Konflik Kehutanan Sepanjang Masa ?

suasana pelatihan

Dalam film Negosiasi Tanpa Henti yang diproduksi Lembaga ARuPA awal tahun 2000-an, diungkapkan bahwa konflik kehutanan Jawa ada sejak pengelolaan hutan Jawa Modern dilakukan [awal abad 19]. Alasannya sangat sederhana, pengelolaan hutan Jawa modern membatasi akses masyarakat desa hutan terhadap sumberdaya hutan. Sepanjang pembatasan berlangsung, sepanjang itulah konflik antara masyarakat dengan Pengelola Hutan Jawa berlangsung. Apakah konflik ini akan berlangsung sepanjang masa?

Semua pihak pasti tidak menginginkan hal tersebut terjadi. Selain pengelolaan hutan akan terus menerus terganggu, kelestarian ekologi dan ekonomi sumberdaya hutan tidak akan tercapai. Lebih parahnya lagi, kemiskinan penduduk dalam dan sekitar hutan akan ‘lestari’ terus menerus. Pada saat yang sama, pelanggaran ham akan terus dilangsungkan. Tidak ada yang menuai sisi baik dari konflik ini. Oleh karena itu, upaya-upaya dari berbagai pihak atau stakeholder kehutanan perlu terus dilakukan dalam mengelola konflik hingga mentransformasi konflik menjadi sesuatu yang positif bagi kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat desa hutan.Forum Hutan Wonosobo, yang dibentuk pada tanggal 12 Juni 2007 melalui Keputusan Bupati Wonosobo Nomor: 661/538/2007 tentang Pembentukan Forum Hutan Wonosobo (FHW) diharapkan menjadi titik cerah penanganan konflik kehutanan di Wonosobo. Dalam perjalanan FHW, sangat diperlukan peningkatan kapasitas para penggiatnya di dalam upaya-upaya identifikasi, pengelolaan, hingga transformasi konflik kehutanan di Wonosobo. Atas dasar kebutuhan itu, maka pada tanggal 14 – 20 Oktober 2011 Forum Hutan Wonosobo bekerjasama dengan Lembaga ARuPA, di dukung oleh Siemenpuu Foundation menyelenggarakan Pelatihan Manajemen Konflik Kehutanan di Hotel Matahari, Yogyakarta. Pelatihan tersebut di ikuti 24 orang peserta yakni para penggiat FHW yang berasal dari Pemda Wonosobo, Perhutani, LSM, dan Masyarakat. Narasumber yang dihadirkan sejumlah dua orang yaitu Gamal Pasya dari Samdhana Institute dan Agus Mulyana dari CIFOR. Sementara itu, Ronal Ferdaus dari ARuPA sebagai fasilitator proses pelatihan.

simulasi mediasi konflik
peserta pelatihan manajemen konflik

Hari pertama, pelatihan dimulai pada malam hari. Untuk memulai pelatihan dalam empat hari ke depan,  baik peserta, fasilitator, narasumber, maupun panitia semua memperkenalkan diri masing-masing. Para peserta secara partisipatif “menggambarkan” kondisi pengetahuan atas konsep, metode, dan aplikasi dari konflik, lalu menyampaikan harapan setelah selesai pelatihan. Menurut Narasumber Agus Mulyana, pada akhir pelatihan, harapan tersebut secara self-assessment akan digambarkan oleh peserta sendiri, apakah terpenuhi atau tidak. Hari pertama di akhiri dengan kontrak belajar untuk 4 hari ke depan, dengan metode pembelajaran orang dewasa.

pelatihan manajemen konflik

Hari kedua, dimulai pagi hari dengan pembukaan oleh Direktur Eksekutif ARuPA dan Ketua FHW. Sesi pagi hingga siang di isi dengan materi konstruksi sosial pemahaman konflik. Para peserta secara partisipatif diminta menyumbangkan kata-kata yang mengait dengan terminologi konflik. Menurut peserta, terdapat 18 terminologi mulai dari perang, beda kepentingan, bermusuhan, pertentangan, perbedaan pemanfaatan, kisruh, perselisihan, pertarungan, sengketa, salahpamah, ketidaksepahaman, perbedaan pemahaman, bedo karep, pertikaian, buruk, hitam, intimidasi, hingga amuk. Kesepahaman atas sebuah konflik sebagai prasarat dalam usaha penanganan konflik. Pada sesi siang hingga sore, para peserta dibagi menjadi dua kolompok untuk mendiskusikan dua macam kasus sengketa lahan di kabupaten Wonosobo melalui alat bantu pohon masalah.

Hari ketiga, sesi pagi masing-masing kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok kemarin. Peserta mendapatkan pengetahuan dalam membedakan akar konflik, persoalan, akibat, dan korelasi antara upaya dengan akar dan persoalan konflik. Sesi siang Gamal Pasya memberikan materi tentang AGATA atau Analisis Gaya Bersengketa, sembari memberikan buku dengan judul yang sama kepada masing-masing peserta. Para peserta diminta untuk mencoba menerapkan metode ini dalam menganalisis gaya bersengketa dari kedua belah pihak sesuai dengan studi kasus yang telah dipresentasikan kedua kelompok tersebut. pada sesi siang hingga sore, Agus Mulyana menganjak peserta untuk menguji alternatif upaya penyelesaian sengketa dengan berberapa variabel yang menentukan prioritas dan mungkin tidaknya sebuah upaya penyelesaian konflik dapat dilakukan.

Hari keempat, pada sesi pagi, Gamal Pasya memfasilitasi para peserta yang sekaligus sebagai penggiat FHW untuk mensimulasikan design FHW sebagai lembaga ad hoc penanganan konflik kehutanan di Wonosobo. Mekanisme penanganan konflik dari FHW mulai dari pengaduan hingga penanganan di bahas dan coba untuk disimpulkan bagannya. Sedangkan persoalan krusial yang harus didesakkan yaitu adanya kebijakan dari pemerintah kabupaten Wonosobo untuk memperkuat tim ad hoc ini agar dapat menjadi lembaga penyelesai konflik diluar pengadilan.  Acara kemudian ditutup oleh Direktur Eksekutif ARuPA, Edi Suprapto. Dalam penutupannya, Edi menyampaikan bahwa akan ada tindaklanjut dalam mengupayakan FHW menjadi tim adhoc penanganan konflik kehutanan di Wonosobo. Acara selanjutnya yaitu penyerahan sertifikat pelatihan.

Selama ini, upaya-upaya penanganan dan penyelesaian konflik kehutanan ditempuh dengan tindakan pengamanan represif serta jalur-jalur hukum positif. Penanganan dan penyelesaian konflik kehutanan tersebut terbukti tidak efektif menyelesaikan konflik serta justru semakin membuat angka degradasi hutan semakin tinggi, kelestarian hutan tidak tercapai, masyarakat desa hutan tetap miskin, dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana. Oleh karena itu, perlu adanya upaya dari berbagai pihak untuk dapat mengambil upaya-upaya maupun kebijakan strategis penangangan dan penyelesaian konflik yang lebih manusiawi serta mendorong partisipasi para pihak yang berkonflik untuk berproses bersama. Sebuah upaya yang belum ada di Republik ini, adanya tim ad hoc penanganan konflik kehutanan yang memuat semua unsur entitas terkait.  FHW semoga dapat menjadi menjadi referensi bagi penyelesaian konflik kehutanan di kabupaten-kabupaten yang lain di Indonesia.
[GUS]

Views: 15

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *