Desa Mengepung Hutan

Desa Mengepung Hutan 1

Hutan di seluruh tanah Jawa selalu dalam keadaan terdesak dan terkepung oleh desa-desa dengan penduduk berjejal. Ini adalah masalah klasik yang sering disederhanakan secara salah sebagai suatu dilema: mempertahankan kelestarian hutan atau memperbesar peran masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pandangan ini muncul dengan berangkat dari suatu mitos bahwa peningkatan peran masyarakat hanya akan membawa dampak buruk bagi kelestarian hutan dan juga sebaliknya bahwa untuk menjaga kelestarian hutan, segala dampak negatif dari masyarakat perlu dieliminasi dengan membatasi, menjauhkan, dan mengenklave masyarakat dari hutan.

Dilema ini hanya akan muncul bila kita membatasi diri pada dua tipe pengelolaan hutan, yaitu pengelolaan oleh negara secara mutlak atau privatisasi mutlak (Hobbley, 1996) . Di lain pihak peningkatan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak harus selalu diterjemahkan sebagai redistribusi lahan hutan negara ke dalam pengelolaan privat masyarakat atau lembaga desa, apalagi jika dilakukan dengan terburu-buru. Program land-reform yang tidak cermat dan tanpa perencanaan yang hati-hati hanya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada beberapa tahun pertama sampai sumber daya hutan habis tereksploitasi—itupun dengan sebagian besar keuntungan justru lepas dari masyarakat desa sekitar hutan dan direbut oleh pedagang dan industrialis yang bermodal besar dan lebih siap segala-galanya serta tidak terlalu terpengaruh dengan kerusakan ekosistem yang akan diderita oleh masyarakat sekitar hutan secara langsung.

Di antara ke dua titik ekstrem inilah terdapat berbagai kemungkinan mengenai pengelolaan hutan yang tidak harus saling mengorbankan salah satu dari kedua tujuan mulia tersebut: menyejahterakan masyarakat sambil terus memelihara kelestarian hutan. Singkat cerita, paradigma itu kemudian dikenal sebagai pengelolaan hutan partisipatif yang oleh Perum Perhutani diadopsi dalam skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan mulai diterapkan tahun ini.

Inti dari pengelolaan hutan partisipatif adalah berusaha melestarikan hutan dengan cara mengajak masyarakat untuk ikut serta mengelola dan melestarikan hutan dengan kesadaran sendiri setelah dapat merasakan manfaatnya secara langsung dan tak–langsung. Pengelolaan ini tentu saja memerlukan persiapan yang baik mulai dari perubahan pola pikir, penataan kembali hubungan kerja dan hubungan antar-personal, pelibatan lebih banyak pihak/penopang (stakeholder), perimbangan hak dan kewajiban yang adil, serta aturan main yang jelas, fair 2dan disertai pengawasan dari banyak pihak. Sampai semua persiapan ini dimulai untuk disusun, disepakati, dan diujicobakan barulah kita akan tiba pada pengelolaan hutan partisipatif terintegrasi yang bukan sekadar slogan.

Semua persiapan ini tidak cukup dilaksanakan dengan bekal keyakinan semata, perlu kiranya disusun suatu program dan agenda aksi yang akan menjadi tugas bagi semua penopang dengan bekal fakta awal yang bisa menggambarkan kenyataan dan tantangan yang kita hadapi bersama.

1. Beban yang Dipikul Bagian Hutan Randublatung

Fakta yang dipaparkan berikut ini adalah hasil survai awal sejak bulan Maret 2000 di sembilan desa sekitar Bagian Hutan Randublatung. Desa Gembyungan, Temulus, Bodeh, dan Menden, Pilang, dan Randublatung berbatasan langsung—bahkan sebagian desa tersebut berada di dalam—B.H. Randublatung atau sebaliknya B.H. Randublatunglah yang berada didalam desa, sementara desa lainnya tidak berbatasan langsung tetapi memiliki interaksi dengan bagian hutan tersebut. Hasil survai ini bukanlah suatu angka pasti yang akan mencukupi sebagai bekal perjalanan panjang pengelolaan hutan partisipatif terintegrasi yang dicita-citakan. Upaya optimalisasi pengelolaan hutan untuk mencukupi—sebagian atau seluruh—kebutuhan masyarakat desa sekitar hutan akan memerlukan survai mendalam untuk mendapatkan data yang lebih presisi sebagai dasar negosiasi antar para pihak dan penyusunan rencana kerja.

Tabel 1. Kebutuhan Masyarakat Desa Terhadap Bagian Hutan Randublatung 3

     Nama DesaKebutuhanLapanganPekerjaanKebutuhanLahanKebutuhan Kayu PerkakasKebutuhanKayu BakarKebutuhanHMT
RumahBaruTambalSulamTotal
oranghektarem3/thm3/thm3/thsm3/thton/th
1Gembyungan299250,961,052,016.410,95.261
2Plosorejo8055422,641,844,4916.686,66.746
3Temulus6281403,463,036,4910.322,47.914
4Sumberrejo855272,363,455,8112.162,52.679
5Pilang8965115,342,117,4613.605,86.894
6Randublatung8973043,532,025,5513.554,93.616
7Bodeh5173051,752,464,217.178,62.546
8Sambongwangan9822981,281,873,1510.574,15.190
9Mendenrejo8447962,093,355,4535.254,011.722
 Jumlah Total6.7232.94823,4121,1944,60125.749,852.568

Sumber: Diolah dari BPS, 1997; ARuPA, 1999; Astraatmaja dan Aji, 2000; Bagiono dan Sulistyaningsih, 2000;

Sanyoto dan Chehafudin, 2000; Suprapto, 2000a; Wirabaskara dan Ferdaus, 2000; dan Wiyanto, 1996.

Pada dasarnya memang sebesar itulah kebutuhan masyarakat, itupun hanya cukup untuk mempertahankan kehidupan mereka yang rendah kesejahteraannya. Kebutuhan tersebut belum untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka, apalagi untuk menampung luapan pengangguran yang terus bertambah setiap tahunnya 4 —jika badai krisis ekonomi ini tidak segera berlalu.

Marilah sekarang kita cermati berapa besarnya kebutuhan masyarakat desa sekitar hutan yang bisa ditampung oleh kawasan Bagian Hutan Randublatung.

Tabel 2. Kebutuhan Masyarakat Desa dan Ketersediaannya di B.H. Randublatung 5

Kebutuhan lapangan pekerjaan6.723orang
Tenaga kerja yang diperlukan Perum Perhutani di B.H. Randublatung4.440
Kebutuhan lahan2.948,1hektare
Luas seluruh kawasan B.H. Randublatung5.216,6
Kebutuhan kayu perkakas44,60m3/tahun
Target tebangan Perum Perhutani tahun 2000 di B.H. Randublatung5.376
Kebutuhan kayu bakar125.750sm3/tahun
Ketersediaan kayu bakar di Bagian Hutan Randublatung5.246
Kebutuhan hijauan makanan ternak52.568ton/tahun
Ketersediaan pakan ternak di kawasan B.H. Randublatungn.a.

Sumber: Diolah dari Hardjosoediro, 1985; Peta Bagian Hutan Randublatung, 1993; BPS, 1995 dan 1997; ARuPA, 1999; Astraatmaja dan Aji, 2000; Bagiono dan Sulistyaningsih, 2000; Perum Perhutani KPH Randublatung, 2000; Sanyoto dan Chehafudin, 2000; Suprapto, 2000a; Wirabaskara dan Ferdaus, 2000; dan Wiyanto, 1996.

Angka 2.948,1 hektare jangan secara terburu-buru diartikan bahwa demi peningkatan kesejahteraan petani dan buruh tani di sekitar hutan diperlukan konversi kawasan hutan menjadi lahan pertanian seluas itu. Perluasan lahan pertanian yang tidak diimbangi dengan pengusahaan produk pertanian yang bernilai jual tinggi, teknologi pertanian yang lebih baik, dan perbaikan harga jual produk pertanian serta tidak memperhitungkan ketersediaan tenaga dan minat menjadi petani/pesanggem hanya akan memperluas tanah bera yang tidak efisien. Bagaimanapun juga petani memiliki keterbatasan kemampuan mengelola luasan hutan. Inti persoalan dari masalah pertanian dan kepetanian di Indonesia adalah bagaimana produsen dapat meningkatkan daya tawarnya dalam politik pertanian yang mematok harga dasar gabah sementara di lain pihak mencabut subsidi sarana produksi pertanian.

Dalam waktu dekat, dari sekian banyak butir ‘daftar belanja’ masyarakat, hanyalah kebutuhan kayu perkakas saja yang dapat secara mudah dipenuhi oleh Bagian Hutan Randublatung selama terdapat pengaturan yang baik, aturan main yang fair dan dihormati para pelakunya, serta kesediaan Perum Perhutani untuk merelakan salah satu ‘tusuk giginya’ dibagikan kepada masyarakat.

Hijauan rumput makanan ternak didapatkan dengan dua cara; yang pertama dengan mengariti rumput di wilayah hutan, dan yang kedua dengan menggembalakan ternak di hutan. Tidak jarang tejadi kerjasama antara pesanggem dan penggembala untuk menyediakan padang penggembalaan di suatu petak penanaman. Maksudnya, petak tanaman tersebut sengaja dibuat gagal agar tersedia cukup ruang bagi padang penggembalaan. Kadang-kadang kerjasama ini tidak perlu terjadi karena keduanya adalah orang yang sama.

Pengangguran yang dapat ditampung hanya 66%, itupun dengan asumsi bahwa tidak ada pesanggem yang mengambil andil lebih dari 0,25 hektare, termasuk di petak-petak pemeliharaan tahun ke dua dan selanjutnya. Persoalan lain mengenai daya tampung Bagian Hutan Randublatung atas pengangguran adalah bahwa pekerjaan menyanggem sudah bukan merupakan pilihan rasional dari para penganggur tersebut. Tentu saja para penganggur tersebut memilih menjadi penganggur karena menurut mereka menganggur masih lebih baik daripada menjadi pesanggem. Menjadi penganggur memang tidak mendapatkan pemasukan apapun, tapi setidak-tidaknya tidak dibateni 6 oleh orang lain yang memerah tenaga dengan biaya rendah. Siapa pula tertarik dengan pekerjaan persanggeman jika dihitung secara ekonomis tidak menguntungkan. (Selengkapnya pada bab 2). Inilah pola pikir generasi muda desa sekitar hutan yang telah mendapatkan pendidikan lebih tinggi daripada generasi sebelumnya (Wirabaskara, 2000b).

Pengangguran itu sebagian besarnya akan menjadi tenaga penggerak penebangan ilegal yang berakibat kerusakan hutan (ARuPA, 1999b).Hasil penjarahan ini sebagian besarnya memasok kebutuhan industri yang memang tidak bisa hidup tanpa kayu ilegal (selengkapnya pada bab 3), jadi bukan untuk keperluan masyarakat sendiri. Kelestarian ekosistem tidak mungkin terpelihara, karena, bahkan, kelestarian hasil saja tidak tercapai.

Seluruh kebutuhan ini oleh masyarakat akan dipenuhi dengan berbagai cara, sah tidak sah, resmi tidak resmi, suka tidak suka, dengan atau tanpa izin, halal atau tidak. Alasan Perum Perhutani yang sering sekali terlontar menghadapi kenyataan akan besarnya kebutuhan masyarakat desa atas hutan adalah, “Jangan semuanya dibebankan kepada Perum; Perum bukan lembaga sosial.” Untuk daftar kebutuhan yang terpampang di atas, sekalipun ada seribu kata “jangan” dari Perum nyatanya masyarakat dengan serta-merta—de facto—tetap saja mengambil kebutuhan mereka dari hutan. Dibebankan pada Perum atau tidak, bukan itu persoalannya.

2. Penjarahan: Kriminalitas yang Menjadi Bagian Mesin Industri dan Perdagangan

Mudah-mudahan bagian pertama tulisan ini sudah cukup memberikan gambaran mengenai betapa besarnya tekanan masyarakat pada hutan yang ada di dekatnya. Besarnya tekanan yang selama ini dinafikan untuk dipenuhi oleh Perum Perhutani—karena harus menghasilkan keuntungan sebagai suatu perusahaan—membawa beberapa dampak negatif yang luar biasa besarnya, salah satunya—secara langsung atau tidak langsung–adalah penjarahan.

Sedikit kembali ke belakang, peristiwa penjarahan tahun 1998 adalah puncak dari upaya masyarakat memecahkan akumulasi persoalannya, baik timbunan masalah masa lampau seperti hubungan inter-personal dan pemenuhan kebutuhan yang tertunda (Yuwono, 1998), maupun masalah kontemporer seperti upaya memberi makan para penganggur. Kedua masalah ini hanya menjadi pemicu dimulainya penjarahan (ARuPA, 1999b). Pada akhirnya sejarah bercerita bahwa tindakan represif polisional yang memakan korban jiwa malah membuat keadaan semakin runyam. Terjadi perusakan, pembakaran, dan pengusiran aparat keamanan, baik dari Perum maupun militer, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bisa menangani keadaan. Anarkhisme masyarakat yang tidak produktif ini disusul oleh masuknya penjarahan terorganisasi yang sangat produktif. Penjarahan terorganisasi ini menunggangi keadaan yang tak terkendali itu lalu para industrialis dan pedagang kayu mengambil keuntungan terbanyak. Tidak ada kinerja pemanenan yang lebih cepat sepanjang sejarah dibandingkan kecepatan menggunduli 4.433,85 hektare, lalu mengeluarkan dan mengolah sebagian dari 318.000 m 3 kayu jati dari KPH Randublatung dalam jangka waktu dua tahun saja 7 (Sanyoto, 2000b).

Dari fakta di atas dapat dilihat bahwa antara pemicu penjarahan dan peristiwa penjarahan terorganisasi adalah dua hal yang terpisah. Selain itu seharusnya semua pihak segera tersadar bahwa angka luasan dan kubikase kayu jarahan yang fantastis itu mengindikasikan tersedianya jalur perdagangan dan pasar yang leluasa menerima pasok kayu gelap, adanya organisasi penjarah yang terstruktur dan telah berakar jauh sebelum penjarahan terjadi, lemahnya bangunan kontrol pengawasan hukum, serta kurangnya koordinasi antara sektor perdagangan, industri, dan kehutanan.

Tidak berbeda dengan kapitalisme dan developmentalisme ala orde baru, penjarahan hanya menguntungkan kaum industrialis dan pemodal besar. Masyarakat yang menjadi pekerja di dasar struktur industri dan perdagangan kayu gelap—seperti biasa—hanya terkena cipratan trickle down effect saja (ARuPA, 1999b). Untuk perkiraan yang lebih mendetil dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Keuntungan Ekonomis Masyarakat dari Penjarahan di KPH Randublatung 8

 TotalKe LuarMasyarakat/ Penggunaan LokalPersentase Masyarakat
Kubikase kayu jarahan (m3)318.000312.4245.5761,75%
Perputaran uang (Rp)1.251.712.000.0001.231.930.657.15019.781.342.8501,58%

Sumber: Diolah dari ARuPA (1999b) dan Sanyoto (2000b).

Dari tabel 3 terlihat betapa masyarakat hanya mendapatkan sebagian kecil saja tambahan dari ‘industri’ penjarahan tersebut tetapi merekalah yang paling sering menjadi kambing hitam pelaku penjarahan dan korban diterapkannya tindak represif berupa razia kayu gelap di desa-desa.

Melihat angka-angka rupiah dan kubikase kayu ke luar masyarakat yang fantastis itu semakin jelaslah indikasi bahwa energi penggerak penjarahan yang terutama tidak berasal dari desa sekitar hutan secara langsung, melainkan dari demand suatu mesin penyerap kayu yang besar jauh dari kawasan hutan. Tidak akan ada penjarahan besar-besaran tanpa permintaan pasar yang sama besarnya. Pertanyaan mengenai keseimbangan antara kemampuan hutan jati menyediakan supply jati dengan demand industri pengolah kayu jati harus dimunculkan untuk menuntaskan masalah penjarahan atau pencurian jati yang rutin dan menahun.

Ketidakseimbangan pasok dan permintaan serta kekusutan tata niaga kayu adalah faktor utama yang mendorong terjadinya penjarahan. Tanpa permintaan berlebih (overdemand) dari industri pengolahan kayu jati tentunya tidak tersedia pasar yang cukup bagi kayu-kayu gelap hasil penjarahan. Tanpa pasar gelap, kayu gelap menjadi tidak berharga penjarah kehilangan motivasinya. Inilah jalan pikiran yang digunakan dalam memposisikan tata niaga, perdagangan, dan industri kayu dalam kerangka pengelolaan dan hutan yang lestari.

Di lain pihak kekusutan tata niaga kayu juga menjadi persoalan. Berbelit-belitnya birokrasi dan banyaknya pungutan tak-resmi dalam pembelian kayu, ketiadaan penjualan kayu jati dalam jumlah kecil, monopoli perdagangan kayu jati (sekalipun berasal dari lahan milik/privat), belum diadakannya regulasi mengenai perdagangan dan pedagang kayu, pengaturan produksi, perdagangan, dan industri produk kehutanan – yang lintas sektoral dan terpadu, serta distribusi kayu yang tidak merata dan dikuasai oleh industri skala besar adalah sebagian dari persoalan tata niaga kayu (Setyarso dan Soeprijadi, 1998).

Tata niaga yang kusut dapat perlahan-lahan diperbaiki dengan membangun kerjasama antara para industrialis, pedagang, dan produsen. Kerjasama ini dapat diinstitusionalisasi melalui pengaturan-pengaturan baru yang bersifat lokal dengan memanfaatkan otonomi daerah. Pada saat yang sama diperlukan juga institusionalisasi kerjasama antar sektor—salah satunya diwujudkan melalui pengaturan dan penyesuaian kapasitas terpasang industri pengolahan kayu dengan kemampuan pasok yang dapat disediakan oleh hutan di daerah tersebut. Pengaturan ini termasuk hal yang mendesak, karena selama ini industri pengolahan kayu berkembang tanpa memperhatikan kemampuan produsen bahan mentah, di satu sisi begitu mudah mendirikan industri baru atau meningkatkan permintaan bahan mentah, tetapi di sisi lain begitu sukar menggenjot peningkatan produksi kayu dari hutan.

Terjadinya penjarahan mengindikasikan bahwa overdemand yang dituntut industri pengolahan kayu sudah lama berlangsung dan dibiarkan tanpa pengaturan. Sekalipun belum ada penelitian menyeluruh mengenai demand kayu jati di seluruh Pulau Jawa, tetapi angka-angka dari Jepara setidaknya dapat memberikan gambaran bagaimana sentra industri kerajinan kayu mencukupi pasok bahan bakunya.

Tabel 4. Permintaan Bahan Baku Sentra Industri Kerajinan Kayu Jepara dan Kaitannya dengan Pasok yang Bisa Disediakan Perum Perhutani

Pengeluaran pesanggem/hektarePemasukan dari Perum Perhutani/hektare
PekerjaanHOK/ha   
    Rp 24.000Uang kontrak
Babat/Resik46,00Rp 414.000   
Gebrus I133,71Rp 1.203.390Rp 100.000Uang pengolahan tanah
Gebrus II38,00Rp 342.000   
Bahan baku acir Rp 9.000   
Buat Acir2,00Rp 18.000   
Pasang Acir4,00Rp 36.000Rp 11.110Buat dan Pasang Acir
Langsir Bibit14,81Rp 133.290Rp 11.110Langsir bibit
Tanam Bibit31,15Rp 280.350Rp 11.110Tanam bibit
Alat pertanian Rp 33.333   
    Rp 1.722.800Hasil tumpangsari sebagai upah
 Jumlah Rp 2.469.363Rp 1.880.130 

Dari tabel di atas bisa dipertanyakan kehadiran pasok bahan baku kayu sekira 170.000 m3 /tahun kayu jati dan mahoni yang tidak jelas asal-usulnya 9. Ini bisa menggambarkan dua hal; yang pertama bahwa administrasi tata niaga kayu sangat kacau dan rentan terhadap penyimpangan. Misalnya saja banyak penyimpangan berupa kubikase kayu masuk lebih besar daripada surat angkutnya, atau penghindaran penggunaan tujuan Jepara dalam dokumen untuk menghindarkan pajak yang lebih besar. Hal kedua adalah—sekalipun tidak tepat benar dan over-estimate —indikator supply kayu ilegal memang memegang peranan penting dan menjaga kelangsungan hidup industri pengolahan kayu di Pulau Jawa.

Hal lain yang perlu dicermati adalah pertumbuhan serapan kayu di Jepara yang kecepatan pertumbuhannya hampir tiga kali kemampuan Perum Perhutani Unit I meningkatkan produksi kayunya. Hal yang juga merupakan indikator penting adalah besarnya demand sentra industri kerajinan kayu Jepara dibandingkan dengan supply yang bisa disediakan oleh Perum Perhutani Unit I. Terlihat bahwa jika seluruh produksi kayu Perum Unit I Jawa Tengah dipasok ke Jepara saja—belum memperhitungkan sentra industri pengolahan kayu lain di Jawa Tengah dan DIY—maka seluruh produksi itu terserap hampir seluruhnya. Menyisakan hanya 76.600 m3 atau 11% saja.

3. Perbaikan Upah dan Perlindungan Hak Pekerja Hutan

(Hak dan Kewajiban yang Tak Seimbang Sepanjang Sejarah)

Salah satu unsur yang menjadi pemicu terjadinya penjarahan yang juga adalah modal bagi berhasilnya pengelolaan hutan partisipatif adalah rasa peduli terhadap hutan dan rasa mendapatkan manfaat langsung dari hutan yang ada di kalangan masyarakat yang berinteraksi 10dengan hutan. Kelompok masyarakat yang selama ini paling intensif berinteraksi dengan hutan dan mendapatkan banyak manfaat dari pekerjaan di hutan adalah pesanggem. Dari hutan masyarakat bisa mendapatkan upah tanaman dan lahan garapan bebas pajak. Pada merekalah seharusnya dapat ditemukan rasa peduli yang tinggi terhadap hutan; sehingga mungkin sekali merekalah yang dapat ikut menjaga, mengamankan, dan melestarikan hutan. Pada kenyataannya: tidak sama sekali!

Setidaknya ada tiga peyebab yang dapat dipaparkan sebagai berikut:

  • Dalam struktur sosiologis masyarakat desa sekitar hutan, pesanggem adalah kelompok yang lemah, tidak memiliki daya tawar, tidak memiliki cukup keberanian, dan tidak punya kemampuan mempengaruhi kelompok lain yang berkeinginan merusak hutan (Sulistyaningsih, 2000).
  • Manfaat secara langsung dari hutan berupa upah yang selama ini diterima dari Perum Perhutani—walaupun selalu disyukuri sebagai rezeki tambahan—dirasa tidak mencukupi dan berimbang dengan tenaga yang mereka sumbangkan pada keberhasilan penanaman dan reboisasi hutan.
  • Yang dijarah adalah kayu perkakas, dan karena pesanggem memang tidak pernah mendapatkan kayu itu dari hutan (secara resmi), maka mereka tidak merasa kehilangan. Sebaliknya, mereka mendapatkan tonggak, tatal, dan kayu bakar.

Untuk mencermati butir ke dua dari penyebab lemahnya pengaruh kelompok pesanggem terhadap keberhasilan pengamanan hutan, maka dapat kita perhatikan tabel berikut:

Tabel 5. Pengeluaran dan Pemasukan bagi Pengelolaan Andil setiap Hektare 11

Pengeluaran pesanggem/hektarePemasukan dari Perum Perhutani/hektare
PekerjaanHOK/ha   
    Rp 24.000Uang kontrak
Babat/Resik46,00Rp 414.000   
Gebrus I133,71Rp 1.203.390Rp 100.000Uang pengolahan tanah
Gebrus II38,00Rp 342.000   
Bahan baku acir Rp 9.000   
Buat Acir2,00Rp 18.000   
Pasang Acir4,00Rp 36.000Rp 11.110Buat dan Pasang Acir
Langsir Bibit14,81Rp 133.290Rp 11.110Langsir bibit
Tanam Bibit31,15Rp 280.350Rp 11.110Tanam bibit
Alat pertanian Rp 33.333   
    Rp 1.722.800Hasil tumpangsari sebagai upah
 Jumlah Rp 2.469.363Rp 1.880.130 

Sumber: Diolah dari ARuPA, 1999; Astraatmaja dan Aji, 2000; Bagiono dan Sulistyaningsih, 2000; Tarif Upah Tumpangsari dan Banjar Harian Perum Perhutani KPH Randublatung, 2000; Sanyoto, 2000a; Sanyoto dan Chehafudin, 2000; Suprapto, 2000a dan b; Suryanto, 2000; dan Wirabaskara dan Ferdaus, 2000.

Seperti nasib buruh tani di manapun di Indonesia, pesanggem juga menghadapi pemerahan tenaga dengan biaya murah. Hal ini bisa dengan leluasa dilakukan oleh pemilik tanah atau pemilik modal karena keterdesakkan dan ketidakberdayaan kaum buruh tani tersebut. Hal yang sama terjadi pada pesanggem—apalagi jika mereka tidak memiliki tanah sama sekali di desa. Dengan kemungkinan tidak tersedianya lahan untuk tempatnya memproduksi bahan makanannya sendiri—belum lagi jika diingat daya tawar dan tingkat pendidikannya yang rendah sehingga hampir tak memungkinkan bagi mereka bekerja di luar sektor pertanian—maka buruh tani yang kemudian menjadi pesanggem dihadapkan pada keadaan tanpa pilihan. Keadaan ini bisa menghemat biaya ganti tenaga kerja. Jadi selama ini pesanggem itu mengutangi Perum Perhutani sebesar Rp589.233/ha/3 tahun 12atau Rp196.411/ha/tahun. Jumlah tersebut barulah menggambarkan besarnya tenaga pesanggem yang tidak dibayar, belum lagi jika kita mengingat bahwa penanaman yang dilakukan Perum di lahan bekas penjarahan tidak memberikan kesempatan pada pesanggem untuk mengolah tanah pada masa bosokan selama dua tahun.

Belum cukup kita bercerita tentang betapa murah hati dan nrimo 13– nya para pesanggem yang membiayai gemilangnya keberhasilan tanaman di lahan Perhutani, masih pula para abdi Tuhan ini didera penderitaan berupa upah yang tidak dibayarkan atau tersunat di tengah jalan. Dibanyak petak yang tidak diminati pesanggem—karena berbagai sebab 14—upah pesanggem yang tetap setia mengolah tanah di lahan hutan seringkali tidak dibayarkan—juga karena berbagai alasan. Salah satu alasan yang sering digunakan adalah bahwa upah tersebut telah habis dipakai membayar tenaga kerja harian di petak dengan sistem tanam tumpangsari 15 (Astraatmaja, 2000a).

Kurangnya upah tanam dari hasil panen tumpangsari bukan sepenuhnya kesalahan Perum Perhutani karena—di luar lahan andil sekalipun—usaha pertanian memang merugi jika tenaga yang dikeluarkan petani dihitung sebagai bagian dari biaya produksi (Suryanto, 2000). Rendahnya harga jual produk pertanian yang tidak memperhitungkan tenaga petani sebagai biaya produksi adalah kendala utama yang bermuara pada politik pangan dan pertanian negeri kita (Kristanto, 1986; dan Soetomo, 1997).

Hal lain, upah tanam perlu dibuat spesifik lokal yaitu sesuai dengan jarak dari desa dan jenis tanah karena hal ini berkaitan dengan hasil panen yang akan diterima sebagai upah dan tenaga yang dikeluarkan oleh pesanggem. Jika perlu upah tanam dibuat petak demi petak. Sehingga di sini terlihat pentingnya perencanaan yang berorientasi lokal dan mengapa semangat otonomi sangat relevan dalam pembahasan mengenai pengelolaan hutan. Bagaimana pemerintah daerah, perangkat desa, termasuk DPRD di dalamnya dapat menjadi perencana dan pengawas pembangunan kehutanan di wilayahnya.

4. PHBM, Suatu Celah Kesempatan

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dikemas melalui paket STP PHBM (Sukses Tanaman dan Pengamanan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) bolehlah dianggap sebagai niat baik Perum Perhutani untuk mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan dan tuntutan zaman yang mulai berubah 16. Ada beberapa aspek yang bisa kita lihat menunjukkan niat baik itu (Tim PHBM Perum Perhutani, 2000), misalnya saja:

  • PHBM merupakan suatu paradigma/kerangka berpikir dan bukannya suatu program kaku yang berdasar juklak-juknis.
  • Ada inisiatif untuk melakukan bagi hasil (sharing) walaupun masih terlihat ragu-ragu. Ada pembagian peran, input-process-output , waktu, dan ruang.
  • Berusaha menempatkan Perum Perhutani sebagai pelayan masyarakat.
  • Mengaitkan pelaksanaan program ini dengan semangat otonomi daerah, terutama UU no. 22/99 dan UU no. 25/99.
  • Berupaya membuat perencanaan bottom-up dan bersifat lokal.
  • Hubungan kerja antara masyarakat dengan Perum Perhutani merupakan hasil kesepakatan antara pekerja dengan Perum dan kontrak disusun bersama.
  • Melibatkan LSM dalam pelaksanaan pekerjaan pengelolaan hutan berasama masyarakat.

Untuk sejumlah kelebihan ini patut disayangkan bahwa konsep STP PHBM juga membawa kelemahan besar di dalam dirinya sendiri. Kelemahan yang secara struktural tidak dapat melampui sejumlah kelebihan program-program hutan kemasyarakatan yang diujicobakan oleh Perum Perhutani sebelumnya, sehingga pada akhirnya kesan ‘ganti nama-program sama’ tidak bisa dihindari. Berikut sejumlah kelemahan yang terdapat pada konsepsi STP-PHBM:

  • Dari segi nama-nya masih mengaitkan penanaman dengan pengamanan, suatu keniscayaan yang diyakini dan dijadikan basis program tanpa penggalian fakta untuk menetapkan sasaran program secara efektif. Untuk kesuksesan tanaman memang diperlukan suatu perubahan di masyarakat, tidak berbeda jauh dengan cara mencapai kesuksesan pengamanan hutan. Tetapi dari upaya mengaitkan kesuksesan penanaman dan pengamanan dalam satu program malah menunjukkan tidak dipilahnya kelas dan tipologi masyarakat 17. Pada banyak kasus, pelaku penanaman dan penjarahan berasal dari tipologi dan kelas yang berbeda—tidak jarang saling terpisah—sekalipun mereka sama-sama merupakan masyarakat desa sekitar hutan. Sehingga untuk mendapatkan kesuksesan penanaman diperlukan suatu pendekatan yang sama sekali berbeda dengan pendekatan untuk mencapai sukses pengamanan.
  • Perubahan paradigma yang berarti juga perubahan cara berpikir menuntut suatu perubahan sikap, tata kerja, dan bahkan juga struktur. Tanpa perubahan ini paradigma baru secanggih apapun hanya akan menjadi proyek-proyek tempelan yang menginduk pada struktur lama yang tetap bekerja secara rutin dengan gaya lama.
  • Struktur lama yang bekerja secara kaku itu akan serta-merta berlaku hati-hati dan membatasi keluasan dan keleluasaan aplikasi paradigma baru tersebut.
  • Bentuk faal dan fiil Perum Perhutani yang tetap berupa BUMN atau sebuah corporate dengan tujuan mencari profit mau tidak mau membatasi kemungkinan transformasi peran sebagai fasilitator atau penyedia jasa kehutanan seperti yang biasanya diemban oleh Kantor Dinas.
  • Sistem pendidikan, budaya perusahaan (corporate culture) , dan cara kerja Perum Perhutani menciptakan suasana kerja yang sangat ketat pada birokrasi, mekanisme instruksi, dan garis komando yang sangat panjang dari jenjang mandor sampai ke direksi. Para staf tidak diberikan cukup ruang untuk mengembangkan inisiatif, kreativitas, dan inovasi yang sangat diperlukan dalam menciptakan perencanaan partisipatif yang bottom-up.

5. Pelaksanaan RTT 2000 dan STP-PHBM yang Menutup Semua Celah 18

Segala program dengan konsep luar biasa hanya akan menjadi program biasa-biasa saja, kalau bukan malah mengecewakan, jika pada akhirnya penerapan konsep tersebut pada tingkat pelaksanaan teknisnya tidak didukung dengan sumber daya yang memadai. Mengingat konsep mulia itu perlu diterapkan dengan cara yang tepat guna maka perlu dipersiapkan segala sumber daya manusia serta struktur yang melingkupinya demi menjaga niat yang termaktub di dalam konsep tersebut.

Selama perubahan itu tidak dinisiasikan sepertinya konsep PHBM terpaksa berjalan tertatih-tatih dengan keterbatasan struktur dan sumber daya para pelaksananya yang dapat diuraikan sebagai berikut:

  • PHBM di lapangan tidak menjadi paradigma pengelolaan hutan secara keseluruhan tetapi menjadi suatu program yang terpisah dari pekerjaan rutin dan terbatas luas petaknya. Program semacam selalu dianggap sebagai beban bagi pelaksana di lapangan karena mengganggu rutinitas pekerjaan dan merepotkan pekerjaan administrasinya.
  • Tata waktu dan—lagi-lagi tata kerja—sistem target pekerjaan yang ketat menyebabkan segala perencanaan partisipatif dan negosiasi tidak bisa diterapkan pada pekerjaan tanaman di seluruh lahan Perum Perhutani karena keterbatasan waktu. Perencanaan partisipatif dan negosiasi yang menjadi dasar PHBM memerlukan waktu yang lebih panjang daripada sistem lama yang instruktif; dan melihat tata waktu Perum yang ketat hampir tidak dimungkinkan diselipkannya materi ini, apalagi jika harus disertai dengan penguatan kelembagaan masyarakat setempat.
  • LSM pendamping—seperti juga ujung tombak Perum Perhutani yang bertugas mendampingi masyarakat, seperti Mandor, Mantri, dan Suplap—tidak diberi ruang untuk mengembangkan program dan rencananya sendiri, atau menyampaikan aspirasi dari masyarakat jika berbenturan dengan segala aturan dan juklak-juknis Perum yang sudah ada atau justru karena juklak-juknisnya belum ada. Sehingga program PHBM hanya menawarkan alternatif yang selama ini sudah ada 19 tanpa modifikasi samasekali.
  • Mantri yang kini bekerja bersama masyarakat dididik dan disiapkan untuk menjadi ‘komandan’ masyarakat dan bukannya menjadi pendamping masyarakat desa.
  • Dalam pelaksanaannya PHBM tidak memberdayakan perangkat desa atau stakeholder lainnya untuk betul-betul terlibat dan bukan sebagai formalitas pelengkap belaka.Kontrol, pengawasan, evaluasi, dan perencanaan pelaksanaan sama sekali tidak melibatkan pemerintah daerah dari tingkat lurah, camat atau bupati.
  • Karena keterbatasan kemampuan merumuskan masalah yang dihadapi masyarakat, dan juga karena keterbatasan anggaran yang ada maka program PHBM lebih banyak berbicara mengenai hasil akhir berupa pola tanam dan jenis tanaman, daripada berbicara mengenai proses pembelajaran masyarakat yang membuka kemungkinan terciptanya beragam hasil akhir berupa pola tanam dan sistem silvikultur.
  • Karena tidak ada pendidikan, kursus, atau plot demonstrasi yang serius; maka PHBM dikerjakan tanpa kerangka acuan yang jelas. Di tingkat pelaksana teknis terjadi keragu-raguan mengambil keputusan. Belum lagi banyak para pelaksana teknis PHBM yang gagal mengaitkan program baru ini pada semangat otonomi daerah seperti yang tertuang dalam Draft PHBM yang disusun Tim PHBM Perum Perhutani.
  • Di tingkat pengambil kebijakan Perum Perhutani terdapat keengganan untuk melepas kewenangannya menangani perencanaan sehingga pelaksanaan perencanaan partisipatif hanya mengesahkan rencana Perum yang sudah disiapkan sebelumnya.
  • Di tingkat pengambil kebijakan dan pelaksana lapangan, terdapat kekhawatiran untuk diawasi lebih banyak orang/pihak. Misalnya saja usaha untuk mengklarifikasi penerimaan upah oleh pesanggem dicurigai sebagai upaya yang membahayakan posisi jabatannya.

Pada akhirnya di KPH Randublatung pelaksanaan sosialisasi STP PHBM hanyalah menjadi ‘ganti nama-program sama’ seperti yang sering diucapkan oleh para staf Perum di awal sosialisasi, “Sebetulnya STP PHBM nama baru program-program sosial yang sudah ada seperti MA-LU, MA-MA, PS, MR, dan PMDHT. Jadi Perum Perhutani itu sudah sejak dulu memperhatikan kesejahteraan masyarakat….”

6. Masyarakat Tanpa Mimpi yang (Akan) ‘Ketiban Sampur’

Pelaksanaan pengelolaan hutan yang lestari bukan hanya terhambat oleh pengelola hutan selama ini, tetapi juga oleh masyarakat yang nantinya akan mendapatkan peran lebih besar dalam pengelolaan hutan. Peran lebih besar, tentunya dengan hak yang lebih besar. Juga tanggung jawab yang lebih besar.

Ada banyak kelebihan yang dimiliki masyarakat sebagai pengelola hutan daripada sebuah perusahaan tunggal. Misalnya saja dalam hal keluasan wilayah jangkauan, kedekatan—secara fisik dan psikis–dengan sumber daya alamnya, ketergantungan—baik langsung maupun tidak langsung—yang lebih tinggi, dan jika disertai dengan imbalan hak yang seimbang akan cukup tersedia tenaga kerja.

Tetapi di sisi lain masyarakat juga memiliki banyak kekurangan yang membutuhkan pembimbingan mengingat sejarah mereka sebagai masyarakat yang tersisih. Beberapa kelemahan yang dapat ditangkap selama ini adalah: 20

  • Masyarakat telah kehilangan mimpinya sehingga sukar merencana jauh ke depan. Hal yang lebih menjadi sebab kenapa orang tidak mempunyai pikiran tentang masa depan adalah kemiskinan yang sudah turun-temurun seperti takdir. Orang disibukkan dengan memikirkan apa yang akan dimakan hari ini. Memikirkan masa depan adalah sama halnya tidak berpikir akan makan apa hari ini (Wirabaskara, 2000a).
  • Sikap hidup—terutama pemuda–konsumtif yang diperparah dengan gaya serta perilaku mereka yang cenderung mengimitasi kehidupan orang kota yang dianggap lebih modern.
  • Ada perasaan gengsi—di kalangan pemuda–menjadi petani, selain karena anggapan bahwa bertani adalah pekerjaan orang awam, juga karena menjadi petani tidak memberikan prospek yang cerah.
  • Mayoritas masyarakat berpendidikan rendah (lulus sekolah dasar) bahkan ada sebagian warga yang tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Berkaitan dengan butir sebelumnya pendidikan di masa lalu juga tidak mendekatkan anak didik dengan alam sekitarnya. Kurikulum muatan lokal yang kurang dimanfaatkan untuk membantu anak didik mengenali alam di sekitarnya dan mempersiapkan diri bekerja mengelola sumber daya alam yang berada di dekatnya.
  • Pola kebiasaan hidup masyarakat yang cenderung lamban dan lambat mengantisipasi perubahan. Hal ini sebagai implikasi dari pengaruh irama alam yang ajeg dan lamban (Sulistyaningsih, 2000).
  • Masyarakat terbiasa dengan instruksi atau perintah, masih perlu berlatih mengambil keputusan bersama dan konsekuen terhadap keputusan yang tersebut(Suprapto, 2000a).
  • Rendahnya kemampuan dan disiplin berorganisasi, serta kurangnya kesempatan untuk mengasah dan mengembangkan kemampuan manajerial.
  • Kewirausahaan rendah. Selain karena rendahnya naluri bisnis dan kemampuan manajerial, mungkin sekali disebabkan karena terbatasnya peluang, sarana, pra-sarana, dan informasi yang tersedia (Sanyoto dan Chehafudin, 2000).
  • Merasa bahwa hidup itu penuh risiko, masyarakat tidak berani melakukan inovasi.
  • Bersikap curiga dan was-was terhadap pendatang baru atau program baru, mengingat kegagalan program yang pernah terjadi sebelumnya, takut terbebani utang, atau karena terlalu sering dipokili 21.
  • Tersimpan konflik laten horizontal, baik di satu desa maupun antar desa.
  • Takut mengungkapkan pendapat—terutama ketidaksetujuan—karena merasa dirinya sebagai subyek kecil yang tidak pantas memberikan masukan dalam kelompoknya.
  • Rendahnya peran perempuan dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat rumah-tangga, kelompok, dan desa (Sulistyaningsih, 2000).

Masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa sekitar hutan tampaknya sesuatu hal yang biasa dijumpai di seluruh wilayah pedesaan di negara berkembang manapun. Inilah salah satu PR yang menjadi tugas para penopang untuk mengukur dan menilai sejauh mana peran masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat ditingkatkan. Di lain pihak dalam kerangka pengelolaan hutan yang partisipatif perlu pula dilaksanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia pedesaan dan kualitas organisasi mereka, baik yang formal maupun informal. Ini menjadi tugas bagi siapa saja yang berkeinginan melestarikan hutan.

Setidaknya terdapat empat hal yang perlu dibenahi dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berinteraksi secara sehat dengan hutan, yaitu:

  • Demokratisasi kehidupan sosial,
  • Penguatan kelembagaan dan organisasi sipil, dan
  • Peningkatan perekonomian pedesaan.

Tiga hal ini cukup berat untuk dilaksanakan sendirian oleh penopang yang manapun. Untuk itulah dirasa perlu untuk menginisiasikan tersusunnya lembaga/konsorsium yang bekerja bersama-sama untuk mencukupi bekal yang diperlukan masyarakat untuk bisa mengelola hutannya dengan mandiri.

7. Penutup

Sengaja bab terakhir tidak berusaha mencapai suatu kesimpulan, kecuali bahwa tugas kita semualah yang hadir di sini untuk membuat kesimpulan, dan segera menyusun rencana aksi menindaklajuti kesimpulan hari ini.

Paling tidak kita bisa melihat ‘tumpukan PR peninggalan generasi lampau di meja belajar kita’. Ketika kita sadar bahwa kita tidak bisa mengerjakannya sendirian, saatnyalah kita mencoba belajar bersama untuk bisa memecahkan masalah kita semua. Di dalam proses belajar bersama ada perubahan sebagai bagian dari proses tadi, sehingga—paling tidak—kita harus menyiapkan diri menghadapi perubahan itu, dan bukan menghindarinya.

Siapapun pengelola hutan di tanah Jawa ini—berkewajiban melestarikan ekosistem hutan, dan melihat masa lalu yang dekat ini kita harus segera sadar bahwa komponen ekosistem hutan yang paling berpengaruh adalah manusia: masyarakat desa sekitar hutan. Satu-satunya jalan melestarikan hutan adalah dengan mengasuh masyarakat, mendampinginya, dan sesekali—jika diperlukan–membimbingnya. Dengan kata lain, menjadi lembaga sosial. Tanpa itu, tidak mungkin rasanya kewajiban menjaga kelestarian ekosistem hutan bisa ditunaikan.

Tugas membina masyarakat adalah tugas yang berat. Sudah saatnya beban berat ini dibagi pada lebih banyak pihak; pada lebih banyak penopang hutan. Kata kunci di sini adalah berbagi peran. Kita bisa mulai menata kembali hubungan kerja berbagai macam penopang hutan dalam suatu kerangka yang baru, dari sini muncul begitu banyak alternatif, bisa berupa reposisi kedudukan Perum Perhutani, PEMDA, DPRD, dan masyarakat dalam berinteraksi dengan sumber daya hutan, atau membentuk lembaga baru, semisal Dewan Kehutanan Daerah.

Lebih jauh diperlukan juga masa-masa belajar bersama dalam posisi dan peran yang baru itu. Masa-masa transisi ini memerlukan evaluasi demi evaluasi untuk terus menyelaraskan mekanisme pengelolaan hutan daerah dengan perubahan-perubahan yang terjadi sepanjang perjalanan.

Daftar Pustaka

ARuPA. 1999a. “Laporan Mediasi Desa Temulus, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora”. Tidak diterbitkan.

________. 1999b. “Laporan Penelitian Kolaboratif: Penjarahan Hutan Di Sekitar Desa Temulus Randublatung”. Tidak diterbitkan.

Astraatmaja, Rama. 1998. “Reformasi Kehutanan dari Kacamata Mahabarata: Kasus Penjarahan Hutan di Jawa”. Makalah diskusi Penjarahan Hutan Jati di Jawa di UGM tanggal 21 September 1998. Tidak diterbitkan.

________. 2000a. “Kontrak yang Dibayar Janji, Sukses Tanaman atas Biaya Pesanggem: Laporan Survey Kontrak dan Pembayaran Upah Tanaman di Lahan Hutan Perum Perhutani”. Tidak diterbitkan.

________. 2000b. “Notulensi Diskusi Semangat Otonomi Daerah pada UU no 22 dan 25 tahun 1999 sebagai Norma Desentralisasi Pengelolaan Hutan Daerah”. Tidak diterbitkan.

Astraatmaja, Rama dan Purnomo Aji. 2000. “Laporan Berkala PHPT Desa Mendenrejo dan Sumberrejo”. Tidak diterbitkan.

Bagiyono, Radian. 2000. “Pola Pengelolaan Hutan Rakyat: Studi Kasus di Dusun Kedung Keris, Desa Kedung Keris, Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DIY”. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Tidak diterbitkan.

Bagiyono, Radian dan Sulistyaningsih. 2000. “Laporan Berkala PHPT Desa Pilang dan Kelurahan Randublatung”. Randublatung. Tidak diterbitkan.

Direksi Perum Perhutani. 1998. Statistik Perum Perhutani Tahun 1993-1997. Perum Perhutani. Jakarta.

Hardjosoediro, Soedarwono (penerjemah). 1985. Tabel Tegakan Tanaman Jati H. E. Wolff von Wulffing. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Hobbley, M. 1996. Participatory Forestry: The Process of Change in India and Nepal. Rural Development Forestry Study Guide 3. London.

Kantor Statistik Kabupaten Blora. 1995. “Randublatung dalam Angka”. BPS. Blora.

________. 1997. “Randublatung dalam Angka” BPS. Blora.

Kristanto, Kustiah dkk. (ed.). 1986. Ekonomi Pemasaran dalam Pertanian: Bunga Rampai jilid I. Yayasan Obor Indonesia dan Gramedia. Jakarta.

Martina, Eni. 2000. “mBah Poni: Wanita Pesanggem”. WASIS. Edisi perdana/Juni/2000.

Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People; Resources Control and Resistance in Java. University of California Press. California.

Perum Perhutani KPH Randublatung. 2000. “Petunjuk Nomor Pekerjaan Rencana Tehnik Tahunan Tahun 2000”. Perum Perhutani KPH Randublatung. Randublatung.

Sanyoto, Rohni. 2000a. “Kalkulasi Input dan Output Pesanggem dari Lahan Andil di Bagian Hutan Randublatung”. Tidak diterbitkan.

________. 2000b. “Notulensi Rakor Kecamatan Randublatung 12 Juni 2000”. Tidak diterbitkan.

________. 2000c. “Kronologi Mei: Laporan Pendampingan Desa Program PHT Randublatung”. Tidak diterbitkan.

Sanyoto, Rohni dan Chehafudin. 2000. “Laporan Berkala PHPT Desa Gembyungan dan Plosorejo Kecamatan Randublatung”. Tidak diterbitkan.

Setyarso, Agus dan Joko Soeprijadi. 1998. “Kajian Struktur Sentra Industri Kerajinan Kayu Jepara Guna Mendukung Keberlanjutannya” Fakultas Kehutanan UGM dan Perum Perhutani Unit I. Yogyakarta.

Soetomo, Greg. 1997. Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Sulistyaningsih. 2000. “Tinjauan Sosiologis Masyarakat Randublatung”. Tidak diterbitkan.

Suprapto, Edi. 2000a. “Laporan Berkala PHPT Desa Temulus”. Randublatung. Tidak diterbitkan.

________. 2000b. “Setiap Andil Punya Cerita: Laporan Kehidupan dan Keseharian Berbagai Tipe Pesanggem.” Tidak diterbitkan.

Suryanto. 2000. “Neraca Finansial Pertanian di Lahan Andil dan Non-Andil: Profil Pesanggem KPH Randublatung”. Tidak diterbitkan.

Susanti, Ari dkk. (ed.). 2000. Proceeding Lokakarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat. Lembaga ARuPA. Yogyakarta.

Tim PHBM Perum Perhutani. 2000. “Draft Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat”.

Walker, Samuel. 1988. Sense and Non-Sense about Crime: A Policy Guide . Brooks/Cole Publishing Company. California.

Wirabaskara, Basunanda. 2000a. “End the Penny: Nothing Get In, Nothing Get Out”. Kajian antropologi Desa Bodeh Kecamatan Randublatung. Tidak diterbitkan.

________. 2000b. “Pendidikan yang Memperparah Kemiskinan”. Kajian antropologi manusia Randublatung. Tidak diterbitkan.

Wirabaskara, Basunanda dan Ronald M. Ferdaus. 2000. “Laporan Berkala PHPT Desa Bodeh dan Sambongwangan.” Randublatung. Tidak diterbitkan.

Wiyanto, Tunggul. 1996. “Studi Kontribusi Pakan Ternak dari Pilot Proyek Pengelolaan Hutan Jati Optimal: Studi Kasus di RPH Randualas, BKPH Dungus, KPH Madiun”. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Tidak diterbitkan.

Yuwono, Teguh. 1998. “Sebaran Keamanan Hutan dan Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Program Pengamanan Hutan Jati”. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Tidak diterbitkan.

Lampiran:

Keterangan Tabel 1:

  • Angka pengangguran selain Desa Bodeh, Mendenrejo, dan Gembyungan menggunakan angka rata-rata.
  • Angka kebutuhan lahan didapatkan dari konversi nilai uang untuk mencukupi kebutuhan hidup seluruh petani dan buruh tani selama setahun jika seluruhnya harus dipenuhi dari lahan pertanian. Angka ini didapatkan dengan asumsi bahwa lahan yang bisa didapatkan dari lahan hutan adalah lahan tegalan–non sawah. Hanya petani dan buruh tani yang domisilinya lebih dekat pada Bagian Hutan Randublatung saja yang dimasukkan ke dalam perhitungan. Buruh tani dan petani yang domisilinya lebih dekat dengan bagian hutan lain, sekalipun berasal dari desa dalam tabel, tidak dimasukkan ke dalam perhitungan.
  • Angka kebutuhan lahan dikoreksi melalui wawancara dengan pesanggem mengenai kesuburan tanah hutan dan keinginan untuk ikut serta mengambil andil di lahan hutan.
  • Kebutuhan kayu perkakas untuk rumah baru merupakan rata-rata penggunaan kayu untuk rumah baru dalam 10 tahun terakhir.
  • Kebutuhan kayu untuk tambal sulam merupakan rata-rata penggunaan kayu untuk perbaikan rumah, penambahan ruang perluasan lantai, dan perabot dihitung sejak rumah tersebut berdiri.
  • Kebutuhan kayu bakar dihitung dengan asumsi bahwa satu pikul kayu bakar seharga Rp 4.000 memiliki volume rata-rata 0,148 sm3 . Kebutuhan industri pembakaran genting/batu bata sudah dimasukkan. Sama seperti kebutuhan lahan, warga desa yang berdomisili lebih dekat dengan bagian hutan lain tidak dimasukkan ke dalam perhitungan.
  • Kebutuhan HMT dihitung dengan asumsi bahwa satu karung berisi penuh rumput/HMT memiliki bobot rata-rata 17,9 kg, dan satu keranjang rumput/HMT memiliki bobot rata-rata 8,74 kg.

Keterangan Tabel 2:

  • Tenaga kerja yang diperlukan Perum Perhutani di BH Randublatung pada tahun 2000 dihitung dengan asumsi bahwa setiap pekerjaan pada penanaman dan pemeliharaan memerlukan 4 orang/hektare. Peluang pekerjaan belum memperhitungkan tenaga yang diperlukan untuk teresan, tebangan, dan angkutan.
  • Luas B.H. Randublatung mencakup kawasan produktif dan non-produktif.
  • Target tebangan Perum Perhutani mencakup tebangan A2, B1, dan E.
  • Ketersediaan kayu bakar didapatkan dari target produksi kayu bakar dari tebangan A2, B1, dan E, serta perkiraan volume kayu bakar dari riap cabang/ranting tahun berjalan pada tegakan sisa.

Keterangan Tabel 3:

  • Angka penggunaan kayu jarahan oleh masyarakat lokal merupakan estimasi dengan asumsi bahwa kayu yang digunakan untuk keperluan sendiri adalah kebutuhan tertunda selama 25 tahun.
  • Angka perputaran uang dari penjarahan merupakan estimasi dengan asumsi bahwa harga kayu gelap adalah Rp 4.000.000/m3.
  • Angka perputaran uang di masyarakat lokal adalah upah kerja dan harga dasar kayu gelap yang diterima serta harga kayu yang digunakan untuk keperluan sendiri.

Keterangan Tabel 5:

  • Angka pada tabel ini hanyalah hasil rata-rata dari 5 desa (Gembyungan, Temulus, Mendenrejo, Bodeh, dan Pilang) yang telah disurvai secara intensif. Perlu dicermati bahwa jumlah tenaga yang dikeluarkan pesanggem memiliki variasi yang tinggi dan rentang yang lebar; begitu pula dengan hasil panennya. Variasi dan rentang ini tergantung pada kelerengan lahan, tingkat kesuburan dan tekstur/struktur tanah, jarak rumah pesanggem ke lahan andil mereka dan banyak faktor lainnya.
  • Upah berdasarkan HOK dihitung dengan tarif Rp 9000/hari. Angka ini adalah harapan pesanggem untuk mendapatkan upah yang telah dikorting 10% dari upah yang biasanya mereka terima jika menggarap lahan orang lain di desa. Upah yang biasanya mereka terima sebagai buruh penggarap adalah Rp 10.000-15.000/hari. Selain itu berkembang pula sistem tradisional bagi para tetangga yang membantu pemanenan—biasanya padi—berhak atas seperenambelas dari hasil panen (kira-kira nilainya sama dengan harga 15 kg gabah/hari).
  • Uang pengolahan tanah sebesar Rp 100.000/hektare memerlukan izin tertulis dari ADM.
  • Bahan baku acir dihitung sebagai harga pasar untuk 3 lonjor bambu sepanjang 5 meter.
  • Alat pertanian adalah rata-rata biaya yang diperlukan pesanggem untuk menggarap lahan andil berupa bendo-arit, cangkul, dan ganco.
  • Hasil tumpangsari sebagai upah hanya dihitung sepertiga dari seluruh hasil panen dari lahan andil. Konstanta pembagi sepertiga didapatkan dari tradisi paron yang berlaku di masyarakat agraris di Randublatung. Buruh tani penggarap lahan biasanya mendapatkan duapertiga panen sebagai hak mereka, sehingga menyisakan sepertiga bagi pemilik lahan. Hal yang sama diberlakukan pada kasus pengelolaan andil. Yang dianggap sebagai upah bagi pesanggem hanyalah sepertiga hak pemilik lahan yang tidak diambil oleh Perum Perhutani.
  • Hasil tumpangsari sebagai upah hanya dihitung selama tiga tahun; yaitu rata-rata waktu yang dianggap oleh pesanggem sebagai waktu efektif bertani di lahan hutan. Tiga tahun tersebut adalah 2 tahun masa bosokan dan 1 tahun sesudahnya (jarak tanam 3 x 3 m) jika lahan cukup subur. Pada lahan-lahan dengan kesuburan rendah sebagian pesanggem bahkan enggan bertani di andil tersebut.

FOOT NOTES:

1.Makalah disampaikan pada Semiloka Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi sebagai Implementasi PHBM di Randublatung, Randublatung, Blora, tanggal 28 Juni 2000. Kalimat “Desa Mengepung Hutan” diilhami dari pernyataan (yang tidak jelas dasar teorinya) Presiden Soeharto pada tahun 1994 bahwa bahaya laten komunisme pada saat itu menggunakan strategi “Desa Mengepung Kota.” Judul ini hanya sekadar mengingatkan bahwa desa yang mengepung apapun tidak berurusan dengan ideologi atau stigma apapun, kecuali kebutuhan manusia—baik sebagai individu maupun populasi—untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.

2 Fair tidak memiliki padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Fair bisa berarti baik, jujur, adil, imbang, terbuka, sehat, hormat, mencukupi, sopan, atau bisa juga menggambarkan keseluruhan rasa yang terdapat dalam semua kata itu tadi. Masyarakat Indonesia terbisa mendapatkan pemaknaannya melalui slogan “Fair Play” yang berkaitan dengan olahraga sepakbola.

3 Keterangan pada mengenai tabel pada lampiran.

4 Angka pengangguran saat ini menjadi sangat tinggi karena para perantau muda yang tahun-tahun lalu bekerja di perkotaan sejak tahun 1998 kembali ke desa sebagai pengangguran karena terkena PHK di tempatnya bekerja (ARuPA, 1999b)

5 Keterangan pada lampiran.

6 Dimanfaatkan.

7 Sebagai perbandingan, Perum Perhutani hanya menebang kurang lebih 300 hektare/tahun dengan etat tebangan sekira 42.000 m 3 /tahun.

8 Keterangan pada lampiran.

9 Walaupun belum dapat dipastikan bahwa kayu tersebut adalah kayu ilegal, tapi pasok tersebut bisa menjadi indikator bahwa pengawasan peredaran hasil hutan masih sangat kendor.

10 Yang dimaksud adalah interaksi resmi, dalam arti kehadiran mereka diakui oleh masyarakat maupun Perum Perhutani.

11 Keterangan pada lampiran.

12 Ini berkebalikan dengan etimologi kata “pesanggem” yang berasal dari kata “sanggem” dalam bahasa lokal artinya “utang” sehingga pesanggem=pengutang. Jadi selama ini para pesanggem menyandang stigma sebagai pengutang yang bebas mengambil hasil panen selama masa bosokan dua tahun tanpa membayar pajak tanah. Dalam kasus saat ini ketika masa bosokan tidak ada dan pekerjaan penanaman dilakukan sebelum pembayaran, maka kita bisa mengatakan bahwa Perum Perhutani yang berutang, atau menyanggem pada para buruh tani.

13 Jawa=Pasrah

14 Misalnya karena tanahnya tidak subur, tidak ada masa bosokan, punya pengalaman buruk upahnya tidak dibayar, dan lain-lain.

15 Biaya penanaman dengan sistem tumpangsari lebih kecil daripada upah tanaman sistem banjar harian. Jika sebagian dari petak tidak diisi oleh pesanggem mandor atau mantri sering berinisiatif membanjarhariankan sisa petak tersebut dengan anggaran tumpangsari yang jumlahnya terbatas itu. Inisiatif ini bukanlah kesalahan mandor atau mantri, tetapi tidak lain karena perencanaan yang serampangan dan tidak memperhitungkan ketersediaan tenaga kerja. Mandor dan mantri—di bawah tekanan atasannya—hanya bisa berusaha semaksimal mungkin memenuhi target yang telah ditentukan tanpa mendengarkan aspirasi dari bawah daripada bernasib mutasi atau dianggap sebagai bawahan yang gagal.

16 Salah satu kesalahan fatal pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani ialah bahwa Perum terlalu kaku dan sentralistis untuk bisa luwes beradaptasi mengikuti perubahan tuntutan zaman (Astraatmaja, 1999).

17 Masyarakat selalu disebut dengan satu nama kolektif: “masyarakat desa sekitar hutan”—entah mereka pencuri kayu atau pesanggem yang taat hukum.

18 Sebagian besar bahan tulisan ini berasal dari “Kronologi Mei: Laporan Pendampingan Desa Program PHT Randublatung Bulan Mei”.

19 Tiga alternatif itu adalah tanaman tumpangsari, borongan/banjar harian, dan Perhutanan Sosial (PS).

20 Kelemahan atau masalah yang dihadapi oleh masyarakat ini bukanlah sesuatu yang bersifat pukul rata terjadi di semua desa. Setiap desa mempunyai karakteristiknya sendiri-sendiri, dan selalu diantara generalisasi yang dibuat terdapat banyak perkecualian, misalnya, petani tak berlahan yang inovatif dan rajin, atau pesanggem perempuan yang menjadi panutan bagi pesanggem lain dalam hal teknik bercocok tanam (Martina, 2000).

21 Jawa=Diakali/diliciki.

Views: 23

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *