DESENTRALISASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN
DI KABUPATEN WONOSOBO
Dari Kerusakan Hutan Menuju Kehutanan Masyarakat
Oleh : Irfan Bakhtiar 1
Pemerintah daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat, dan akhirnya pemerintah daerah sekedar menjadi sapi perahan pemerintah pusat. Semua sumber kekayaan alam daerah disedot oleh pemerintah pusat, tanpa memperhatikan nasib rakyat daerah. pemerintah daerah hanya berstatus sebagai verlengstuck pemerintah pusat, sehingga harus dan wajib melaksanakan apa yang menjadi policy pemerintah pusat.(Muchsan, 2000 ) 2
Latar Belakang
Salah satu hal yang dianggap kesalahan terbesar dari rezim orde lama sampai dengan rezim orde baru adalah dilaksanakannya pemerintah secara sangat sentralistis. Argumen bentuk negara kesatuan dan Undang-Undang Dasar 1945 selalu dikedepankan untuk mendukung sentralisasi tersebut. Telah banyak pelajaran dari sejarah yang mestinya dapat menjadi potret betapa kekuasaan yang sentralistik tidak dapat mendukung kesatuan, bahkan cenderung menimbun potensi perpecahan. Munculnya perlawanan PRRI/Permesta di Sumatera merupakan salah satu reminder terbaik akan besarnya potensi perlawanan dari sentralisasi tersebut. Dan konflik-konflik yang terjadi sampai dengan sekarang, seperti kasus Aceh dan Irian Jaya juga merupakan akibat dari pemusatan kekuasaan yang diberlakukan selama ini.
Dalam era reformasi ini, pemegang amanah rakyat berusaha mendorong inisiatif desentralisasi dan otonomi daerah, yang selama beberapa tahun terakhir terus dikampanyekan oleh para akademisi dan kalangan Ornop 3 sebagai upaya untuk semakin mendorong iklim domokrasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dengan Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998, MPR sebagai lembaga negara tertinggi mengamanatkan kepada Presiden untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasan daerah untuk menyelesaikan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dibidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Kewenangan daerah tersebut juga disebut kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, karena mencakup kewenangan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Dalam perkembangannya, TAP MPR tersebut diturunkan ke dalam UU No. 22 Th 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, daerah kabupaten dan kota ditempatkan sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan sesuai dengan yang diamanatkan oleh TAP MPR No. XV Th 1998. Dan sebagai peraturan pelaksanaannya telah disusun PP No. 25 Th 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi sebagai Daerah Otonom. Namun demikian peraturan yang telah disusun tersebut memberikan kesan mengaburnya semangat otonomi daerah yang tengah dikembangkan. Bahkan, akhir-akhir ini otonomi yang akan dilaksanakan sering disebut dengan otonomi setengah hati. Ditambah lagi dengan berbagai peraturan sektoral yang masih sangat bersifat sentralistis.
Daerah otonom sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 Th 1999 merupakan daerah yang berwenang dan berkewajiban untuk mengurusi sendiri urusan rumahtangganya selain beberapa urusan yang memang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dengan demikian, selain urusan-urusan bidang pemerintahan, satu hal yang harus dilimpahkan atau harus menjadi urusan pemerintah dan masyarakat daerah adalah pengelolaan asset negara di daerah, seperti sumberdaya alam. Tanpa adanya kewenangan untuk mengelola sendiri asset dan sumberdaya yang ada, maka layaklah otonomi yang akan diterapkan disebut sebagai otonomi setengah hati .
Namun demikian, bukan berarti sama sekali tidak ada peluang bagi daerah untuk melaksanakan kewenangannya di bidang pengelolaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Pedoman-pedoman dan standar-standar, yang dalam PP No 25 / 2000 disebutkan sebagai wewenang pemerintah pusat belum semuanya tersusun. Karena itu, daerah dapat menginisiasikan hal tersebut sepanjang tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah dan memajukan daerahnya. 4
Kabupaten Wonosobo, merupakan salah satu daerah yang tidak begitu kaya akan sumberdaya alam. Potensi wisata merupakan salah satu sumberdaya yang dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo. Hutan, alam pegunungan, danau alam, dan bentang alam yang indah merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung otonomi daerah.
Sumberdaya Hutan di Wonosobo, Potensi yang Bermasalah
Di wilayah Kabupaten Wonosobo terdapat 18.896,42 hektare kawasan hutan negara5 yang pengelolaannya saat ini dikuasai oleh Perum Perhutani. Kawasan hutan yang sebagian berstatus hutan lidung tersebut merupakan modal yang dapat menjadi potensi yang cukup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelaksanaan pembangunan di daerah apabila pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah dan masyarakat daerah Wonosobo. Masyarakat daerah Wonosobo sendiri telah memiliki pengalaman yang cukup baik dalam pengelolaan hutan, yang terbukti pada tahun 1997 dan 1998 luas hutan rakyat di Wonosobo mencapai lebih dari 19.000 ha 6yang berarti lebih luas dari kawasan hutan negara di Wonosobo.
Dewasa ini, kondisi kawasan hutan negara di Kabupaten Wonosobo sangat memprihatinkan. Sejak akhir tahun 1998, terjadi penebangan kayu liar secara besar-besaran di kabupaten Wonosobo. 7 Penebangan liar atau yang lazim disebut penjarahan tersebut terus terjadi hingga sekarang, tanpa dapat dihentikan oleh aparat, baik aparat kepolisian ataupun aparat Perum Perhutani. Sampai dengan pertengahan tahun 2000 saja, tanah kosong akibat penjarahan yang ada di wilayah Bagian Hutan Wonosobo KPH Kedu Utara dan Bagian Hutan Ngadisono KPH Kedu Selatan mencapai 3.348,7 hektar 8Seperti juga di daerah lain, selain karena adanya cukong dan backing dari oknum yang tidak bertanggung jawab, pemicu lain dari penjarahan hutan adalah karena adanya konflik antara masyarakat dengan Perum Perhutani. Konflik tersebut berupa perselisihan struktural dan juga berupa kecemburuan sosial masyarakat terhadap aparat Perum Perhutani.9
Suatu hal yang cukup ironis, bahwa hutan yang terjarah di Wonosobo kebanyakan tepat bersebelahan dengan hutan rakyat, yang sampai sekarang masih terlihat tegak berdiri. Hutan rakyat tetap aman, sedangkan hutan negara porak poranda. Itulah yang terjadi. Masyarakat terkesan enggan turut serta menjaga hutan negara. Hal itu disebabkan tidak adanya manfaat yang didapatkan oleh masyarakat desa sekitar hutan dari hutan yang ada di sekelilingnya. Padahal masyarakat tahu persis, bahwa hutan dapat memberi banyak manfaat bagi mereka, namun, dengan penguasaan Perum Perhutani yang sangat ketat, akses masyarakat ke hutan sangat dibatasi, bahkan diputus. Karena itulah, wajar jika rasa handarbeni masyarakat terhadap hutan sangat rendah.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan oleh daerah di masa yang akan datang, rasa handarbeni masyarakat harus dapat ditimbulkan dengan memberikan akses dan manfaat bagi masyarakat, dengan tujuan kelestarian hutan akan terjaga sepanjang adanya kelestarian manfaat hutan bagi masyarakat sekitar.
Kerusakan hutan yang cukup parah di Wonosobo, yang merupakan daerah hulu dari beberapa sungai besar telah mendatangkan ancaman bagi daerah-daerah hilir. Musibah yang telah datang di beberapa daerah menibulkan kekhawatiran yang cukup besar, bahwa musibah tersebut akan datang di Wonosobo atau daerah-daerah yang menjadi hulu Sungai Serayu dan sungai-sungai lainnya. Karena itu, penyelesaian permasalahan kehutanan di Wonosobo merupakan hal mendesak untuk segera dilaksanakan, dengan sebuah perencanaan yang matang, menguntungkan semua pihak, dan memberikan kemanfaatan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dan pilihannya adalah mewujudkan sebuah pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari, adil, dan demokratis.
Hutan Kemasyarakatan dan Perusahaan Daerah Kehutanan, Sebuah Usulan untuk Mencari Solusi
Menjelang diterapkannya otonomi daerah pada tahun 2001, suatu kebijakan mesti segera ditentukan untuk memanfaatkan potensi, sekaligus berupaya menyelesaikan permasalahan yang ada. Sektor kehutanan, merupakan suatu sektor yang tidak dapat dinilai hasil akhirnya dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil untuk mengelola sektor ini haruslah kebijakan yang berorientasi jangka panjang, dengan menyelesaikan permasalahan mendasar. Semua potensi yang ada di masyarakat haruslah diakomodir dan dioptimalkan.
Masyarakat Wonosobo, selama ini dikenal sebagai masyarakat yang memiliki latar belakang budaya pertanian dan budaya kehutanan yang tinggi. Besarnya luas hutan rakyat menunjukkan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk mengelola sumberdaya hutan dengan baik, sepanjang kesempatan diberikan kepadanya.Dengan besarnya potensi masyarakat, gagasan tentang kehutanan masyarakat (pengelolaan hutan berbasis masyarakat) merupakan gagasan yang sangat realistis untuk dikedepankan sebagai masa depan pengelolaan sumberdaya hutan di Kabupaten Wonosobo.
Dengan PHBM, manfaat yang akan didapatkan oleh daerah Wonosobo akan berganda. Selain manfaat ekologis dari kelestarian sumberdaya hutan, kemajuan perekonomian masyarakat desa sekitar hutan akan menumbuhkan tingkat keswadayaan yang tinggi di kalangan masyarakat. Dengan demikian, banyak alokasi dana pemerintah daerah yang dapat dihemat. Sebagai ilustrasi, masyarakat Desa Gunung Tugel Kecamatan Leksono, dengan keswadayaannya mampu memperbaiki jalan menuju desanya yang rusak akibat penjarahan hutan yang diikuti dengan tanah longsor, meskipun dengan jalan batu. Dengan demikian, bantuan yang diberikan oleh pemerintah bagi pembangunan jalan batu dapat diwujudkan oleh masyarakat menjadi jalan jalan aspal. Ilustrasi kecil tersebut dapat menjadi pelajaran, bahwa tingkat keswadayaan akan dapat mendorong pembangunan tanpa terlalu banyak membebani pemerintah dalam penyediaan anggaran pembangunan.
Adapun konsep dasar dari kebijakan pengembangan kehutanan masyarakat dengan pola Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diajukan adalah sebagai berikut :

Pola dengan konsep di atas diusulkan untuk kawasan hutan dengan intensitas konflik dan interaksi masyarakat yang tinggi dengan hutan. Syarat lain bagi penerapan konsep tersebut adalah adanya kelompok masyarakat yang siap untuk mengelola sumberdaya hutan, yang dibuktikan dengan adanya potensi hutan rakyat yang baik di kawasan tersebut.
Dalam memanfaatkan hak kelolanya, masyarakat pemegang hak kelola dapat memanfaatkan lahan dalam jangka waktu tertentu, dengan usaha kehutanan dan usaha-usaha pertanian. Jenis-jenis tanaman yang dapat dikembangkan pada kawasan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dengan pilihan jenis dan pola kelola (pola tanam) yang secara teknis dapat tetap mengoptimalkan fungsi utama hutan, yaitu fungsi ekologis / fungsi konservasi hutan.
Dalam model pengelolaan di atas, Dinas Kehutanan berperan sebagai fasilitator dan pembina kelompok masyarakat pengelola. Peran ini sangat penting untuk mengevaluasi dan memantau rencana dan pelaksanaan pengelolaan oleh kelompok, dengan tujuan fungsi kelestarian tetap menjadi tujuan utama dari pengelolaan oleh kelompok masyarakat tersebut.
Alternatif ke dua yang dapat diterapkan adalah pendirian Perusahaan Kehutanan Daerah. Badan usaha ini merupakan wujud dari pengalihan asset pemerintah pusat dalam bentuk Perum Perhutani kepada daerah. Namun demikian, pola usaha yang akan dijalankan akan sangat berbeda dengan yang telah dijalankan oleh Perum Perhutani selama ini. Perbedaan tersebut antara lain adalah dalam pemilihan jenis tanaman pokok, pola tanaman dan jenis usaha, serta pola kemitraan yang dikembangkan. Perbedaan tersebut merupakan suatu keniscayaan, karena jika badan usaha ini berdiri, maka luas konsesinya tidak seluas wilayah Perum Perhutani, bahkan dalam satu KPH non-jati sekalipun. Karena itu badan usaha ini akan melakukan diversifikasi usaha, baik yang berbasis pada lahan (kehutanan, perkebunan) maupun yang berbasis non-lahan (pengolahan hasil hutan, perlebahan, dll).
Alternatif ke dua ini diajukan, karena sangat disadari bahwa tidak di semua wilayah Kabupaten Wonosobo memiliki potensi hutan rakyat yang besar. Demikian juga tidak semua masyarakat sekitar hutan di Wonosobo memiliki tradisi berhutan dan kesiapan dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, perusahaan ini diharapkan dapat mendatangkan pendapatan bagi daerah (PADS).
Perusda yang diusulkan tidak akan mengulangi kesalahan badan otorita yang lalu, yaitu dengan tidak mengikutsertakan masyarakat sehingga tidak menimbulkan rasa handarbeni. Pengelolaan yang dilakukan oleh perusda yang diusulkan ini memegang prinsip-prinsip co-management (prinsip dasar kemitraan), dengan pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kerjasama antara perusda dengan kelompok masyarakat merupakan kerja sama yang setara dengan pembagian kewajiban dan pembagian hasil yang setara pula. Pola kerja sama ini di India dikenal dengan nama Joint Forest Management , sedang di lingkungan masyarakat Jawa dikenal dengan sebutan ” gadhuh-paron” . Adapun konsep dasar perusahaan daerah yang diusulkan adalah sebagai berikut :

Dengan konsep di atas, Pemda c.q. Dinas Kehutanan berperan sebagai pembina teknis, sedangkan kepemilikan perusahaan sendiri merupakan patungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, dengan komposisi modal dan hasil sesuai dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam UU No. 25 Th 1999.
Penutup
Kedua konsep yang diusulkan di atas dapat dilaksanakan secara bersama-sama, karena keduanya mempunyai tujuan akhir yang sama, yaitu terwujudnya pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari, adil, dan demokratis. Namun demikian, penerapan kedua konsep tersebut masih akan berhadapan dengan resistensi sebagian kalangan, terutama di tingkatan sektor kehutanan pusat dan organ-organnya. Secara de-facto , PP No. 53 Th 1999 tentang Perum Perhutani masih berlaku, meskipun secara hukum keabsahannya sangat diragukan. Karena itu, perjuangan untuk melaksanakan otonomi daerah dalam sektor kehutanan di Wonosobo dan di daerah lain di Jawa masih harus menempuh perjuangan yang panjang, untuk mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemanfaatan, kelestarian, dan keadilan.
Bahan Bacaan
_______, 2000, Wonosobo dalam Angka 1999 , Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Bakhtiar, Irfan, 2000, Community Forestry di Nepal, Sebuah Pelajaran Bagi Desentralisasi dan Devolusi Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Jawa , Artikel dalam Jurnal Studi PSDA Edisi 1 No.2, Okt/Des 2000, BP ARuPA, Yogyakarta.
Bakhtiar, Irfan (e), 2000, Desa Mengepung Hutan, Prosiding Semiloka Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi sebagai Implementasi PHBM di Randublatung , BP ARuPA, Yogyakarta.
Bulletin Akar edisi Mei, 2000, Penjarahan di Desa Gunung Tugel , BP ARuPA, Yogyakarta.
Davis, Kenneth P, 1966 , Forest Management : Regulation and Valuation , McGraw-Hill Book Company, New York.
Kartasubrata, Junus, dkk, 1995, Social Forestry Programme in Java, A State of The Art Report , CDS-Perum Perhutani-Ford Foundation, Jakarta.
Muchsan, 2000, Prediksi Probabilitas yang Bisa Terjadi dari Pemberlakuan UU No. 22 / 1999 , artikel dalam Jurnal Studi Kebijakan PSDA edisi 1 No. 2, Okt/Des 2000, BP ARuPA, Yogyakarta.
Simon, Hasanu, 1999, Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat : Teori dan Aplikasi di Hutan Jati Jawa , Bigraf Publishing, Yogyakarta.
Subagya, Ahmad, 2000, Mekanisme dan Implementasi dalam Otonomi Daerah , Makalah dalam Diskusi Panel “Otonomi Daerah dan Desentralisasi PSDH di Wonosobo, Artikel dalam Jurnal Studi PSDA edisi 1 No. 2, Okt/Des 2000, BP ARuPA, Yogyakarta.
Susanti, Ari, dkk (e), 2000, Prosiding Lokakarya PHBM , BP ARuPA, Yogyakarta.
—————
1. Sekretaris Jenderal Lembaga ARuPA Yogyakarta (tahun 1999-2001)
2. Prof. Dr. Muchsan, S.H., Prediksi Probabilitas yang Bisa Terjadi dari Pemberlakuan UU No. 22 / 1999, artikel dalam Jurnal Studi Kebijakan PSDA edisi-2, Okt – Des 2000
3.Organisasi Non Pemerintah, lebih dikenal dengan sebutan LSM.
4. Subagya, Ahmad, Drs., (2000)Mekanisme dan Implementasi dalam Otonomi Daerah, Makalah dalam Diskusi Panel “Otonomi Daerah dan Desentralisasi PSDH di Wonosobo, Artikel dalam Jurnal Studi PSDA edisi 2, Okt-Des 2000.
5. Wonosobo dalam Angka, 1999
6. ibid
7. Bulletin Akar Edisi 1, Mei 2000
8. Data Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah
9. Bulletin Akar Edisi I, Mei 2000
Views: 46

Leave a Reply