Girisekar

Agus Budi Purwanto
Sugeng Triyanto
Dwi Nugroho


Kunjungan singkat tanggal 28 juli 2010 ini menemui Pak Wardi (Kepala Dusun Waru) dan Pak Sular (Ketua KTH Trubus Pijenan). Tujuan dari kunjungan kami untuk mendapatkan informasi awal guna pelaksanaan program lacak balak yang sedianya akan dilaksanakan Agustus 2010. Selain itu, kunjungan ini sebagai bagian dari pra-assessment kelompok simpan pinjam (LKM) di dua dusun tersebut. Adapun personil yang terlibat yaitu Sugeng Triyanto, Dwi Nugroho, dan Agus Budi Purwanto.

Deskripsi

Akhir tahun 2003, Agus masih mengingat betul tempat dan jalan ini. Melewati kota kecamatan Panggang, lalu menuju sebuah desa bernama Girisekar. Desa ini terbagi menjadi 9 dusun. Kami menyambangi 9 dusun tersebut, membuat FGD baik siang maupun malam. Melakukan penelitian tentang hutan rakyat di desa ini. Melalui FGD kami mendapatkan data-data yang kami inginkan. Akhir bulan July 2010, Agus dan dua orang teman mengunjungi desa ini kembali. Satu diantara kami telah 4 tahun (Sugeng Triyanto) mendampingi desa ini dalam hal manajemen hutan rakyat. Sementara itu, Dwi Nugroho bekerja untuk Desa Semoyo, Pathuk, Gunungkidul. Dari jalan utama Panggang – Wonosari, kami berbelok ke kiri menuju sebuah dusun bernama Waru, menemui kepala dusun atau sebutan lokalnya “Pak Dukuh”. Beberapa saat kami menunggu di rumahnya, akhirnya kami ditemui. Beliau tadi masih berada di kantor desa. Penurutan beliau, di kantor desa ada pendataan ulang penduduk yang mendapatkan JPS (Jaring Pengaman Sosial) kesehatan. Ini program pemerintah sejak tahun 2001 sebagai bagian dari subsidi bidang kesehatan pasca krisis ekonomi Asia tahun 1997-8.

Saya berujar, bahwa saya sepertinya mengenali rumah ini, terutama dari kenampakan depan. Pak Dukuh pun merespon, bahwa dia juga merasa pernah bertemu dengan saya. Namun, dia memberikan penjelasan bahwa rumahnya telah direnofasi di bagian atas dan ditambah ruang di bagian kanan rumah. Reng dan usuk dia ganti dengan kayu akasia yang dibelinya dari luar desa. Agak aneh, padahal dia punya kayu jati yang tertanam di ladang pribadinya. Mengapa tidak menggunakan kayu jati? Jika menggunakan kayu jati yang masih muda, mending pakai kayu akasia yang sudah tua. Harganya sama, tutur dia.

Saya mulai bertanya dengan pertanyaan sederhana; “Adakah warga bapak yang melaporkan jika melakukan penebangan kayu?” Ia menjawab: “Hampir tidak ada. Kalau warga saya 10 orang, maka yang lapor paling hanya 1 orang. Itupun pembeli kayu yang melaporkan ke saya”. Menurut dia, laporan penebangan ke dukuh sebagai syarat untuk mendapatkan surat keterangan dari pemerintah desa. Surat ini penting dan diperlukan untuk perjalanan kayu ke luar daerah. Di Waru, kayu ditebang untuk dua hal: dijual ke pembeli dan digunakan sendiri untuk perbaikan atau pembuatan rumah. Jika untuk yang kedua, biasanya tidak ada laporan penebangan ke Dukuh. “Warga susah menaati peraturan” ungkap dia menyimpulkan kondisi.

Tiba-tiba dia membicarakan soal pencurian kayu di hutan negara. Itu terjadi di sekitar tahun-tahun reformasi. Yang namanya pencuri, hingga kinipun masih terjadi pencurian kayu di hutan negara yang dikelola Dinas Kehutanan. Tetapi itu tidak terjadi di hutan di lahan masyarakat. “Sepanjang sejarah saya tidak pernah mendengar ada warga melaporkan bahwa kayunya hilang” ujar dia. Mengapa demikian? Padahal hutan negara dan hutan rakyat berbatasan secara langsung? Terdapat dua fakta yang diungkapkan oleh Pak Dukuh: (1) penduduk tidak mau taat pada aturan untuk melaporkan penebangan di lahan mereka.; (2) tidak ada pencurian kayu di lahan milik masyarakat (hutan rakyat). Pertanyaan, mengapa penduduk tidak mau melaporkan tebangan kayu di lahan mereka. Mengapa tidak ada pencurian kayu dilahan milik, sementara pada saat yang sama pencurian terjadi di hutan negara?

Kurang lebih 3 jam kami berbincang, teman saya menutup pembicaraan dengan konfirmasi jadwal pertemuan kelompok simpan pinjam di dusun ini. Dan pak Dukuh menyanggupi pertemuan dilaksanakan hari sabtu malam 31 Juli 2010 jam 19.00 WIB (hari ini (29/7) saya dapat kabar bahwa pertemuan itu diundur karena ada acara ruwahan atau menyambut bulan ramadhan). Kami pamitan sambil diberi oleh-oleh satu buah jeruk diameter 15 cm. Perjalanan dilanjutkan menuju Dusun Pijenan, menuju mas Sular ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Trubus. Teman saya telah membawa print-print-an kertas. Saya lirik ternyata blangko pengisian simpanan wajib bagi anggota koperasi petani hutan rakyat level kabupaten.

Mas Sular sangat berminat dan segera memulai dengan obrolan soal budidaya jamur. Budidaya jamur sedang marak diperbincangkan di dusun ini. Bahkan, salah seorang warga Dusun Pijenan yang juga merupakan wakil KTH (Bpk. Adi Susanto) berencana mengganti budidaya telur puyung yang sudah dilakoni dengan budidaya jamur. Teman saya (sebagai pendamping dusun ini) juga konsen dengan pengembangan budidaya jamur ini. Menurut dia, budidaya jamur sangat menjanjikan. Pasar sekarang sedang butuh jamur. Sehingga, pendapat keluarga akan bertambah dengan budidaya jamur ini. Selama ini, dibawah-bawah pohon jati milik masyarakat Girisekar banyak sekali tumbuh jamur secara alami. Jika ingin memperbanyak, maka perlu dipersiapkan media berupa kayu lapuk atau limbah gergajian kayu, atau limbah penggilingan padi (kulit biji padi). Lalu di dukung dengan sejenis obat pemicu pertumbuhan jamur. Singkatnya, dari jamur alami menuju jamur budidaya. Apakah ini rencana program kelompok (KTH Trubus). Sejauh ini masih rencana pribadi masing-masing anggota, tetapi Sular berfikir bahwa ini dapat menjadi program bagi KTH Trubus.

Lalu tiba-tiba Sular berbicara soal lacak balak ! “permasalahan di KTH sini soal lacak balak yang belum bisa jalan!” Waw, di luar dugaan. Ternyata keluhan itu persis dengan apa yang akan saya pertanyakan. Karena dia sudah memulai, maka pembicaraan soal lacak balak segera di mulai. Secara sederhana, lacak balak adalah cara agar kayu baik masih berupa gelondong hingga yang sudah berwujud mebel, handycraf, dll, dapat dilacak asal usulnya, dari desa mana, blok mana, lahan milik siapa, hingga nomor pohonnya berapa. Sular bercerita bahwa tahun-tahun lalu, lacak balak sudah dijalankan di kelompok ini. Bahkan ada mandor blok segala. Ketua KTH Trubus membawahi mandor-mandor blok. Masing-masing blok beranggotakan petani yang berbasis pada lahan hutan rakyatnya. Jumlah anggota KTH Trubus sebanyak 120 KK yang tersebar di masing-masing blok. Artinya, setiap ada penebangan, petani melapor ke mandor blok, lalu mandor blok melanjutkan laporan ke ketua KTH Trubus. Tabulasi data ada pada KTH. Data tebangan hanya sekedar jumlah pohon yang ditebang. Menurut Sular, selama ini susah untuk mendetailkan data hingga tinggi, diameter, dan keliling pohon yang ditebang. Karena anggota KTH ada yang tidak bisa baca tulis dan menghitung detail-detail tersebut. Skema lacak balak tersebut pernah terjadi, namun sekarang tidak ada lagi.

Kemudian soal kelompok simpan pinjam (KSP). Di Dusun Pijenan, terdapat masing-masing KSP di enam RT. Kelompok berbasis RT. Khusus untuk RT 02 di mana Sular menjadi anggota, KSP saat ini mempunyai modal Rp. 7 juta yang dipilah menjadi dua peruntukan, Rp. 5 juta untuk simpan pinjam pupuk dan Rp. 2 juta untuk simpan pinjam berwujud uang. Mengenai sumber modal yang sebanyak Rp. 7 juta tersebut berasal dari uang hasil kerja proyek padat karya. Menurut Sular, saat itu, upah per hari masing-masing pekerja masih Rp. 3.500. uang sejumlah tertentu dikumpulkan dan akhirnya hingga sekarang menjadi Rp. 7 juta.

Mengenai cara kerja dari KSP ini, mari kita bicarakan. KSP pupuk, dipinjamkan ke petani dengan contoh perhitungan. Jika harga pupuk Rp. 60 ribu maka petani mendapatkan pinjaman pupuk dari KTH dengan harga Rp. 75 ribu. Meminjam saat tanam, lalu peraturannya membayar setelah panen (jangka waktu 3-4 bulan). Tetapi lazimnya, mereka membayar setelah 6-7 bulan atau 2 kali masa panen. Artinya, jika jumlah anggota 120 KK dengan modal Rp. 5 juta dengan harga pupuk Rp. 60 ribu, maka hanya 60% dari jumlah anggota atau 77 KK saja yang mendapat pinjaman pupuk. Dengan bunga Rp. 15 ribu atau 25% untuk waktu 4 dengan toleransi 6-7 bulan. Sehingga, setidaknya enam bulan lagi modal akan menjadi Rp. 6.155.000 dengan penambahan dari bunga pinjaman 25% tadi. Dua tahun lagi, modal pupuk yang awalnya Rp. 5 juta akan berlipat sekali (atau mendekati Rp. 10 juta). Simpan pinjam pupuk bagi Sular sangat membantu kesulitan keuangan saat musim tanam. KSP uang tunai, dengan modal Rp. 2 juta, uang tersebut dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan pinjaman.

Sular tidak menyajikan data-data pinjaman karena dia bukan pengurus melainkan hanya sebagai anggota KSP. Dia mengilustrasikan soal tata cara pinjaman termasuk bunganya. Jika ada yang pinjam Rp. 100 ribu, maka peminjam harus mengangsur 10x (atau 10 bulan). Menggunakan bunga tetap yaitu 1 % perbulan. Jadi setiap bulan, peminjam harus menyerahkan uang Rp. 10.000 sebagai angsuran pinjaman dan Rp. 1.000 sebagai bunga. Total Rp. 11.000. Jika pada bulan ke dua, peminjam hendak melunasi, maka peminjam harus membayar Rp. 99.000. Menurut Sular, meskipun punya uang untuk melunasi, penduduk lebih memilih untuk mengangsur perbulan, karena toh bunganya juga tetap. Lalu sering juga ada kasus unik. Misalnya ada yang pinjam Rp. 100 ribu, peminjam telah mengangsur rutin setiap bulan, lalu pada bulan kelima peminjam ingin memperbaharui pinjaman dengan memimjam lagi Rp. 50 ribu. Maka bulan ke lima, peminjam harus membayar/mengangsur sebesar Rp. 16.500 yakni angsuran & bunga pinjam pertama ditambah yang kedua.

Keluhan dari Sular adalah banyak anggota yang sudah antri meminjam namun tak kunjung mendapatkan pinjaman. Kami sepakat, solusinya cuma satu yaitu menambah modal. Saya mengusulkan untuk membuat bunga menjadi tidak tetap, sehingga jika ada peminjam yang akan melunasi belum pada waktunya, maka mereka tidak akan ragu-ragu lagi untuk melunasi karena bunganya turun. Nalarnya, jika semakin banyak orang yang melunasi belum pada waktunya maka uang tunai yang tersedia setiap bulannya akan lebih besar. Alternatif kedua yakni membuat aturan baru yaitu simpanan wajib setiap bulan. Pengalaman di Jeruken, teman saya menawarkan model simpanan wajib tersebut, petani merasa keberatan karena banyak beban simpanan/sumbangan setiap bulan misalnya simpanan wajib di koperasi tingkat kabupaten, arisan RT, sumbangan masjid, dan iuran yang lain. Di Pijenan juga dirasa tidak mungkin dilakukan, demikian setidaknya menurut Sular. Solusi yang ketiga yaitu penambahan modal dari pihak ketiga baik berupa pinjaman maupun hibah. Solusi ketiga ini tidak kami bicarakan karena itu pembicaraan yang terlalu mudah.

Di akhir pembicaraan, Sular dan kami merencanakan untuk membicarakan tentang kelompok simpan pinjam di pertemuan yang akan dilaksanakan sabtu siang, 31 Juli 2010. Pertemuan ini rencananya akan mengundang 6 perwakilan kelompok simpan pinjam di dusun Pijenan. Jika kelompok simpan pinjam di RT 02 ini (milik Sular) setipe atau mirip-mirip dengan 5 kelompok lain, maka pertemuan sabtu depan dapat diprediksi hasilnya.

Epilog

Dari sini, kita dapat meringkas persoalan menjadi dua: (1) Kelompok Simpan Pinjam atau bahasa kotanya “LKM” atau lembaga keuangan mikro; dan (2) Lacak balak. Persoalan klasik dari kelompok simpan pinjam di desa adalah tidak ada simpan-nya. Atau simpan sekali setelah itu, pinjam seterusnya. Cita-cita bahwa kelompok simpan pinjam mensejahterakan anggotanya tak kunjung tiba, justru yang kaya adalah kelompoknya, memperbesar modal melalui memperberat sang peminjam dengan modal tetap. Jika ingin merubah, maka buat kelompok menjadi solusi meringankan seseorang yang membutuhkan.

Menyejahterakan anggota, dan meningkatkan modal. Dilakukan bersama-sama, kedua-duanya. Lacak balak diusahakan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan perdagangan kayu di satu sisi dan well forest management di sisi lain. Tantangannya bukan pada ada atau tidak adanya lacak balak di hutan masyarakat, jalan atau tidaknya sistem lacak balak di hutan rakyat. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana menjelaskan kepentingan masyarakat yang mengelola hutan pada berlakunya sistem lacak balak ini. Dengan masyarakat paham, maka kepentingan mereka akan dimengerti atas apa yang mereka akan lakukan (inventarisasi pohon, dst). Akhirnya, catatan perjalanan ini dibuat untuk bahan pertimbangan-pertimbangan bagi pendampingan masyarakat pengelola hutan menuju masyarakat sejahtera, hutan lestari.

Views: 18

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *