Home > Paper > Api Nan Tak Kunjung Padam

( KAJIAN KASUS PENJARAHAN HUTAN DI KPH. RANDUBLATUNG)

Where conflicts occur, continued and concerted, efforts are needed to come to a balance between the needs of the local populations and the forest industry without jeopardizing the environment or the economy.

(Jeffrey Y. Campbell, 2000, pers. comm.)

SEKADAR CATATAN AWAL

Selama tahun-tahun terakhir, kita-para pemerhati kehutanan-dihadapkan kepada berbagai fakta konflik yang merebak dengan sangat cepat di hampir setiap ruang-ruang kelola sumber daya hutan (SDH) di seluruh tanah air. Di Jawa sejak tahun 1998 awal hingga kini, kita menjadi saksi fenomena serupa-manakala pers begitu sering memunculkan istilah penjarahan hutan untuk kasus-kasus illegal logging di wilayah kerja Perum Perhutani, Taman Nasional, hutan dinas, dan sebagainya. Yang terjadi kemudian adalah kuatnya stereotype bahwa penjarahan hutan adalah masuknya 'masyarakat" ke dalam hutan untuk 'mengambil kayu secara liar' tanpa dapat dicegah atau diatasi oleh aparat berwenang.

Lebih jauh lagi, situasi konfliktual yang kita baca seringkali juga disertai dengan fenomena kekerasan, pelanggaran HAM, kriminalitas akut, ilustrasi kebobrokan sistem hukum, hingga persoalan paradigma pembangunan dan sistem kenegaraan yang kurang demokratis. Kesadaran kritis (dalam taraf minimal) yang kemudian muncul dari fakta itu–adalah bahwa persoalan kehutanan, tidaklah terpisah dari sistem sosial budaya dan politik di sekitarnya. Pengelolaan SDH bagaimanapun tidak identik dengan persoalan pohon, kayu, atau satwa liar semata-melainkan terkait erat dengan persoalan sustainable society lebih luas–yaitu masyarakat yang berkeseimbangan dalam meraih tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Untuk itu pengelolaan SDH harus menitikberatkan pada kecukupan, pemerataan kesejahteraan, dan kualitas hidup antar generasi, bukan sekadar peningkatan kuantitas output hasil hutan.

Menganalisis konflik kehutanan yang terjadi, sehubungan dengan kesadaran di muka, berarti membicarakan pula persoalan tenurial system, manajemen kawasan dan hasil hutan, serta kebijakan kehutanan yang sedang dan akan dijalankan oleh pemegang otoritas. Ketiga faktor itu tidak dapat diletakkan sendiri-sendiri, terutama jika analisis konflik kemudian mengarah pada penimbulan inisiatif-inisiatif untuk menemukan cara terbaik bagi 'manajemen konflik' kehutanan yang terjadi. Ditengarai oleh banyak pengamat bahwa salah satu kelemahan sistem pengelolaan SDH selama ini adalah ketidaksiapan para pihak yang berkepentingan terhadap hutan, untuk mengadopsi pola-pola manajemen konflik sebagai tools antisipasi maupun penanganan benturan-benturan-yang sangat mungkin terjadi dalam pembicaraan tentang SDH.

Tulisan ini akan mencoba mengurai secara singkat beberapa 'catatan kejadian' dan 'rekomendasi pengelolaan konflik kehutanan' yang terjadi di Jawa akhir-akhir ini, khususnya di sekitar wilayah kerja Perum Perhutani KPH Randublatung. Materi dasar dari paparan ini diambil dari hasil studi kolaboratif yang telah dilakukan oleh Lembaga ARuPA bersama FKKM Jateng-DIY mengenai topik 'co-management dalam pengelolaan SDH' dan sedikit pengalaman selama menginisiasikan Program PHPT (Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi) atas support Ford Foundation di Randublatung selama satu tahun terakhir.

RANDUBLATUNG, SEBUAH 'MOZAIK KONFLIK'

Randublatung adalah sebuah kota kecamatan kecil di Kabupaten Blora, Jawa Tengah-sekitar jam perjalanan ke arah timur laut dari kota Surakarta. Wilayah ini sekian lama terkenal sebagai tempat asal kayu jati terbaik di Jawa, juga cukup dikenal dengan sejarah 'perlawanan petani' kepada kaum kolonial. Salah satunya adalah gerakan pembangkangan sosial yang dipimpin oleh Samin Surosentiko di paruh kedua abad 19 hingga awal abad 20, sehingga Randublatung kemudian dianggap sebagai daerah basis Saminisme. Sayangnya sejarah kurang berpihak kepada gerakan ini-dan yang kemudian muncul adalah stigmatisasi tentang kehidupan masyarakat Randublatung yang Nyamin.

Dengan jumlah penduduk sekitar 73 ribu jiwa (17 ribu KK atau 4 jiwa/RT), yang berarti kepadatan sebesar 300 jiwa/km2, terlihat bahwa Randublatung tergolong padat penduduk. Secara geografis, interaksi masyarakat desa hutan (MDH) di Randublatung dengan hutan di sekitar tempat hidup mereka sangat tinggi. Salah satu indikatornya adalah bahwa dari wilayah Kecamatan Randublatung seluas 21.113,097 hektare, 13.366,605 hektare di antaranya (64%) merupakan kawasan hutan Perum Perhutani.

Selama tiga tahun terakhir, di wilayah Randublatung-seperti juga hampir di seluruh daerah hutan di Jawa bahkan di Indonesia-terjadi fenomena penebangan illegal yang cukup memprihatinkan. Selama dua bulan pada tengah tahun pertama 1998 saja, kasus pencurian massal di beberapa wilayah Perhutani Unit I Jateng telah mengakibatkan hilangnya asset senilai hampir 300 juta rupiah. Dalam konteks itu, kerugian KPH Randublatung tercatat mendekati Rp 80 juta akibat hilangnya sekitar 5.000 batang kayu jati. Data kerusakan tegakan akibat penjarahan hutan dari 9 KPH produktif di wilayah Perhutani Unit I Jateng yang sempat direkam tersaji pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Pohon Jati yang Hilang Akibat Pencurian Massal di Unit I Jateng

No

KPH

Jumlah Pohon

Taksiran Kerugian (Rp)

1

Cepu

2.135

36.006.000

2

Kebonharjo

1.665

19.729.000

3

Pati

6.162

40.115.000

4

Mantingan

2.172

38.369.000

5

Blora

1.071

5.908.000

6

Purwodadi

250

1.409.000

7

Banyumas Barat

882

35.124.000

8

Telawa

2.428

14.175.000

9

Randublatung

4.953

79.943.000

 

Jumlah

21.718

270.778.000

(Sumber: Perhutani Unit I Jateng, data tanggal 1 Juni-17 Juli 1998)

1. Efek reformasi atau 'permusuhan' lama?

Contoh kasus emerging conflict di Randublatung adalah munculnya serangkaian peristiwa perselisihan antara MDH dan aparat KPH Randublatung pada awal tahun 1998 lalu. Pada periode tersebut, diketahui bahwa hubungan kedua pihak berada ada titik yang sangat rawan, akibat banyaknya penangkapan terhadap warga yang mengambil rencek. Beberapa kali wakil masyarakat mencoba untuk 'bernegosiasi' dengan Perhutani, namun KPH selalu bersikeras tetap menggelar operasi. Pemicu terjadinya penjarahan hutan adalah timbulnya misunderstanding dalam kerjasama antara oknum perangkat desa Temulus dengan oknum Perhutani setempat. Kerjasama dalam pengambilan kayu jati dari hutan RPH Kedungsambi, BKPH Beran secara illegal bagi kepentingan pembangunan fasilitas desa ini, berlangsung di sekitar awal bulan Mei 1998. Dalam proses pemenuhan material kayunya, dilakukan suatu kesepakatan di bawah tangan antara oknum perangkat desa (baca: A) dan salah seorang oknum Perhutani setempat (baca: B).
Sebagian warga yang diperintah A untuk mengambil kayu merasa aman, karena A telah memberikan sejumlah uang kepada B-yang oleh B dijanjikan akan dibagi rata termasuk kepada atasannya, agar kayu sampai ke desa dengan selamat. Informasi adanya kerjasama ini dengan cepat menyebar, dan dimanfaatkan oleh warga desa lain di sekitar BKPH Beran (yang sudah mendengar peristiwa itu-termasuk juga warga Dusun Bapangan, Karanganyar, dan Sumengko) untuk mengambil kayu bagi kepentingan sendiri. Jika sekali waktu mereka kepergok oleh petugas lapangan (mandor dan mantri-yang kedudukannya di bawah B), alasan yang dikemukakan adalah karena mereka disuruh oleh A atau B.
Masalah kian berkembang tatkala atasan B mengetahui kejadian itu, dan bermaksud memperkarakannya-dengan melakukan penyitaan kayu yang telah menjadi bangunan. Masyarakat yang merasa sudah aman, bersikap keras saat aparat bermaksud menyita kayu. Merasa dikhianati oleh B, mereka melampiaskan kemarahan kepada petugas yang datang. Kehadiran petugas (aparat KPH dan polsek) ke desa untuk menyita kayu ilegal itu disambut warga dengan pengusiran dan pembalasan dengan menyerbu hutan. Permasalahan menjadi semakin keruh akibat diundangnya satuan militer oleh Perhutani, yang bahkan turut serta bermain dengan ikut-ikutan mengambil kayu secara illegal (Lihat juga Kotak 2). Kejadian tersebut diketahui secara terang-terangan oleh masyarakat, dan telah menjadi bahan gunjingan terbuka di antara mereka. Konflikpun kian marak, yang diperparah dengan peristiwa tertembaknya 3 orang warga Desa Bapangan oleh aparat keamanan di petak hutan wilayah RPH Kedungsambi. Masyarakat kemudian beramai-ramai memasuki hutan dan benturan menjadi semakin tajam hingga saat ini, ketika penjarahan hutan yang terjadi telah dimanfaatkan oleh banyak pihak sebagai kesempatan besar meraih laba dengan cepat. Secara singkat kronologi kejadian penjarahan hutan di BKPH Beran disajikan pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kronologi (Awal) Konflik Kehutanan di Randublatung

No

KPH

Jumlah Pohon

Taksiran Kerugian (Rp)

1

Cepu

2.135

36.006.000

2

Kebonharjo

1.665

19.729.000

3

Pati

6.162

40.115.000

4

Mantingan

2.172

38.369.000

5

Blora

1.071

5.908.000

6

Purwodadi

250

1.409.000

7

Banyumas Barat

882

35.124.000

8

Telawa

2.428

14.175.000

9

Randublatung

4.953

79.943.000

 

Jumlah

21.718

270.778.000

Waktu Kejadian

Deskripsi Kejadian

Maret 1998

  • Kerjasama perangkat desa Temulus, perantara dari pengusaha lokal, dan ‘oknum’ Perhutani
  • ‘Oknum’ Perhutani meloloskan kayu illegal (menerbitkan pas kayu)
  • Masyarakat mendirikan bangunan dari kayu illegal

April 1998

  • Ajun KPH Randublatung mendatangi MDH, meminta kayu diserahkan
  • Masyarakat menolak, merasa sudah ‘membayar’
  • Masyarakat meminta penengah dari Muspika, Muspika tidak sanggup

Mei 1998

  • Masyarakat melanjutkan pekerjaan bangunan dari kayu illegal
  • Ajun memimpin operasi penyitaan, MDH melawan, petugas kocar-kacir
  • Warga lain ikut-ikutan mengambil kayu illegal. Pencurian tereskalasi menjadi penebangan skala besar.
  • Perum melibatkan militer lokal (Koramil dan Polsek)
  • Oknum militer lokal justru ikut ‘bermain’

Juni 1998

  • KPH minta bantuan Unit I, yang berinisiatif mendatangkan Brimob
  • 28 Juni, 3 warga Dusun Bapangan tertembak, 2 di antaranya tewas
  • 29 Juni, masyarakat Bapangan, Menden , Temulus dan sekitarnya membakar beberapa bangunan Perhutani KPH Randublatung

Juli–September 1998

  • penjarahan hutan semakin ‘menggila’ – bibrikan berlangsung terus
  • Ada mutasi beberapa pegawai Perum setempat
  • Banyak industri penggergajian kayu yang ‘baru’
  • Banyak gergaji circle keliling beroperasi di sekitar BKPH Beran

Oktober 1998

  • Ada pergantian beberapa petugas Koramil dan Polsek
  • Operasi Wana Candi oleh Polda Jateng, penjarahan hutan berkurang
  • Beberapa warga ditangkap, lolos setelah membayar polisi

November 1998

  • Operasi berhenti, penjarahan hutan mulai lagi, bibrikan jalan terus.

(Sumber: ARuPA, 1999b)

2. Intensitas penjarahan hutan

Pada dasarnya penjarahan hutan di BKPH Beran sebagian besar berwujud aktivitas mengambil kayu dari hutan. Dengan demikian penjarahan hutan sebenarnya identik dengan bentuk-bentuk tekanan hutan oleh MDH seperti yang selama ini sudah sangat sering terjadi di areal hutan Perhutani, misalnya yang berwujud pencurian kayu dan pengambilan rencek. Yang membedakan keduanya adalah dalam hal intensitas kejadian dan kerusakan yang terjadi. Wawancara dengan petugas mengenai kerusakan hutan yang terjadi akibat penjarahan hutan di wilayah RPH Kedungsambi, BKPH Beran, sampai dengan bulan Oktober 1998–diperkirakan mencapai 500 hektare hutan jati KU I, II, dan III. Sampai bulan Agustus 2000 yang lalu, tercatat bahwa tanah kosong akibat penjarahan hutan di BKPH Beran mencapai luasan lebih dari 1.500 hektare.
a. Deskripsi aktivitas penjarahan hutan
Meskipun pemicu awal konflik terjadi di Temulus, namun warga masyarakat yang memasuki hutan untuk mengambil kayu ternyata juga berasal dari tempat-tempat lain seperti Bapangan, Pilang, Karanganyar, Bodeh, Balongkare, dan Plosokediren. Dalam kejadian penjarahan hutan, jenis aktivitas yang dilakukan oleh MDH secara umum dibedakan menjadi tiga, yakni:
1) Memilih dan menebang kayu
Pekerjaan ini dilakukan oleh warga masyarakat dewasa pria, yang sebagian besar memiliki pengalaman dalam memilih maupun menebang kayu. Namun dalam kenyataannya, tidak jarang pula ada beberapa pelaku yang asal tebang, terlihat dari banyaknya bekas tebangan yang kasar.
2) Membuat pesagen atau pacakan
Warga yang terlibat dalam pekerjaan ini juga adalah pria dewasa, mengingat diperlukannya tenaga fisik yang kuat. Untuk melakukan pembersihan batang dan pembuatan pesagen tidak diperlukan keahlian khusus, sebab yang penting adalah kayu harus berbentuk balok ukuran tertentu (tergantung ukuran batang kayu asalnya, dengan panjang rata-rata 2 m) dan bersih dari cabang maupun kulit kayu.
3) Mengangkut kayu (manol)
Pekerjaan ini selain oleh kaum pria dewasa–melibatkan pula kaum perempuan, anak-anak, dan remaja. Sebagian besar dengan sepeda, ada juga sepeda motor, bahkan ada yang mengangkut kayu secara bersama-sama dengan berjalan kaki. Selain dari hutan, pekerjaan mengangkut kayu juga dilakukan oleh warga jika ada truk yang akan mengambil kayu yang telah disiapkan. Untuk setiap satu truk, rata-rata memerlukan 3-4 orang buruh angkut selain sopir dan kenek.
Jika kayu perkakas akan dipergunakan untuk keperluan sendiri, ketiga jenis pekerjaan tersebut cukup dilakukan oleh satu dua orang anggota keluarga. Pekerjaan akan dilakukan secara terorganisir dan teratur jika kayu yang diambil adalah kayu perkakas dan akan dijual kepada organisasi tata niaga kayu gelap. Jika kayu yang diambil hanya akan dipergunakan sebagai kayu bakar, kegiatan yang dilakukan hanyalah menebang pohon-pohon kecil, atau bahkan hanya mengumpulkan sisa-sisa tebangan kayu yang besar, dan ini dapat dilakukan oleh siapa saja baik pria maupun wanita, baik dewasa, remaja, maupun anak-anak.
Beberapa kali pengamatan yang dilakukan (biasanya pada periode jam 6.00- 7.30 dan jam 14.00-18.00), rata-rata dijumpai sekitar 20-41 sepeda dan 6-15 motor yang berangkat ke hutan (dilengkapi dengan seragam: botol air minum dan kapak). Sementara pada waktu yang sama, sebanyak 12-20 sepeda dan 2-6 sepeda motor telah pulang membawa kayu hasil jarahan. Pada dasarnya tidak terlihat adanya periodisasi temporal (harian) dalam kegiatan penjarahan hutan. Diketahui dari nara sumber bahwa faktor utama yang menjadi pertimbangan pemilihan waktu adalah aman tidaknya hutan, atau ada tidaknya patroli petugas di jalan-jalan .
Pada pengamatan selama satu hari penuh, tanpa memperhitungkan adanya kemungkinan kesamaan pelaku, setidaknya dapat dijumpai 50 kendaraan roda dua (bermesin maupun tidak) melintas di jalan utama Temulus dengan membawa balok kayu ukuran cukup besar. Jumlah ini belum termasuk yang membawa rencek, maupun kayu yang berbentuk potongan-potongan. Kendaraan yang dominan terlihat adalah sepeda dan sepeda motor, hanya terlihat satu dua kendaraan roda empat yang memasuki desa dengan membawa kayu. Di dalam hutan, beberapa kali pengamatan antara jam 10.00-17.00 dalam wilayah pengamatan seluas 25 ha, dijumpai sekitar 150-an warga masyarakat, baik pemuda, orang tua, anak-anak, maupun kaum wanita berada di hutan dan mengumpulkan kayu.
b. Jenis kayu dan taksiran volume
Jenis kayu yang diambil oleh warga Temulus dan desa-desa sekitarnya adalah jenis yang selama ini menjadi tanaman pokok di petak-petak hutan BKPH Beran, yakni jenis jati dan mahoni. Di desa-desa lain (misalnya di daerah Todanan, Blora), ada kecenderungan yang berbeda–selain mengambil kayu jati dan mahoni dari hutan, warga (penjarah) juga mengambil kayu hasil tebangan tanaman perindang jalan yang jenisnya beraneka ragam (akasia, angsana, asam jawa, dan lain-lain).
Pada awal-awal pengamatan (bulan Juni-Oktober 1998), kayu-kayu yang diambil dari hutan masih terdiri dari berbagai ukuran dan kualitas, baik besar maupun kecil, baik utuh maupun berupa potongan-potongan. Memasuki pertengahan Nopember sebagian kayu yang diambil sudah dalam bentuk pesagen berbagai macam ukuran (biasanya berukuran 2 x 0,3 x 0,25 m atau 2 x 0,3 x 0,3 m). Kayu ukuran ini biasanya akan dijual kepada penadah perseorangan atau kepada penggergajian kayu. Yang berukuran lebih dari itu biasanya akan digunakan sendiri untuk perkakas rumah atau mebel, sementara yang lebih kecil atau yang berbentuk potongan-potongan digunakan sebagai kayu bakar. Dalam beberapa kali kunjungan ke rumah-rumah warga, acapkali dijumpai pula tumpukan kayu bakar yang diambil dari hutan secara illegal sekitar 15 stm atau setara dengan 30 pikul.
Dari pengamatan, terlihat bahwa sebuah kendaraan roda dua (sepeda maupun sepeda motor) yang dikendarai oleh orang dewasa mampu mengangkut kayu berukuran 0,1 – 0,2 m3. Dengan frekuensi angkut 2 kali per hari, jika dalam 1 hari beroperasi 10 kendaraan saja, maka kayu yang hilang diperkirakan antara 2-4 m3/hari. Beberapa kali dapat ditemukan tumpukan kayu pesagen (berjumlah sekitar 12 balok kayu atau sekitar 4 m3) di ujung jalan menuju desa Temulus pada pagi hari. Kayu tersebut habis dalam satu kali angkut dengan truk menjelang siang hari, akan tetapi siang dan sore harinya biasanya dijumpai lagi tumpukan kayu yang baru. Keterangan yang diperoleh dari informan menyebutkan bahwa dalam satu hari, dijumpai 2-3 kali angkutan truk datang menjemput kayu yang siap angkut. Dengan demikian kayu illegal yang diangkut dengan truk keluar hutan berkisar antara 7 – 10,5 m3 per hari.
c. Penggunaan kayu illegal
Warga menggunakan kayu illegal untuk berbagai macam kepentingan, antara lain:
1) Untuk digunakan sendiri
Kayu ilegal digunakan sendiri oleh warga bagi kepentingan memperbaiki rumah dan pembuatan perkakas (bila kayu berukuran besar), serta sebagai kayu bakar (rencek, sisa tebangan, atau pohon KU muda). Beberapa warga mengakui bahwa kayu tersebut langsung digunakan untuk perbaikan rumah, yang selama ini tertunda karena kesulitan membeli secara langsung dari Perhutani akibat proses birokrasi yang sulit.
2) Untuk dijual
Kayu yang dijual biasanya berukuran sedang, dan seringkali merupakan pesanan penadah (untuk dijual lagi), maupun dibeli oleh warga lain (untuk digunakan sendiri). Dalam pengamatan, ternyata terdapat pula sebagian warga menjual kayu bakar hasil jarahan, jika mereka merasa persediaan telah mencukupi, atau jika memang ada permintaan dari pembeli. Pembeli kayu bakar di sekitar BKPH Beran sangat mudah untuk dijumpai, yang biasanya menggunakan armada mobil pick up kecil.
d. Taksiran perputaran uang dan jalur penjualan kayu illegal
Bagaimanapun hasil dari pekerjaan menjarah hutan, baik kayu bakar maupun kayu perkakas, serta hasil dari kegiatan lainnya, diakui oleh beberapa warga sangat besar. Ini jika dibandingkan dengan ukuran pendapatan mereka sehari-hari selama ini. Diakui juga bahwa selama ini kegiatan illegal logging tersebut dirasakan relatif aman-terutama karena adanya jaminan dari penadah.
1) Penjualan kayu bakar dan upah kerja
Menurut informasi beberapa pelaku, dalam waktu kerja satu hari penuh mampu dikumpulkan sekitar 20 pikul kayu bakar. Jika saat ini harga kayu bakar berkisar antara Rp 6.000-Rp 7.500 per pikul, taksiran hasil penjualan kayu bakar seorang warga berkisar antara Rp 120.000 – 150.000. Namun dalam pengambilan kayu bakar ini, mereka tidak dapat melakukannya setiap hari, karena memerlukan selang istirahat dan keterbatasan tempat penyimpanan. Upah pekerjaan-pekerjaan selain dari hasil penjualan kayu bakar diakui oleh masyarakat cukup besar. Sebagai gambaran, seseorang yang bekerja sebagai buruh angkut (manol) dalam sekali jalan mengangkut kayu illegal dengan sepeda (dengan jarak 100-500m) diberi upah sebesar Rp 10-25 ribu, tergantung ukuran kayu. Dalam 1 hari kerja, bisa 2 sampai 3 kali mengangkut kayu, sehingga hasil kotor yang mereka peroleh berkisar antara Rp 20.000 – 75.000 per hari.
2) Kayu perkakas
Harga jual kayu perkakas di tingkat penadah atau sesama warga (tangan pertama), untuk satu batang kayu pesagen volume 0,2 m3, berkisar antara Rp 100 – 600 ribu (atau Rp 200 ribu – 1,2 juta per m3). Sementara kayu glondongan yang belum dipacak rata-rata dijual senilai Rp 200-400 ribu/m3. Jika kayu telah berupa papan tebal (biasanya berukuran 0,25 x 0,025 x 2 m) harga jualnya berkisar Rp 20.000-25.000 setiap buahnya. Setiap m3 kayu pesagen akan menghasilkan sekitar 140 buah papan tebal dan biaya penggergajian untuk membuat papan rata-rata sebesar Rp 400.000/m3. Harga tersebut menurut informasi yang diperoleh sangat fluktuatif, tergantung kepada banyak hal seperti: kualitas kayu, hasil tawar menawar dengan pembeli/pemesan, aman tidaknya kondisi hutan, dan besar kecilnya permintaan. Di tingkat lebih atas lagi (tangan kedua), untuk ukuran kayu yang sama harganya bisa mencapai 2 kali lipatnya. Sebagai gambaran, diperoleh informasi bahwa para pembeli kayu ilegal yang berasal dari Semarang, Surakarta, dan Jepara mampu membelinya dengan harga yang tinggi antara Rp 2,5 – 4 juta/m3. Dengan demikian antara harga kayu di tingkat pembeli pertama dan harga di kalangan industri, terdapat selisih yang sangat besar, yakni sekitar Rp 2,1 juta – 2,8 juta/m3.
Kayu perkakas hasil jarahan yang tidak digunakan untuk keperluan sendiri, oleh warga dijual kepada penadah. Pada umumnya pembeli yang bermodal kuat berasal dari luar Randublatung, akan tetapi selama pengamatan dijumpai pula beberapa transaksi penjualan kepada penadah lokal di desa-desa sekitar BKPH Beran. Penadah lokal ini juga berperan sebagai penghubung bagi pembeli dari luar, atau bertugas mengkoordinir pengumpulan kayu illegal dan pengangkutannya. Apabila ada pesanan, penadah lokal ini pulalah yang mengatur mobilisasi blandong dan membayar pelaku, sesuai dengan pekerjaan yang telah mereka lakukan. Ilustrasi tentang perputaran uang dari kegiatan illegal logging tersebut selengkapnya tersaji dalam Kotak 1 berikut.

Kotak 1. Taksiran Income Pelaku penjarahan hutan

(a) Jika diketahui

  • Hasil penjualan kayu bakar = Rp 120 – 150 ribu/penjualan

Jika pengambilan dilakukan 2 kali/minggu, nilai penjualan senilai Rp 240 – 300 ribu/minggu, atau Rp 35 – Rp 45 ribu/hari

  • Volume penjualan kayu perkakas:

– Kayu yang diangkut dengan kendaraan roda 2 = 2-4 m 3 /hari

– Kayu yang diangkut dengan kendaraan roda 4 = 7-10,5 m 3 /hari

– Total = 9 – 14,5 m 3 /hari

– Dengan harga jual kayu perkakas = Rp 400 – 800 ribu/m 3

– Nilai penjualan = (400 Ribu x 9) sampai (800 ribu x 14,5) /hari

= Rp 3,6 juta – 11,6 juta /hari

  • Upah angkut dengan kendaraan roda dua = Rp 20 – 75 ribu/orang/hari

 

· Upah mengangkut kayu ke truk = Rp 20 ribu/orang/hari

· Upah tebangan = Rp 35 ribu//orang/hari

· Upah membuat pacakan = Rp 30 ribu/orang/hari

(b) Maka dapat dihitung:

  • Perputaran uang

= Penjualan ky bakar + penjualan ky perkakas + (upah * jumlah pekerja)

= (Rp 35-45 ribu) + (Rp 3,6-11,6 juta) + (20-75 ribu*100)

= Rp 5.635.000 sampai Rp 32.745.000 per hari

= Rata-rata Rp 19.190.000 per hari *)

*) Sejumlah inilah nilai yang hilang dari Perhutani (struktur legal)
tetapi masuk ke pihak lain (struktur illegal) dalam bentuk income
Berdasarkan wawancara dengan informan, penjualan kayu perkakas illegal juga terjadi di antara warga desa untuk digunakan sendiri (tidak untuk dijual lagi). Akan tetapi warga desa yang membeli kayu illegal jumlahnya sangat sedikit. Ini terutama karena harga jual kayu masih tetap berada di atas kemampuan rata-rata warga, selain adanya rasa was-was untuk membeli kayu illegal jika di kemudian hari akan diadakan operasi oleh petugas. Namun di sisi lain, beberapa warga mengaku bahwa mereka memiliki alasan khusus dalam membeli kayu jarahan. Dengan membeli kayu jarahan, mereka nantinya tidak akan dituduh menjadi mata-mata atau penghianat oleh warga lain yang melakukan penjarahan hutan, jika sekali waktu ada operasi oleh petugas.
Dari pengamatan yang dilakukan, terdapat perubahan pola penjualan produk kayu illegal selama tiga tahun terakhir. Jika pada awal 1998 sampai akhir tahun 1999 lebih banyak beredar kayu perkakas bentuk bulat, pacakan, atau papan berbagai ukuran-maka semenjak akhir tahun 1999 mulai muncul trend baru dengan beredarnya bahan kayu eks penjarahan (istilah setempat menyebutnya sebagai enthon, thungkel atau brongkol). kayu olahan garden furniture (GF), parket, dan flooring. Perubahan pola produk olahan tersebut diikuti dengan pergeseran mekanisme tata niaga, yang melibatkan sawmill lokal sebagai penadah-dibandingkan sebelumnya yang lebih banyak memperlihatkan keterlibatan para blandong lokal secara individu. Gambaran tentang mekanisme pemasaran kayu perkakas illegal ini dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, dan 3.
e. Penjarahan hutan terorganisir
Pada perkembangannya, penjarahan hutan di wilayah BKPH Beran telah melibatkan beberapa organisasi pencurian kayu yang selama ini telah eksis di wilayah Randublatung dan sekitarnya. Dari hasil wawancara intensif diketahui bahwa kayu hasil jarahan yang dijual oleh warga, sebagian besar ditampung oleh mekanisme tata niaga kayu yang diselenggarakan oleh organisasi ini. Kayu yang digunakan sendiri oleh warga, maupun yang dijual kepada sesama warga desa, jumlah dan nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibeli oleh jaringan penadah. Penjarahan hutan profesional dalam bentuk organisasi, ditandai dengan adanya perencanaan lokasi, waktu penebangan, cara pengangkutan, sampai pemasaran hasil yang rapi. Pengambilan kayu di hutan secara terorganisir juga ditandai banyaknya pihak yang terlibat mulai dari buruh pencuri, buruh pengangkut (manol), pimpinan pencuri (blandong), oknum aparat desa, pemilik modal, petugas Perhutani, hingga aparat keamanan.
Organisasi gelap ini bukan lagi bertujuan untuk sekadar memenuhi desakan kebutuhan hidup atau alasan dendam sosial, akan tetapi telah cenderung menumpuk kekayaan dengan cara cepat dan dalam waktu yang singkat. Para pelaku umumnya orang-orang yang sudah tahu dan mengerti hukum, dan cukup menguasai bidang kerjanya. Di daerah Randublatung dan sekitarnya, kegiatan pengambilan kayu dari hutan secara terorganisir telah cukup lama berlangsung. Berdasarkan penuturan informan, terdapat sejumlah jaringan yang satu sama lain kadangkala saling berhubungan.
Pada kenyataannya, pimpinan organisasi-organisasi itu adalah orang-orang lama yang telah sering berurusan dengan pihak pengelola hutan. Sebelum penjarahan terjadi, organisasi-organisasi tersebut melibatkan masyarakat lokal untuk melakukan pengambilan kayu. Sasaran utama adalah petak-petak KU tua dan hajmr, karena diameter kayu umumnya lebih besar dan umurnya lebih tua sehingga kualitas kayu lebih baik, dan uang yang diperoleh lebih banyak dibandingkan dengan kelas tegakan lainnya. Kenyataan ini didukung penuturan masyarakat, bahwa kayu-kayu pesagen yang paling laku dijual selama ini rata-rata adalah dari kayu bulat berdiameter 30 – 70 cm, bahkan kadang mencapai 1 m, sehingga tidak mungkin berasal dari pohon-pohon KU muda.
Di sekitar KPH Randublatung terdapat sekitar 4 tempat pemberhentian kayu illegal yang biasa digunakan oleh sindikat ini–yaitu di Bapangan Kecamatan Menden , di Jimbung Kecamatan Kedungtuban, di Ploso Kediren, Kecamatan Randublatung. dan di Nogong Kecamatan Cepu. Dalam bekerja, organisasi ini menempatkan beberapa orang anggota yang bertugas mencari informasi tentang ada tidaknya kasus penjarahan di suatu wilayah hutan. Terjadinya penjarahan menunjukkan adanya persediaan kayu illegal, kemudian anggota lain melakukan pembelian. Warga desa hanya bertugas menyediakan kayu, sementara para pembeli (penadah) harus menyediakan tenaga pengawalan, dan biaya-biaya lain untuk memperlancar pengangkutan. Biaya yang banyak dikeluarkan dalam pelaksanaan tata niaga terorganisir adalah biaya operasional pengambilan kayu, pengangkutan dan pemasaran.
Pengangkutan kayu illegal dilakukan pada malam hari maupun pada siang hari, dengan menyediakan sejumlah uang untuk memberi uang saku kepada petugas pos, guna meloloskan kayu, atau untuk membuat pas aspal. Untuk mengelabuhi petugas, umumnya pengangkutan kayu tanpa pas tersebut dilakukan bersama-sama dengan hasil pertanian seperti padi, tembakau, ataupun jerami padi. Besarnya tarif pengawalan pengangkutan kayu bervariasi berdasarkan jauh dekatnya kota tujuan dan tinggi rendahnya status/jabatan pengawal yang disewa.
Sebagai contoh, menurut penuturan informan, besarnya tarif pengawalan pengangkutan kayu dari Randublatung ke Cepu berkisar antara Rp 50 – 75 ribu per truk, sementara untuk tujuan Surakarta, Jepara dan Yogyakarta bervariasi antara Rp 200 – Rp 300 ribu. Tarif yang hampir sama berlaku untuk mendapatkan pas angkutan kayu aspal setiap truknya, yang biasanya justru diperoleh dari oknum Perum Perhutani. Di luar biaya tersebut ada semacam biaya perlindungan yang diberikan kepada aparat keamanan (PCK, Polsek, dan Koramil) secara rutin setiap bulan. Menurut penuturan informan, setiap bulan masing-masing penadah kayu menyetorkan uang sebesar Rp 500.000 – 1 juta ke tiap-tiap instansi keamanan sebagai uang jaminan lolosnya kayu mereka ke pasar. Jumlah uang pelicin itu kemudian membengkak ketika sejak akhir 1999 berkembang industri GF-yang nilainya sekitar Rp 20 juta setiap bulannya (Lihat Lampiran 2).
3. Ada apa di balik itu?
Seperti juga sebagian besar desa-desa di sekitar hutan jati di Jawa, MDH Randublatung memilih untuk menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian lahan kering. Mengingat kondisi tanah di daerah ini yang relatif kurang mendukung usaha pertanian intensif (berkapur dan berbukit-bukit), biasanya hasil pertanian kurang mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan hidup. Ini ditambah dengan penguasaan lahan yang relatif sempit (angka BPS Blora tahun 1998 menyebutkan bahwa setiap RT petani di Randublatung hanya menguasai lahan pertanian dengan luasan di bawah 0,35 ha). Dari sempitnya lahan itu, sebagian besar masih diolah secara terbatas dengan mengandalkan pada musim, terutama karena sistem irigasi teknis belum banyak berkembang. Ilustrasi tentang 'kebutuhan' masyarakat desa hutan (MDH) di Randublatung dan peluang pemenuhannya, ditampilkan dalam Tabel 3 dan 4 berikut.

Tabel 3. Rekapitulasi Kebutuhan MDH (9 Desa di Randublatung)

No Nama Desa Kebutuhan lapangan Pekerjaan Kebutuh-an lahan Kebutuhan Kayu Perkakas Kebutuh-an Rencek

Kebutuh-an HMT

Rumah Baru Tambal Sulam Total
naker hektare m3/th m3/th m3/th sm3/th ton/th
1 Gembyungan 299 25 0,96 1,05 2,01 6.410,9 5.261
2 Plosorejo 805 542 2,64 1,84 4,49 16.686,6 6.746
3 Temulus 628 140 3,46 3,03 6,49 10.322,4 7.914
4 Sumberrejo 855 27 2,36 3,45 5,81 12.162,5 2.679
5 Pilang 896 511 5,34 2,11 7,46 13.605,8 6.894
6 Randublatung 897 304 3,53 2,02 5,55 13.554,9 3.616
7 Bodeh 517 305 1,75 2,46 4,21 7.178,6 2.546
8 Sambongwangan 982 298 1,28 1,87 3,15 10.574,1 5.190
9 Mendenrejo 844 796 2,09 3,35 5,45 35.254,0 11.722
Jumlah Total 6.723 2.948 23,41 21,19 44,60 125.749,8 52.568

*) Dalam RPKH Randublatung tahun 1983-1992, tercatat bahwa luas tanaman rata-rata (jati dan rimba) hanya berkisar pada angka 85 hektare/tahun. Pada tahun 1999-2001 ini, dengan contoh kasus di BKPH Beran, akan ada pekerjaan tanaman seluas lebih 1.500 hektare selama tiga tahun.

Dari ilustrasi sederhana di muka, terlihat bahwa ada kesenjangan yang amat besar antara kebutuhan MDH dengan 'peluang-peluang' pemenuhannya. Tidak heran apabila keberadaan SDH di sekitar Randublatung kemudian menjadi andalan sebagai substitusi pemenuhan kebutuhan MDH. Hutan diharapkan selain mampu menyediakan lahan pertanian (semasa pekerjaan tanaman dan bosokan), juga untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek lainnya (misalnya cash dari upah pekerjaan kehutanan, hasil rencek, hijauan makanan ternak, areal panggembalaan ternak, daun-daunan, satwa buruan, empon-empon, madu hutan, serta hasil hutan non kayu lainnya).
Tingginya interaksi dengan kawasan hutan ini, di satu sisi menyebabkan tumbuhnya budaya berhutan di kalangan MDH (kebiasaan menanam kayu-sebagai pekerja Perum Perhutani, kebiasaan 'nyadran' di hutan, kebiasaan mengambil hasil hutan non kayu lewat pranoto mongso, dll.), khususnya para petani, buruh tani, dan keluarga miskin. Di sisi lain (khususnya bagi masyarakat yang relatif 'berani'–yang sebagian besar adalah generasi muda), interaksi ini juga acapkali diwujudkan dengan seringnya mereka mengambil kayu di hutan (mencuri-menurut versi Perhutani), bagi keperluan sendiri maupun untuk diperdagangkan. Sesungguhnya fenomena 'pencurian rutin' ini telah terjadi sangat lama, jauh sebelum Perhutani menguasai wilayah hutan Jawa. Bagaimanapun 'budaya' ini juga telah diwariskan dari generasi ke generasi, apalagi jika dikaitkan dengan faham gerakan Samin yang diyakini masyarakat yang antara lain menyebutkan bahwa:
Kamu sekalian tidak dilarang untuk mengambil kayu di hutan negara, sebab hutan negara adalah hutan milik rakyat juga. Namun jangan mengambil sesuatu dari rumah tetangga kamu, karena merekalah yang akan membantu jika kamu mengalami kesulitan.
Benih-benih konflik itu semakin terlihat akibat hilangnya akses MDH ke hutan, sementara sehari-hari mereka hidup dikelilingi oleh tegakan jati yang 'ayu-ayu' itu serta penampilan aparat kehutanan yang borjuis. Sering dijumpai bahwa aparat 'menghalang-halangi' masyarakat untuk masuk hutan dengan berbagai 'justifikasi' dan 'modus operandi' (seperti kasus di KPH Randublatung di awal tahun 1998). Hutan secara normatif 'tertutup' bagi MDH kecuali jika mereka terlibat dalam pekerjaan kehutanan-yang kesempatan itupun sangat terbatas. Dari waktu ke waktu budaya berhutan masyarakat tidak dapat berkembang menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, bahkan cenderung bersifat involutif.
Luasan andil yang semakin sempit, hitungan upah yang tidak seimbang dengan naiknya harga kebutuhan, kualitas lahan yang kian menurun, dan tekanan-tekanan lain menyebabkan para 'petani hutan' jarang berada dalam situasi yang menguntungkan. Pada sisi lain–sepanjang daur jati-MDH tidak pernah 'terlibat' dalam proses perencanaan dan aspek-aspek manajemen lain secara partisipatif-kecuali sebagai 'buruh' semata. Dalam sistem manajemen Perhutani, faktor sosial budaya (khususnya yang berhubungan dengan kepentingan MDH) sama sekali tidak disediakan ruang akomodasi. Silvikultur hutan jati yang seragam, positivis, kaku, dan kadang-kadang malah cenderung 'irrasional' dijalankan dengan pro-tap standar yang ketat dan mekanis-bahkan juga ketika beberapa program social forestry telah dicoba dilakukan. Sesungguhnya selama ini hutan betul-betul telah sengaja 'dipisahkan' secara terstruktur dari kedudukannya dalam ekosistem secara luas. Akibatnya hubungan antar sub sistem berjalan dalam alur yang timpang-dan kondisi konflik laten yang demikian sepertinya hanyalah persoalan waktu dan momentum saja-untuk menjadi sebuah ledakan konflik yang besar.

BENANG KUSUT TATA NIAGA JATI

Di Randublatung-dan di hampir semua KPH kelas perusahaan jati, selalu dijumpai persoalan serius yang berhubungan dengan tata niaga kayu jati. Kusutnya mekanisme tampak sekali memunculkan masalah manajemen dan penegakan hukum yang cukup kronis. Industri kayu tumbuh subur di mana-mana tanpa ada satu pihakpun yang mampu mengontrolnya, terutama dilihat dari daya dukung hutan Perum Perhutani sendiri. Akibatnya terjadi ketidakseimbangan yang mencolok antara supply kayu dan demand industri, serta kebutuhan-kebutuhan kayu bagi kepentingan di luar industri. Ketersediaan kayu (jati) menjadi sangat terbatas dan 'diperebutkan' oleh banyak pihak-dan ketika prinsip persaingan bebas berjalan-siapa yang kuat dialah yang menang. Sayangnya, pada saat yang bersamaan, perilaku aparat (Perhutani, Pemda, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman) dalam proses-proses 'pengamanan hutan' dan 'penertiban tata niaga kayu jati' sama sekali tidak menunjukkan indikasi adanya kepastian hukum bagi publik. Sebagai contoh kasus, di Jepara saja kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri diproyeksikan sebesar 600.000 m3 (tahun 1998), dan akan meningkat menjadi sebesar 700.00 m3 pada tahun 2004. Dari kebutuhan itu 58,2% (349.200 m3) di antaranya adalah kebutuhan kayu jati, 30,8% kayu mahoni (184.800 m3), sedangkan sisanya adalah jenis kayu lain. Angka sebesar itu sangat tidak seimbang dengan pasokan kayu yang ada-tercatat bahwa rerata produksi kayu jati Perum Perhutani Unit I Jateng selama tahun 1995-1999 hanyalah sebesar 308.654 m3 per tahun. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk memasok kebutuhan industri di Jepara saja, terdapat kekurangan kayu jati sebesar 40.546 m3, apalagi jika mengingat akhir-akhir ini sentra industri kayu tumbuh bagaikan cendawan di musim hujan, seperti di Semarang, Solo, Klaten, dan Yogyakarta-belum termasuk di luar Jateng-DIY. Dalam tinjauan yang lebih luas, Anang (2000) mengemukakan bahwa kebutuhan kayu bulat bagi keperluan industri di Jawa (menurut kapasitas terpasang pada tahun 1998) adalah sebesar 8.226.329 m3. Pada periode yang sama, total pasokan kayu legal yang diproduksi oleh dari Perum Perhutani dan hutan rakyat sebesar 2.757.174 m3, yang berarti hanya mampu mensuplai 33,5% dari kebutuhan. Jika data volume illegal logging yang terjadi di wilayah Perum Perhutani selama tahun 1998 sebesar 1.119.318 m3 juga dimasukkan sebagai sumber bahan baku, maka terdapat pasokan (legal dan illegal) sebesar 3.876.456 m3, yang inipun baru sekitar 47,1% dari kebutuhan (Lihat Tabel 5). Dengan demikian dalam tahun tersebut, terlihat adanya kekurangan bahan baku kayu bagi keperluan industri sebesar 4.349.837 m3 atau 52,9% –ini belum termasuk bahan baku bagi keperluan non industri. Bagaimanapun fakta di lapangan menunjukkan bahwa industri kayu jalan terus-sehingga sebagian jawaban terhadap pertanyaan mengenai 'untuk apa kayu illegal' rasanya telah ditemukan.

Tabel 5. Sumber Bahan Baku Kayu di Jawa

Sumber Kayu m3/Tahun Persentase
1. Perum Perhutani Unit I, Unit II dan Unit III

1.861.803

22,6%

– Hutan Rakyat

895.371

10,9%

Total 1

2.757.174

33,5 %

– Volume illegal logging di Perhutani

1.119.318

13,6%

Total 2

3.876.492

47,1 %

– Pasokan lain (kekurangan bahan baku)

4.349.837

52,9%

Total

8.226.329

100,0%

Sumber: Ahmad (2000), Perum Perhutani (1998 dan 1999), dan Supriadi (2000)
Masalah ketidakseimbangan antara pasokan kayu dan kebutuhan faktual ini terjadi pula di wilayah Randublatung dan sekitarnya. Ini antara lain ditunjukkan dengan adanya kebutuhan kayu perkakas bagi keperluan rumah tangga sebesar 44,6 m3 per tahun, serta kebutuhan kayu bakar sebesar 125.750 sm per tahun-dan terlihat sangat tidak seimbang dengan pasokan yang ada (Lihat kembali ke Tabel 4). Dikaitkan dengan sempitnya peluang berusaha bagi MDH, fenomena tersebut kemudian memunculkan berbagai jenis 'pencurian rutin' terhadap kayu-kayu jati di wilayah KPH Randublatung, yang dilakukan baik oleh individu MDH maupun oleh 'semacam sindikat' yang terorganisir. Ilustrasi tentang kondisi kronis ini dikemukakan dengan sangat baik oleh Peluso (1988), yang mampu mencatat peristiwa pencurian hutan jati di Jawa sejak tahun 1918. Menurutnya, jumlah kasus pencurian di wilayah Perum Perhutani setiap tahunnya tidak kurang dari 11.000 kejadian dan-sebelum peristiwa penjarahan akhir-akhir ini-jumlah terbesar adalah pada tahun 1962 yang mencapai 263 ribu kejadian.
Dalam banyak peristiwa illegal logging ini, sudah jamak bila 'pencurian kayu' maupun kecurangan-kecurangan dalam tata niaga kayu di sekitar Randublatung melibatkan (bahkan diinisiasikan) oleh aparat sendiri, baik aparat Perhutani, aparat Pemda, maupun aparat keamanan (Perhutani, Polri, dan Militer). Kerjasama illegal antara aparat dengan para pengusaha kayu (baik lokal maupun regional) dan MDH kadangkala sangat terbuka dan telah menjadi rahasia umum (Lihat Kotak 2). Tidak hanya itu, keterlibatan aparat juga sampai kepada proses-proses pengadilan yang berjalan sehubungan dengan terjadinya fakta-fakta illegal logging di kawasan Perhutani. Dari sekian kali penangkapan 'pencuri kayu' di wilayah Randublatung yang dapat dicatat oleh informan, sekian kali pula terjadi peristiwa pemberian 'sogokan' kepada aparat penyidik, kejaksaan, maupun pengadilan. Nyata bahwa aparat pengelola hutan dalam 'mengamankan hutan' selama ini sangat jauh dari keterbukaan dan tanggung gugat sosial publik-dua faktor yang sangat mendasar bagi adanya kepastian hukum.

Kotak 2. Keterlibatan Aparat dalam ''penjarahan hutan' Hutan'

a. Sebanyak 50 Oknum Perhutani Curi Kayu
Sebanyak lima puluh orang oknum karyawan Perhutani di berbagai wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) di Pulau Jawa akan segera ditindak dan dikenai sanksi. Mereka adalah yang sudah terbukti terbukti terlibat dalam pencurian kayu jati. Menurut Dirut Perhutani Abdoel Fatah, Kamis (20/5). Berat ringannya sanksi yang akan diberikan kepada mereka tergantung dengan kesalahannya. " Mulai dari peringatan sampai sanksi pemecatan," tandasnya. (Sumber: Kompas, Jumat, 21 Mei 1999)

b. Oknum ABRI dan Perhutani Terlibat 'penjarahan hutan' Jati
Puluhan anggota ABRI dan Perum Perhutani terlibat dalam 'penjarahan hutan' kayu hutan khususnya kayu jati secara besar-besaran belakangan ini di Jateng dan Jatim. Sebagian di antaranya sudah ditindak, tapi ada pula yang belum diproses sama sekali. Dari tangan penjarah disita antara lain, sebuah senapan M-16 beserta 20 butir peluru. Semua itu terkuak dalam rapat evaluasi penanggulangan 'penjarahan hutan' di Solo yang dipimpin Asops Mabes Polri Mayjen (Pol) Bimantoro, hari Jumat (4/9). Rapat dihadiri Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Soemarsono, Dirut Perum Perhutani Bambang Sardjito, Polda Jatim dan Jateng serta Perhutani dikedua propinsi itu. …… Kepala Pusat Komando Pengendalian Operasi (Kapuskodalops) Polda Jateng Kolonel (Pol) Atim Supomo mengungkapkan, dalam 'penjarahan hutan' di Randublatung (Blora), 38 oknum Polri terlibat. Selain itu juga sejumlah komandan rayon militer (Danramil), Babinsa, anggota Batalyon 410/Alugoro, karyawan Perhutani, penadah, dan penduduk setempat, terlibat. Khusus untuk 38 orang anggota Polri tersebut, semuanya sudah ditarik ke Polda Jateng dan dikenai hukuman. "Semua oknum ABRI yang terlibat, secara rinci telah dilaporkan ke Pangdam Diponegoro. Kami punya bukti kuat bahwa delapan penadah target operasi (TO) belum bisa diproses karena dilindungi oknum ABRI. Termasuk petugas yang menyandang M-16" tegas Atim Supomo. (Sumber: Kompas, Sabtu, 5 September 1998)

MANAJEMEN KONFLIK KEHUTANAN, STARTING FROM PERIPHERY
Beberapa ilustrasi tentang kondisi interaksi antara hutan, MDH, pengelola, dan sistem-sistem di luarnya sebagaimana diuraikan di muka, secara komulatif telah menyebabkan munculnya suatu bara api yang besar di Randublatung. Kecemburuan sosial, dendam antar institusi, dendam antar pribadi, ketidakadilan, dan ketertindasan–campur aduk menjadi satu. Ketika angin reformasi juga bertiup hingga Randublatung, apa yang terjadi kemudian adalah sebuah ledakan konflik yang amat hebat, tanpa satu pihakpun mampu mengurai hulu dan hilirnya. Oleh karenanya pula, tak ada satu pihakpun yang kemudian mampu merancang sistem manajemen konfliknya secara menyeluruh, adil, dan menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Sinyalemen ini terbukti benar, ketika sampai saat disusunnya makalah hasil studi ini, masih sangat banyak dijumpai kasus-kasus sengketa antara aparat dan MDH di banyak tempat di wilayah kerja Perum Perhutani, baik di Jawa maupun di luar Jawa.
Dalam banyak literatur, acapkali proses manajemen konflik kehutanan diletakkan dalam kerangka pengembangan institusi lokal dan proses fasilitasi perencanaan partisipatif, yang dilanjutkan dengan membangun kesepakatan-kesepakatan sebagai hasil dari kedua proses sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut, proses yang perlu ditempuh dalam manajemen konflik kehutanan-sebagaimana konflik lainnya–harus mampu menyentuh akar permasalahan yang ada, melalui:
· Identifikasi berbagai jenis serta penyebab issue dan konflik
· Pengembangan dan pelembagaan prosedur-prosedur pengambilan keputusan, negosiasi, dan pengelolaan perbedaan-perbedaan yang terjadi
· Mencocokkan issu dan konflik dengan berbagai prosedur pengambilan keputusan
· Pemilihan metode resolusi dan penyelesaian konflik yang paling appropriate
· Penerapan prosedur operasional dan administratif yg efisien
· Merancang program pengembangan informasi guna memusyawarahkan perangkat prosedur pengambilan keputusan dan penyelesaian yg tepat
· Memfasilitasi para pihak untuk mencapai kesepakatan dan menyelesaikan konflik
· Melatih kader-kader lokal untuk belajar dalam mengembangkan sistem manajemen konflik dan bentuk-bentuk pelayanan yg di butuhkan.
Namun demikian di dalam mekanisme grass root, selalu timbul persoalan yang tidak kalah mendasarnya–jika seluruh proses manajemen konflik yang dikembangkan tidak didahului oleh suatu identifikasi yang mendalam. Beberapa program yang telah dirancang oleh Perum Perhutani selama ini banyak 'gagal' pada tahap ini-manakala forest user group yang diundang dalam kegiatan kehutanan masih didominasi oleh kalangan elit, atau kroni-kroni aparat bawah (Lihat Kotak 3).

Kotak 3. Proses Terabaikannya Kebutuhan Masyarakat Miskin

Ketika proses pembentukan kelompok pengguna hutan dibuat dengan tergesa-gesa atau potong kompas, maka yang akan menderita seringkali adalah masyarakat miskin. Hal ini telah terjadi, sebagai contoh, ketika identifikasi awal pengguna dilakukan dengan buruk, misalnya mengganti proses kunjungan rumah ke rumah dengan pertemuan kelompok pemuka masyarakat, dan orang-orang yang terlupakan kemudian tidak pernah ditindaklanjuti.
Mereka yang tergolong miskin di desa, tidak terbiasa diberi kesempatan untuk mengambil keputusan (dan menyuarakannya). Seringkali terdapat suatu 'sikap tunduk' yang secara psikologis menghambat mereka untuk bicara. Jika tidak ada upaya sebelumnya untuk membangun rasa percaya diri mereka, maka mereka akan selamanya membisu. Waktu yang diberikan dalam pertemuan kelompok pengguna hutan seringkali terlalu singkat untuk mencapai konsensus. Jika konsensus tidak dapat diraih sebelumnya, maka usulan-usulan kelompok yang paling gencar diajukanlah yang akan disepakati. Dengan demikian, pertemuan hanya akan mengesahkan aturan berdasarkan mayoritas dan bukannya atas konsensus, sehingga selalu merugikan masyarakat miskin yang 'bisu'.
Sering juga susunan kelembagaan kelompok pengguna hutan tidak menguntungkan bagi kaum miskin. Contohnya, jika 'si miskin' tidak terwakili dalam kelompok pengguna maka mereka tidak akan mengetahui jadwal dan isi pertemuan selanjutnya. Anggota kelompok yang lebih dipilih karena kepribadiannya dan bukannya sebagai perwakilan kelompok tertentu, sering tidak mewakili kepentingan kelompok miskin.
Beberapa kesepakatan tentang rencana pengelolaan yang ditujukan untuk memperbaiki pengelolaan hutan sering juga merugikan masyarakat miskin. Sebagai contoh, daur hutan yang panjang, prioritas pada produksi kayu, tertutupnya akses masuk hutan dalam jangka waktu yang lama, larangan pengembalaan, larangan produksi arang, dll. mempunyai dampak negatif langsung pada kelompok termiskin yang hidupnya bergantung penuh pada akses mereka kepada sumber daya hutan.

(Sumber: Julian Gayfer, pers. comm. dalam Hobley, 1996)

Dengan hipotesa tersebut, pendekatan awal dalam manajemen konflik perlu lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan bagaimana mengidentifikasi aktor yang paling dirugikan dari fenomena penjarahan yang terjadi. Tidak berbeda dengan kapitalisme dan developmentalisme ala orde baru, penjarahan hutan sesungguhnya hanya menguntungkan kaum industrialis dan pemodal besar. Masyarakat yang menjadi pekerja di dasar struktur industri dan perdagangan kayu gelap-seperti biasa-hanya terkena cipratan trickle down effect saja (ARuPA, 1999b). Ilustrasi tentang fenomena tersebut dan perkiraan yang lebih mendetil tentang keuntungan persentase keuntungan MDH dari penjarahan hutan dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6. Keuntungan MDH dari Penjarahan di KPH Randublatung

Item

Nilai Total

Dibawa

ke luar

Diambil

MDH

Persentase MDH

Rerata kubikase kayu jarahan (m 3 / tahun)

318.000

312.424

5.576

1,75%

Rerata perputaran uang (Rp/tahun)

3.251.712.000

3.231.930.657

19.781.343

0,61%

Sumber: Diolah dari ARuPA (1999b)

Dari tabel terlihat betapa MDH (grass root) hanya mendapatkan sebagian kecil saja tambahan penghasilan dari 'industri' penjarahan tersebut, tetapi merekalah yang paling sering menjadi kambing hitam pelaku penjarahan dan korban diterapkannya tindak represif berupa razia kayu gelap di desa-desa. Melihat angka-angka rupiah dan kubikase kayu yang dibawa ke luar masyarakat yang fantastis itu, semakin jelaslah indikasi bahwa energi penggerak penjarahan hutan yang terutama tidak berasal dari desa sekitar hutan secara langsung, melainkan dari demand suatu mesin penyerap kayu yang besar jauh dari kawasan hutan.
Persoalan kedua adalah bagaimana 'menyalurkan energi masyarakat' untuk dapat mengartikulasikan kepentingan mereka terhadap hutan dalam skala internal/mikro, secara lebih terstruktur dan dalam kerangka dialogis antar pihak. Membangun komunikasi di antara aktor-aktor lokal menjadi entry point penting-mengingat selama ini muncul kemacetan arus informasi yang akut. Macetnya komunikasi terlihat dari 'butanya' MDH terhadap mekanisme kerja kehutanan selama ini, karena jarang sekali MDH mengetahui secara persis hak-hak dan kewajiban mereka ketika terlibat dalam kegiatan-kegiatan kehutanan. Di Randubatung-dan banyak tempat lain di Perhutani, sekian lama kelompok pengguna hutan yang dibangun (KTH) tidak lebih dari kepanjangan tangan dan alat bagi mandor (juga mantri dan asper) untuk memobilisasi tenaga MDH dalam menyelesaikan pekerjan-pekerjaan teknis kehutanan-karena tidak mampu diselesaikan sendiri oleh Perum Perhutani setempat.


BEBERAPA REKOMENDASI

Terhadap konflik yang telah merebak di wilayah Randublatung, disarikan bahwa kebanyakan konflik mempunyai sebab ganda sebagai kombinasi dari adanya masalah hubungan antar pihak yang bertikai-hingga benturan kepentingan yang mengarah pada wujud konflik terbuka. Suasana konfliktual antar pihak yang terjadi, menempati ruang-ruang konflik yang menyebabkan terjadinya eskalasi sengketa. Karena konflik seringkali terlihat menjadi sangat rumit, dirasakan penting untuk dapat mendefinisikan pusat situasi kritisnya, permasalahan pokoknya, atau penyebab pertikaiannya dengan mengamati dan memahami pihak-pihak yang bertikai.
Analisis konflik yang dilakukan untuk dapat memilih pendekatan manajemen konflik, dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap awalnya adalah memetakan konflik menurut ruang konflik-nya. Selanjutnya dari sana dilakukan analisis stakeholder-yakni memperjelas pihak-pihak mana yang terlibat dalam konflik. Terakhir adalah tahap perumusan rencana penanganan jangka pendek dan menengah dengan 'mempertemukan kepentingan' para pihak. Ketiga tahapan tersebut diilustrasikan dalam uraian di bawah ini:
1. Konflik data: yang terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan, atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau terjemahan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengumpulan atau pengkajian yang berbeda.

Contoh kasus di lapangan:
MDH tidak pernah mengetahui apa yang direncanakan oleh Perum Perhutani, dan apa yang menjadi hak dan kewajibannya dalam kegiatan kehutanan. Petugas lapangan tidak pernah mengkomunikasikan dengan baik apa-apa saja yang berhubungan dengan kepentingan MDH. Misalnya bahwa tarip upah pekerjaan kehutanan, selalu saja tidak pernah diketahui dengan sebenar-benarnya oleh petani, demikian pula petani jarang mengetahui isi kontrak kerja yang dilakukan dalam pekerjan-pekerjaan kehutanan. Hal yang sama terjadi dengan aparat desa, kecamatan, dan kabupaten-selalu saja muncul persoalan yang berkaitan dengan 'kesalingtidaktahuan' ini.

Stakeholder berkonflik:
MDH (selaku subyek pengelola) dengan Petugas Perum, aparat desa, aparat kecamatan, pihak kepolisian dan militer, dan aparat pemda (termasuk legislatif). Benturan yang paling sering terjadi adalah antara aparat lapangan (mandor, mantri, asper) dengan MDH-manakala aparat cenderung 'menutup-nutupi informasi' dengan berbagai alasan.
Pemecahan jangka pendek:
Konflik data mungkin tidak perlu terjadi karena hal ini disebabkan kurangnya komunikasi, oleh karena itu difasilitasi tumbuhnya komunikasi antara petugas dengan petani hutan melalui serial pertemuan dua pihak secara berkala dan lebih banyak bersifat informal, serta penyebaran bulletin dan selebaran berbahasa Jawa (kepada aparat Perhutani dan MDH-dan pihak-pihak lain) yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan rencana kegiatan kehutanan serta 'keinginan-keinginan MDH' di sekitar Randublatung.

2. Konflik kepentingan: yang disebabkan oleh persaingan kepentingan yang tidak bersesuaian. Konflik kepentingan terjadi ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain yang harus berkorban. Konflik kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar atau substantif (misalnya uang dan sumber daya), masalah tata cara (sikap dalam menangani masalahnya), atau masalah psikologis (persepsi atau rasa percaya, keadilan, rasa hormat). Banyak kasus yang terjadi berkenaan dengan ruang konflik ini, sebab biasanya dalam konflik kepentingan, pihak-pihak yang terlibat mulai terlihat jelas dan cenderung menimbulkan konflik yang terbuka.
Contoh kasus di lapangan:
MDH berkepentingan untuk mendapatkan hak-hak mereka seutuhnya, sementara Perum Perhutani berkepentingan untuk menyelesaikan program tanaman dan pengamanan hutan dengan 'cepat, efisien, dan bebas masalah' – salah satunya dengan mendapatkan tenaga kerja yang murah dan 'tidak rewel'. Pengusaha hutan berkepentingan untuk mendapatkan kayu dengan cepat dan murah, sementara Perum Perhutani (oknum-red) berkepentingan untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari panjangnya birokrasi tata niaga kayu.
Stakeholder berkonflik:
MDH dan aparat Perhutani di bawah-ketika MDH ingin mendapatkan hak-haknya sementara aparat ingin pekerjaannya cepat selesai dengan cara semurah-murahnya. Pengusaha kayu dengan Perhutani ketika pengusaha menginginkan bahan baku kayu yang diperoleh dengan cepat dan 'hemat biaya' sementara aparat (termasuk aparat keamanan, aparat pemda, dan pihak yudikatif) kadang-kadang menganggap bahwa birokrasi tata niaga jati (beserta pengamanan hutan) adalah 'sumber rezeki yang besar'.
Pemecahan jangka pendek:
Menfasilitasi penyusunan rencana kelola hutan versi masyarakat desa (dengan deskripsi kejelasan hak dan kewajiban mereka) untuk dinegosiasikan dengan Perhutani. Kesepakatan diresmikan dalam kontrak yang jelas, disaksikan oleh aparat yang berkepentingan (Lurah, camat, dan Kapolres) secara terbuka-dan dilakukan pemantauan bersama secara periodik. Memfasilitasi terbentuknya networking pengusaha kayu untuk dapat berdialog dengan Perum Perhutani, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, serta aparat keamanan setempat, agar tercapai kesepakatan tentang mekanisme tata niaga kayu yang terbuka dan adil. Kesepakatan dituangkan dalam semacam MoU dan dikomunikasikan dengan Pemda dan DPRD untuk dijadikan bahan tersusunnya Raperda tentang tata niaga kayu lokal-dan dipantau secara periodik.

3. Konflik nilai: yang disebabkan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, entah itu hanya dirasakan atau memang eksis. Nilai adalah kepercayaan yang dipakai orang untuk memberi arti pada hidupnya, menjelaskan mana yang baik dan buruk, benar atau salah, adil atau tidak. Perbedaan nilai memang tidak selalu menimbulkan konflik, sebab manusia dapat saja hidup berdampingan dengan harmonis dengan sedikit perbedaan sistem nilai. Konflik nilai akan muncul ketika suatu pihak berusaha untuk memaksakan suatu sistem nilai kepada yang lain, atau meng-klaim suatu sistem nilai yang eksklusif dan di dalamnya tidak dimungkinkan adanya percabangan interpretasi.

4. Konflik struktural: yang terjadi ketika muncul ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum, biasanya lebih memiliki peluang untuk meraih akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Di sisi lain persoalan geografis dan faktor sejarah atau waktu seringkali dijadikan alasan untuk memusatkan struktur kekuasan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan pada satu pihak tertentu. Pada akhirnya konflik ini akan banyak berhubungan dengan tidak transaksionalnya proses perubahan sosial, misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam pembangunan.
Contoh kasus di lapangan:
Kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini sangat sentralistik tidak pernah 'sampai' kepada level operasional di daerah. Institusi masyarakat sangat jauh dari isu-isu perubahan kebijakan publik, misalnya bahwa aparat pemda tidak pernah mengetahui atau terlibat dalam persoalan-persoalan pengelolaan hutan Perum Perhutani. Demikian pula kecamatan, kelurahan dan aparat keamanan hanya tahu 'sambil lalu' sementara masalah-masalah substansi kebijakan pengelolaan hutan tidak pernah mereka ketahui.
Stakeholder berkonflik:
Segenap pihak yang berkepentingan terhadap SDH di wilayah Randublatung.
Pemecahan jangka pendek/menengah:
Pengembangan institusi lokal sebagai sarana peleburan peran dan tanggung jawab semua pihak perihal kehutanan (pemda, pengusaha, Perum Perhutani, masyarakat, petani hutan, kaum wanita, dan sebagainya), yang dituangkan dalam mekanisme kebijakan publik di tingkat lokal. Pengembangan institusi dimulai dari proses membangun mekanisme lembaga rembug hutan di tingkat desa, forum komunikasi kehutanan antar desa, working group (kelompok kerja) kehutanan di tingkat kecamatan dan kabupaten–serta fasilitasi munculnya perda-perda dan peraturan lokal tentang otonomi pengelolaan SDH. Pengelolaan yang terdevolusi ini diharapkan mendekatkan pengawasan dan perencanaan pada MDH dan pemerintahan lokal sekaligus secara bertahap mengubah struktur Perhutani dari pusat kekuasaan menjadi pelayan publik. Inilah yang disebut sebagai mendekatkan struktur kekuasaan dengan struktur sosial dan pemerintahan lokal.

Keempat 'ruang konflik' tersebut tidaklah berdiri sendiri namun merupakan suatu bentang kontinuum, sehingga satu sama lain bisa saling berhubungan dan bahkan acapkali berada dalam suatu kesatuan. Beberapa kasus konflik acapkali menempati banyak ruang dan untuk proses pengelolaannya memerlukan pendalaman yang cukup kompleks. Pada bagian lain, konflik dapat bergeser dan berpindah dari ruang yang satu ke ruang yang lain dengan konsekuensi bahwa konflik akan semakin berat ataupun sebaliknya. Seperti telah banyak dibahas pada bagian muka, sebagian besar konflik pengelolaan sumber daya hutan di Randublatung selama ini telah berada pada kompleksitas ruang-ruang konflik tersebut. Oleh sebab itu pendekatan manajemen konflik yang dilakukan tidaklah bersifat terpisah satu dengan lain, namun merupakan inisiatif yang berjalan simultan dan terus-menerus.
Manajemen konflik kehutanan bagaimanapun tidak dapat terlepas dari perkembangan paradigma kehutanan global. Ke depan, ideologi pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (sustainable forest management-SFM) kian berkembang, dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip berikut (Orstom, 1990):
a. Batas-batas sumber daya hutan dan kelompok-kelompok pengguna yang jelas
b. Aturan pemanfaatan yang spesifik dan sesuai dengan kondisi lokal
c. Modifikasi kebijakan dilakukan secara partisipatif dan dikelola secara lokal
d. Para pengguna memantau ketaatan terhadap aturan-aturan yang telah dibuat
e. Terdapat mekanisme penyelesaian konflik yang efisien
f. Hak-hak dan institusi lokal bersifat independen
g. Para pengguna menetapkan dan menerapkan sanksi yang mengikat
h. Pada situasi khusus, dikembangkan sistem pemerintahan daerah yang secara keseluruhan overlapping (bertaut) dengan sistem lokal.

Mengenai paradigma baru ini FAO menggambarkan bahwa kehutanan untuk pembangunan MDH (cpmmunity forestry) harus meliputi setiap situasi yang pada akhirnya menempatkan MDH sebagai pelaku kehutanan demi manfaat langsung bagi mereka. Posisi masyarakat lokal sebagai subyek pengelolaan hutan ini sangat penting karena:
1. Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap mereka yang sebenarnya.
2. Masyarakat akan lebih mempercayai program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya. Mereka akan lebih mengetahui seluk beluk program tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki. Kepercayaan ini sangat penting khususnya bila kehutanan memerlukan dukungan masyarakat.
3. Merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan sebagai subyek dalam pembangunan masyarakat sendiri. Dapat dirasakan bahwa merekapun mempunyai hak untuk 'urun rembug' dalam menentukan jenis pembangunan yang akan dilaksanakan di daerah mereka. Hal ini selaras dengan konsep 'man centered development' yakni bahwa pembangunan harus dipusatkan pada kepentingan manusia–artinya suatu jenis pembangunan lebih diarahkan demi perbaikan nasib manusia dan tidak sekedar sebagai alat pembangunan itu sendiri.

Pergeseran paradigma (paradigm shift) yang demikian memunculkan banyak inisiatif dalam kerangka community secara luas-misalnya apa yang disebut dengan Adaptive Co-Management of Forest, atau dikenal dengan ACM. Pendekatan ACM muncul akibat semakin meningkatnya kekhawatiran bahwa perubahan aktual masyarakat dalam mengelola hutan ke arah yang lebih konstruktif, tidak akan mungkin terjadi bilamana berbagai stakeholder belum sepakat untuk menetapkan jenis sumber daya apa saja yang akan dilestarikan dan bagaimana mencapainya. Pencapaian kesepakatan tersebut tentunya sangat rumit, dan hanya terjadi melalui proses kerjasama dan transaksi yang berulang-ulang. Melalui rencana kerjasama antar pihak yang berkelanjutan, diharapkan tercipta situasi yang akan membuahkan hasil yang lebih produktif. Perubahan sikap para pihak, kemungkinan terjadinya perubahan dramatis pada kondisi lingkungan, dan meningkatnya partisipasi forest user group merupakan harapan-harapan yang dibangun dalam inisiatif ACM.
Hasil akhir yang diharapkan dari ACM ini adalah mengarahkan aktivitas MDH yang berkaitan dengan hutan, pengembangan mekanisme kelembagaan lokal, dan efektifitas kebijakan di tingkat regional. Ruang lingkup sasaran ACM antara lain: (1) mekanisme pemberdayaan lokal dalam bernegosiasi dengan stakeholder, termasuk cara masyarakat untuk dapat mempengaruhi kebijakan (contohnya, melalui aliansi antara pelaku di tingkat lokal maupun nasional); (2) metoda penerapan pengelolaan hutan sesuai kebutuhan dan keahlian di tingkat lokal; (3) pemantauan dan pertukaran informasi menggunakan sejumlah kriteria dan indikator, yang disepakati; serta (4) sejauh mungkin mengembangkan kebijakan yang digunakan sebagai perantara komunikasi formal maupun informal.
Di banyak tempat ACM kemudian diterapkan dalam rangka mempersiapkan rencana pengelolan sumber daya hutan secara adaptive dengan mengefektifkan participatory mapping, participatory planning, dan alat-alat manajemen partisipatif lainnya. Dikembangkan pula mekanisme pemantauan secara periodik yang melibatkan seluas mungkin peran MDH-selaku pihak yang paling berkepentingan terhadap hutan. Berbicara dalam skenario yang sama-pada saat ini Perum Perhutani mulai mengadopsi ACM melalui program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Sayangnya PHBM ternyata masih saja berkutat pada persoalan penanganan tanah kosong, terbukti dari diluncurkannya inisiatif STP-PHBM pada pertengahan tahun 1999 yang lalu. Akan jauh lebih applicable dan acceptible jika PHBM dapat diimplementasikan dalam ruang kelola yang lebih luas, termasuk dalam pengelolaan tegakan jati yang utuh-hingga kepada sistem tata niaga kayu jati di pasar.


PEKERJAAN RUMAH MASIH BANYAK

Permasalahan awal yang melatarbelakangi merebaknya konflik kehutanan di Randublatung sebagai contoh kasus, serta di Indonesia pada umumnya–yang berupa benturan paradigma pembangunan, sistem penguasaan (tenurial system), alokasi dan manajemen SDH memang banyak mengalami persoalan di masa lalu. Namun harus disadari bahwa hal tersebut tidak berdiri sendiri, karena terkait erat dengan sistem ekonomi dan politik global. Model pembangunan yang diterapkan di negara berkembang umumnya tidak didasarkan pada prinsip penghargaan terhadap hak-hak warga negara (right of citizens). Wacana pengelolaan SDH secara mendasar akhirnya hanya dimonopoli oleh elite penguasa dan para pemodal kuat, dengan mengatasnamakan pembangunan. Dengan berbagai dalih, pengelolaan SDH dilepaskan dari konteks historis, sosial, dan kultural masyarakat; serta diambil alih oleh pemerintah demi kepentingan negara. Benturan-benturan yang terjadi diinterpretasikan secara sepihak oleh pemerintah, menyebabkan MDH selama ini menjadi pihak yang selalu disalahkan.
Pendekatan manajemen konflik yang diadopsi oleh pemerintah sebagian besar berupa pendekatan represif polisional, ataupun jika tidak, justru lebih banyak diarahkan bagi tercapainya stabilitas dan harmoni semu. Cara berpikir yang didasarkan pada paradigma para sosiolog sejak Comte, Spencer, Durkheim, hingga Parsons itu sebenarnya telah banyak dikritik karena bias normatif mereka yang terlalu menekankan kepada 'ekuilibrium sosial' dan 'stabilitas' dan mengabaikan ruang dialektika bagi konflik. Hubungan-hubungan konfliktual mereka interpretasikan sebagai deviasi dari kondisi harmoni, tanpa dilihat sebagai mekanisme yang diperlukan karena memungkinkan fleksibilitas serta perubahan. Sementara itu pandangan yang berlawanan, yang menempatkan konflik sebagai sarana perubahan sosial-dan sekarang pandangan ini kian berkembang-dimunculkan oleh beberapa sosiolog 'alternatif' seperti Hegel, Marx, Dahrendorf, hingga Coser.
Secara obyektif harus diakui bahwa Perum Perhutani sekian lama telah mencoba untuk mengelola konflik-melalui usaha meningkatkan hubungan baik mereka dengan MDH. Program-program PMDH, Perhutanan Sosial, dan inisiatif lainnya telah cukup lama dikembangkan–sayangnya semua itu baru direalisasikan dalam kerangka 'kesuksesan tanaman' dan 'pengamanan hutan'-sementara pendekatan yang dibangun masih bersifat top down. Jarang sekali inisiatif itu diletakkan pada upaya mengelola konflik khususnya dalam penimbulan partisipasi MDH secara luas. Untuk itu mekanisme kelembagaan (sebagai titik tolak manajemen konflik) yang dikembangkan, harus dikonsentrasikan pada pengembangan komunikasi antar pihak, yakni koridor-koridor komunikasi antara MDH dan pihak-pihak lain, khususnya dengan Perum Perhutani, aparat desa-kecamatan-pemda kabupaten, serta dengan pihak legislatif.
Diyakini bahwa konflik harus dilihat dari dua sisi yakni: bahaya atau peluang-yang terkadang perbedaan keduanya hanya sebatas pada 'persepsi' para pihak yang berkonflik. Satu hal yang patut kita catat di sini adalah bahwa konflik sangat inheren dengan kehidupan manusia, oleh karenanya konflik tidak perlu (dan tidak dapat) dihindari, dihilangkan, atau diatasi, tetapi harus dikelola-agar dapat mengarah kepada munculnya energi sosial ke arah perubahan yang lebih baik. Setiap inisiatif penyelesaian konflik kehutanan memerlukan kerja keras dan kebijaksanaan dari semua pihak, dan tugas utama para pengelola hutan adalah bagaimana aparat dapat menfasilitasi MDH agar mampu merumuskan sekaligus menyuarakan kepentingannya (sebagai grass root agenda). Pekerjaan ini tidak terbatas pada upaya mendapatkan legitimasi menyuarakan grass root agenda belaka, tetapi merupakan pekerjaan memfasilitasi masyarakat agar mampu menyuarakan suaranya sendiri.
Bagaimanapun disadari bahwa paralel dengan manajemen konflik yang dikembangkan, tetap harus dijaga fasilitas advokasi bagi perubahan kebijakan publik di bidang kehutanan yang lebih memihak kepentingan MDH-sebagai agenda middle class; bukan sebagai agenda terpisah dari upaya penimbulan partisipasi. Diperlukan jembatan komunikasi yang cukup memadai bagi kedua inisiatif yang saling terkait tersebut. Pada akhirnya tugas ini memang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua, semata-mata agar pengelolaan hutan di Indonesia dapat lebih memihak masyarakat yang paling bergantung kepada keberadaan SDH. Barangkali jauh lebih bijaksana bagi kita untuk melihat konflik kehutanan lebih sebagai suatu peluang perubahan menuju sistem kehutanan yang lebih baik-suatu kondisi pengelolaan SDH yang adil, demokratis, dan menjamin keberlangsungan SDH bagi generasi mendatang.

Yogyakarta , September 2000

RUJUKAN PUSTAKA
Ahmad, Nanang Roffandi, 2000, Restrukturisasi Industri Kayu Hulu dan Pengelolaan Hutan Produksi di Luar Jawa, Makalah Semiloka Restrukturisasi Industri Kehutanan, Baplan Dephutbun-DfID, Jakarta, 6-7 September 2000.
Anonim, 1998, Kajian Struktur Sentra Industri Kerajinan Kayu Jepara Guna Mendukung Keberlanjutannya, Executive Summary, Kerjasama Fak. Kehutanan UGM-Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.
Anonim, 1990, Social Forestry in Indonesia , Workshop Report of Regional Wood Energy Development Programme in Asia, Fonc-FAO-UGM, Bangkok , December 1990.
Anonim, 1992, Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH) Perum Perhutani KPH Randublatung, Tidak Dipublikasikan.
Anonim, 1998, A Manual on Alternative Conflict Management for Community-Based Natural Resource Projects in the South Pacific; Context, Principles, Tools, and Training Materials, Overseas Development Institue, Portland House, London, June, 1998.
Anonim, 2000a, Prosiding Lokakarya PHBM, Lembaga ARuPA-Perum Perhutani-FKKM, Pusdiklat Madiun Februari 2000.
Anonim, 2000b, Indonesia ; Environment and Natural Resource Management in A Time of Transition, Unpublished Report, June, 30, 2000.
ARuPA, 1999a, Rancang Bangun Pengembangan Inisiatif Cooperative Forest Management, Laporan Penelitian Kolaboratif, Lembaga ARuPA-FKKM, Tidak diterbitkan.
________, 1999b, 'penjarahan hutan' Hutan di Sekitar Desa Temulus Randublatung, Fenomena Gunung Es di Tengah Lautan Reformasi Kehutanan, Laporan Investigasi, Lembaga ARuPA-FKKM, Tidak diterbitkan.
Bakhtiar, Irfan (ed.), 2000, Desa Mengepung Hutan: Prosiding Semiloka PHBM sebagai Implementasi Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi di Randublatung, BP ARuPA, Yogyakarta .
Barber, C. Victor, Nels C. Johnson, & Emmy Hafild, 1994, Breaking the Logjam; Obstacles to Forest Policy Reform in Indonesia & The United States, WRI, Washington DC., USA.
Conyers, Diana, 1994, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga; Suatu Pengantar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta .
Effendi, Saman, et al., & Nurjaya, I Nyoman, (ed.), 1993, Politik Hukum Pengusahaan Hutan di Indonesia, Tim Studi WALHI, Jakarta .
Hobbley, M., 1996, Participatory Forestry: The Process of Change in India and Nepal , Rural Development Forestry Study Guide 3, London .
Hutomo, Suripan Sadi, 1996, Tradisi dari Blora, Citra Almamater, Semarang .
Hutomo, Suripan Sadi, 1985, Samin Surosentiko dan Ajaran-ajarannya, (I dan II) dalam Basis, No. 1 dan No. 2, Tahun XXXIV, Januari dan Februari 1985, Yogyakarta .
Jamuin, Ma'arif, 1999, Resolusi Konflik antar Etnik dan Agama, Kerjasama Ciscore-The Asia Foundation, Surakarta .
Peluso, Nancy Lee , 1988, The Transformation of Teak Production in Java: Contradiction of Forest Acces Control and Development, Paper for 83rd Annual Meeting of the ASA, Atlanta , Georgia , 24-28 August, 1998.
________, 1991, Excerpts from the Evaluation of the Java Social Foretry Program, Unpublished Paper, December 30, 1991.
________, 1992a, Rich Forests , Poor People; Resources Control and Resistance in Java, University of California Press. California .
________, 1992b, Coercing Concervation? The Politics of State Resource Control, Unpublished Paper, Juni 1992.
Perum Perhutani, 1998, Statistik Tahun 1993-1997, Direksi Perum Perhutani, Jakarta .
Poffenberger, Mark, 1992, Sustaining Southeast Asia's Forest, Center for Southeast Asian Studies, University of California , Berkeley .
Santosa, Mas Ahmad, dan Sembiring, Sulaeman (ed.), 1997, Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Konflik Lingkungan, Cetakan 1, ICEL, Jakarta.
Santoso, Herry, 2000, Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan Jati Perum Perhutani, Usulan Penelitian Tesis S-2, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Scheltema, Anne Marie, P.A., 1985, Bagi Hasil di Hindia Belanda, Terjemahan oleh: Marwan, Yayasan Obor Indonesia , Jakarta .
Simon, Hasanu, dkk. (ed.), Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, FKKM, Yogyakarta .
Simon, Hasanu, 2000, Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi Pemecahannya, Cetakan II, Bigraf Publishing, Yogyakarta .
Soepardi, R., 1974, Hutan dan Kehutanan dalam Tiga Jaman, Jilid I, Perum Perhutani, Jakarta .
Soenarya, Yahya, 1998, Strategi Pengamanan Hutan Pasca Penjarahan (Pengalaman Kasus Penjarahan di Perum Perhutani Unit II Jatim), Makalah pada Seminar dan Reuni FKT UGM, Yogyakarta , 21-24 Oktober 1998.
Supriadi, Dodi, 2000, Keterkaitan Rehabilitasi Hutan, Gerakan Penghijauan dan Hutan Rakyat–dengan Indiustri Kehutanan, Makalah Ditjen RLPS dalam Lokakarya Restrukturisasi Industri Kehutanan, Baplan Dephutbun-DfID, Jakarta, 6-7 September 2000.
Susetiawan, 2000, Konflik Sosial: Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan, dan Negara di Indonesia, Terjemahan oleh: Watie Suhanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta .
Widodo, Amrih, 2000, Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati, dalam Basis No. 09-10. Tahun ke 49, September-Oktober, 2000.
Wijardjo, Budi, et al., tt, Konflik, Bahaya atau Peluang; Buku Panduan Latihan Cara Menghadapi dan Mengelola Konflik atas Sumber Daya Alam; Kerjasama USAID-WWF-Nature Conservancy-WRI.

Print Friendly, PDF & Email

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*