Diskusi Tata Niaga Kayu Dalam Kerangka Fair Trade

Jumat, 5 Februari 2016 lalu, Lembaga Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) bekerja sama dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) lewat pendanaan dari Europian Union (EU) mengadakan pertemuan dalam bentuk diskusi di Pondok Kedapi dengan para pemilik Industri Kecil Menengah,

Diskusi tersebut bertujuan untuk membahas tata niaga kayu dalam kerangka fair trade. Harapannya, lewat adanya diskusi ini, bagaimana skema fair trade ini bisa dilakukan serta siapa saja pelaku yang akan terlibat.

Latar belakang diadakannya diskusi ini, adalah tindak lanjut setelah dua grup IKM dampingan Lembaga ARuPA mengikuti pameran interior Internationale Möbelmesse di Cologne, beberapa saat yang lalu. Hal ini disebabkan, ketika kedua grup tersebut mengikuti pameran bertaraf internasional tersebut, mereka mendapatkan banyak cerita bagaimana pasar Eropa, utamanya Jerman, cukup tertarik produk-produk kayu yang memiliki cerita.

“Bagi mereka, membeli barang dengan nilai historisnya dan dibuat oleh negara berkembang, ini akan menjadi semacam prestige (wibawa). Dengan begitu ini akan meningkatkan kelas mereka,” tutur Rumekso Setyadi, pemilik CV Enclave saat diwawancarai Lembaga ARuPA pada Kamis, 4 Februari 2016.

Dalam diskusi tersebut, banyak dibahas bagaimana dan seperti apa skema fair trade akan dilakukan. Skema fair trade yang akan dilakukan sendiri akan lebih banyak mengacu pada World Fair Trade Organization (WFTO).

Dalam laman website forum fair trade Indonesia, dijelaskan Fair Trade sendiri adalah perdagangan yang mengutamakan dialog, transparansi, dan saling menghormati untuk mencapai kesetaraan dalam perdagangan internasionalBentuk perdagangan tersebut sangat berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dengan menawarkan kondisi perdagangan yang lebih baik, menjamin hak-hak dari produsen dan pekerja yang terpinggirkan, khususnya produsen yang berada di belahan bumi Selatan

Selain itu, masih dalam laman yang sama, skema fair trade memiliki 10 prinsip yang harus digenapi oleh para pelaku. Ke-10 prinsip tersebut adalah menciptakan peluang bagi produsen kecil; bersifat transparan dan bertanggung jawab; mempraktekkan perdagangan yang tidak semata-mata mengejar keuntungan, dan mengutamakan; kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi produsen kecil; adil dalam pembayaran; tidak mengeksploitasi tenaga kerja anak dan buruh; komitmen untuk tidak mendiskriminasi, mengutamakan kesetaraan gender, dan kebebasan untuk
berasosiasi; memastikan kondisi kerja yang layak; menyediakan kesempatan untuk peningkatan kapasitas; aktif mempromosikan fair trade dan terakhir, menghormati lingkungan

Setelah hampir dua jam berdiskusi, akhirnya dua grup dampingan tersebut akhrinya memutuskan untuk mempelajari terlebih dahulu bagaimana prinsip-prinsip yang ada dan berlaku. Hal ini disebabkan mereka ingin melihat terlebih kondisi internal dahulu, apakah dapat menyesuaikan dengna skema tersebut atau tidak.

Views: 15

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *