KAYU menjadi BATU

Kami bersyukur masih diperbolehkan mengambil batu oleh Perhutani di hutan. Tapi, seperti biasa, kami harus berhenti mengambil batu, jika ada kunjungan ADM ke hutan. Bisa berhenti dua minggu atau bahkan dua bulan. Setelah diperbolehkan oleh Mandor, kami ngambil batu lagi.” (warga pencari batu)

Kebutuhan masyarakat desa pinggir hutan Jawa akan kayu sudah lama ada, dan sudah lama dibahas oleh para aktivis NGO dan peneliti kehutanan maupun peneliti ilmu sosial. Ini sebuah kecenderungan umum, karena kayu merupakan kebutuhan papan bagi masyarakat desa. Belakangan, kayu menjadi kebutuhan pangan, karena tanah tandus (pegunungan kapur utara) tidak bagus untuk tanaman pangan. Kayu diambil lalu dijual lalu uangnya dibelikan kebutuhan pangan.

Ya, pegunungan kapur utara, tepatnya di sebuah kampung pedalaman yang letaknya dipersimpangan antara Kabupaten Tuban, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Blora. Tahun 1985 ada peneliti dari Amerika pernah melakukan studi mendalam di kampung ini. Hingga menghasilkan buku Rich Forest, Poor People (edisi terjemahan: Hutan Kaya, Rakyat Melarat, 2006) yang banyak dikutip para rimbawan serta pemerhati lingkungan dan kehutanan. Tahun ini, tepatnya awal tahun 2010 kami atas permintaan penulis buku tersebut melakukan survei pendek tentang perkembangan kehidupan masyarakat di kampung tersebut. Pertanyaan kunci yang ingin dijawab adalah apa dan bagaimana perubahan livelihoods masyarakat kampung tersebut tahun 1985 hingga 2010? Dalam deskripsi singkat ini, salah satu perubahan tersebut adalah pekerjaan sampingan mencari batu di hutan, di mana pekerjaan tersebut tidak ada pada tahun 1985.

Kayu menjadi batu. Pegunungan kapur utara menyimpan batu-batu kapur yang melimpah. Masyarakat kampung ini pada tahun 2004 memasuki era baru pengelolaan hutan, yakni masuknya program kerjasama antara pengelola hutan Jawa (Perhutani) dengan masyarakat kampung ini. Program ini bernama PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat). Meski tidak banyak masyarakat di kampung ini yang mengetahui program tersebut, namun dampaknya sangat terasa di masyarakat. Dampak yang cenderung tidak enak didengar oleh mereka. Salah satunya, masyarakat semakin diperketat, semakin tidak boleh mengambil kayu di hutan karena pemerintah desa dan “lembaga penjaga hutan” (Lembaga Masyarakat Desa Hutan — LMDH) ikut berperan besar dalam pengamanan kayu jati. Bisa dibayangkan, masyarakat menjadi tidak enak atau istilahnya sungkan mengambil kayu lantaran Pak Wo (Kamituo)-nya yang menjaga kayu jati di hutan.

Kayu menjadi batu. Apa yang terjadi? Akhirnya masyarakat mengalihkan perhatiannya pada batu. Gayung bersambut, Perhutani menanggapinya dengan sangat senang, bahwa perhatian masyarakat berpindah dari kayu menjadi batu. Meski kebijakan ini menjadi rahasia ketat antara pedagang batu (pengusaha lokal) dengan aparat pengaman hutan selevel mandor atau tinggi sedikit yakni mantri. ADM tidak tahu menahu. Setiap satu rit (truk) batu, pedagang batu yang membawa truk harus menyerahkan “upeti” kepada mantri atau mandor. Hal yang sangat mirip dengan kayu, dalam mengambil batu, transaksi berlangsung antara pedagang batu dengan aparat pengaman hutan. Sementara itu, masyarakat kampung hutan menjadi buruh tebang, dan sekarang menjadi buruh pencari batu. Kami mewawancarai masyarakat yang mencari batu dan mereka tidak tahu menahu berapa besaran “upeti” yang diberikan pedagang batu kepada mandor atau mantri hutan. Karena biasanya “upeti” dimasukkan dalam amplop, dan itu sudah bukan urusan mereka lagi.

Kayu menjadi batu. Bagaimana caranya mengambil batu dan berapa rupiah yang bisa dihasilkan masyarakat setiap harinya dari mengambil batu? Pertama, alat yang harus dipersiapkan adalah linggis, gancu, dan palu. Caranya adalah tanah di jojoh atau ditusuk dengan linggis, lalu kalau terasa ada batu, baru digali menggunakan linggis dan palu. Setelah batu dapat dikeluarkan dari tanah, lalu batu dipecah dengan palu besar menjadi bagian-bagian kecil berukuran diameter 30-50 cm. Biasanya pengambil batu berombongan hingga berjumlah empat orang. Maksimal sehari bisa mendapatkan 4 rit (truk) batu. Atau rata-rata mendapat 2 rit (truk) batu per hari. Satu rit dihargai oleh pedagang batu sebesar Rp. 40.000. Jadi, setiap orang per hari mendapat uang antara Rp. 20.000 hingga Rp. 40.000.

Ketika batu sudah terkumpul, mereka masih menunggu pedagang batu untuk datang membawa truk dan membeli batu mereka. Mereka menumpuk batu di tengah hutan. Ketika pedagang tak kunjung datang dan batu sudah terkumpul 4 rit, mereka beristirahat tidak mengambil batu dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan hingga pedagang batu datang. Jadwal harian pengambil batu adalah sebagai berikut: pukul 08.00 berangkat ke hutan, pukul 12.00 pulang ke rumah untuk makan, pukul 13.00 berangkat ke hutan lagi, dan pukul 17.00 pulang ke rumah.

Sesuai dengan penuturan White (1989) yang dikutip oleh Peluso (2006: 304) “… sebagian besar dari pola yang lazim dalam strategi bertahan hidup petani kecil di Jawa yang menuntut adanya input yang cukup besar dari peluang penghasilan non-pertanian, peluang pekerjaan hutan adalah unsur penting“. Jadi, masyarakat kampung sekitar hutan memang sangat bergantung pada hutan dan Perhutani. Kalau dulu bergantung pada perhutani untuk mendapatkan persil hutan dan kayu dari hutan, sekarang ada tren baru yakni bergantung pada Perhutani untuk mendapatkan persil hutan dan BATU dari hutan. Kayu menjadi Batu !

Views: 20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *