal UU Desa. Pengetahuan ini sangat berharga untuk lima desa ini terutama berkaitan dengan pengelolaan hutan yang ada di desa masing-masing.
Lebih jauh, Afton tokoh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Durian Rambun, justru menyayangkan bahwa Karang Taruna tidak tersebut dalam UU Desa ini.
“Tentang Musyawarah Desa. Berdasarkan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa, ada 5 unsur masyarakat yang ada, tetapi dari 5 unsur tersebut, Karang Taruna tidak ada. Bagaimana bisa Karang Taruna tidak dilibatkan dalam Musdes? Pengalaman Durian Rambun partisipasi pemuda sangat penting untuk memberikan masukan. Karang Taruna tidak dianggarkan di ADD. Tidak ada ruang bagi karang taruna di UU ini.”
Menanggapi hal tersebut, Widyo Hari menanggapi bahwa Karang Taruna maupun PKK sudah termasuk bagian dari organisasi kemasyarakat yang juga diakui oleh UU ini. Namun, memang tidak disebutkan secara spesifik.
Terkait dengan Hutan Desa, Widyo menambahkan bahwa Musyawarah Desa dapat dijadikan alat untuk memasukkan agenda Pengelolaan Hutan Desa maupun Hutan Adat ke dalam RPJMDes maupun APBDes. Sehingga kegiatan ini dapat secara resmi menjadi kegiatan Desa. Sebagai tahap awal bisa dimulai dengan penataan batas desa dan batas hutan desa secara partisipatif dan terjun langsung ke lapangan.
Sementara itu, Yando Zakaria, fasilitator dari KARSA Yogyakarta mengungkapkan hal yang menarik. Bahwa apa yang ketahui selama ini dari pemerintah, politisi, maupun partai tertentu bahwa tiba-tiba sekarang Desa mendapatkan uang yang begitu banyak dari Pemerintah. Apakah memang benar-benar baru seperti itu?
“Salah ! Dari dulu uangnya segitu. Tapi yang dipegang oleh kades itu 15% (ADD). 85% siapa yang pegang? Ketua Kel PNPM Mandiri, ketuakelompok PMKS dan proyek-proyek yang lain. Ada sekitar 110 judul peraturan anggaran desa termasuk PNPM, PPIP, Kansimas, SPP atau proyek-proyek lain. Yang berubah itu penguasanya. Kalau dulu yang pegang pinpro A pinpro B, sekarang jadi satu. Jadi bohong mereka itu kalau mengatakan Desa sekarang tiba-tiba kaya, wong itu memang uang Desa dari dulu kok.
Lebih lanjut, Yando memberikan penjelasan bahwa dalam UU Desa anggaran itu dibagi dua untuk hal. Pertama, ‘Desa Membangun’ yaitu pembagunan desa berdasarkan sumberdayanya sendiri. Satu-satunya pedoman dalam pembangunan itu adalah RPJMDes.
Kedua, ‘Membangun Desa’ yaitu siapa saja bisa bangun di desa, termasuk pemerintah pusat, CSR, dll berdasarkan pembagunan kawasan perdesaan. Oleh karena itu, baik ‘desa membangun’ maupun ‘membangun desa’ keduanya perlu untuk dimasukkan dalam RPJMDes supaya tidak terjadi tumpang tindih.
Saat ini, karena sudah terlalu lama desa diseragamkan oleh Orde Baru, maka di desa sekarang mengalami 3 krisis yang akut yaitu krisis agraria, krisis ekologi dan krisis sosial.
UU Desa ini diharapkan dapat mengatasi ketiga krisis tersebut. Tetapi memang pekerjaan tidak mudah. Diperlukan perbaikan relasi antara supra desa dan desa, antara desa dan warga desa, antar warga desa sendiri.
Untuk menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh 5 desa ini ke depan, maka peserta workshop pada sesi malam diajak untuk mengidentifikasi potensi yang ada di desanya dengan bagan sebagai berikut: