Riwayat Singkat Perda PSDHBM

Seperti tempat lain di Indonesia, pengelolaan hutan di Wonosobo juga mengalami kekacauan.  Degradasi hutan telah melewati ambang keprihatinan, bahkan ketika kawasan ini merupakan hulu bagi dua DAS penting di Jawa Tengah, yakni DAS Serayu dan DAS Opak Progo.  Perhutani—yang dipercaya negara selama puluhan tahun—telah gagal menahan laju deforestasi ini.  Tatkala kondisi ini dipercepat oleh penjarahan hutan yang tidak juga terhentikan, Perhutani pun seperti tutup mata dengan tetap pula melakukan penebangan rutinnya.

Layaknya sebuah kekacauan yang selalu menyimpan harapan, bersebelahan dengan kerusakan ini terbentang kawasan hutan milik rakyat buatan tangan masyarakat Wonosobo.  Luasannya hampir sepadan dengan hutan negara, selalu hijau dan terjaga dengan jenis tanaman yang sangat bervariasi.  Tidak pernah berstatus hutan—karena tak pernah berwarna hijau di dalam peta—namun kesejukan dan keteduhan melekat di tempat ini.  Daripadanya fungsi hutan baik ekologis maupun ekonomis didapatkan.  Hal yang menjadikan keberadaannya dipertahankan dalam sebuah budaya: budaya wono (budaya berhutan).

Kondisi yang terekam dalam investigasi awal Lembaga Arupa Yogyakarta ini menumbuhkan keinginan untuk menginisiasikan pengelolaan hutan negara oleh rakyat.  Inisiasi yang mendapat sambutan simpati dari DPRD, Pemda, masyarakat dan NGO setempat.  Semua pihak menyatakan kesepakatan ketika Dialog Antar Pihak digelar.  Hanya Perhutani yang tak sepakat dan bahkan meninggalkan pertemuan (dengan menahan marah).

Dan proses pun bergulir cepat.  Berbagai dialog digelar.  Dialog intensif antara DPRD, Arupa dan Koling menyepakati diterapkannya konsep hutan kemasyarakatan di Wonosobo sebagai jalan keluar terhadap permasalahan kehutanan.  Penerapannya akan dikukuhkan melalui Perda (Peraturan Daerah).  Arupa diberi kepercayaan untuk merumuskan draft Rancangan Perda (Raperda).  Tim Arupa kemudian menggandeng FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) dan beberapa pakar dari Fakultas Kehutanan UGM untuk menggodok draft tersebut.

Setelah kembali berdiskusi dengan DPRD, draft Raperda disepakati dan kemudian berlabel PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat).  Di dalamnya pengelolaan hutan akan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sekitar hutan dengan fasilitasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo.  Untuk mendapatkan dukungan terhadap rancangan ini, dilakukan berbagai dialog antara DPRD, Pemda, masyarakat (petani hutan) , pers, NGO dan pakar akademisi.  Rangkaian dialog yang terbungkus dalam kerangka Roundtable Discussion ini difasilitasi oleh FKKM Faswil Jawa Tengah.  Tidak ada penolakan forum terhadap rencana penerbitan Perda PSDHBM Wonosobo tersebut.  Perdebatan hanya terjadi pada benturan hukum yang akan terjadi terhadap aturan-aturan yang lebih tinggi sifatnya. Roundtable Discussion akhirnya membentuk tim perumus yang akan bertugas menggodok Rancangan Perda dan menggali aspirasi lebih banyak.

Dalam penunaian tugasnya, tim perumus menggelar beberapa kali hearing di Gedung DPRD Wonosobo dengan pelibatan lebih banyak kalangan, terutama masyarakat desa hutan.  Kasus okupasi lahan oleh masyarakat muncul dalam serial hearing yang menghadirkan masyarakat dari 15 desa pinggir hutan, DPRD, Pemda, Perhutani, Ornop dan kalangan pers.  Dalam serial hearing yang lain dilakukan pembahasan tentang maraknya penebangan liar dengan segala permasalahan yang melingkupinya termasuk keterlibatan oknum aparat, baik kepolisian maupun aparat Perhutani sendiri.  Dari beberapa serial hearing tersebut disepakati adanya Jeda Lingkungan.  Dalam masa jeda ini, semua stakeholder kehutanan tidak diperkenankan melakukan kegiatan apapun di wilayah hutan negara.  Penebangan—baik secara legal oleh Perhutani maupun ilegal—tidak diperbolehkan, begitu pula penggarapan dan perluasan penguasaan lahan oleh petani hutan.  Selain itu, hearing juga mengamanatkan kepada bupati untuk segera membentuk forum koordinasi multipihak yang akan bertugas menyelesaikan berbagai permasalahan kehutanan.  Satu hal yang disayangkan bahwa dalam rangkaian hearing ini dari pihak Perhutani tidak menghadirkan pejabat yang berwenang mengambil keputusan.  Dalam perkembangannya, ketidakhadiran pengambil kebijakan di Perhutani dalam forum tersebut mengakibatkan pihak Perhutani secara sepihak tidak bersedia menerima kesepakatan yang dihasilkan.

Melalui Surat Keputusan Bupati Wonosobo Nomor 522/200/2001 terbentuklah FKP3H (Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan) yang anggotanya berasal dari berbagai unsur seperti pemerintah daerah (Dishutbun, Bappeda, Kantor Sospol, Bagian LH, Bagian Hukum, Bagian Ketertiban, Bagian Perekonomian dan Bagian Humas), DPRD (Komisi A dan Komisi B), Perhutani (KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan), kalangan pers (Jawa Pos, Wawasan, RPS, Poles dan PWI Wonosobo), masyarakat desa hutan (tokoh masyarakat dari Desa Bogoran, Jangkrikan dan Tlogo) dan ornop (Arupa, Koling dan Pelita Garuda), dengan juga melibatkan pengadilan dan kejaksanaan negeri setempat.  Melalui forum inilah, berulang kali Pemda dan DPRD turun ke desa berkonsultasi dengan masyarakat mengenai rencana PSDHBM.  Konsultasi publik ini juga sekaligus men-sosialisasi-kan masa Jeda Lingkungan di wilayah hutan Wonosobo.  Selama hampir 2 (dua) bulan, lebih dari 30 desa sekitar hutan terlibatkan dalam proses konsultasi ini.  Seperti telah diduga sebelumnya, masyarakat desa tersebut—terutama petani hutan—amat sepaham dengan rencana penerapan PSDHBM di wilayahnya.  Terhadap penetapan masa Jeda Lingkungan, sebagian besar petani hutan merasa keberatan.  Meskipun demikian, akhirnya para penggarap lahan hutan ini dapat menerima kesepakatan jeda lingkungan setelah diperbolehkan menyelesaikan sekali masa tanam.

Enam bulan masa Jeda Lingkungan berlangsung tidak efektif.  Perhutani yang tidak merasa terikat dengan kesepakatan jeda lingkungan masih tetap melakukan penebangan rutinnya seperti termaktub dalam RTT (Rencana Teknik Tahunan), sedangkan ilegal logging masih juga marak tak terhentikan.  Menyaksikan pelanggaran kesepakatan jeda lingkungan tersebut, para petani hutan—selain juga disebabkan desakan kebutuhan—enggan berhenti menggarap lahannya ketika panen telah usai.  Lahan hutan yang ter-okupasi menjadi tempat bercocok tanam pun semakin bertambah.

Namun proses pengalihan pengelolaan hutan—dari Perhutani kepada masyarakat—dalam skema PSDHBM terus bergulir.  Dukungan masyarakat untuk para anggota dewan datang silih berganti.  Berkali-kali gedung DPRD Wonosobo dibanjiri warga masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, baik dengan cara berdialog maupun aksi demonstrasi.  Ada pula yang hanya sekedar melayangkan surat pernyataan sebagai tanda dukungan.  Dan ketika proses di dewan terasa berlarut, dukungan pun sekonyong berubah menjadi desakan yang datang kian bertubi.  Beberapa kali kelompok-kelompok masyarakat dari desa–desa di berbagai kecamatan, seperti Desa Gunung Tugel (Kecamatan Leksono), Bogoran (Kecamatan Sapuran), Tlogojati (Kecamatan Wonosobo), Jangkrikan (Kecamatan Kepil), Kreo, Tlogo, Tieng, Tambi (Kecamatan Kejajar), Ngadisono (Kecamatan Kaliwiro), Ngaliyan (Kecamatan Wadaslintang) dan berbagai desa sekitar hutan lainnya kembali mendatangi para anggota dewan.  Desakan dari kalangan LSM pun semakin bertambah dengan masuknya Jaringan Mitra Dieng (Jamidi), Serikat Petani Kedu dan Banyumas (Sepkuba) dan Jaringan Kerja Pendamping Masyarakat (JKPM) dalam proses PSDHBM.

Tanggal 20 Oktober 2001, Perda PSDHBM akhirnya di-godhok.  Tidak ada pesta pora dan arak-arakan pawai turun ke jalan, namun masyarakat—terutama petani hutan—pasti amat lega.  Masyarakat Bogoran tidak lagi khawatir tanaman sengonnya akan dibabat Perhutani.  Petani bawah tegakan di Gunung Tugel tak perlu lagi bayar 30 % dari hasil kopi tanamannya.  Petani hutan lainnya tidak harus buru-buru meninggalkan lahannya karena—demi kepentingan negara—lahannya akan segera ditanami tanaman kehutanan.

Di tengah kelegaan yang sunyi ini, keributan justru terjadi di luar.  Di sela dukungannya, para penggiat ornop menyoroti berbagai peluang dan kelemahan Perda PSDHBM.  Diakui bahwa Perda tersebut adalah yang terbaik saat ini dalam memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan.  Berbagai kejangkalan akibat ke-tidak konsisten-an penggunaan istilah masyarakat pengelola hutan akan membingungkan di tingkat aplikasi dan tidak mustahil melahirkan konflik horisontal.  Beberapa pihak menginginkan untuk segera dilakukan langkah pengalihan kewenangan dari Perhutani kepada pemerintah daerah.  Masuk pula dalam sorotan bahwa Perda ini masih belum aplikatif, tata cara perijinan memberi peluang KKN, ketidakjelasan bagi hasil dan lain sebagainya.  Persoalan lemahnya posisi Perda versus peraturan-peraturan di atasnya juga kembali mendominasi keributan perbincangan ini.  Ketakutan yang juga melanda para punggawa pelaksana di tingkat kabupaten.  Para orang daerah ini juga teramat ngeri membayangkan tidak mencukupinya aparat teknis dan pula dana yang akan diperlukan.  Terkadang terbersit untuk duduk ongkang-ongkang saja (seperti dulu), dan toh kas daerah akan terisi lewat skema perimbangan keuangan daerah-pusat.

Namun karena keinginan rakyat telah dilegalisasi oleh para wakilnya, mau tidak mau pegawai eksekutif pun harus segera berusaha mengimplementasikannya.  Sambil menunggu reaksi pusat atas lembaran daerah yang telah terkirim Desember 2001, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo sebagai lembaga yang memperoleh mandat PSDHBM segera mengambil ancang-ancang.  Sejak bulan tersebut disusunlah draft rancangan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) PSDHBM.  Dengan mengulang proses yang sama—pelibatan multipihak: DPRD, instansi terkait, masyarakat, NGO dan perguruan tinggi—penyusunan juklak-juknis diharapkan rampung tanggal 1 April 2002.  Rentang tiga bulan sengaja dicocokkan dengan batas waktu pembatalan oleh pusat (berdasar aturan yang ada), seandainya Perda dianggap bermasalah.

(Ditulis oleh Rohni Sanyoto, ARuPA)

Views: 22

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *