
Artikel ini diambil dari http://www.tempo.co/read/news/2014/08/04/206596994/Gunungkidul-Farmers-Participate-in-Carbon-Stocks-Measuring pada 4 Agustus 2014.
Suratimin yang merupakan penasehat /pembina dari Serikat Petani Pembaharu (SPP) Desa Semoyo di Gunungkidul telah mendapatkan ketrampilan dalam memperkirakan cadangan karbon di hutan yang dikelola oleh masyarakat. Suratimin dulu adalah ketua dari SPP Semoyo. Beliau beserta anggota yang lain dalam satu tahun belajar memperkirakan cadangan karbon dan dipantau oleh Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam (ARuPA) pada tahun 2010.
“Kami memperkirakan lagi cadangan karbon pada tahun 2012,” kata Suratimin yang memperkirakan cadangan karbon di hutan rakyat Semoyo ini.
Menurut Suratimin, cara sederhana untuk memperkirakan stok karbon dengan menentukan sampel pohon di masing-masing dusun. Untuk menghitung cadangan karbon, Suratimin menggunakan metode persamaan allometrik yang dikembangkan oleh Ris Hadi, dosen di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Metode allometrik ini pertama kali diperkenalkan oleh Kitteredge pada tahun 1944.
Serikat petani yang menanam Jati, Sengon, Mahoni atau pohon lainnya di Desa Terong, Bantul, juga belajar untuk menghitung cadangan karbon mereka.
Sebagai hasilnya, potensi cadangan karbon di hutan rakyat pada tahun 2011 adalah 31,45 ton per hektar dalam pekarangan dan 137,45 ton per hektar di tegalan. Pada 2013 jumlahnya telah berubah menjadi 66,20 per hektar di pekarangan dan 44,76 ton per hektar. Orang bisa menjual cadangan karbon mereka selama 5 sampai 10 dolar per ton.
“Manajemen hutan penting untuk mengatasi dampak perubahan iklim,” kata Dwi Nugroho dari ARuPA.
Dwi juga mengingatkan bahwa menjual cadangan karbon bukanlah tujuan utama kesadaran dalam meningkatkan cadangan karbon pada petani, tetapi untuk mempertahankan pengelolaan hutan lestari.
Views: 18

Leave a Reply