Terasering dan Konservasi Lahan

Di Zona pegunungan seribu ini, pesona batuan karst terbentang. Kesejukan udara wilayah pegunungan saat pagi hari dan jauh dari kebisingan kota merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa Girisekar. Istilah batu bertanah seakan menjadi nyata ketika kita melewati atau mengunjungi beberapa dusun. Di sini solum tanah sangat tipis dan didominasi batuan karst yang berbentuk perbukitan sehingga istilah istilah batu bertanah sangat pas kiranya. Keadaan tanah yang kering saat musim kemarau panjang adalah hal yang biasa di Girisekar atau Gunungkidul pada umumnya. Desa Girisekar termasuk daerah yang kekurangan air karena sebagian besar sumber air (sungai) terletak dibawah tanah (underground river).

kondisi lahan

Sebagian besar sumber mata pencaharian penduduk Girisekar mengandalkan hasil pertanian dan kehutanan. Kondisi lahan yang digunakan untuk bercocok tanam berbeda dengan daerah diluar kabupaten Gunungkidul. Di Girisekar lahannya berupa lahan tadah hujan. Sehingga hasil panen padi hanya sekali dalam setahun. Cara penanaman tanaman pertanian oleh masyarakat menggunakan perhiutngan “pranoto mongso” dan menggunakan ilmu “titen”. Artinya walaupaun curah hujan tinggi dan belum saatnya musim hujan maka masyarakat melihat perkembangan serangga di lahan. Jika serangga misalnya laron sudah keluar dari tanah berarti lahan sudah siap ditanami, tetapi kalau laron belum keluar dari tanah maka masyarakat menganggap belum saatnya untuk menanan tanaman pertanian.
Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang berspekulasi terhadap kondisi yang seperti itu. Dari dulu sampai beberapa tahun terakhir, perhitungan menrurut peredaran matahari dan angin untuk menandai kapan saatnya untuk bercocok tanam tidak pernah meleset. Kekeliruan dalam “niteni mongso” dan dilanjutkan dengan pengolahan di lahan dapat berakibat gagalnya panen yang akan berimbas pada permasalahan konsumsi keluarga. Pada musim penghujan masyarakat melakukan penanaman dan pada musim kemarau lahan-lahan ditinggalkan “mbero” karena kondisi lahan yang kering. Pada musim kemarau sebagian masyarakat (laki-laki) melakukan “mboro” untuk mencari penghasilan di kota-kota sekitar sebagai tukang batu dsb. Kebiasaan mboro ini dilakukan hanya sementara, ketika lahan sudah siap untuk diolah mereka pulang ke daerahnya. Sementara itu kaum perempuan, orang-orang jompo dan anak-anak tinggal di rumah.

Tata guna lahan di Desa Girisekar sebagai berikut :

No Peruntukan Luas (Ha)
 1 Hutan (Negara) 433,41
 2 Tanah Sawah –
 3 Bangunan 120,49
 4 Tegal (Tanah kering) 1446,62
 5 Lain-lain 114,48
 Total 2115,00

Pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat adalah bila tanah yang dimiliki mempunyai ketebalan tanah yang mencukupi untuk pertanian palawija. Sedangkan lahan yang berupa perbukitan berbatu ditanami dengan tumbuhan keras seperti jati, mahoni, akasia dsb. Walaupun penanaman tanaman keras ini rata-rata di lahan yang miring dan berbatu, masyarakat juga menanam tanaman keras ini di pekarangan mereka sebagai tanda batas kepemilikan tanah. Pola agroforestry dilakukan untuk menambah pendapatan masyarakat selain dari sektor pertanian.

Dengan kondisi lahan/topografi yang miring dan berbukit-bukit, memungkinkan terjadinya erosi/penghanyutan tanah yang berada di atas ke lahan-lahan berada di bawahnya saat musim penghujan tiba. Hal ini telah disadari oleh masyarakat, mereka membuat teras-teras dilahan untuk mencegah hanyutnya tanah oleh air. Pembuatan terasering/talud ini dilakukan secara individu maupun gotong royong. Di empat dusun mitra ARuPA di Desa Girisekar, kesadaran untuk menjaga tanah dari erosi dengan membuat/memperbaiki terasering juga dilakukan oleh masyarakat. Pengerjaan pembuatan/perbaikan terasering ini diawali dengan pertemuan-pertemuan kelompok terlebih dahulu untuk membahas rencana perbaikan/pembuatan teras dan prioritas lahan yang harus sesegera mungkin untuk dilakukan perbaikan/pembuatan. Setelah disepakati bersama, mereka menentukan jadwal/waktu untuk mengerjakan perbaikan/pembuatan talud. Setelah perbaikan/pembuatan talud selesai dilakukan masyarakat menanami sekitar talud/terasering tersebut dengan tanaman-tanaman yang bisa menghambat aliran tanah akibat erosi.

reboisasi  reboisasi   perbaikan terasering
Contoh tanaman yang ditanam oleh masyarakat disekitar talud adalah rumput gajah/rumput kolonjono selain tanaman keras lain hal ini dilakukan oleh anggota Kelompok Tani Hutan Rakyat (KTHR) Subur Dusun Jeruken dan anggota KTHR Arum Jati Dusun Waru. Penghijauan/reboisasi juga dilaksanakan sebagai upaya untuk merehabilitasi lahan kritis yang berada di wilayah dusun mereka. Hal ini dilakukan oleh Kelompok Tani Sido Ijo yang merupakan rumpun konservasi dari KTHR Sekar Eko Jati Dusun Blimbing, jenis tanaman penghijauan yang ditanam antara lain bibit jati, mahoni, akasia. KTHR Trubus dusun Pijenan melakukan penanaman bibit Sukun dan bibit pisang dengan tujuan jangka panjang. Selain dari keuntungan konservasi yang dilakukan yaitu menahan erosi tanah, masyarakat juga mendapatkan keuntungan dengan penanaman palawija maupun rumput-rumput gajah yang ditanam di bawah tegakan yang nantinya bisa dipanen dan dinikmati oleh anggota KTHR maupun untuk KTHR sendiri.

terasering
terasering dsn. waru

Dengan demikian, sekali lagi masyarakat desa hutan membuktikan bahwa mereka cukup berpengalaman dalam mengatasi erosi mampu melakukan konservasi lahan dengan menggunakan sumberdaya alam maupun sumber daya manusia serta kearifan lokal yang ada. Masyarakat melakukan penghijauan dan penghutanan dengan kesadaran dan pertimbangan jangka panjang untuk menanggulangi atau lebih tepatnya mengendalikan tebang butuh sehingga kesejahteraan masyarakat bisa tercapai dan hutan rakyat mereka tetap terjaga kelestariannya dan dengan kebersamaan membangun dan memelihara hutan. “Saiyeg saeko proyo hambangun wono” (bersatu padu/bersama-sama membangun hutan) dan “hamemayu hayuning wono” (berusaha membangun/menjaga kelestarian hutan).

Views: 19

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *