SERTIFIKASI HUTAN PERUM PERHUTANI::

SERTIFIKASI HUTAN PERUM PERHUTANI:

INSENTIF BAGI SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT, SEKADAR HADIAH, ATAU BLUNDER?

Oleh: Faisal H. Fuad dan Rama Astraatmaja

 Uraian berikut akan menajamkan pandangan Lembaga ARuPA, bahwa Perum Perhutani sama sekali belum layak untuk memperoleh sertifikasi sebagai sebuah unit pengelolaan hutan tanaman yang well managed. Dari beberapa studi awal, terlihat bahwa rekomendasi yang dipersyaratkan oleh certifier bagi perpanjangan sertifikasi di beberapa KPH Perum Perhutani, sebagian besar sangat tidak realistis—dilihat dari sejarah dan kemampuan Perhutani untuk memenuhinya. Dipastikan bahwa sangat sulit bagi sistem manajemen di tingkat KPH maupun Perum Perhutani secara umum untuk dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan rekomendasi tersebut.

Lembaga ARuPA juga memandang bahwa akan lebih aman dan sehat bagi sistem manajemen hutan tanaman di Jawa, jika sertifikasi yang sudah terlanjur diberikan kepada sejumlah KPH Perum Perhutani dicabut untuk sementara. Yang paling berbahaya dengan berjalannya mekanisme sertifikasi di KPH sebagai sampel dari sistem manajemen Perum Perhutani secara keseluruhan, adalah kemungkinan bahwa KPH tersebut ‘diperlihatkan’ atau ‘ditampilkan’ sebagai KPH yang ‘baik’ sementara itu terjadi usaha untuk menopangnya dengan ‘mengorbankan’ KPH-KPH lain yang belum akan disertifikasi.

Sementara itu, dalam mekanisme Chain of Custody (CoC), bahaya lain mengancam. Certifier—tanpa sepengetahuan mereka—bisa saja mengesahkan kayu illegal melalui sertifikasi CoC, karena sesungguhnya jaringan organisasi perdagangan kayu gelap begitu rumit dan rapi, serta ditopang oleh keterlibatan orang dalam Perum Perhutani sendiri maupun oleh aparat keamanan. Surat keterangan (SAKO/SAKB/Pas Angkut/SKSHH) bukanlah jaminan bahwa kayu tidak berasal dari penebangan liar (illegal logging) atau overcutting.


By ignoring the totality of teak production system,

the conservation group in concert with the green market

legitimizes coercive forest management (Peluso, 1992)

 A. PENDAHULUAN

Persoalan kehutanan Indonesia dari waktu ke waktu semakin memprihatinkan terutama tentang jaminan keberlanjutan sumber daya hutan (SDH) bagi generasi mendatang. Fakta tentang kerusakan SDH dan konflik terbuka yang amat parah merebak ke ruang-ruang publik dengan gencar. Fenomena kemiskinan struktural yang diderita oleh masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan (MDH) tidak juga mendapatkan penanganan yang menyentuh akar persoalan sebenarnya. Hingga saat ini, belum cukup bukti bahwa terdapat upaya yang sungguh-sungguh dalam menangani persoalan-persoalan tersebut. Dephutbun—sebagai entitas politis—yang diharapkan mampu menarik kereta perbaikan kehutanan lebih banyak berbicara tentang hal-hal normatif, termasuk salah satunya adalah mempopulerkan isu Perumisasi, yang belakangan diistilahkan sebagai Badan Pengelolaan Hutan (BPH).

Isu itu kemudian menggiring publik untuk menaruh perhatian kepada Perum Perhutani sebagai satu-satunya BUMN berbentuk Perusahaan Umum yang menangani kehutanan di Indonesia. Perusahaan yang pada mulanya menguasai wilayah hutan di Jawa seluas lebih 2 juta hektare ini, kemudian juga ditunjuk oleh pemerintah untuk mengelola hutan-hutan alam di luar Jawa. Sejak Mei 1999 Perhutani masuk di perbatasan Indonesia-Malaysia berdasarkan SK Menhutbun No. 376/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Perum Pehutani untuk Mengelola Areal Hutan Eks HPH PT. Jamaker di Propinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Wilayah yang diserahkan kepada Perum Perhutani membentang selebar 20 km meliputi areal di Propinsi Kalimantan Barat seluas 843.500 hektare dan di Propinsi Kalimantan Timur seluas 265.000 hektare.

Salah satu pertimbangan perluasan wilayah kerja dan wewenang Perum Perhutani adalah, seperti yang dikatakan Direktur Utama Perum Perhutani bahwa sekalipun belum sempurna, Perum Perhutani adalah pengelola hutan terbaik di Indonesia 1. Akan ada perdebatan panjang mengenai kebenaran pernyataan ini, apa indikator dan kriteria yang dipakai? Siapa yang menilai? Terbaik dibandingkan unit manajemen yang mana? Dan adakah pengelolaan hutan pembanding yang terlupakan, seperti pengelolaan hutan oleh rakyat? Mungkin sekali kebenaran pernyataan ini juga didasarkan pada keberhasilan Perum Perhutani mendapatkan sertifikat ‘well-managed’ yang diberikan oleh FSC-Smart Wood (FSC-SW) dalam beberapa tahun terakhir.

B. PERUM PERHUTANI, WELL-MANAGED FOREST?

Pada periode 1990-an, telah diterbitkan sertifikat Well Managed Forest oleh FSC-SW kepada Perum Perhutani. Sekitar tahun 1997 pemberian sertifikasi tersebut dibekukan (suspended) untuk diubah dengan pendekatan penilaian di tingkat distrik. Pada tahun 1998, dilakukan proses penilaian untuk 3 KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) di wilayah Unit I Jawa Tengah yakni KPH Cepu, KPH Mantingan, dan KPH Kebonharjo dengan luas total sekitar 67.000 hektare. Proses yang dilalui dalam penilaian 3 KPH itu adalah sebagai berikut:

  • Juni-Agustus    Konsultasi para pihak (stakeholders)
  • 29 Juni-12 Juli    Penilaian KPH-KPH oleh tim assesor
  • 13-16 Juli    Penyusunan draft laporan
  • 17 Juli-15 Agustus    Penyelesaian laporan
  • 16 Agust-15 Sept    Review oleh SW-HQ
  • 16 Sept-15 Okt    Peer review dan diskusi
  • 15 Oktober    Keputusan sertifikasi
  • Akhir Oktober    Finalisasi persetujuan/tandatangan kontrak sertifikasi
  • 2 -11 Desember 1999    Audit tahunan    
  • 19-23 Juni 2000    Audit CAR

Sejak tahun 1999, diinisiasikan proses penilaian untuk 8 KPH yang lain, meliputi 3 KPH di wilayah Unit I Jawa Tengah (Kendal, Banyumas Timur, dan Gundih) dan 5 KPH di wilayah Unit II Jawa Timur (Ngawi, Padangan, Saradan, Madiun, dan Lawu DS). Proses yang dilalui adalah sebagai berikut:

  • 8 Maret-2 April    Penilaian lapangan KPH-KPH
  • 5 April-10 April    Menyusun laporan dan dihasilkan draft rancangan
  • 12 April-16 April    Perbaikan laporan dan input berbagai pihak yang berkepentingan
  • 19 April-30 April    Penyampaian draft laporan ke SW-HQ
  • 3 Mei-7 Mei    Draft laporan dikirim ke Perhutani untuk di-review
  • 10 Mei-21 Mei    Penyusunan laporan akhir di SW-HQ dengan mempertimbangkan feedback dari Perum Perhutani
  • 24 Mei-4 Juni    Peer review
  • 14-18 Juni    Keputusan sertifikasi oleh Panel Eksekutif SW
  • —-    Audit tahunan    

Belajar dari proses sertifikasi terhadap beberapa KPH itu, terlihat adanya suatu ‘benang merah’ yang menunjukkan begitu banyaknya aspek yang harus dibenahi oleh pelaksana manajemen. Secara obyektif harus diakui bahwa Perum Perhutani telah ‘berusaha keras’ untuk menyesuaikan diri dengan beberapa kondisi dan rekomendasi yang diajukan oleh sistem sertifikasi FSC-SW. Sayangnya sebagian besar dari upaya itu terlihat masih bersifat ‘normatif dan kosmetis’ — misalnya sekadar menerbitan kebijakan atau surat perintah dari direksi kepada staff di bawahnya. Di lapangan, kebijakan normatif tersebut acapkali diterjemahan sangat jauh berbeda, akibat terbatasnya kemampuan SDM di tingkat lokal atau kurangnya komunikasi mengenai substansi dan nilai-nilai praktis dari kebijakan/perintah yang diinstruksikan.

Sistem sertifikasi FSC-SW yang cenderung memakai pendekatan sampling, menilai KPH sebagai unit pengelolaan yang akan dinilai kelayakannya. Pendekatan baru dalam sistem sertifikasi Perum Perhutani tersebut diambil dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

besarnya inkonsistensi kinerja antar unit pengelolaan (KPH),

adanya kesepakatan FSC-Smart Wood bahwa proses sertifikasi sebelumnya yang menilai Perum Perhutani secara keseluruhan belum memadai, sehingga diubah dengan sampel wilayah yang lebih komprehensif dan detail,

karena begitu luasnya wilayah Perum Perhutani (mendekati 3 juta hektare), diperlukan pendekatan yang lebih khusus kepada unit pengelolaan di tingkat distrik (KPH) agar evaluasi lebih efektif/responsif.

Meskipun demikian, cukup panjang daftar pertanyaan yang patut diajukan kepada ‘proses dan hasil’ skema sertifikasi model ini. Uraian berikut lebih jauh akan menggambarkan betapa sistem pengelolaan hutan tanaman di Jawa yang dimonopoli oleh Perum Perhutani—memerlukan suatu upaya yang sangat keras, dalam suatu perjalanan yang sangat panjang—sebelum dapat disebut sebagai well managed forest management.

I. KPH Tidak Layak Dianggap sebagai Unit Manajemen

Perum Perhutani dalam mengelola SDH selama ini menerapkan dua sistem perencanaan yakni:

  1. Perencanaan hutan, berupa RPKH, RLTP, dan RKTP atau RTT
  2. Perencanaan perusahaan, yang disusun dan di diwujudkan oleh direksi dalam bentuk RUP, RJP, dan RKAP.

Jika uraian RPKH, RLTP dan RTT berbasis unit kelestarian setingkat bagian hutan atau setingkat KPH, maka strategi dan rencana perusahaan (RUP, RJP, dan RKAP) lebih berbasis Perum Perhutani sebagai satu korporasi secara utuh. Dari sini terlihat bahwa KPH memang tidak pernah disiapkan sebagai suatu unit pengusahaan yang mandiri. Ini—misalnya—terlihat dari proses penyiapan rencana teknik kehutanan yang sangat didominasi oleh kebijakan SPH dan kebijakan Biro Perencanaan tingkat Unit (Lihat diagram pada Lampiran 1).

Sesungguhnya, KPH-lah yang dapat menyediakan informasi paling faktual dan memadai mengenai karakter wilayah kerjanya. Jika hubungan antara SPH tidak cukup dekat dengan KPH (dan ini yang sering terjadi dan dikeluhkan oleh pelaksana di lapangan), maka kualitas perencanaan cenderung menurun. Simpul hubungan tersebut seharusnya dibebankan kepada staf Teknik Kehutanan Umum (TKU) di KPH, tetapi kualitas personal yang duduk di jabatan itu biasanya juga kurang memadai, meskipun selama ini belum ada kajian secara mendalam.

KPH jati di wilayah Perum Perhutani biasanya mempunyai sejarah penyusunan RPKH yang panjang dan sistematis, namun dalam prakteknya, frekuensi terjadinya revisi dan suplisi masih sangat tinggi, yang menunjukkan bahwa kualitas RPKH yang disusun belum maksimal. Sementara itu otorisasi keuangan masih saja berada di tingkat Unit dan Direksi. KPH memang berhak mengajukan rencana pembelanjaan, tetapi terbatas pada pos-pos pengeluaran tertentu.

Akibatnya, KPH tidak pernah mempunyai cukup sumber daya untuk melakukan inovasi manajemen guna mendukung partisipasi, atau koordinasi dengan berbagai sistem di luarnya. Selama masih menyangkut teknik kehutanan, KPH dapat mengajukan proposal mengenai kegiatan-kegiatan khusus, namun inipun biasanya berjalan dengan birokrasi yang ketat. Pada sisi lain, anggaran pengembangan dan penelitian tidak tersedia di KPH, namun harus disusun dan ditentukan oleh Unit. Dari fenomena tersebut, tidak heran apabila kontribusi KPH dalam pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar tidak pernah signifikan.

Lembaga ARuPA memandang bahwa KPH selama ini tidak layak dianggap sebagai unit manajemen yang mandiri. Kalaupun harus ‘dipaksakan’ demikian, maka harus memenuhi keadaan-keadaan minimal sebagai berikut:

  • Sistem perencanaan dikembalikan kepada bentuk Rencana Perusahaan (RP), bukan hanya dibatasi pada Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan (RPKH)
  • KPH diberi wewenang untuk menentukan dan menjabarkan misi dan visi sendiri, sesuai karakteristik kawasan hutan dan lingkungannya
  • KPH diberi wewenang dalam memasarkan hasil hutannya
  • KPH diberi kesempatan untuk mencermati dan merumuskan hubungan kerja dengan instansi lain yang berperan dalam pengelolaan hutan
  • KPH diberi wewenang untuk merumuskan bentuk-bentuk participatory management di wilayahnya
  • KPH diberi kewenangan untuk mengatur SDM dalam kerangka organisasi KPH, terutama dalam analisis jabatan, penugasan dan mutasi
  • KPH diberikan wewenang penuh untuk mengatur arus keuangannya, dengan kewajiban pembebanan keuangan ke Unit/Direksi menurut potensi KPH yang bersangkutan.

II. Perjalanan Panjang menuju Coercive Forestry

Sistem pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa yang disusun di akhir tahun 1900-an meniru model yang dikembangkan di Jerman di abad ke-18, yang memandang hutan sebagai suatu sistem terpisah dari sistem di luarnya. Unit pengelolaan terkecilnya cenderung sangat luas, berkisar antara 4.000-13.000 hektare 2. Dengan teknik silvikultur tebang habis dan permudaan buatan untuk satu jenis tanaman pokok, maka ditentukan adanya kelas perusahaan. Akibat sistem ‘kebun kayu’ yang monokulturis ini, sulit untuk mengelola lahan hutan secara intensif, sesuatu yang justru menjadi kebutuhan masyarakat desa hutan (MDH) yang memerlukan lahan garapan dan hasil hutan lainnya.

Antisipasi manajemen Perhutani selalu terlambat dalam konstelasi problematika pengelolaan hutan yang dihadapi. Sebagian akibatnya kemudian adalah lahan kosong (lahan tak produktif) yang semakin luas dan konflik sosial yang terus bertambah besar 3. Tercatat bahwa pada tahun 1982 luas lahan kritis di Jawa seluas 4 juta hektare, dan 270 ribu hektare di antaranya berada di kawasan hutan Perum Perhutani 4. Sementara itu sampai tahun 2000, kondisi lahan kritis di wilayah Perum Perhutani telah mencapai luasan lebih dari 300.000 hektare 5.

Sejak tahun 1974 Perum Perhutani melaksanakan program pendekatan kemakmuran (prosperity approach), setelah jauh sebelumnya tumpangsari diandalkan sebagai sarana pendekatan masyarakat, disusul dengan ujicoba proyek Ma-Lu dan Ma-Ma. Prosperity approach bertujuan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan rakyat di sekitar hutan, dengan harapan gangguan keamanan hutan dapat ditekan. Program ini juga diharapkan mampu mengurangi kawasan tak produktif selama 5 tahun (speed-up reboisasi). Pada tahun 1979, program ini diakhiri dengan diumumkannya bebas lahan kosong, meskipun sebenarnya kawasan hutan tak produktif di lingkungan hutan jati di Jawa saat itu masih sangat luas.

Sekitar tahun 1978 diadakan revisi melalui program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada tahun 1985, digulirkan lagi sebuah program baru mendampingi PMDH, yaitu program Perhutanan Sosial (PS). Perhutanan sosial dititikberatkan pada pelaksanaan teknik agroforestry dengan pola tanam yang sedikit berbeda dengan tumpangsari biasa. Dalam tumpangsari biasa digunakan jarak tanam 3×1 m, sementara dalam program PS jarak tanam menjadi 6×1 m. Di sela-sela tanaman pokok ditanami buah-buahan (multi purpose tree species-MPTS) yang jenis tanamannya masih ditentukan oleh Perhutani, tanpa harus berkonsultasi dan bersepakat dengan petani peserta program.

Di atas kertas pendekatan tersebut memang mampu menunjukkan sejumlah peningkatan pendapatan MDH. Persoalannya adalah masyarakat lapisan yang mana, seberapa luas dampaknya, dan dengan pengorbanan serta biaya siapa. Semua program prosperity approach yang tidak partisipatif itu selalu diharapkan dapat mengurangi gangguan keamanan terhadap hutan. Dengan kata lain dapat mengurangi pos biaya keamanan.

Ironisnya pada saat yang sama aparat Perum Perhutani terus menggunakan pendekatan keamanan (represif polisional) dalam mengamankan hutan mereka. Di lapangan, anggota PCK, Asper, mantri hutan, mandor polter, dan Brimob dilibatkan secara aktif dalam menanggulangi pencurian kayu, operasi teritorial ke desa-desa sekitar hutan, dan pengamanan tata niaga di luar kawasan hutan. Dalam tahun 1998-2000, tercatat bahwa pembengkakan biaya pengamanan hutan terjadi—jauh dari peningkatan biaya bagi program-program kehutanan masyarakat.

Skema kehutanan masyarakat versi Perhutani pada akhirnya tidak lebih dari sebuah tools yang digunakan untuk menanggulangi luasnya lahan kosong, tugas yang memang tidak tertangani Perum Perhutani. Sistem dan prosedur perencanaan yang dipilih untuk menyusun pelaksanaan program masih selalu bersifat top down, tanpa melibatkan aspirasi MDH dan pihak-pihak lain secara sungguh-sungguh, sehingga hasilnya sama sekali tidak memecahkan persoalan masyarakat yang sesungguhnya. Dari sini terlihat bahwa upaya-upaya ‘pendekatan masyarakat’ semata-mata masih didasarkan pada usaha untuk mendapatkan tenaga murah, menghemat biaya pekerjaan-pekerjaan teknis kehutanan, dan mengurangi waktu penyelesaian pekerjaan—karena tugas tersebut memang tidak pernah mampu dikerjakan oleh aparat Perum Perhutani sendiri.

C. ANTARA REKOMENDASI, KONDISI, DAN REALITA

Salah satu prinsip sertifikasi FSC-SW berhubungan dengan tanggungjawab Perum Perhutani mengenai tenurial system dan hak-hak pemanfaatan sumber daya hutan oleh masyarakat desa hutan (Principle #2). Dipersyaratkan bahwa tenurial dan hak-hak penggunaan atas lahan dan sumber daya hutan dalam jangka panjang harus terdefinisikan dengan jelas, harus terdokumentasikan dengan baik, serta harus diakui secara legal. Dipastikan bahwa sangat sulit bagi Perum Perhutani untuk mengupayakan terpenuhinya prinsip dan kriteria tersebut.

Contoh kasus yang sangat jamak ditemui di lapangan misalnya yang berkaitan dengan diajukannya Kondisi 2.5.c. mengenai perbaikan pelaksanaan manajemen dengan pendekatan partisipatif. Pada 3 KPH yang pada tahun 1998 disertifikasi oleh FSC-SW yakni KPH Mantingan, Cepu, dan Kebonharjo—terlihat bahwa persoalan ‘hubungan baik’ dan ‘keadilan’ dalam sistem pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani masih amat rapuh. Pada proses selanjutnya, dengan diajukannya beberapa butir CAR (Corrective Action Requests) kepada ketiga KPH tersertifikasi menunjukkan banyaknya ‘pekerjaan rumah’ yang harus ditunaikan sebelum dapat dinyatakan well managed. Ilustrasi ini terlihat dari adanya bias interpretasi dan reaksi antara pihak Direksi Perum Perhutani dan pihak pelaksana operasional di KPH yang bersangkutan dalam menanggapi diajukannya kondisi 2.5.c. seperti tampak dalam tabel pada Lampiran 2.

Sementara itu dari CAR 5.2000 (berlaku untuk KPH Mantingan, Cepu, dan Kebonharjo—dan harus dipenuhi sebelum 31 Mei 2000 atau sertifikasi akan dibekukan), Perhutani diharuskan untuk menyusun ketentuan tertulis dan menerapkan rencana peningkatan social benefit melalui pengelolaan bersama (joint management) dan bagi hasil (production sharing). Tujuannya adalah untuk mengembangkan hubungan baik dengan MDH melalui program pengembangan ekonomi lokal, perbaikan relasi-relasi dengan masyarakat, dan peningkatan keterlibatan masyarakat dalam perlindungan hutan—termasuk dalam mendeteksi adanya organisasi pencurian kayu dan penadahnya. Strategi tersebut harus dikembangkan dalam suatu konsultasi tertutup dengan tokoh-tokoh masyarakat dan NGO seperti yang disebutkan dalam CAR 6000, atau melalui fasilitasi oleh pihak luar yang independen.

Kasus yang identik adalah munculnya CAR 6.2000 (yang juga berlaku baik untuk KPH Mantingan, Cepu, maupun Kebonharjo dan harus dipenuhi sebelum 31 Mei 2000, atau sertifikasi akan dibekukan). Pihak KPH harus menyelenggarakan sebuah pertemuan antar pihak, berkonsultasi dengan para tokoh dan anggota masyarakat di sekitar KPH mengenai isu-isu sosial ekonomi, kebutuhan-kebutuhan yang berhubungan dengan hutan, serta konflik-konflik yang terjadi antara MDH dan Perum Pehutani. Tujuan konsultasi ini adalah untuk membangun kemitraan jangka panjang antara masyarakat lokal dan Perum Perhutani dalam hal pengelolaan hutan dan mengembangkan solusi-solusi masalah yang adaptif.

Konsultasi ini harus diorganisir dan difasilitasi oleh suatu pihak ketiga yang independen dan pelaksanaannya dibiayai oleh Perum Perhutani. Mereka yang hadir dalam pertemuan tersebut setidaknya adalah Kepala KPH dan stafnya yang bertugas menangani kegiatan perhutanan sosial, para Asper, Mantri, aparat pemerintahan setempat (yang bertanggungjawab terhadap pembangunan desa dan masyarakat), para kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat terkait, tokoh-tokoh kelompok tani, dan wakil-wakil masyarakat lainnya.

Sekalipun pertemuan semacam itu dapat terselenggara, pada akhirnya implementasinya di lapangan tidak mungkin dapat berjalan. Ini mengingat panjangnya jalur birokrasi yang harus ditempuh, ketiadaan kemandirian KPH, ditambah lagi dengan akar permasalahan konflik dengan masyarakat yang menyejarah dan rumit. Kondisi KPH-KPH lain di seluruh wilayah Perum Perhutani tidaklah jauh berbeda, bahkan acapkali lebih buruk.

D. HUTAN RAKYAT JAUH LEBIH well-managed

Ketika selama ini ‘mitos’ yang menganggap bahwa pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani masih yang terbaik, secara empiris di banyak tempat ternyata muncul bukti-bukti yang sangat kuat bahwa pengelolaan hutan (oleh) rakyat masih jauh lebih baik. Dari sebanyak 8,3 juta m3 kebutuhan kayu bulat bagi industri kehutanan di Jawa 6, hanya sekira 1,9 juta m3 yang bisa disediakan oleh Perum Perhutani, atau hanya kurang dari seperempatnya. Sisa kebutuhan bahan baku kayu ini dipenuhi dari hutan rakyat, kayu ilegal dari Kawasan hutan Perum sendiri, dan kayu dari luar Jawa.

Proporsi pemenuhan kebutuhan yang dapat dipasok dari hutan rakyat memang lebih kecil dari apa yang dihasilkan oleh Perhutani, tetapi melihat perbandingan luas kawasan hutan Perum dengan hutan rakyat akan terlihat betapa tidak produktifnya hutan Perhutani; atau sebaliknya, betapa ‘well-managed’-nya hutan rakyat itu (lihat tabel).

Asal Kebutuhan Bahan Baku Kayu di Jawa 7

 Asal Kayu 
m3/tahun
 Persentase
 Perum Perhutani Unit I, Unit II, dan III 1.861.803 22,6%
 Hutan Rakyat 895.371 
10,9%
 Kayu Perhutani hasil illegal logging 
1.119.318
 13,6%
 Luar Jawa 4.349.837 52,9%
 
Total
 8.226.329 100,0%
 Produktivitas Hutan Perum Perhutani Dibandingkan Hutan Rakyat 8
 Kawasan HutanTotalLuasProduktivitas
  (m3/th) (hektare) (m3/ha/th)
 Perum Perhutani Unit I 713.376 646.074 1,10
 Perum Perhutani Unit II 865.113 1.126.958 0,77
 Perum Perhutani Unit III 283.314 792.468 0,36
 Hutan rakyat (jati+rimba) 895.371 391.317 2,29

 

E. SERTIFIKASI: PEKERJAAN RUMAH YANG BERAT

Dari beberapa uraian di muka Lembaga ARuPA memandang perlu untuk menyarankan kepada semua pihak agar bertindak dengan amat sangat berhati-hati dalam menyelenggarakan setiap inisiatif apapun yang diarahkan bagi sertifikasi Perum Perhutani, berkaitan dengan aspek-aspek di bawah ini:

  1. Perubahan Kebijakan dan Restruktusisasi Kelembagaan
    Adalah naif bahwa sertifikasi dilakukan di unit manajemen yang lebih kecil, ketika semua keputusan masih berada di pusat (direksi). KPH hanyalah pelaksana teknis di lapangan, sementara sebagian besar aspek ditentukan oleh pengambil keputusan di atasnya yang amat hierarkhis. Fenomena top down management ini amat terlihat manakala dalam pengembangan program perhutanan sosial, para anggota Kelompok Tani tidak pernah terlibat dalam perencanaan pemanfaatan lahan yang mereka garap. Diperlukan perombakan kebijakan dan struktur organisasi secara radikal untuk dapat menyusun konsep pengelolaan yang lebih membuka ruang partisipasi masyarakat desa hutan9 serta menumbuhkan unit pengelolaan di daerah yang mandiri.
  2. Pemenuhan Kebutuhan Masyarakat Ketika Perum Perhutani harus mengembangkan mekanisme pemerataan kesejahteraan sosial bagi MDH, terutama bagi orang-orang termiskin, tujuan yang diharapkan adalah perbaikan hubungan dengan masyarakat, dan menyediakan insentif agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhannya setidaknya dalam titik kritis. Pada kenyataannya kebutuhan masyarakat yang sedikit dan beragam itu tidak dipenuhi.

    Kebutuhan lapangan pekerjaan  Need for employment6.723 PersonTenaga kerja yang diperlukan Perum Perhutani di B.H. Randublatung 4.440Kebutuhan lahan 2.948,1 hektare Luas seluruh kawasan B.H. Randublatung 5.216,6 Kebutuhan kayu perkakas 45m3/th Target tebangan Perum Perhutani tahun 2000 di B.H. Randublatung 5.376Kebutuhan kayu bakar 125.750 Sm3/th Ketersediaan kayu bakar di Bagian Hutan Randublatung 5.246 Kebutuhan hijauan makanan ternak 52.568 ton/th Ketersediaan pakan ternak di kawasan B.H. Randublatung N/AKebutuhan Masyarakat dan Yang Disediakan Hutan 10.Sementara masyarakat membutuhkan kayu bakar dengan jumlah besar dan hanya bisa menggantungkannya pada hutan, Perum tetap berkonsentrasi dengan produksi kayu gelondongan jatinya, tanpa pernah berbagi hasil pada masyarakat yang menanamnya (lihat box contoh kasus pada bagian hutan Randublatung).
  3. Penebangan Liar dan Stigmatisasi Masyarakat Desa Sekitar Hutan

Dalam menangani persoalan penebangan liar Perum Perhutani masih berkutat dengan paradigma bahwa masyarakat yang miskin adalah sumber penjarahan hutan yang terjadi dan mengkambinghitamkan MDH sebagai pelaku utama. Masyarakat mengalami korban terdepan dalam operasi-operasi yang represif menyikapi pencurian hutan besar-besaran, baik dalam bentuk penyitaan maupun pemerasan.

Persoalan utama di sini adalah bahwa pencurian kayu jati tidak selalu identik dengan persoalan kemiskinan masyarakat, namun lebih luas lagi berhubungan dengan struktur industri dan penegakan hukum dan pengawasan yang amat lemah karena dipenuhi dengan aparat-aparat militer/POLRI dan petugas Perum sendiri yang koruptif, kolutif, dan manipulatif. Kebobrokan itu dilengkapi dengan sindikat pengusaha kayu gelap begitu kuatnya dan biasa mempengaruhi para pengambil kebijakan kunci dengan cara-cara penyuapan (ihat contoh kasus dari pemberitaan).


Sekitar 48% kayu yang digunakan untuk kerajinan mebel di Jepara adalah kayu illegal. Tercatat bahwa kebutuhan kayu bagi industri di Jepara setiap tahunnya mencapai 668.000 m3 tidak seimbang dengan pasokan kayu dari Perhutani tahun 1998 hanya sebesar 350.000 m3 per tahun.

(Kompas, 26 Desember 1998)

Jumlah industri kayu di Jateng sebanyak 977 unit, dan setiap tahunnya membutuhkan sekitar 6 juta m3 kayu sebagai bahan baku. Namun secara lokal hanya bisa dipenuhi 2,9 juta m3, sisanya 3,1 m3 harus diambil dari luar Jawa Tengah. Inilah yang menyebabkan pencurian tetap merajalela.

(Suara Merdeka, 26 Agustus 2000)

Pencurian di hutan Perum Perhutani sebenarnya sudah sejak dulu terjadi, hanya dalam jumlah yang tidak sebanyak sekarang. Penjarahan dan pencurian massal yang dimulai sejak 1998 yang lalu lebih banyak dipicu oleh tingginya harga kayu, akibat meningkatnya permintaan ekspor mebel di wilayah Jawa Tengah.

(Kompas, 26 Desember 1998)

Dalam tahun ini pihak KPH Cepu menangani 4 kasus pencurian yang melibatkan oknum petugas, sementara jumlah oknum yang terlibat 7 orang … ada beberapa oknum petugas yang sudah dipindah ke luar Blora dengan latar belakang pernah terlibat dalam pencurian kayu, kenyataannya oknum petugas itu bisa pindah lagi ke Blora dan kembali melakukan hal yang serupa.

(Suara Merdeka, 7 Agustus 2000)

Seorang warga ditembak mantri hutan Perhutani wilayah KPH Semarang, berkaitan dengan kasus pencurian kayu jati. Kasus yang berbuntut kekerasan ini diawali dari proses bebasnya warga tersebut setelah memberi uang jaminan sesuai yang diminta oleh Polhut setempat. “Ketika saya dibebaskan dimintai uang, sementara pencuri lain yang juga tertangkap dibebaskan begitu saja”, ujar warga tersebut.

(Bernas, 1 Juli 2000)

Menurut Anggota Komisi B DPRD Jateng Drs. Sutoyo Abadi mengatakan, “Para sindikat kayu telah terang-terangan mulai mengajak negosiasi kepada para anggota dewan yang ingin membongkar perniagaan kayu ilegal. Caranya dengan mengiming-imingi sejumlah uang untuk berdamai.”

(Wawasan, 21 Juli 2000)

Kepala Divisi Organisasi Pengembangan SDM Perum Perhutani Ir. Rijanto Tri Wahyono menyatakan bahwa sekitar 10% karyawan Perum Perhutani terlibat aksi penjarahan hutan. Masih menurutnya, “Karyawan yang terlibat itu berada di semua level, mulai dari tingkat di bawah Asper, Asper, Administratur, hingga eselon teratas. Tingkat keterlibatan mereka bervariasi, ada yang teledor, ada yang terlibat langsung—biasanya tingkat Asper ke bawah, tetapi ada juga yang keterlibatannya sukar dibuktikan, termasuk Direksi.”

(Pikiran Rakyat, 13 Juli 2000)


4. Pengawasan Tata Niaga Hasil Hutan (Kayu Jati dan Kayu dari Luar Jawa)

Proses sertifikasi CoC selama ini cenderung kurang responsif terhadap fakta di lapangan tentang tata niaga kayu jati yang kondisinya sangat carut marut. Mudah dibuktikan bahwa persoalan tata niaga terkait erat dengan struktur industri kehutanan yang sangat masif (overdemand). Pengawasan tata niaga kayu dipenuhi dengan korupsi, manipulasi, dan pemalsuan.

Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan lolosnya kayu ilegal dengan adanya pas yang dapat dipakai dua kali, trik mencampur kayu sah dan ilegal, jual beli blanko pas kosong, dan kayu-kayu haram dapat memperoleh pas karena keterlibatan aparat.. Perhutani—sepanjang kewenangannya—terkesan mendiamkan banyaknya kasus-kasus masuknya kayu ilegal dari luar Jawa dengan surat keterangan palsu (beberapa kasus ditampilkan dalam box).

Surat keterangan palsu ini dibuat dengan terorganisasi dan rapi, pada beberapa kasus tidak terbedakan dengan aslinya, dan ironisnya ada kasus ketika kayu bersurat asli justru disita.


Wakil Ketua Komisi B yang mengadakan kunjungan kerja ke Pelabuhan Gresik menemukan bahwa aparat Perum Perhutani tidak bisa menyediakan data mengenai lalu lintas kayu di pelabuhan tersebut. Anggota fraksi TNI/POLRI Kol. Inf. Manaf menyatakan bahwa apa yang dijumpainya terkesan ditutup-tutupi. Kayu-kayu sitaan yang telah digudangkan ditengarai menguap karena diganti catatan mengenai mutu dan volumenya.

(Pelita, 14 Juli 2000)

…diduga kuat adanya pembuatan pas atau dokumen pengiriman kayu olehan berupa GF dan Flooring itu melibatkan oknum Perhutani asal pas itu dibuat….. ada kemungkinan surat pas itu merupakan sisa tahun 1999. Sementara ada dugaan pula bahwa pas itu palsu, yang berarti pemalsuan itu dilakukan secara keseluruhan termasuk palu tok dan stempel.

(Suara Merdeka, 23 Agustus 2000)

Dibongkar jaringan pembuat surat pas palsu serta palu stempel atau tok planthong palsu. Blanko pas palsu ini dijual Rp 100 ribu per lembar dari pencetak, dan kepada yang membutuhkan dijual lagi Rp 400 ribu per lembar. Pembeli dapat mengisi sendiri data yang diperlukan pada blanko tersebut. Surat pas palsu ini biasa dipergunakan untuk mengangkut kayu sekitar 10 m3 setiap truknya.

(Kedaulatan Rakyat, 25 Juni 1999)

Dijumpai pas kayu jati yang diduga palsu dalam sebuah operasi di Grobogan. Pas dikeluarkan oleh BKPH Begal, KPH Ngawi, Unit II Jawa Timur tertanggal 23 Juni 2000. Polres setempat menyatakan bahwa kasus semacam ini sudah kesekian kalinya terjadi, dan akan memanggil Administratur Ngawi untuk dimintai keterangan perihal pas palsu tersebut.

(Suara Merdeka, 17 Juli 2000)

Terungkap adanya pembuatan pas palsu oleh seorang pengusaha di Brebes, yang telah berhasil sedikitnya lima kali meloloskan kayu jati puluhan meter kubik. Menurut pelaku, blanko pas warna biru muda dan putih tersebut sengaja dibuat di sebuah percetakan di wilayah Tegal. Selanjutnya dengan rekayasa, pas itu diisi, ditandatangani, dan dicap mirip cap yang dimiliki oleh KPH Balapulang. Sepintas surat itu amat mirip dengan pas asli yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani. Dari tangan pemalsu, polisi mengamankan satu bendel pas kosong berisi 95 lembar blanko, stempel Perum Perhutani KPH Balapulang, stempel Perum Perhutani TPK Songgom, dan 5 lembar pas yang sudah digunakan.

(Suara Merdeka , 8 Juli 2000)

Komisi C DPRD Jateng mengungkap adanya penyalahgunaan SAKO maupun SKSHH, serta mempertanyakan kerja Kanwil dan Perum Perhutani yang tidak segera melakukan pembenahan. Justru Perum Perhutani terkesan diam melihat beredarnya SAKO dan SKSHH yang masih kosong tersebut.

(Bernas, 21 Juli 2000)

Untuk meloloskan kayu olahan dari Pelabuhan Tegal cukup dilengkapi SAKO/SAKB seharga Rp 100.000/m3. Bahkan ada blanko SKSHH dengan harga Rp 200.000/m3 yang bisa disesuaikan dengan volume yang ada.

(Kompas, 9 Agustus 2000)

Adpel Tanjung Emas Subagijo mengakui sulit membedakan pas palsu dengan aslinya, keduanya dikatakannya sangat mirip.

(Bisnis Indonesia, 15 Agustus 2000)

Di Serang ratusan buruh dan puluhan pengusaha kayu Pelabuhan Karangantu memprotes “Operasi Hiu Macan 2000” (operasi penyitaan kayu ilegal) yang digelar Polairud. Menurut sejumlah pengusaha, “Kayu yang masuk melalui pelabuhan ini dilengkapi dokumen SAKO dan SAKB yang sah, tapi entah mengapa Polairud meganggap surat-surat itu palsu.

(Suara Pembaruan, 25 April 2000)


5. Manajemen Kawasan Hutan

Perum Perhutani selain mentaati hukum nasional (PP 53 tahun 1999), mustinya juga memperhatikan dan menghormati norma dan sistem hukum lokal, yang antara lain ditunjukkan oleh adanya fakta batas desa-desa di dalam dan di sekitar hutan sebagai resultante proses-proses negosiasi dan tawar menawar lokal. Tradisi berhutan yang dimiliki oleh masyarakat, jauh sebelum dibentuknya Perum—bahkan sebelum datangnya kongsi dagang Belanda—telah membagi-bagi hutan dan lahan sebagai common property ke dalam wilayah desa-desa. Sebaliknya Perum Perhutani selalu memandang bahwa hutan iyang masuk wilayah desa berada dalam kekuasaan mereka sepenuhnya sebagai state property, termasuk adanya larangan terhadap usaha penggergajian di sekitar wilayah hutan (lihat box). Perbedaan interpretasi yang tidak pernah dipertemukan masih diperparah dengan sengketa-sengketa akibat kurangnya akurasi peta dan koordinasi Perum Perhutani dengan instansi pertanahan seperti BPN.


…gerakan Samin di Jawa pada awal abad 20 merupakan salah satu contoh mempertahankan hak terhadap subsistensi lokal. Petani di daerah Rembang telah sejak lama mengambil kayu dan arang dari hutan yang ada di sekitarnya. Ketika pejabat kehutanan rejim kolonial bertindak melarang…para petani hutan itu menanggapi dengan menyatakan “tanah, air, dan kayu adalah milik semua orang” dan bersikeras bahwa apa yang mereka ambil adalah hak preskriptif mereka.

(Santoso, 2000)

PHPA dan Perum Perhutani mengambil alih secara paksa tanah yang dimiliki oleh masyarakat untuk dijadikan cagar alam. Para petani tidak mendapatkan penggantian apapun. Petani memiliki surat girik yang diberikan secara bertahap sejak tahun 1966 sampai tahun 1982.

(Galamedia, 14 Juli 2000)

Ratusan warga Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang melakukan aksi pencabutan terhadap patok kapling Perumahan Perhutani di kawasan seluas 10 hektare. Menurut rencana perumahan tersebut nantinya akan dijual kepada umum, dengan kata lain Perum Perhutani sebenarnya berencana menjual tanah negara secara tidak sah. Warga mengaku telah 42 tahun lebih membayar pajak tanahnya. Bupati secara prinsip telah menyetujui penyerahan tanah itu sebagai kas desa.

(Media Indonesia, 10 Agustus 2000)

Warga pemilik dan penggarap tanah dari Desa Cijati, di sekitar Waduk Cirata, mengadu kepada DPRD dan mengajukan tuntutan agar Perum Perhutani memberikan uang ganti rugi atas tanah dan tegakan sebesar 143 milyar. Tanah yang digunakan untuk pembangunan waduk itu telah dibayar ganti ruginya oleh PLN kepada Perum Perhutani, tetapi warga membuktikan bahwa tanah tersebut adalah hak milik mereka. Pengadilan Negeri Puwakarta sudah memutuskan bahwa Perhutani harus membayar Rp 10.000/m2 kepada warga. Perum menolak dan mengajukan banding.

(Pikiran Rakyat, 12 Juli 2000)

Setelah mengelola tanah negara puluhan tahun, warga petani dari lima desa di Kecamatan Muara Gembong, Bekasi diancam akan diusir dari lahan tersebut oleh Perum Perhutani jika tidak membayar uang ganti rugi penggunaan kawasan hutan. Merasa diintimidasi, petani mengadukan kasus ini ke DPRD Bekasi.

(Media Indonesia, 18 April 2000)

Menurut Humas Perhutani Unit III syarat mendirikan usaha penggergajian kayu adalah memiliki izin industri dari Deperindag, izin lokasi dari PEMDA, mendapatkan rekomendasi dari Perum Perhutani, serta berjarak minimal 5 km dari batas hutan.

(Pikiran Rakyat, 25 April 2000)


 6. Perum Perhutani Sebagai Pelayan Masyarakat (Public Service)

 Perum Perhutani dengan paradigma timber management-nya masih juga tidak beranjak menuju sebuah BUMN dengan misi selain menghasilkan keuntungan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berorientasi pelayanan masyarakat. Perum masih berorientasi pada kekuasaan dan kewenangan atas HGU yang dipegangnya. Lebih jauh, penumpukan kekuasaan ini seringkali menghambat tumbuh dan berkembangnya usaha kecil karena kekuasaan tersebut seringkali dijadikan alat ekonomi bagi para pemegangnya. Kebudayaan pungli menjadi suatu kebiasaan yang lazim. Korbannya adalah mereka yang miskin dan lemah.


Polisi—dan bahkan Perum Perhutani sendiri—meragukan keaslian surat keterangan kayu, kemudian memeras pungli sebesar total Rp 1.050.000.

(Suara Merdeka, 19 Juli 2000)

Surat pembaca mengeluhkan lamanya proses pengurusan surat pas dari KPH Malang walaupun administrasi dan kelengkapan lain sudah memenuhi syarat. Tidak ada kepastian berapa lama surat tersebut akan keluar. Hal ini dianggap memberatkan pengusaha kecil.

(Surya, 19 Agustus 2000)

Puluhan pengusaha kayu jati di Bojonegoro mengeluhkan pemerasan yang dilakukan mandor, mantri, dan Asper Perhutani. Pemerasan ini untuk medapatkan Surat Izin Pembelian kayu jati dan ketika akan mengambil kayu di lokasi tebangan. Besarnya uang tersebut antara Rp 40-50 ribu/m3 untuk pengurusan surat izin pembelian dan untuk mengeluarkan kayu dari TPK antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta.

(Memorandum, 26 Agustus 2000)

Dialog antara wakil perajin dan Perhutani dihadiri DPRD, Wakapolres, serta sejumlah pejabat Pemda Jepara mengenai pas kayu. Perwakilan perajin menyatakan bahwa mereka berani menjamin pas yang beredar di wilayah Perhutani Jepara adalah aspal, karena tidak cocok dengan kondisi yang ada. “Mengurus pas itu bisa lewat calo dengan membayar puluhan kali lipat, ada yang mengurus sendiri namun selalu berbelit. Untuk mudahnya, banyak yang membeli pas lewat jasa pembuatan pas di Kantor Perhutani. Jadi pas itu bisa disalahgunakan untuk memutihkan kayu curian,” ujar utusan perajin lainnya.

(Suara Merdeka, 14 Juli 2000)

7. Manajemen Tegakan Hutan

Terjadi penurunan kualitas tegakan hutan Perum ditunjukkan struktur tegakan—yang secara umum—makin lama makin didominasi oleh KU-KU muda. Sekalipun luasan kawasan hutan relatif tidak berkurang, dipastikan bahwa luas areal produktif akan menurun sehingga akan terjadi pula penurunan etat luas dan etat volume (lihat box). Manajemen tegakan dengan demikian gagal mengidentifikasi faktor terpenting yang mempengaruhi ekosistem hutan, yaitu faktor sosial budaya masyarakat. Pada dasarnya manajemen tegakan Perum Perhutani memang tidak ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat sekitar, atau diselaraskan dengan perkembangan yang ada di masyarakat sekitar hutan, tetapi lebih kepada pemenuhan target tebangan dan pendapatan perusahaan.

Bahkan terjadi fenomena overcutting selama periode sepuluh tahun terakhir, yang menunjukkan bahwa secara umum tegakan hutan ‘dikorbankan’ oleh Perhutani untuk memenuhi target penghasilan mereka. Mungkin saja sertifikasi dapat menjamin bahwa KPH tersebut tidak melakukan overcutting tetapi untuk mengejar target tadi Perum akan memenuhinya dari KPH-KPH produktif lain yang belum tersertifikasi. Dengan pengantar SKSHH sah sekalipun tidak ada jaminan kayu berasal dari tegakan yang dikelola secara lestari (sustainably-managed forest) atau setidaknya dikelola secara baik (well-managed forest).


Dalam waktu 3 tahun terakhir (1998-2000) hasil kayu jati di wilayah Perum Perhutani KPH Mantingan hampir sebanding atau bahkan lebih kecil dari jumlah kayu yang hilang. Pada tahun 1998, produksi kayu jati sebesar 19.262m3 dan yang hilang sebanyak 15.569 m3. Pada tahun 1999 produksinya sebesar 28.403 m3 dan yang hilang mencapai 21.865 m3. Sementara pada tahun 2000 ini dari rencana produksi kayu jati sebesar 22.758 m3, sampai bulan Juli 2000 saja tercatat volume kayu yang hilang sebanyak 24.069 m3. Dari hasil risalah tahu 1991 luas areal produktif di KPH Mantingan seluas 12.199,3 hektare, namun pada risalah tahun 1995 tinggal seluas 10.828,6 hektare. Etat tebangan pada tahun 1991-1995 ditentukan sebesar 22.460 m3/tahun, namun pada periode 1995-2000 etatnya turun menjadi sebesar 19.406 m3/tahun

(Suara Merdeka, 28 Agustus 2000)


8. Hak-hak Pekerja Hutan

Perum Perhutani harus menyusun kebijakan resmi agar para pekerja mereka (termasuk pesanggem/petani hutan dan kaum perempuan) dapat memperoleh hak-haknya dan bernegosiasi dengan Perhutani, sesuai kebijakan tenaga kerja nasional dan konvenan ILO. Selama ini bayaran bagi pekerja masih didasarkan pada tarif standar yang tidak spesifik lokal dan bersifat minimal. Upah tumpangsari, misalnya, hanya dibayar rata-rata sebesar Rp 300.000 per hektare untuk masa kontrak selama dua tahun, sedangkan sisanya ‘diharapkan’ dipenuhi dari hasil panen tanpa pernah melakukan survey pasar berapa sebenarnya hasil panen dari tanah tersebut dapat menghasilkan uang. Dengan rendahnya harga jual produk pertanian saat ini, pesanggem akhirnya mensubsidi Perum Perhutani sekira Rp 200.000/ha/tahun11. Perhitungan tersebut baru dari kegiatan penanaman.

Sementara itu struktur wewenang yang hierarkhis dan feodal serta berasaskan kepatuhan tanpa tersedianya ruang bagi protes pekerja, tidak adanya asosiasi pekerja, serta meritokrasi berdasarkan like and dislike–menyebabkan tidak adanya sarana perjuangan pekerja tingkat rendah (pembantu mandor, mandor, sampai mantri). Mereka seringkali harus menyelesaikan berbagai macam target (tebangan dan tanaman) dengan anggaran yang tidak masuk akal dan tidak memadai. Apalagi mengingat gaji12 dan pembagian jasa produksi bagi mereka yang kecil, sehingga jika mereka yang ingin mempertahankan prestasi dan pekerjaannya mau tidak mau harus ‘memerah’ petani atau masyarakat yang terlibat dalam kegiatan kehutanan. Berakar dari kecilnya gaji petugas lapangan inilah timbul suatu budaya pungli di wilayah kekuasaan Perum Perhutani.

Di sisi lain, sangat terlihat bahwa manajemen Perum Perhutani sangat tidak peka gender. Rekrutmen pegawai adalah salah satu contoh kasus, ketika sangat jarang Perum Perhutani menempatkan pegawai perempuan sebagai petugas lapangan. Belum pernah ada kejadian di manapun juga di wilayah kerja Perum Perhutani, bahwa seorang perempuan menjadi mantri, Asper, apalagi Administratur. Meskipun tidak pernah dinyatakan secara eksplisit, tampak bahwa Perum Perhutani ‘meragukan’ kinerja perempuan sebagai pelaksana di lapangan. 


1. Banyak mandor hutan yang masih berstatus TKK (tenaga kerja kontrak) yang sudah mencapai masa kerja lebih dari 5 tahun, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun….

2. Perbedaan gaji antara pegawai lapangan dan pimpinan berbeda jauh….

3. …kegiatan yang melibatkan masyarakat pembiayaan… menghasilkan standar biaya yang selalu paling rendah….Jangan sampai Perum Perhutani disebut sebagai lembaga yang melanggar HAM untuk jangka waktu yang lama.

Simon dkk. (1998)


9. Konflik Pengelolaan SDH

Begitu kompleksnya akar konflik dan begitu beragamnya benturan yang terjadi mulai dari aspek tenurial system hingga hubungan antar individu, menyebabkan sistem pengelolaan hutan menjadi sarat masalah. Tekanan terhadap hutan terjadi akibat tingginya kebutuhan masyarakat (termasuk industri, kaum pemodal besar, dan para spekulan) secara luas. Perum Perhutani harus mengadakan perbaikan korporasi dengan konsultasi publik secara luas, untuk menyelesaikan konflik kehutanan maupun agraria. KPH harus dirancang untuk dapat mengembangkan rencana yang spesifik lokal sesuai perubahan-perubahan terkini, sesuai kondisi spesifik setempat, dan ini mensyaratkan adanya kemandirian KPH. Sangatlah berat jika Perum Perhutani—misalnya—dalam waktu dekat diminta untuk melakukan dialog dengan tokoh mayarakat, warga desa, para pengguna hutan, dan pihak-pihak lain untuk menyelesaikan konflik. Sementara mereka juga dituntut untuk mengadakan konsultasi untuk membangun kemitraan jangka panjang, untuk mengelola hutan dan mengembangkan solusi-solusi yang bersifat adaptif.

 F. CATATAN AKHIR

Demikian banyak persoalan yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan di Jawa, khususnya di wilayah Perum Perhutani, sehingga sertifikasi secara parsial oleh FSC-SW hanya akan melegitimasi pengelolaan hutan yang:

  1. Tidak menghormati hak asasi manusia.
  2. Tidak peka gender.
  3. Melanggengkan konflik.
  4. Mendegradasi sumber daya hutan.

Pada akhirnya sertifikasi hutan Perum Perhutani dapat diharapkan bisa memperbaiki manajemen dan kebijakan secara umum hanya dengan cara:

TIDAK MEMBERIKAN SERTIFIKASI

Yogyakarta, September 2000

Lembaga ARuPA 

Daftar Rujukan:

Ahmad, Nanang Roffandi, 2000, Restrukturisasi Industri Kayu Hulu dan Pengelolaan Hutan Produksi di Luar Jawa, Makalah Semiloka Restrukturisasi Industri Kehutanan, Baplan Dephutbun-DfID, Jakarta, 6-7 September 2000.

Anonim, 1985, Laporan Sementara Pola Pemugaran dan Perluasan Kawasan Hutan di Pulau Jawa, Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM-Departemen Kehutanan, 1985, halaman 38.

________, 1990, Social Forestry in Indonesia, Workshop Report of Regional Wood Energy Development Programme in Asia, Fonc-FAO-UGM, Bangkok, December 1990.
________, 2000, Prosiding Lokakarya PHBM, Lembaga ARuPA-Perum Perhutani-FKKM, Pusdiklat Madiun Februari 2000.
ARuPA, 1999a,  Rancang Bangun Cooperative Forest Management, Laporan Penelitian Kolaboratif, Tidak diterbitkan.

________, 1999b, Penjarahan Hutan di Sekitar Desa Temulus Randublatung, Fenomena Gunung Es di Tengah Lautan Reformasi Kehutanan, Laporan Investigasi, Tidak diterbitkan.

Bakhtiar, Irfan (ed.), 2000, Desa Mengepung Hutan: Prosiding Semiloka PHBM sebagai Implementasi Pengelolaan Hutan Partisipatif Terintegrasi di Randublatung, BP ARuPA, Yogyakarta.

Hobbley, M., 1996, Participatory Forestry: The Process of Change in India and Nepal , Rural Development Forestry Study Guide 3, London.

Peluso, Nancy Lee , 1991, Excerpts from the Evaluation of the Java Social Foretry Program, Unpublished Paper, December 30, 1991.

________, 1992a, Rich Forests, Poor People; Resources Control and Resistance in Java, University of California Press. California.

________, 1992b, Coercing Concervation? The Politics of State Resource Control, Unpublished Paper, Juni 1992.

Perum Perhutani, 1998, Statistik Tahun 1993-1997, Direksi Perum Perhutani, Jakarta.

Santoso, Herry, 2000, Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan Jati Perum Perhutani, Usulan Penelitian Tesis S-2, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Simon, Hasanu dkk. (ed.), Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani, FKKM, Yogyakarta.

Simon, Hasanu, 2000, Hutan Jati dan Kemakmuran; Problematika dan Strategi Pemecahannya, Cetakan II, Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Supriadi, Dodi, 2000, Keterkaitan Rehabilitasi Hutan, Gerakan Penghijauan dan Hutan Rakyat dengan Industri Kehutanan, Makalah dalam Lokakarya Restrukturisasi Industri, Pengaitan Program Reforestasi dengan Kapasitas Industri dan Rekalkulasi Nilai Sumber Daya Hutan. Jakarta.

Artikel:

Harian Bernas,

Harian Bisnis Indonesia,   

Harian Galamedia,

Harian Jawa Pos (Radar Semarang),

Harian Kedaulatan Rakyat,

Harian Kompas,

Harian Media Indonesia,

Harian Pelita,

Harian Pikiran Rakyat

Harian Suara Merdeka,

Harian Suara Pembaruan,

Harian Surya,

Harian Wawasan

Memorandum.

FOOTNOTES

1) Dinyatakan secara lisan dalam pertemuan antara Direksi Perum Perhutani dengan para utusan petani hutan se-Jawa, di kantor Direksi Perum Perhutani, 22 Agustus 2000. Paradigma ini jauh sebelumnya telah tertanam dalam-dalam di setiap benak sebagian besar aparat Perum Perhutani, sebagian kalangan kampus, dan sebagian kalangan birokrat Departemen Kehutanan.

2) Simon, 2000, halaman 26-28

3)Hasil pengolahan data ARuPA berdasarkan data dari Humas Perum Perhutani Unit I, memperlihatkan bahwa selama tahun 1999 saja terdapat 3 kasus konflik berbagai rupa dalam setiap menitnya.

4)Laporan Sementara Pola Pemugaran dan Perluasan Kawasan Hutan di Pulau Jawa, Kerjasama Fakultas Kehutanan UGM-Departemen Kehutanan, 1985, halaman 38.

5)Prosiding Lokakarya PHBM, Lembga ARuPA-Perum Perhutani-FKKM, Februari, 2000. Lihat juga artikel pada Harian Surya, 20 Agustus 2000.

6)Ahmad, Nanang Roffandi, 2000.

7)Sumber: Ahmad (2000), Perum Perhutani (1998), dan Supriadi (2000).

8)ibid

Views: 17

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *