Kaya Inisiasi Miskin Apresiasi
Peraturan Daerah—selayaknya sebuah produk kebijakan–sudah sepatutnya mencerminkan aspirasi masyarakat sebagai pengguna aturan tersebut, dan tidak mendudukkan masyarakat sebagai obyek semata-mata. Akan mengerikan jika produk kebijakan hanya mewakili dan berorientasi pada segelintir kepentingan elit politik serta birokrasi penguasa. Jika proses pembuatan kebijakan dipahami sebagai sebuah kebutuhan guna mengatur (regulasi) maka, pada hakikatnya, kebijakan itu harus mengandung substansi perlindungan terhadap hak dan kewajiban obyek serta subyek di dalam peraturan yang bersangkutan.
Peraturan daerah, bukan saja karena hakikatnya sebagai sebuah peraturan tetapi juga karena institusi pemerintahan daerah sebagai cerminan masyarakat terdekatnya, tidak bisa begitu saja menafikan kehendak bersama masyarakatnya. Kontrol publik adalah hal yang terlalu berharga untuk dipandang sebelah mata oleh insititusi manapun.
Di tengah maraknya hiruk-pikuk euforia berlakunya desentralisasi dan otonomi daerah, mustinya daerah tertantang mendegar suara minor yang memberikan label bahwa daerah sekadar berorientasi kepada pendapatan (finansial) sebesar-besarnya. Dengan kewenangan yang besar dan telah dijaminkan oleh undang-undang sebagai wujud konsensus nasional maka pemerintah daerah (dan juga pusat) seharusnya semakin menyadari untuk menempatkan diri lebih pada proporsi sebagai fasilitator daripada mengedepankan fungsi komando dan pengendali (comand and control).
Meskipun demikian, harus disadari bahwa memang terdapat penyikapan daerah yang berlaku seakan-akan otonomi adalah momentum guna melakukan “pembalasan” atas perilaku pusat selama ini. Hal ini adalah proses panjang yang tidak bisa begitu saja disimpulkan secara simplistis sebagai: otonomi daerah telah gagal. Tidak adil ketika wacana minor di beberapa daerah tersebut dijadikan gambaran umum kondisi semua daerah di Indonesia, sehingga kita digiring untuk berkesimpulan bahwa daerah memang tidak mampu dan belum siap menjalankan desentralisasi dan otonomi daerah. Apalagi jika hal ini dilakukan tanpa ada upaya untuk memotret segelinitr daerah yang memang sedang berusaha bangkit mengupayakan pemberdayaan masyarakatnya.
Aras desentralisasi yang bertumpu pada pilar distribusi kekuasan, distribusi pendapatan dan pemberdayaan masyarakat harus dijadikan ruh, baik oleh pusat maupun daerah, dalam pelaksanaan otonomi daerah. Boleh jadi justru pemerintah pusatlah yang tidak siap dengan konsesus desentralisasi dan otonomi daerah itu. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 sendiri sebenarnya masih menyiratkan ke-setengah hati-an pusat untuk mendistribusikan kewenangannya kepada daerah. Mustinya justru daerahlah yang berkeberatan ketika kompromi nasional hanya menghasilkan konsep desentralisasi dan otonomi daerah dalam undang-undang tersebut. Betapa tidak, dengan kewenangan daerah (baca: kabupaten) yang begitu terbatas—terlebih ketika muncul PP No. 25 Tahun 2000—daerah masih harus menanggung beban tanggung jawab yang sangat besar guna menjamin keberlanjutan kehidupannya sendiri. Ketika indikasi kegagalan muncul dalam suatu bidang pembangunan, yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab sehubungan dengan berlakunya otonomi daerah.
Ketika Orang Mempersoalkan Kemasan
Perda 22 adalah salah satu wujud sikap daerah dalam menyambut desentralisasi yang didasari pada kesadaran daerah untuk memberdayakan Wonosobo, baik sumber daya hutan maupun masyarakatnya. Setelah sekian lama sumber daya hutan Wonosobo berada di bawah hegemoni Perhutani, seiring dengan semakin meningkatnya kasadaran masyarakat setempat akan haknya, mereka mencoba mepertanyakan eksistensi Perhutani sebagai penguasa tunggal sumber daya hutan di wilayah hutan negara di Kabupaten Wonosobo. Dengan memposisikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya hutan, Perda 22 setidaknya telah berusaha konsisiten dengan makna desentralisasi dan otonomi daerah. Secara substansial Perda 22 mengemban misi penyelamatan sumber daya hutan yang tersisa di dengan mengindahkan semangat dan ide desentralisasi yang memberikan kepercyaan pada kemampuan masyarakat setempat. Selain mengatur perihal kewenangan, Perda tersebut juga merupakan kebijakan sistem pengelolaan sumber daya hutan yang berbasis pada masyarakat.
Secara teoritis, sebuah produk kebijakan (terlebih Perda) idealnya harus memenuhi tiga unsur legitimasi untuk dikatakan cukup memadai sehingga mempunyai kekuatan berlaku. Pertama, secara filosofis Perda 22 mempunyai cita-cita hukum (recht idea) yang merupakan latar belakang perlunya dibuat peraturan daerah tersebut. Hal ini tercermin di dalam konsideran Perda 22. Perda 22 lahir lebih berdasarkan kepada keprihatinan atas kondisi sumber daya alam hutan di Kabupaten Wonosobo. Tidak saja karena kerusakan yang diakibatkan oleh “penjarahan” oleh masyarakat setempat sekitar hutan, tetapi lebih kepada akar pokok persoalan mengenai salah urus sumber daya hutan di Kabupaten Wonosobo selama ini.
Kedua, secara sosiologis peraturan daerah tersebut harus merupakan cerminan dari kehendak publik masyarakat setempat sebagai suatu kebutuhan bersama. Oleh karena itu disamping perlunya sebuah kebijakan yang mengatur juga penting untuk adanya batasan yang harus ditaati sebagai kesepakatan bersama masyarakat. Proses penyusunan Perda 22 bukan sekadar penuangan konsep pengelolaan sumber daya dari belakang meja dalam waktu semalam, tetapi malalui proses konsultasi publik (November 1999-20 Oktober 2001) yang cukup panjang serta melibatkan berbagai penopang (stakeholder) yang representatif.
Legitimasi Ketiga, secara yuridis peraturan yang bersangkutan mendasarkan pada peraturan yang lebih tinggi dan berada diatasnya. Perda 22/2001 mendasarkan ketentuannya pada semangat desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana dijamin oleh UU No. 22 tahun 1999 khususnya dalam bidang sumber daya hutan. Kontroversi muncul ketika, secara hirarkis, kaidah hukum Perda 22 dipertentangkan dengan peraturan yang lebih tinggi (misal PP dan UU). Tetapi setelah dicermati, lagi-lagi pokok pertentangan tersebut kembali kepada persoalan kewenangan dan bukan pada substansi serta arti penting keberadaan Perda yang bersangkutan. Tanpa harus memperdebatkan kaidah-kaidah hukum yang bersifat universal misalnya kaidah lex superiori deroget legi inferiori , tampak bahwa polemik seputar Perda 22/2001 sekadar berputar-putar pada argumentasi-argumentasi yuridis yang legal-formalistik dan melupakan fakta bahwa secara substansial perda tersebut adalah kehendak aspirasi lokal spesifik masyarakat Wonosobo sebagai calon pengguna dan penanggung akibatnya secara sadar. Maka pada hakikatnya polemik itu tidak saja tak produktif tetapi juga tidak bijaksana.
Pada saat ketiga unsur legitimasi tersebut sudah dipenuhi, dan unsur yang terus dipertanyakan oleh kekuasaan yang lebih tinggi hanyalah masalah kewenangan, alangkah bijaksana jika kita mengkaji tiga unsur penegakan hukum yang harus dipenuhi. Ketiga hal dalam penegakan hukum tersebut adalah pertama keadilan, kedua kemanfaatan, dan ketiga adalah kepastian. Jika pada saat yang bersamaan ketiga hal tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya, maka yang harus diperhatikan dan dikedepankan adalah keadilan.
Dalam hal keadilan sosial inilah Perda 22/2001 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat menemukan kekuatannya. Perda ini memberikan tempat istimewa bagi masyarakat setempat untuk menjadi pelaku utama pengelolaan hutan di sekitarnya. Perda ini bukan saja memenuhi persyaratan keadilan, tetapi juga lebih jauh memberikan kemanfaatan yang lebih besar bagi masyarakat dalam mengelola dan menikmati hasil hutannya secara lestari. Terakhir, perda ini adalah suatu kepastian bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam pengelolaan hutan negara yang selama ini sangat membatasi akses masyarakat terhadap hutan. Dengan demikian masyarakatlah yang akan bertanggung jawab atas keselamatan hutannya dan, tentunya, keselamatan mereka sendiri sebagai suatu kesatuan kolektif. [End]
Views: 46

Leave a Reply