Home > Berita > Bedah 10 Tahun PHBM

 

Purwokerto (5/4/2012). Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) beberapa tahun terakhir sudah tidak menjadi konsentrasi utama dalam pengelolaan hutan Jawa. Perhutani sebagai pemegang otoritas pengelolaan hutan Jawa, sejak 6 tahun terakhir tidak lagi intens berinteraksi dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) sebagai mitra utama dalam PHBM. Hal ini disinyalir terjadi lantaran Perhutani sedang gencar-gencarnya mengembangkan usaha kehutanan serta mengejar sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari.

Saat ini, Perhutani mengejar dua hal sekaligus yakni optimalisasi aset dan sertifikasi pengelolaan hutan lestari (PHL). Pertama, optimalisasi aset ditempuh dengan pengembangan usaha melalui pendirian Kesatuan Bisnis Mandiri (KBM) sebagai badan kerja yang terpisah manajemennya dengan KPH, Pengembangan hutan rakyat di luar kawasan hutan, serta pemenuhan prinsip-prinsip dalam sertifikasi PHL. Kesemuanya tersebut membawa konsekuensi yakni LMDH dan program PHBM mulai dan sedang ditinggalkan oleh Perhutani. Setidaknya, hal itulah yang dirasakan banyak sekali LMDH yang berada di KPH Banyumas Barat dan KPH Banyumas Timur.

“Beberapa tahun terakhir, Perhutani tidak lagi memberikan pelatihan, pendampingan, atau bahkan koordinasi dengan LMDH. Hal ini dikarenakan Perhutani lebih sibuk mengurusi KBM, mendirikan koperasi, mendirikan kelompok hutan rakyat” ungkap salah satu pengurus Paguyuban LMDH di KPH Banyumas Barat.

Testimoni tersebut dan banyak testimoni dari pengurus Paguyuban LMDH tersebut muncul pada acara “Diskusi 10 tahun PHBM” yang diselenggarakan oleh Paguyuban LMDH Jawa Tengah (GUGAH Jateng) bekerjasama dengan ARuPA pada tanggal 4-5 April 2012 bertempat di Sekretariat Kelompok Tani Argo Wilis Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Gugah Jateng mengungkapkan bahwa saat ini tiba saatnya LMDH untuk menguji apakah selama 10 tahun perjalanan PHBM telah sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama yaitu masyarakat desa hutan melalui LMDH  benar-benar dilibatkan dalam pengelolaan hutan, apakah kesejahteraan telah dirasakan oleh masyarakat dari hutannya, dan apakah kebijakan seputar PHBM dan Bagi Hasil yang selalu berganti dapat membawa pengelolaan hutan yang lebih berkeadilan atau justru hendak meminggirkan masyarakat dari hutannya.

Di wilayah KPH Banyumas Barat dan Timur, pada awal sosialisasi PHBM dan pembentukan LMDH sekitar tahun 2002 hingga 2006, Perhutani berbicara manis akan mensejahterakan masyarakat melalui pengelolaan hutan secara kolaboratif antara Perhutani dan Masyarakat. Ada juga oknum Perhutani yang memberikan janji akan menggelontorkan dana bantuan hingga seratus juta rupiah pada tiap desa hutan.

Menurut beberapa pengurus paguyuban LMDH, hal tersebut dilakukan Perhutani agar masyarakat mau menerima PHBM dan segera membentuk LMDH. Petugas Perhutani di masing-masing KPH dibebani deadline target pembentukan LMDH di semua desa hutan dan menjalankan PHBM dengan sukses.

Salah satu pejabat Perhutani dari KPH Banyumas Timur yang juga hadir pada kesempatan tersebut mengklarifikasi bahwa itu dilakukan oleh salah satu oknum Perhutani saja. Semestinya masyarakat harus mengerti dulu tentang PHBM baru kemudian menerima dan menjalankannya.

Dalam konteks bagi hasil, beberapa tahun terakhir Perhutani mewajibkan kepada semua LMDH yang anggotanya menanam tanaman di bawah tegakan untuk di buat nota kerjasama dengan Perhutani. Artinya, segala tanaman di bawah tegakan yang ditanam petani haruslah dibagi hasil dengan Perhutani. Hal tersebut terjadi tidak hanya di Banyumas Barat dan Timur, di KPH Kedu Selatanpun terjadi. Rumput Gajah dibagi hasil, tanaman pisang di bagi hasil, tanaman lombok, kopi, dan lain-lain semua harus di bagi hasil dengan Perhutani. Hal ini menurut pengurus LMDH merupakan preseden buruk bagi keberlanjutan PHBM serta mengindikasikan pembunuhan pelan-pelan terhadap LMDH dan anggotanya.

Pada ketentuan Surat Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 682 tahun 2009 tentang PHBM pasal 1 disebutkan bahwa:

Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dan atau Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan dengan pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional“.

Kentuan pasal 1 tersebut bertolakbelakang dengan fakta yang terjadi di lapangan. Pelibatan investor dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak melibatkan LMDH. Sebagai contoh: kasus pengelolaan potensi wisata di KPH Banyumas Timur yang dilakukan oleh Palawi (Perusahaan Pariwisata milik Perhutani) mengelola potensi wisata di wilayah Baturaden tidak melibatkan LMDH. Jika memperhatikan prinsip berbagi dalam PHBM, pelibatan investor dalam pengelolaan sumberdaya hutan seharusnya dibicarakan dengan LMDH terlebih dahulu.

Terkait dengan konsentrasi Perhutani yang tidak lagi pada PHBM dan LMDH, paguyuban LMDH membaca fenomena tersebut sebagai gelagat buruk atas perkembangan PHBM ke depan. LMDH sudah tidak dianggap lagi sebagai mitra utama dalam pengelelolaan hutan. Dengan demikian, hubungan yang baik antara LMDH dengan Perhutani yang sudah terbagun baik, berpotensi besar akan hancur berantakan. Hal tersebut sangat disayangkan oleh paguyuban LMDH.

Melihat beberapa fakta-fakta tersebut, Gugah Jateng selaku representasi Paguyuban LMDH se-Jawa Tengah meminta Perhutani untuk kembali lagi memberikan perhatian kepada LMDH dan tetap fokus pada Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Selain itu, beberapa pelaksanaan bagi hasil dari tanaman di bawah tegakan yang tidak masuk akal untuk segera dihentikan.

6 Comments, RSS

  • Tunggul Wiyatno

    Koq aneh org perhutani ini, yg dimaksud bagi hasil itu kan bagi hasil kayu, bukan bagi hasil bawah tegakan, tanaman palawija, sampe : lombok,ketela, dsb minta dibagi hasil dgn perhutani……koq nggragas nemen wong perhutani iki sing njaluk bagian palawijone masyarakat.

  • dian supardiana

    betul jika bagi hasil tanaman bawah tegakan itu merugikan rakyat?,bagaimana dengan rakyat yang merugikan ekologi?

    • Tanaman bawah tegakan sangat dibutuhkan oleh pesanggem/petani hutan, karena hanya itu yang menjadi solusi bagi mereka yang tidak punya tanah milik di desa untuk bertani. Jika solusi itu kemudian masih dibagi hasil dengan Perhutani, akan sangat menyedihkan. Rakyat mana yang merugikan ekologi? Justru di Jawa, rakyat lah yang telah menyelamatkan ekologi dengan membangun 4 juta hektar hutan rakyat di tanah milik mereka masing-masing.

    • bagaimana contoh rakyat merugikan ekologi pak?

  • jangan terlalu banyak ngarep2 bos….la wong karyawannya aja blom sejahtera…mikir dong…http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews%5Btt_news%5D=5464&cHash=1

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*