Pada hari Rabu, 11 Oktober 2011 Clinton Foundation bersama LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia) dan Kanopi berkunjung ke Gunungkidul dengan di dampingi oleh ARuPA . Kedatangan mereka ini untuk menjajaki kemungkinan bermitra dalam skema carbon trade dengan unit Manajemen yang ada di Gunungkidul. Dua unit manajemen yang dikunjungi yaitu sekretariat Serikat Petani Pembaharu (SPP) Desa Semoyo dan Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML). Dua unit manajemen ini mempunyai peran yang amat strategis dalam pengelolaan hutan rakyat diwilayah keanggotaan mereka dan menjadi corong komunikasi yang efektif di desa mereka bahkan ditingkat Kabupaten Gunungkidul.
.

Koperasi Wana Manunggal Lestari dengan predikatnya sebagai unit bisnis yang telah diakui pengelolaan hutan rakyatnya secara lestari dengan Sertifikat PHBmL dan sebetar lagi diakui dalam implementasi SVLK (Standart Verifikasi Legalitas Kayu) – Timber Legality Assurance System . Dan di SPP sendiri, Desa semoyo yang merupakan desa Konservasi, masyarakatnya telah difasilitasi Lembaga ARuPA telah mengetahui potensi karbon di wilayah Desa Semoyo. Dari perhitungan yang dilakukan diketahui jumlah potensi karbon sebesar 32 ton/ha di hutan rakyat Desa Semoyo.
Dalam skema carbon trade, di wilayah-wilayah telah diakui pengelolaan hutannya saja yang (lulus sertifikasi) bisa melakukan negosiasi. Menurut Hayu dari LEI; “luas unit manajemen hutan rakyat yang telah lulus sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari di Jawa sekitar 19 ribu hektar. Unit manajemen ini tersebar dari DIY, Jateng dan Jatim. Sementara ada lebih dari 5 ribu hektar UM HRL yang lain dalam persiapan menuju sertifikasi PHBML. Dan ada beberapa unit manajeman yang telah siap secara kelembagaan untuk didorong dalam skema carbon trade”.

Dalam kesempatan yang sama, ungkap Stepi Hakim yang juga merupakan Koordinator Nasional Clinton Foundation,“ data dari BPKH wilayah Jawa dan Madura, ada lebih dari 2,7 juta hektar hutan rakyat di Jawa; Hutan rakyat seluas ini tentu bisa menyerap karbon dan menyimpannya sehingga menarik untuk di dorong pada inisiatif REDD ++. Meskipun tidak mudah untuk sampai tahap karbon bisa atau laku di jual. Proses menuju perdagangan karbon yang harus dilalui UM HRL ,antaralain :
- Kajian atau studi kelayakan karbon di UMHR;
- Pengembangan metode pengukuran karbon yang disepakati pasar;
- Pengemasan dalam dokumen yang bisa di baca pasar;
- Mekanisme internal UM HRL dalam skema karbon; dan terakhir
- Negoisasi harga,
Dan Kenyataannya pada saat ini harga karbon masih sangat fluktuatif dan angka terendah sekitar 2 $ per ton, sehingga jangan sampai masyarakat hanya mengandalkan penjualan karbon saja, tetapi justru proses –proses menuju penghitungan karbon bisa digunakan untuk memperbaiki kinerja UM dalam pengelolaan hutan rakyat.

Pertanyaan Poyo dari Desa Dengok ,” Apakah benar karbon nanti bisa dijual dan petani-petani kecil seperti kami ini bisa ikut merasakan ?” suatu pertanyaan besar, bukan hanya dari seorang poyo saja tetapi mungkin dari berpuluh bahkan beratus ribu petani pemilik hutan rakyat. Akankah mereka akan ikut mengecap manisnya carbon trade?
Perdagangan karbon menjadi suatu hal yang menarik, karena melibatkan negara-negara emiter untuk turut ikut bertanggungjawab “menjaga” suhu bumi dengan mengurangi penggunaan sumber-sumber energi yang membuat pemanasan global dan memberi kompensasi kepada negara-negara yang mampu mengelola hutan karena telah menyerap emisi. Terlepas dari kesepakatan antara pemerintah RI dengan Negara Norwegia, ternyata masyarakat sendiri telah mampu melakukan inisiasi-inisiasi voluntary, sekarang bagaimana peran pemerintah ??? Akankah hal-hal ini akan didorong atau malah akan biarkan….
Views: 24

Leave a Reply