Belajar dari Rakyat:

Membangun Sistem Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan

(Sebuah Catatan dalam Inisiatif PSDHBM Wonosobo) 1

Abstrak

Pengelolaan hutan negara di Jawa yang sentralistik dan beroritentasi state based selama ratusantahun telah menyisakan berbagai persoalan; kemiskinan, konflik dan degradasi sumberdaya hutan yang luar biasa. Akar dari dari permasalahan ini adalah gagalnya sistem tata kuasa dan tata kelola hutan yang dibangun oleh negara. Perhutani sebagai BUMN yang mendapat amanah mengelola hutan di Jawa dianggap telah gagal dalam menjalankan tugasnya. Pemisahan masyarakat atas sumberdaya hutan sekitarnya menjadi akar konflik yang berkembang dan menyebabkan sumberdaya hutan mengalami degradasi luar biasa. Di Kabupaten Wonosobo permasalahan-permasalan ini dicoba untuk dicari jawabannya melalui inisiatif Pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM). Perda PSDHBM mencoba untuk membongkar hegemoni pemerintah pusat atas sumberdaya hutan dengan melakukan inisiatif tenure reform . Masyarakat sekitar hutan dengan kearifan lokalnya yang telah terbukti berhasil mengelola hutan rakyat dijadikan aktor utama pengelolaan hutan negara.

BAGIAN I

Sekilas Wonosobo

Wonosobo adalah satu dari 35 daerah tingkat II di Propinsi Jawa Tengah. Secara geogarfis Wonosobo terletak antara 7 o 11′ 13” sampai 7 o 04 11′ Lintang Selatan dan 109 o 43′ 10” hingga 110 o 04; 40” Bujur Timur. Wonosobo terletak hampir tepat di tengah Pulau Jawa di kaki Gunung Sindoro dan Sumbing dan termasuk dalam Kawasan Dataran Tinggi Dieng (2.088 m dpal). Kabupaten Wonosobo terletak pada ketinggian 270-2.250 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan yang tinggi (2270 – 4835 mm/th). Kabupaten ini memiliki peranan strategis dalam keseimbangan ekosistem beberapa daerah bawahnya seperti Kabupaten Purworejo, Kebumen, Banjarnegara hingga Kabupaten Cilacap. Hal ini berkaitan dengan posisi Wonosobo yang merupakan hulu dari beberapa sungai besar yaitu: Serayu, Opak-Oyo, Luk Ulo dan Bogowonto . Di Wonosobo juga terdapat Waduk Wadaslintang yang memiliki luas muka air sebesar 1.320 hektare dengan volume air sebesar 443 juta m 3 . Waduk ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan air bagi ribuan lahan pertanian di daerah bawahnya.

Topografi umum Wonosobo berbukit dan bergunung. Lebih dari 27% lahan di Wonosobo memiliki kemiringan diatas 40% dan lebih dari 50% lahan memiliki
————————————
1Makalah disampaikan dalam konferensi internasional. Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: Memperrtanyakan Kembali Berbagai Jawaban. ICRAF-SEA & ARuPA. Hotel Santika Jakarta , 11-13 Oktober 2004
———————————–

kemiringan 15-40%. Faktor topografi sedemikian didukung curah hujan yang tingi menyebabkan wilayah ini sangat rentan lonsor dan erosi. Dilihat dari penggunaan lahannya, hampir 50% lahan di Wonosobo merupakan lahan tegalan/kebun yang oleh penduduknya dimanfaatkan untuk budidaya pertanian lahan kering, yang dikenal dengan Hutan Rakyat. Jenis penggunaan lahan terbesar kedua adalah Hutan Negara, yang pengelolaanya dikuasakan kepada Perum Perhutani. Penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo Tahun 2002 ditunjukkan dalam tabel. 1.1.

Tabel. 1.1. Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo

Jenis Penggunaan LahanLuas (hektare)%
1.Tegalan/kebun46,19147.2
2.Hutan negara18,89619.2
3.Sawah pengairan sederhana10,83911.2
4.Sawah tadah hujan4,5904.6
5.Sawah pengairan setengah teknis2,0341.7
6.Sawah pengairan teknis1,0311.4
7.Kolam2210.2
8.Padang rumput60
9.Perkebunan2,6662.7
10.Waduk/rawa1,4841.5
11.Bangunan/pekarangan7,5607.4
12.Lain-Lain2,9572.9
Total98,476100

Sumber: Wonosobo dalam angka 2002

Secara administratif Kabupaten Wonosobo terbagi atas 15 kecamatan dengan 263 desa, 154 diantara merupakan desa hutan. Desa hutan merupakaan desa yang berbatasan langsung dengan hutan negara dan secara administratif memiliki kawasan hutan negara. Desa-desa ini memiliki interaksi dan ketergantungan yang sangat tinggi dengan kawasan hutan. Perubahan kondisi hutan secara langsung mempengaruhi kondisi alam desa. Rusaknya kondisi hutan negara akhir-akhir ini secara nyata telah mempengaruhi kondisi alam desa. Masyarakat desa hutan merasakan bagaimana saat mereka kekurangan air akibat rusaknya hutan di sekitar mereka. Sumber mata air yang biasa mengalir meski di musim kemarau, sejak hutan gundul tak seberapa besar mengalir meski di musim penghujan. Padahal air ini digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan pertanian mereka.

Sebagaimana daerah lain di Pulau Jawa, penduduk Wonosobo berkembang dengan cepat, pada Tahun 2002 jumlahnya mencapai 751.416 jiwa dengan tingkat pertumbuhan dalam lima tahun terakhir mencapai 0.7 % per tahun. Jumlah penduduk tersebut terdiri atas 379.542 jiwa laki-laki dan 371.964 jiwa perempuan. Hampir 60% penduduk di Wonosobo menjadikan pertanian dan kehutanan sebagai sumber penghasilannya, hal ini terlihat dari struktur penduduk menurut jenis pekerjaan sebagaimana dalam tabel 1.2. Kondisi ini menunjukkan bahwa Wonosobo masih mengandalkan sektor pertanian dan kehutanan sebagai sektor sektor produksi terbesar. Pendapatan domestik regional Bruto (PDRB) Wonosobo juga menunjukkan bahwa sektor pertanian dan kehutanan masih menyumbang sebesar 55,81 % dari total PDRB wilayah.

Tabel 1.2. Struktur penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Kabupaten Wonosobo

No.Jenis pekerjaanJumlah (jiwa)LPTotalPersen
1Petani117,72814,520132,24841.39
2Buruh tani32,40624,90857,31417.94
3Nelayan25522570.08
4Pedagang14,21615,71429,9309.37
5Sektor industri15,67119,44035,11110.99
6Sektor bangunan17,410017,4105.45
7Angkutan10,187010,1873.19
8PNS7,4643,27410,7383.36
9Polri384133970.12
10Pensiun2,3367263,0620.96
11Lain-lain10,41812,45322,8717.16
 Total228,47591,050319,525100.00

Sumber: Wonosobo dalam angka 2002

Wonosobo adalah hutan yang dikunjungi

Regentschap Wonosobo atau Kabupaten Wonosobo dinyatakan resmi berdiri oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1930. Sejarah Kabupaten Wonosobo berkaitan dengan tiga ulama pengelana Kyai Walik, Kyai Karim dan Kyai Kolodete, yaitu pada abad XVII atau sekitar tahun 1600 pada saat perkembangan kekuasaan Mataram Islam. Mereka dan sanak keluarga mereka datang dengan membuka “alas” atau hutan dan mengubahnya sebagai pemukiman dan lahan pertanian sebagai sumber pendapatan. Nama Wonosobo berasal dua kata yaitu “Wono” dan “Sobo”. Wono yang berarti alas atau hutan dan Sobo berarti mengunjungi, sehingga Wonosobo bisa diartikan Kawasan hutan yang banyak dikunjungi. 3 Hingga saat ini tradisi panjang kebudayaan dalam berhutan dan bercocok tanam ini masih terlihat di desa-desa di Wonosobo, yang dikenal dengan sebutan wono atau alas.

Dalam falsafah kultur di Jawa, kata “wono” itu tidak hanya berarti hutan sebagaimana yang kita kenal . Wono atau alas dalam pemahaman ini berarti sumber daya (resource) yang bermanfaat bagi penyediaan pangan, kegiatan peternakan, sumber mata air dan kebutuhan hidup lain Itu sebabnya dalam konteks pertanian mereka tidak dikenal sistem tanaman monokultur atau tanaman satu satu jenis, mereka menanam aneka tanaman baik tanaman keras, buah, hingga tanaman pangan . Pola ini saling melengkapi satu dengan yang lain sehingga menjadi sebuah perpaduan. Bagi mereka bertani adalah berhutan dan sebaliknya. Dalam kehidupan sehari-hari, kebutuhan rumput untuk ternak, daun, kayu bakar, kayu perkakas, umbi-umbian untuk makan dapat selalu dicukupi dari keberadaan hutan. Keberadaan hutan bagi mereka juga berarti sumber mata air untuk kebutuhan makan, kebutuhan rumah tangga dan mengairi lahan pertanian. Sejarah panjang ini sangat kental menggambarkan bahwa kearifan lokal mengelola hutan sebagi sebuah interaksi positif antara hutan dan lingkungannya telah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat Wonosobo.
———————————
3 Sarwanto Priadi, 2002. Wonosobo yang Aku Banggakan

——————————–

BAGIAN II

Periode-periode penting sejarah penguasaan hutan di Jawa

Sejarah pengelolaan hutan di Wonosobo ini merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah pengelolaan hutan di Jawa secara umum . Pengelolaan hutan di Jawa telah mengalami perjalanan yang panjang. Menjelang tahun 1600 VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Serikat Perseroan Hindia Timur datang ke Indonesia dan memulai pembalakan hutan jati di Pulau Jawa. VOC merupakan kongsi dagang yang meletakkan pondasi politis yang kuat bagi berdirinya negara jajahan yang dikenal dengan nama Hindia Belanda.

Tahun 1808, seorang Gubernur Jendral Belanda bernama Herman Willem Daendles Belanda datang ke Indonesia dan membawa perubahan dalam sistem pengelolaan hutan di Jawa. Daendles juga membentuk Dienst van het Boschwezen (Dinas Kehutanan) yang memiliki kebijakan yang sangat berorientasi kepada keuntungan negara. Kebijakan pengelolaan hutan ini salah satunya adalah: menetapkan bahwa seluruh tanah hutan di Jawa baik jati maupun non jati merupakan milik negara ( staatdomeins ) dan dikelola untuk keuntungan negara. 4

Pada masa penjajahan Belanda ini pengambil-alihan kekuasaan atas kawaasan hutan menjadikan masyarakat desa sekitar hutan hampir tidak memiliki akses ke hutan kecuali untuk kayu bakar dan hasil hutan non-kayu. Pada jaman ini diberlakukan sistem Blandongdienten yang menjadikan masyarakat dapat bekerja di hutan negara namun dengan upah yang sangat murah..

Tahun 1865 pemerintah kolonial melahirkan undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura yang dinamakan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 dan pada tahun 1870 diikuti dengan terbitnya undang-undang agraria yang disebut Agrarische Wet atau Akkerwet Staatsblad No. 55/1870). Undang-undang agraria ini memberikan legitimasi kepada negara sebagai penguasa tanah-tanah terlantar ( woeste gronden ) yang tidak atau belum digarap. Hal terpenting dari Agrarische Wet ini adalah berlakunya Agrarische Besluit Staatsblad No. 118/1870) tentang asas domein verklaring , yaitu suatu prinsip yang menyatakan bahwa semua tanah yang tak terbukti pemiliknya atau tanah terlantar adalah domein atau milik negara 5. Aturan ini menjadi dasar hukum yang melarang masyarakat membuka hutan menjadi lahan pertanian dan mencegah masyarakat melakukan pemungutan hasil hutan.

Kemerdekaan Indonesia 1945 ternyata tidak membawa perubahan berarti dalam pengelolaan hutan, pemerintahan masa ini tetap mempertahankan sistem pengelolaan hutan yang sentralistik seperti negara kolonial. Hal ini dapat dipahami, melihat kondisi bangsa Indonesia saat itu adalah masa peralihan dari negara jajahan menjadi negara berdaulat sehingga belum seluruh sisem pengelolaan pengaturan negara terbentuk. Beberapa sistem kolonial Belanda masih dipertahankan dalam penyelenggaraan negara, salah satunya adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan.

Perjalanan berikutnya, pada 1961 sebuah badan usaha milik negara bernama PN Perhutani didirikan untuk mengelola hutan Jawa Tengah, Jawa Timur dan Kalimantan Timur . Tujuan utama perusahaan ini didirikan adalah untuk menghasilkan pendapatan bagi negara dari ekspor kayu dan untuk memasok kebutuhan industri perkayuan.
——————————-
4 Warto.2001
5 Siahaan.2000

——————————

Perhutani mewarisi wilayah hutan yang dulu dikelola Dinas Kehutanan Hindia-Belanda di Jawa dan mengelola seluruh hutan produksi di Jawa dengan wilayah kelola sekitar 2,5 juta hektare. Perhutani mewarisi seluruh sistem yang telah dikembangkan oleh Belanda dengan segenap konflik dan permasalahan di dalamnya. Undang-Undang Pokok Kehutanan No 5 Tahun 1967 kemudian menegaskan Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Jawa.

Sejarah dan kondisi pengelolaan hutan di Jawa berlaku juga di Kabupaten Wonosobo. Lahan hutan di Wonosobo, seperti halnya kawasan hutan lain di Pulau Jawa, telah berada di bawah pengelolaan negara sejak ratusan tahun yang lalu. Di Wonosobo terdapat kawasan hutan negara seluas 19.695 Ha yang merupakan bagian dari KPH Kedu Selatan dan KPH Kedu Utara. Secara ekonomis sebenarnya kawasan hutan negara di Kabupaten Wonosobo bukanlah kawasan hutan yang kaya. Lahan hutan negara di kedua KPH ini terletak di hulu daerah aliran sungai. KPH Kedu Utara, seluas 9.967 hektare, ditanami dengan pinus (Pinus mercusii) dan mahoni (Swietenia spp). KPH Kedu Selatan yang meliputi areal seluas 9.728 hektare ditanami dengan pinus, damar (Agathis damara) , dan jati ( Tectona grandis).

Perjalanan sejarah pengelolaan di Jawa dari waktu ke waktu selalu bermetamorfosis seiring dengan perkembangan dan dinamika perubahan alam, kondisi sosial ekonomi dan rezim yang berkuasa. Namun, catatan sejarah pengelolaan hutan di Jawa dan juga di Kabupaten Wonosobo sebenarnya tidak berubah, penguasaan hutan oleh negara, akses masyarakat yang sangat terbatas dan kondisi kemiskinan di desa hutan.

Kontroversi Sistem Tenurial sumberdaya Hutan di Jawa
Kontroversi sistem tenurial sumberdaya hutan berkisar seputar perdebatan mengenai Hak Menguasai Negara dan Hak Masyarakat Adat/lokal atas tanah dan sumberdaya alam Indonesia yang telah lama berlangsung, utamanya sejak munculnya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 dan Undang-undang Pokok Kehutanan tahun 1967. Berdasarkan doktrin hak menguasai negara tersebut, ditafsirkan bahwa negara adalah pemegang otoritas tertinggi berkenaan dengan sumberdaya alam. Doktrin ini menempatkan negara tidak sebagai pemilik melainkan sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia memberi kekuasaan atau kewenangan6.

UU No. 41/99 tentang Kehutanan menggambarkan masih kuatnya keinginan Pemerintah — dalam hal ini Dephutbun — untuk tetap mempertahankan kontrol dan penguasaan terhadap kawasan hutan dan sumberdaya hutan, sekalipun kontrol dan penguasaan tersebut selama ini telah mengakibatkan menurunnya kuantitas dan kualitas hutan serta terjadinya konflik-konflik di lapangan antara pemerintah maupun pengusaha di satu pihak dengan rakyat di pihak yang lainnya 7. Pasal 4 mengenai Penguasaan Hutan sangat jelas menggambarkan semangat kontrol dan penguasaan negara ini dimana disebutkan bahwa: Penguasaan Negara atas semua hutan di wilayah RI dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk : a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan;dan c) mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan,
——————————-
6Iin Ichwandi. 2002. Kegagalam Sistem Tenurial di Indonesia hal 4
7 Muayat Ali Muhsi. 2001.

——————————-

serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. (UU No 41 1999). Hal ini dipertegas pula dengan kewenangan pemerintah untuk menetapkan status dan fungsi hutan (Pasal 5, 6 dan 8 UU No 41 1999).

Dalam pelaksanaan hak menguasai negara di kawasan hutan negara di Jawa dan Madura, negara menguasakan kewenangan tersebut kepada Perum Perhutani. Artinya jelas, bahwa Perhutani merupakan kepanjangan tangan pemerintah (baca pemerintah pusat) dalam pengusahaan hutan di Jawa dan Madura. Perum Perhutani Perhutani sendiri sebagai Badan Usaha Milik Negara yang memiliki otoritas pengelolaan dan pemanfaatan hutan negara di Jawa keberadaan didukung oleh instrumen-insrtumen kebijakan pemerintah pusat,. Perusahaan ini didirikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 15 Tahun 1972, kemudian telah diubah dengan PP No. 2 Tahun 1978, selanjutnya diatur kembali dengan PP No. 36 Tahun 1986, kemudian dengan PP No. 53 Tahun 1999, dan terakhir melalui PP No. 30 Tahun 2003 tentang Perhutani

Sebagai sebuah perusahaan, Perhutani memiliki sejumlah keistimewaan dibandingkan dengan hak-hak pengusahaan atau pemanfaatan hutan yang lain di Indonesia.

Pertama , jangka waktu operasional Perhutani yang tidak ditentukan (Pasal 5 PP No. 30 2003). Hal ini yang membawa kosekuensi bahwa jangka waktu ijin dan hak penguasaan hutan di pulau jawa ini juga tidak ditentukan, dengan kata lain tak terbatas. Ini sangat berbeda dengan bentuk-bentuk usaha pemanfaatan kawasan atau pemungutan hasil hutan di luar Pulau Jawa yang dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Peraturan pemerintah PP No 34 2002 membatasi jangka waktu ijin pemungutan hasil hutan kayu pada hutan tanaman di hutan produksi selama maksimal 100 (seratus ) tahun.

Kedua, Wilayah Kerja Perusahaan yang sangat luas meliputi seluruh Hutan Negara yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, kecuali Kawasan Hutan Konservasi. (Pasal….PP No. 30 2003). Luasan hak pemanfaatan hutan Perhutani ini sangat luas sekitar 2,5 juta hektar. Angka ini sangat jauh berbeda dengan hak pemanfaatan hutan sebagaimana diatur dalam PP No 34 Tahun 2002 dimana luasan untuk pemanfaatan kawasan hutan maksimal hanya 1000 (seribu) hektar.

Dengan dua keistimewaan di atas masyarakat desa sekitar hutan semakin termarginalkan dari akses sumberdaya hutan di sekitar mereka. Di lihat dari sisi waktu hampir tidak ada lagi masa depan bagi mereka untuk dapat mengelola hutan negara karena selamanya akan dikuasai Perhutani. Dari sisi lahan tidak ada lagi lahan hutan yang tersisa bagi mereka karena seluruh hutan produksi menjadi wilayah penguasan Perhutani. Hal ini sangat ironis mengingat jauh sebelum Perhutani didirikan atau bahkan sebelum VOC memulai memanfaatkan hutan di Jawa, mereka dan hutan adalah organ yang saling bermutualisme, masyarakat mendapatkan segala kebutuhannya dari hutan dan hutan dijaga kelestariannya oleh masyarakat. Fakta-fakta pemisahan masyarakat atas hutan sekitarnya berarti pemisahan masyarakat atas sumber kehidupannya. Hal yang kemudian terjadi, fenomena pemiskinan dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan menjadi sebuah konsekuensi logis.

Manajemen BUMN Perhutani dan kegagalan mengelola hutan negara

Dalam melaksanakan pengelolaan hutan di Jawa Perhutani memiliki organ-organ yang menggerakkan perusahaan. Pasal 65 ayat 1 PP 30 Tahun 2003 tentang Perhutani menyatakan bahwa Selain organ Perusahaan (direksi dan dewan pengawas), pihak lain manapun dilarang turut mencampuri pengurusan perusahaan. Pengurusan adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian perusahaan sesuai dengan kebijakan pengembangan usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan yang digariskan oleh Menteri Kehutanan. Hal ini, dalam beberapa kasus, menjadikan Perhutani mempunyai sikap menegasikan pemerintah daerah yang secara administratif memiliki kawasan hutan negara. Perencanaan kehutanan yang dihasilkan mendasarkan pada rencana karya perusahaan sehingga posisi peran pemda lemah untuk ikut mengatur kawasan hutan di wilayahnya sendiri. Konsekuensi dari hal ini adalah keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, terutama dalam perencanaan, menjadi sangat terbatas. Situasi ini berujung pada apa yang akan diterima oleh masyarakat menjadi sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali (lihat kotak 1). Hal ini cukup kontradiktif dengan tujuan Perhutani sebagai perusahaan umum yang mempunyai fungsi sosial, dimana dalam penyelenggarakan usaha di bidang kehutanan yang menghasilkan barang dan jasa yang bermutu tinggi dan memadai digunakan memenuhi hajat hidup orang banyak.

Secara birokratis Perhutani memiliki struktur organisasi terbagi menjadi tiga tingkatan, level direksi yang berkedudukan di Jakarta , unit yang berkedudukan di ibukota propinsi dan Kesatuan Pemangkuan Hutan yang berkedudukan setingkat dengan wilayah kabupaten atau gabungan wilayah kabupaten. Di bawah KPH masih ada beberapa unit manajemen. Meskipun Perhutani terbagi menjadi satuan administratif yang lebih kecil yaitu KPH namun satuan ini tidak cukup memiliki otoritas untuk mengatur pengusahaan hutan di wilayahnya, hampir seluruh kebijakan masih berasal dari direksi di tingkat pusat. Yang sering menjadi sorotan, dalam era otonomi daerah ini dimana banyak daerah yang telah merubah kultur birokrasinya dengan meninggalkan gaya orde baru namun Perhutani tetap saja menggunakan birokrasi orde baru yang sentralistik.

Kotak 1.Buruk, Pengelolaan Hutan Jati di Pulau Jawa
HUTAN jati di Pulau Jawa ternyata tidak dikelola secara baik. Ini terbukti produksi jati di Pulau Jawa saat ini masih sangat rendah, hanya 17,5 persen dari total produksi yang seharusnya dapat diperoleh. Kini produksinya cuma 700.000 meter kubik, padahal seharusnya bisa mencapai empat juta meter kubik. Jeleknya pengelolaan hutan jati di tiga provinsi itu dilontarkan Prof Dr Ir Hasanu Simon, pakar kehutanan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. “Untuk memenuhi kebutuhan kayu jati di Pulau Jawa saja, produksi itu tidak cukup. Kebutuhan kayu jati sebesar 800.000 meter kubik,” ujar Hasanu dalam seminar “Persiapan BUMN dalam Otonomi Daerah” di Semarang awal pekan ini.Menurut Hasanu, pengelolaan hutan khususnya hutan jati yang selama ini buruk, bukan saja disebabkan oleh manajemen Perum Perhutani yang tidak merakyat, melainkan juga karena sistem yang memaksa Perhutani mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan rakyat. “Letak kesalahan pemerintah, khususnya Perhutani, dalam pengelolaan hutan adalah karena masyarakat sama sekali tidak dilibatkan. Kalau masyarakat dilibatkan, saya yakin tidak akan ada penjarahan,”ujar Hasanu.Sumber: Kompas, 6 April 2001

Kultur birokrasi yang sedemikian menyebabkan Perhutani dipandang kurang adaptif terhadap perubahan kondisi sosial yang sangat cepat dan kurang akomodatif dalam memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat khususnya masyarakat sekitar hutan. Persoalan-persoalan di tingkat lokal sering tidak terselesaikan karena harus menunggu kebijakan dari direksi. Sebagai contoh tuntutan bagi hasil telah mulai digagas oleh para pihak dan masyarakat desa hutan di berbagai tempat pada tahun 1998, namun kebijakan bagi hasil ini terlambat keluar pada tahun 2001 pada saat kondisi hutan jawa telah mengalami kehancuran yang luar biasa. Persoalan-persoalan kemiskinan di desa sekitar hutan pun menjadi semakin tak terjawab.

Dalam lingkup lebih kecil di Kabupaten Wonosobo kinerja Perhutani seringkali juga mendapat sorotan tajam. Berdasarkan data Badan Pertahanan Nasional Kabupaten Wonosobo (1999), luas kawasan hutan negara yang berupa tanah kosong (belukar) mencapai 9.025,3 Ha atau sekitar 44,56% dari seluruh luas hutan negara di Wonosobo. Kerusakan ini diperparah dengan maraknya kegiatan penjarahan hutan sejak pertengahan tahun 1998. Akibat rusaknya hutan negara di Kabupaten Wonosobo seringkali telah menyebabkan banjir, tanah longsor dan pendangkalan waduk. Berdasarkan kenyataan tersebut maka wajar jika Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo menganggap bahwa Perhutani telah gagal mengelola hutan di Kabupaten Wonosobo.8

Kegagalan lain yang dirasakan oleh pemerintah kabupaten Wonosobo bahwa Perhutani tidak memberikan sumbangan pendapatan yang signifikan dengan kepada daerah. Pada tahun 2000 kontribusi sektor kehutanan (hutan negara) terhadap PAD sebesar Rp 448.636.764,- dengan perincian Rp 431.985.140 dari bagi hasil pajak bumi dan bangunan dan RP 16.578.624,- dari Iuran Hasil Hutan (IHH). Pendapatan itu hanya 3,4% dari total Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Wonosobo pada Tahun 2000 sebesar 13.211.083.098 atau hanya 0,6 dari total pendapatan Kabupaten Wonosobo pada tahun tersebut. 9 Nilai ini tidak sebanding dengan akiabat kerusakan yang ditimbulkan dari manajemen Perhutani dalam pengelolaan hutan di Wonosobo.
———————–
8 Wiyono. 2001; hal 110
9 Ibid; 124

———————–

BAGIAN III

Fakta kemiskinan di Desa Hutan, sebuah kebetulan?

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya. 10

Dalam laporan mengenai peringkat penduduk miskin di Propinsi Jawa Tengah, BAPPEDA Jawa Tengah memberikan gambaran mengenai persentase jumlah penduduk miskin dengan membandingkan kondisi tahun 1996 dan 1999. Pada tahun 1996 tercatat 31,55% penduduk Wonosobo tergolong miskin dan Wonosobo menempati peringkat 30 dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Pada tahun 1999 persentrase penduduk miskin ini meningkat menjadi 35,39 % meskipun peringkatnya naik menjadi peringkat 28. Perkiraan penduduk miskin tahun 1999 dari SUSENAS menunjukkan bahwa di Jawa Tengah persentase penduduk miskin adalah 23,64 % di perkotaaan dan 37,75 % di pedesaan. Berdasarkan data-data ini secara relatif Wonosobo merupakan wilayah yang miskin dan sebagian besar kemiskinan itu terjadi di wilayah pedesaan.

Tabel 3.1.Sebaran dan jumlah penduduk desa hutan di Kabupaten Wonosobo

NoKecamatanJumlah penduduk (jiwa)Jumlah penduduk desa hutan (jiwa)Persentase (%)
1Wadaslintang56.286061.4450.000
2Kepil62.60561.44598.15
3Sapuran58.96357.52797.56
4Kaliwiro52.574067.1100.00
5Leksono69.46267.11096.61
6Selomerto46.23560.4270.00
7Kalikajar62.32070.65196.96
8Kertek72.307097.71
9Wonosobo72.96249.4050.00
10Watumalang51.47246.79995.98
11Mojotengah49.51145.12594.52
12Garung47.36436.57395.31
13Kejajar37.96936.57396.32
 Total740.013495.06266.90

Sumber: RKPH KPH Kedu Utara 1998-2007, dalam ARuPA 2001

Data lain dari kantor BKKBN Wonosobo menunjukkan bahwa pada tahun 2002 dari 202.202 rumah tangga terdapat jumlah keluarga miskin sebesar 60 %. Pendapatan
10Ragnar Nurkse,1953. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Memahami Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id

domestik regional bruto (PDRB) per kapita Wonosobo hanya sebesar Rp 1,6 juta, jauh di bawah angka rata-rata PDRB per kapita nsional sebesar Rp 4,8 juta. Apabila dirunut lebih jauh dapat dilihat bahwa 154 desa atau sekitar 60 % dari jumlah desa di Wonosobo merupakan desa hutan, desa yang berbatasan langsung dengan hutan negara. Data Perhutani menunjukkan bahwa jumlah penduduk desa hutan di Kabupaten Wonosobo mencapai hampir 70% dari total penduduk Wonosobo. Artinya fenomena kemiskinan ini sebagian besar terjadi di desa-desa hutan Wonosobo. Apakah ini sebuah kebetulan?

Kemiskinan, kekurangan lahan dan ketidakberdayaan petani
Dalam melihat fenomena kemiskinan, ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga tetap miskin. 11

Dalam konteks masyarakat desa hutan, tidak terkecuali di Wonosobo, kemiskinan yang terjadi bisa jadi merupakan wujud kemiskinan “buatan”. Persoalannya jelas bahwa mereka sangat terbatas atau bahkan tidak bisa sama sekali mengakses sumberdaya hutan negara yang berada di desa mereka sendiri. Kondisi ini tercipta semenjak negara yang mengatasnamakan hak menguasai hutan telah memarginalkan masyarakat dari hutan sekitarnya, dan negara juga membuat batas tegas wilayah hutan yang dikelola dengan pendekaatan keamanan yang represif. Sebenarnya seberapa besar pengaruh luas dan distribusi atas tanah terhadap sumber dan distribusi pendapatan. Sinaga, R.S dan White (1979) dalam Sayogyo (2002) setidaknya dapat memberikan gambaran dengan jelas dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1. Pengaruh luas dan distribuasi penguasaan Atas Tanah Terhadap Sumber dan Distribusi Pendapatan (sumber: Sinaga, R.S dan B. White, 1979 dalam Sayogyo, 2002)
11Ragnar Nurkse,1953.

———————————

Gambar diatas mencoba menunjukkan pengaruh luas dan distribusi penguasaan tanah serta ragam sumber nafkah atas distribusi pendapatan. Segitiga berwarna abu-abu menunjukkan distribusi luas tanah di antara petani, dimana yang tak-bertanah tak termasuk segitiga itu. Di sebelah kanan digambarkan distribusi pendapatan dan sumber-sumber pendapatan, ada yang dari usaha tani “berdasar lahan”, dan dari potensi bukan-lahan dan dari usaha di luar pertanian. Gambar di atas menunjukkan kasus desa dimana dari tiga sumber pendapatan itu, rumah tangga dengan luas tanah lebih yang selalu unggul. Sebaliknya rumah tangga tanpa-tanah memperoleh pendapatan terkecil, bahkan tergolong rumah tangga defisit bila dibandingkan tingkat pendapatan sebatas “biaya hidup” sebagai patokan. Pada gambar ini petani tanah terluas punya pendapatan dari usaha tani yang melebihi biaya hidup. Bisa kita simpulkan, di pedesaan Jawa di wilayah sawah padi yang padat penduduk, tanpa peluang suatu redistribusi tanah (reforma agraria) peluang di luar pertanian (sering di luar desa endiri) yang membuka peluang lebih meningkatkan pendapatan dan mengatasi kemiskinan. 12

Dalam persoalan kemiskinan dan kesejahteraan petani, Krisnamurti (2003) melihat ada bahwa kesejahteraan petani ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama adalah sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya ( they are poor becouse they are poor ) dan luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi .

Kabupaten Wonosobo memiliki luas 98.468 Ha. Kepemilikan lahan per rumah tangga rata-rata hanya 0,39 Ha, kepemilikan lahan sawah rata-rata per petani hanya 0,12 Ha dan pemilikan lahan di hutan rakyat/kebun hanya 0,29 Ha. Data-data ini secara jelas menggambarkan begitu terbatasnya faktor produksi yang dimiliki oleh masyarkat sekitar hutan di Kabupaten Wonososob, sehingga fenomena kemiskinan sebagaimana diuraikan di depan merupakan konsekuensi logis.

Kondisi minimnya berusaha di sektor pertanian dan kehutananan ini diperparah dengan kesempatan bekerja di luar sektor pertanian ( off farm ) yang juga sangat terbatas. Sektor industri belum secara signifikan dapat menyerap tenaga kerja di Kabupaten Wonosobo bahkan di tahun 2001 ini sebuah industri dengan penyerapan kerja ribuan terpaksa gulung tikar karena berbagai hal (lihat kotak 2). Data statistik tahun 2001 menunjukkan terdapat 10.269 pencari kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Hal ini semakin menunjukkan rumit dan kompleksnya permasalahan penyerapan tenaga kerja di Wonosobo.

Kotak 2.PT Dieng Jaya Rumahkan 3.200 Lebih Karyawan
Ribuan Petani Dieng Kehilangan Sumber PenghasilanPT Dieng Jaya (DJ) Wonosobo, Jawa Tengah, salah satu anak perusahaan PT Mantrust ( kini PT Dian Aneka Sejahtera – DAS) yang bergerak dalam industri pengalengan buah-buahan-agro (hortikultura), serta jamur merang (champignon) merumahkan 3.200 orang lebih karyawan. Langkah ini dilakukan setelah perusahaan yang didirikan 1980 itu kehabisan modal kerja akibat terus mengalami defisit keuangan. Penghentian total kegiatan perusahaan nasional ini juga berdampak bagi hilangnya sumber mata pencaharian ratusan keluarga petani plasma dan beberapa ribu keluarga petani hortikultura di Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo.Sumber: Kompas, 25 Februari 2001

12 Sayogyo. 2002

————————————-

Kemiskinan dan kerawanan pangan

Sempitnya lahan pertanian tanaman pangan di Wonosobo menjadikan daerah ini cukup rawan terhadap berbagai kendala penyebab gagal panen seperti hama dan kekeringan panjang. Karakteristik wilayah yang berbukit dan sebagian besar merupakan dataran tinggi menyebabkan lahan sawah di Wonosobo sangat terbatas, hanya sebesar 18,9 % dari seluruh wilayah. Kerawanan pangan dari sisi ketersediaan pangan menjadi potensi yang dapat mengancam sewaktu-waktu.

Kondisi minimnya kepemilikan lahan pertanian di Kabupaten Wonosobo menyebabkan hasil produksi yang dihasilkan sangat terbatas. Dengan rata-rata anggota keluarga berjumlah lima orang maka akan sangat sulit bagi seorang petani untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Rendahnya pendapatan petani akan menyebabkan turunnya daya beli, bahkan untuk kebutuhan pangan sekalipun. Kondisi kerawanan pangan di pedesaan merupakan kondisi paling buruk dari kemiskinan di pedesaan mengingat Wonosobo merupakan wilayah yang mengandalkan sektor pertanian.

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun (Krisnamurti, 2003). Kondisi kerawanan pangan semacam ini sering terjadi di Wonosobo. Di sebagian wilayah Wonosobo masih banyak dijumpai nasi jagung sebagai makanan pokok karena mereka tidak mampu lagi membeli beras (lihat kotak 3).

Kotak 3Petani Tembakau di Wonosobo Rawan PanganAkibat harga tembakau anjlok, sekitar 1.225 keluarga atau sekitar 5.000 jiwa keluarga petani tembakau di Desa Reco dan Kapencar, dua desa di kaki Gunung Sindoro-Sumbing, di wilayah Kecamatan Kertek, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, mengalami rawan pangan.Kondisi ini sebagai dampak jatuhnya harga tembakau yang menyebabkan mereka dililit utang. Dua bulan terakhir ini, mereka didera kesulitan ekonomi sehingga tidak mampu membeli bahan pangan yang berkualitas dan hanya makan seadanya saja.Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Wonosobo Turmudzi mengungkapkan, semula keluarga petani tembakau yang dilaporkan mengalami rawan pangan hanya di Kampung Yososari, Reco, Banyu Urip, dan Kampung Gajian, di wilayah Desa Reco, Kecamatan Kertek. Sekitar 775 keluarga petani tembakau dilaporkan sudah sekitar dua bulan mengalami rawan pangan. Akan tetapi, pada Rabu (18/6) masuk laporan baru dari Kecamatan Kertek bahwa di Desa Kapencar sedikitnya 500 keluarga petani tembakau juga mengalami kesulitan yang sama.Sumber: Kompas, 19 Juni 2003

BAGIAN IV

Fenomena Kemiskinan dan Pecahnya Konflik

Kondisi kemiskinan atau dalam kondisi paling buruk berupa kerawanan pangan di sekitar kawasan hutan yang kaya ibarat sebuah kondisi “ayam mati di lumbung padi”. Itu pun terjadi sejak lumbung padi itu mulai dikuasai negara atas dalih kepentingan negara. Interaksi positif masyarakat dengan hutan sekitarnya telah dicabut oleh alat kekuasaan negara. Interaksi positif berubah menjadi interaksi negatif dan konflik merupakan sebuah keniscayaaan.

Pada saat masyarakat desa hutan mulai terpisahkan dari hutan sebagai sumber kehidupannya sebenarnya akan konflik telah mulai tumbuh. Ketika penguasaan hutan oleh negara dikelola dengan pendekatan yang represif, masyarakat memunculkan resistensi terhadap pola-pola pendekatan ini. Konflik merupakan sesuatu yang tak terhindarkan baik yang bersifat laten maupun yang manifes. Pencurian kayu di hutan merupakan salah satu bentuk konflik yang paling sering ditemukan di kawasan hutan negara. Konflik yang terbangun sekian ratus ini ibarat fenomena gunung es, terlihat kecil di puncak namun sebenarnya dibawahnya terdapat akar yang sangat besar yang siap meledak sewaktu-waktu.

Era reformasi merupakan era deforestasi. Kata-kata ini mungkin tepat menggambarkan apa yang terjadi di awal era reformasi pada sumberdaya hutan di Wonosobo Penebangan liar merupakan fenomena yang terjadi secara masif hampir di seluruh kawasan hutan negara di Wonosobo bahkan di Jawa. Meskipun dapat dijelaskan bahwa para pemodal merupakan aktor utama di balik fenomena ini dan motif ekonomi sering menjadi alasan keterlibatan masyarakat di dalamnya( lihat kotak 4).

Kotak 4.Aksi Pencurian Kayu Rugikan NegaraKepala Humas, Hukum dan Agraria PT Perhutani Kedu Selatan, Firmansyah, menyatakan akibat penjarahan hutan Wonosobo oleh masyarakat dan oknum, PT Perhutani menderita kerugian Rp 6,797 miliar sejak Januari hingga Desember 2001.Sedangkan Kepala Sub Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) PT Perhutani Kedu Utara, Bambang Djumadiono mengatakan, kerugian yang diderita pihaknya di Wonosobo pada 2001 Rp 1,909 miliar atau 12.590 pohon hilang di luas lahan 25 hektar, lebih baik dibanding kerugian akibat penjarahan pada 2000 yang mencapai Rp 5,757 miliar atau 81.763 pohon di 53 hektar lahan.Data Kabupaten Wonosobo, penjarahan hutan sejak 1998 sampai pertengahan 2001 mencapai luas 1.810,3ha dengan jumlah pohon yang hilang 245.859 batang dan kerugian sekitar Rp 40,8 miliar.

Penguasaan Lahan Hutan Negara Oleh Masyarakat

Dalam situasi lemahnya kontrol aparat Perhutani dan penegak hukum di masa “penjarahan” ini menyebabkan masyarakat sekitar hutan semakin berani untuk menunjukkan kekecewaannya terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan hutan selama ini. Kesempatan ini juga merupakan kesempatan untuk menunjukkan “perlawanan” terhadap” hegemoni negara menguasai kawasan hutan.

Fenomena pendudukan lahan secara intensif di lahan-lahan kosong di kawasan hutan akhirnya terjadi baik secara sporadis maupun terorganisir. Pendudukan lahan secara sporadis biasanya dilakukan pada awal-awal masa penjarahan dimana pada saat itu belum banyak lahan kosong, sehingga siapa yang cepat dan berani dia akan mendapatkan lahan di hutan. Pendudukan lahan secara terorganisir terjadi kemudian pada saat masyarakat merasa perlu mengatur diri agar tidak terjadi konflik horizontal di antara mereka akibat berebut menguasai lahan hutan. Kondisi ini terjadi saat lahan kosong di hutan negara semakin luas dan masyarakat yang ingin mendapatkan lahan garapan di hutan negara juga semakin banyak.

Pendudukan lahan pada awalnya berubah menjadi penguasaan lahan oleh masyarkat pada akhirnya terjadi di hampir seluruh kawasan hutan negara yang kosong 13. Penguasaan lahan negara secara sporadis memungkinkan seorang petani mendapatkan lahan hingga 2 hektar, tergantung keberanian dan kemampuannya dalam mengolah lahan. Sedangkan penguasaan secara terorganisir umumnya membagi lahan hutan secara adil seluas 0.25 per andil. Bagi mereka lahan andil sebesar 0.25 sangatlah berarti apalagi bagi buruh tani yang sama sekali tidak mempunyai lahan untuk diusahakan.

Kotak 5Penjarahan Lahan Marak di WonosoboMenurut Bambang, penjarahan tanah di KPH Wonosobo disebabkan minimnya kepemilikan lahan oleh petani, karena setiap lahan yang dimiliki petani selalu diwariskan dan dibagi-bagi di antara anak mereka sehingga lahan garapan menyempit. “Karena lahan sudah tak mencukupi kebutuhan hidup, akhirnya mereka lari ke hutan untuk menanaminya dengan palawija, lahan hutan pun jadi menyempit,” katanya.Sumber: Kompas, 16 Agustus 2001

Dalam penguasaan lahan di hutan negara ini, alasan permasalahan ekonomi merupakan alasan utama oleh paling sering diungkapkan masyarakat desa hutan. Sempitnya lahan pertanian di tanah milik akibat terfragmentasi menjadikan pilihan lahan di kawaasn hutan adalah pilihan satu-satunya untuk menambah faktor produksi dalam pertanian mereka (lihat kotak 5). Petani yang menggarap di kawasan hutan negara sebagian besar merupakan buruh tani atau petani yang mempunyai lahan yang sangat sempit. Dalam beberapa kasus ada petani yang memiliki lahan garapan lebih dari satu tempat di kawasan hutan negara. Pada awal masa penguasaan lahan, biasanya petani memanfaatkan lahan untuk tanaman jangka pendek dengan orientasi panen yang cepat. Pada saat yang bersamaan dilakukan pula penanaman tanaman-tanaman kayu jangka panjang. Pola pengelolaan hutan negara ini mengadopsi sistem pengelolaan di hutan rakyat di lahan milik mereka. Hingga saat ini belum ada data mutakhir yang menyebutkan luasan kawasan hutan negara yang telah dikuasai oleh masyarakat di Wonosobo. Namun, dengan melihat contoh di beberapa desa diperkirakan kawasan hutan negara yang telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat ini seluas lebih dari 10.000 Ha. 14

——————————–

13Istilah pendudukan dibedakan dengan penguasaan, pendudukan biasanya ditandai hanya dengan batas lahan berupa patok atau batas pengerjaan tanah,sedangkan penguasaan lebih menunjukkan bahwa lahan telah diolah dan dimanfaatkan untuk tanaman pertanian dan jenis lain.

14Angka diperkirakan dengan asumsi luasan tanah kosong di Perhutani Tahun 1999 telah mencapai hampir 10.000 Ha yang semakin bertambah luas akibat kegiatan penjarahan hingga saat ini. Dari contoh beberapa desa, hampir seluruh kawasan hutan negara yang kosong ini dikuasai oleh masyarakat.

——————————–

BAGIAN V

Perda PSDHBM , Jawaban atas Persoalan

Melalui peluang otonomi daerah dengan disahkanya Undang-undang No 22 Tahun 1999, Pemerintah Wonosobo mencoba untuk menginisiasi sebuah kebijakan yang diharapkan akan menjadi jawaban atas tiga persoalan utama kehutanan di Wonosobo. Persoalan-persoalam tersebut menyangkut; persoalan ekologis berkaitan dengan degradasi sumberdaya hutan; peningkatan kesejahteraan masyarakat berkaitan dengan fenomena kemiskinan di desa sekitar hutan; dan upaya penyelesaian berbagai konflik kepentingan di sektor kehutanan terutama menyangkut sistem tata kuasa dan tata kelola hutan. Pada tahun 2001 lahirlah Perda No 22 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat yang kemudian dikenal dengan Perda PSDHBM. Perda ini merupakan perda inisiatif pertama dari DPRD yang lahir dari proses panjang belajar dari kearifan lokal masyarakat bagaimana mengelola hutan. Gayung pun bersambut, masyarakat yang sedang mencari momentum dalam membangun kembali interaksi positifnya dengan hutan terdukung oleh skema kebijakan ini.

Proses Inisiasi Perda PSDHBM 15

Bulan November 1999, tim AR u PA melakukan kunjungan awal ke lokasi Penjarahan kayu rimba (non-jati) pertama dan terbesar di Jawa Tengah, yaitu di Desa Gunung Tugel, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo. Bulan Februari – Maret 2000, tim liputan Bulletin Akar melakukan investigasi penjarahan hutan di Desa Gunung Tugel untuk mengungkap latar belakang peristiwa penjarahan di desa tersebut. Hasil investigasi tersebut menjadi laporan utama Buletin Akar Edisi I, Mei 2000. Bulletin Akar edisi I tersebut kemudian disebarkan kepada Pemda, DPRD Wonosobo dan komponen masyarakat lain di daerah tersebut.

Pada Bulan Juli 2000, AR u PA dan Koling mengeluarkan release bersama menanggapi pelibatan Pam Swakarsa dalam menangani masalah penjarahan di Wonosobo yang mengakibatkan konflik horisontal di kalangan masyarakat. Pada bulan itu pula AR u PA bersama dengan Koling mulai menjalin hubungan dengan DPRD Kab. Wonosobo, yang dimulai dengan rapat terbatas antara AR u PA – Koling dengan Pimpinan DPRD, Pimpinan Fraksi, dan Pimpinan Komisi B DPRD Wonosobo. Permasalahan yang diangkat dalam pertemuan tersebut antara lain adalah kasus penjarahan hutan dan kerusakan lingkungan, yang tengah mengancam Wonosobo. Dalam pertemuan tersebut cerita sukses hutan rakyat Wonosobo mulai diangkat, dan menjadi salah satu acuan pengelolaan hutan di yang akan datang.

Berangkat dari dialog intensif beberapa kali, dicapai kesepakatan untuk bersama-sama mengadakan dialog antar pihak yang cukup terbuka, dengan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah pada pertengahan Agustus 2000. Dialog ini dihadiri oleh DPRD Wonosobo, Pemda, Perum Perhutani (KPH Kedu Utara, KPH Kedu Selatan, dan SPH Yogyakarta), Ornop di Wonosobo, wakil-wakil kelompok masyarakat sekitar hutan, dan

16 Bagian ini merupakan ringkasan dari Proses Inisiasi Perda PSDBM. 2001. ARuPA. dalam www.arupa.or.id

beberapa Ormas yang ada. Dialog ini diadakan untuk mencoba menemukan format pengelolaan hutan kabupaten Wonosobo yang lebih, baik, terlebih dengan adanya otonomi daerah yang mulai diberlakukan pada tahun 2001.

Dan proses pun bergulir cepat. Berbagai dialog digelar. Dialog intensif antara DPRD, Arupa dan Koling menyepakati diterapkannya konsep hutan kemasyarakatan di Wonosobo sebagai jalan keluar terhadap permasalahan kehutanan. Penerapannya akan dikukuhkan melalui Perda (Peraturan Daerah). Arupa diberi kepercayaan untuk merumuskan draft Rancangan Perda (Raperda). Tim Arupa kemudian menggandeng FKKM (Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat) dan beberapa pakar dari Fakultas Kehutanan UGM untuk menggodok draft tersebut.

Setelah kembali berdiskusi dengan DPRD, draft Raperda disepakati dan kemudian berlabel PSDHBM (Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat). Di dalamnya pengelolaan hutan akan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sekitar hutan dengan fasilitasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo. Untuk mendapatkan dukungan terhadap rancangan ini, dilakukan berbagai dialog antara DPRD, Pemda, masyarakat (petani hutan) , pers, NGO dan pakar akademisi. Rangkaian dialog yang terbungkus dalam kerangka Roundtable Discussion ini difasilitasi oleh FKKM Faswil Jawa Tengah. Tidak ada penolakan forum terhadap rencana penerbitan Perda PSDHBM Wonosobo tersebut. Roundtable Discussion akhirnya membentuk tim perumus yang akan bertugas menggodok Rancangan Perda dan menggali aspirasi lebih banyak.

Dalam penunaian tugasnya, tim perumus menggelar beberapa kali hearing di Gedung DPRD Wonosobo dengan pelibatan lebih banyak kalangan, terutama masyarakat desa hutan. Kasus okupasi lahan oleh masyarakat muncul dalam serial hearing yang menghadirkan masyarakat dari 15 desa pinggir hutan, DPRD, Pemda, Perhutani, Ornop dan kalangan pers. Dalam serial hearing yang lain dilakukan pembahasan tentang maraknya penebangan liar dengan segala permasalahan yang melingkupinya termasuk keterlibatan oknum aparat, baik kepolisian maupun aparat Perhutani sendiri. Dari beberapa serial hearing tersebut disepakati adanya Jeda Lingkungan . Dalam masa jeda ini, semua stakeholder kehutanan tidak diperkenankan melakukan kegiatan apapun di wilayah hutan negara. Dalam perkembangannya, ketidakhadiran pengambil kebijakan di Perhutani dalam forum tersebut mengakibatkan pihak Perhutani secara sepihak tidak bersedia menerima kesepakatan yang dihasilkan .

Melalui Surat Keputusan Bupati Wonosobo Nomor 522/200/2001 terbentuklah FKP3H (Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan Hutan) yang anggotanya berasal dari berbagai unsur seperti pemerintah daerah (Dishutbun, Bappeda, Kantor Sospol, Bagian LH, Bagian Hukum, Bagian Ketertiban, Bagian Perekonomian dan Bagian Humas), DPRD (Komisi A dan Komisi B), Perhutani (KPH Kedu Utara dan KPH Kedu Selatan), kalangan pers (Jawa Pos, Wawasan, RPS, Poles dan PWI Wonosobo), masyarakat desa hutan (tokoh masyarakat dari Desa Bogoran, Jangkrikan dan Tlogo) dan ornop (Arupa, Koling, dan Pelita Garuda), dengan juga melibatkan pengadilan dan kejaksanaan negeri setempat. Selama hampir 2 (dua) bulan, melalui forum ini lebih dari 30 desa sekitar hutan terlibatkan dalam proses konsultasi ini. Seperti telah diduga sebelumnya, masyarakat desa tersebut—terutama petani hutan—amat sepaham dengan rencana penerapan PSDHBM di wilayahnya.

Enam bulan masa Jeda Lingkungan berlangsung tidak efektif. Perhutani yang tidak merasa terikat dengan kesepakatan jeda lingkungan masih tetap melakukan penebangan rutinnya seperti termaktub dalam RTT (Rencana Teknik Tahunan), sedangkan ilegal logging masih juga marak tak terhentikan. Menyaksikan pelanggaran

kesepakatan jeda lingkungan tersebut, para petani hutan—selain juga disebabkan desakan kebutuhan—enggan berhenti menggarap lahannya ketika panen telah usai. Lahan hutan yang ter-okupasi menjadi tempat bercocok tanam pun semakin bertambah.

Namun proses pengalihan pengelolaan hutan—dari Perhutani kepada masyarakat—dalam skema PSDHBM terus bergulir. Dukungan masyarakat untuk para anggota dewan datang silih berganti. Berkali-kali gedung DPRD Wonosobo dibanjiri warga masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi, baik dengan cara berdialog maupun aksi demonstrasi. Ada pula yang hanya sekedar melayangkan surat pernyataan sebagai tanda dukungan. Dan ketika proses di dewan terasa berlarut, dukungan pun sekonyong berubah menjadi desakan yang datang kian bertubi.

Tanggal 20 Oktober 2001, Perda PSDHBM akhirnya disahkan. Tidak ada pesta pora dan arak-arakan pawai turun ke jalan, namun masyarakat—terutama petani hutan—pasti amat lega. Masyarakat Bogoran tidak lagi khawatir tanaman sengonnya akan dibabat Perhutani. Petani bawah tegakan di Gunung Tugel tak perlu lagi bayar 30 % dari hasil kopi tanamannya. Petani hutan lainnya tidak harus buru-buru meninggalkan lahannya karena—demi kepentingan negara—lahannya akan segera ditanami tanaman kehutanan.

SUBSTANSI PERDA PSDHBM

Lahirnya Perda PSDHBM dilandasi dari keprihatinan yang sangat mendalam atas parahnya kondisi hutan negara di Kabupaten Wonosobo akibat penjarahan yang berlangsung terus-menerus dan sistematis. Di sisi lain dalam waktu bersamaan justru masyarakat di Kabupaten Wonosobo mampu membuktikan diri atas keberhasilannya mengelola hutan Rakyat. Hutan Rakyat di Wonosobo sampai saat ini mencapai 20.000 hektar atau 10 persen dari luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Tengah adalah potensi tersendiri yang sangat menjanjikan. Keberadaan hutan rakyat berdampak sangat positif sebagai penyangga ekosistem, penjaga ekologi, dan mengatur tata air wilayah. Lebih penting dari semua itu bahwa hutan rakyat telah berhasil mengangkat derajat ekonomi masyarakat pedesaan dengan sistem tanam tumpangsari.

Berangkat dari pemikiran tersebut maka DPRD Kabupaten Wonosobo berhasil menetapkan Perda PSDHBM No. 22 tahun 2001 pada tanggal 20 Oktober 2001. Proses pembuatan Perda PSDHBM dilalui dengan jalan panjang dan melelahkan. Melalui proses inisiasi, dialog dan penyerapan aspirasi, serta kajian dengan para pakar, LSM, dan kalangan Perguruan Tinggi memerlukan waktu hampir 2 (dua) tahun 16.

Dengan disahkannya Perda 22/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM), diharapkan akan terjadi perubahan sistem pengelolaan hutan di Wonosobo. Arah perubahan yang tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini.

———————————

16 Muqorobin Thoha. S.Ag , 2001. Menuju rekognisi PSDHBM

———————————

Tabel 4.1. Perubahan Sistem Pengelolaan hutan di Wonosobo dengan PSDHBM

No.Poin PerubahanSemulaDetail Perubahan
1Pengelola hutanPengelolaan hutan dilakukan oleh PerhutaniPengelolaan hutan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo bersama kelompok masyarakat yang diberi ijin kelola.
2Peran serta MasyarakatMasyarakat adalah salah satu pihak dalam kerjasama pengelolaan hutan. Masyarakat tidak berhak menentukan pola dan jenis tanaman pokok.Masyarakat adalah pelaku utama pengelolaan hutan. Masyarakat dapat menentukan pola dan jenis tanaman pokok.
3Rencana pengelolaanBerdasarkan rencana perusahaan Perhutani yang disusun oleh seksi perencanaan hutan (SPH)Berdasarkan perencanaan secara partisipatif oleh masyarakat
4Jenis dan pola tananamanPada suatu kawasan umumya seragam (monokultur) sesuai dengan kelas perusahaan: pinus, mahoni, damar, jatiJenis dan pola tanaman dapat bermacam-macam ( muti layer dan multicrop )sesuai hasil perencanaan masyarakat.
5Jangka waktu pengelolaan oleh masyarakatMasyarakat dapat terlibat kegiatan di kawasan hutan selama 2 tahun dan dapat diperpanjangIjin pengelolaan diberikan selama-lamanya 30 tahun dengan masa evaluasi 6 tahun

Sumber: ARuPA, 2001 dengan perubahan

TENURE REFORM DI PSDHBM, BENARKAH?

Dengan disahkannya perda PSDHBM masyarakat sekitar hutan dengan kearifan lokalnya ditempatkan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan. Penempatan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan hutan ini berarti pula peningkatan kontrol masyarakat atas tanah dan sumberdaya hutan ( tenure and resource ). Jaminan dan kepastian hukum bagi masyarakat untuk dapat mengakses, memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari dapat mereka wujudkan melalui ijin PSDHBM.

Pasal 14 Perda PSDHBM menyatakan: Perijinan merupakan bentuk pengesahan PSDHBM yang diberikan oleh Bupati sebagai jaminan kepastian hukum pemegang hak PSDHBM Di sisi lain, jaminan dan kepastin hukum pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini diatur dengan mempertimbangkan sustainibilitas pengelolaan hutan dan keterjaminan pengelolaan dalam jangka panjang. Pasal 17 ayat (5) menyebutkan bahwa: Ijin PSDHBM diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dengan masa percobaan 6 (enam) tahun terhitung sejak mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku dan dapat diperpanjang kembali.

Diskusi menarik ketika draf perda ini dikonsultasikan dengan publik di berbagai tempat, berapakah sebenarnya jangka waktu ijin pengelolaan PSDHBM yang ideal. Beberapa gagasan memilih ijin diberikan dalam jangka waktu sepanjang daur tanaman pokok yang direncakanan masyarakat. Pertimbangannya adalah jangka waktu ini akan

memudahkan Dinas Kehutanan sebagai instansi teknis untuk mengevaluasi pelaksanaan PSDHBM di lapangan dengan melihat kondisi dalam satu daur tanaman, tetapi hal ini membawa konsekuensi jangka waktu ijin akan sangat bervariasi karena pilihan tanaman pokok masyarakat juga sangat bervariasi.

Akhirnya perda ini memilih jangka waktu 30 tahun dengan waktu evaluasi selama 6 tahun setelah ijin diberikan berdasarkan rencana umum yang disusun oleh pemohon ijin. Pasal 27 ayat (1) menyebutkan Rencana Umum dievaluasi untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) tahun. Di sisi lain permasalahan keberlanjutan pengelola ini diatur dengan hak waris pengelolaan sebagaimana di atur dalam pasal 18 (ayat) 2 yang menyebutkan: Dalam hal anggota kelompok pemegang ijin PSDHBM meninggal dunia maka keanggotaan pewaris selanjutnya secara serta merta beralih kepada ahli waris anggota kelompok tersebut sampai ijin PSDHBM tersebut habis masa berlakunya.

Memang secara tegas perda ini membatasi aspek pengelolaan hutan dengan penekanan bagaimana masyarakat dapat mengakses, memanfaatkan dan mengelola hutan secara lestari bukan mengatur kepemilikan lahan hutan. Secara tegas pasal 18 ayat (3) menyebutkan bahwa : Ijin PSDHBM bukan merupakan pemilikan atas tanah dan kawasan hutan. Diskusi menarik dari para pegiat isu land reform di berbagai kesempatan , perda ini dianggap “banci” karena tidak tegas-tegas memilih untuk mengarahkan langsung substansi perda ini kepada redistribusi lahan kepada masyarakat secara langsung. Salah satu pertimbangan yang mendasari pilihan Wonosobo untuk tidak masuk terlalu jauh dalam pengaturan kepemilikan lahan adalah bahwa masih begitu banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan berkaitan dengan isu reforma agraria terutama di Pulau Jawa. Akhirnya Perda PSDHBM berusahan membatasi lingkup permasalahan yang ditangani yaitu persoalan akses masyarakat dalam mengelola kawasan hutan negara.

Namun, apa pun yang telah dihasilkan dalam inisiatif perda PSDHBM ini setidaknya telah secara nyata “membukakan” pintu dalam upaya tenure reform di kawasan hutan dan yang terpenting masyarakat menjadi aktor utama pengelolaan hutan. Dan secara de facto masyarakatlah yang kini menguasai, mengelola dan mengambil manfaat dari sebagian besar kawasan hutan negara di Wonosobo. Peningkatan faktor produksi berupa lahan yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara langsung akan memperkuat sistem produksi mereka sebagaimana yang mereka lakukan di hutan rakyat.

Dalam konsep sistem tenurial 17, apa yang diharapkan dengan inisiatif ini adalah uapay merubah sistem tenurial yang berlaku pada kawasan hutan Jawa saat ini, menyangkut subyek, obyek dan jenis haknya. Perubahan yang hendak dituju adalah perubahan yang lebih berpihak kepada masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan hutan di Wonosobo. Perubahan ini dapat dilihat dalam tabel 4.2. berikut.

—————————–

17Konsep land and resource tenurial disini mengacu pada syarat-syarat dan kondisi berkaitan dengan penguasaan dan penggunaan tanah dan kekayaan alam. Sering pula dihubungkan dengan persoalan “kepemilikan” dan “akses”. Lebih jelas baca: Soraya Afiff, 2004, Definisi Dan Konsep Tenurial. Materi Lokakarya Peningkatan Kapasitas Penulisan. Kerjasama Kemala dan Karsa.

—————————–

Tabel 4.2. Perubahan Sistem Tenurial Hutan di Wonosobo atas inisiatif PSDHBM

NoKomponenSemulaPerubahan
1Subyek HakBUMN Perhutani sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusatMasyarakat pengelola hutan di bawah wewenang Pemerintah Daerah
2Obyek HakKawasan hutan negara seluruh Jawa dan MaduraKawasan hutan negara di wilayah Wonosobo dengan pendekatan blok, dusun atau desa
3Jenis HakHak kelola tanpa batasan waktuHak kelola selama 30 tahun dengan masa evaluasi 6 tahun

Yang sering menjadi perdebatan dengan perubahan ini adalah “pengkaplingan” wilayah hutan berdasarkan wilayah administrasi. Hal ini yang selalu ditentang oleh Perhutani dan pemerintah pusat dengan menyatakan bahwa hutan merupakan suatu kesatuan daerah aliran sungai (DAS) dan ekosistem dengan batas-batas alam sehingga tidak bisa dibatasi dengan batas-batas administratif. Hingga saat ini kedua pendekatan masih mengalami perdebatan dalam kerangka desentralisasi aset ke daerah, namun sepertinya sekali lagi kita perlu berkaca dari pengelolaan hutan rakyat di Wonosobo. Hutan rakyat yang dikelola secara individu dengan batas-batas tanah persil pun ternyata terbukti lestari.

PSDHBM DAN KONTROL MASYARAKAT ATAS HUTAN

Dengan skema PSDHBM dimungkan kontrol masyarakat atas sumberdaya hutan akan semakin meningkat. Kontrol ini ditunjukkan dengan: peran masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan hutan; rencana kelola disusun secara partisipatif oleh masyarakat; dan ijin pengelolaan hutan dalam jangka panjang (30 tahun). Dalam konteks ini sesungguhnya masyarakat desa sekitar hutan telah memiliki otonomi yang luas dalam pemanfaatan sumberdaya hutan di sekitarnya.

Otonomi komunitas, pada tingkat desa atau yang lebih tinggi, memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar pengambilan keputusan. Akan tetapi di antara ciri-ciri komunitas lainnya, fungsi pengambilan keputusan dianggap sebagai ciri paling elementer bagi sebuah otonomi yang berkaitan dengan pemberdayaan. Pengambilan keputusan merupakan manifestasi terpenting dari kekuasaan, sementara kekuasaan merupakan wacana inti dari keberdayaan. Dengan kata lain, keberdayaan suatu komunitas dapat dicirikan oleh peranannya dalam pengambilan keputusan. 18

Dalam pelaksanaan perda PSDHBM wujud pengambilan keputusan ini tercermin dari rencana kelola yang disusun oleh petani secara komunal dengan wadah kelompok atau organisasi tani pengelola hutan negara. Dalam rencana kelola hutan ini termuat aturan internal kelompok yang akan menjadi rambu-rambu bagi perjalanan kelompok dalam mengelola hutan negara. Aturan ini yang akan menjamin ijin pengelolaan hutan secara komunal dapat berjalan secara efektif. Jika inisiatif kelompok tani yang mengelola hutan negara ini sudah sedemikian maju sebenarnya tugas pemerintah daerah tinggal bagaimana memfasilitasinya.

———————————-
18 Sulekalle. 2002

———————————

BOX 6ATURAN INTERNAL KELOMPOKKELOMPOK BLOK SIJAMBU DESA BOGORANANGGOTA1. Syarat anggota
-Memiliki lahan garapan
-Bertanggung jawab terhadapa lahan garapan
-Sanggup mentaati peraturan kelompok
-Membayar iuran anggota Rp. 1000 setiap tahun2.PENGURUS
-Pengurus kelompok terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris , dan Bendahara
-Pergantian/pemilihan pengurus 1 periode tanaman
-Pertemuan pengurus diselenggarakan setiap 3 bulan3.PERTEMUAN KELOMPOK
-Pertemuan kelompok dilakukan setiap 6 bulan
-Bila ada permasalahan yang penting dapat dilakukan pertemuan kelompok
-Keputusan tertinggi pada pertemuan kelompok4.SANGSI-SANGSI
-Bila lahan tidak dikerjakan
-Diberi peringatan 3 kali
-Bila telah diberi peringatan 3 kali lahan tetap tidak dikerjakan maka lahan garapan diambil alih oleh kelompok
-Peringatan dikeluarkan oleh ketua kelompok yang disepakati oleh pengurus lainnyaSumber: Dokumen rencana kelola PSDHBM Kelompok Blok Sijambu, Desa Bogoran

MANFAAT EKONOMI PELAKSANAAN PSDHM

Salah satu tujuan disahkannya perda PSDHBM adalah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan. Tujuan ini sekaligus menjadi salah satu azas dalam pelaksanaan PSDHBM yakni asas kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu dimaksudkan agar PSDHBM dapat turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat secara terus-menerus. Secara ekonomis setidaknya kita bisa melihat manfaat ekonomi yang timbul dengan inisiatif ini:

•  Peningkatan pendapatan petani dan masyarakat sekitar hutan

Di depan telah banyak diuraikan bahwa lahan merupakan faktor produksi terpenting dalam usaha pertanian dan kehutanan di Wonosobo Berdasarkan hasil perhitungan analisa usaha rencana kelola PSDHBM yang disusun masyarakat dapat dilihat seberapa besar nilai tambah secara ekonomi yang dapat diterima oleh masyarakat dengan skema PSDHBM. Analisa usaha disusun untuk mengetahui secara ekonomis berapa besar input yang dibutuhkan dalam pengelolaan hutan negara dan seberapa besar output yang dapat diterima. Latar belakang pengelolaan hutan di hutan rakyat memudahkan kelompok tani untuk menyusun analisa usaha ini, karena sebenarnya praktek-praktek pengelolaan hutan negara yang akan mereka lakukan mengadopsi pengelolaan di hutan rakyat.

Pada gilirannya analisa usaha ini juga bermanfaat untuk menghitung bagi hasil ( production sharing ) kayu yang dapat diberikan kepada pihak lain (pemda, desa, kelompok tani, pihak lain) selama masa daur pengelolaan. Hal ini yang tidak pernah terjadi selama pengelolaan hutan oleh Perhutani dimana bagi hasil kayu telah ditetapkan berdasarkan rumus, dengan manfaat bagi hasil kepada masyarkat maksimal 25% di akhir daur pengelolaan.

Rata-rata setiap keluarga di Wonosobo menggarap hutan negara dengan luas 0,25 Ha, luasan yang sebenarnya sangat kurang dibandingkan dengan luasan lahan pertanian ideal untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sebagai contoh rencana kelola hutan yang disusun oleh kelompok Blok Sikemplong Desa Bogoran menunjukkan bahwa setiap pengelola akan diperkirakan mendapatkan hasil dari tanaman pokok albasia sebesar Rp 5.360.000 selama masa daur 10 tahun atau Rp 536.000 setiap tahun. 19

Peningkatan pendapatan juga didapatkan oleh petani dengan tanaman pertanian di sela-sela tanaman pokok layaknya di hutan rakyat. Biasanya pada tahun pertama pengelolaan kawasan hutan akan ditanami tanaman ketela pohon di sela-sela tanaman pokok yang masih kecil. Hasil ini menurut masyarakat desa sekitar hutan cukup besar dan sangat berarti dibandingkan jika mereka hanya mengandalkan hasil produksi dari lahan milik. Apabila pola hutan rakyat telah benar-benar dapat diterapkan di hutan negara maka secara ekonomi akan lebih banyak manfaat yang dapat diterima masyarakat.

Masyarakat desa merasakan betul dampak ekonomi bagi mereka setelah mereka mengelola di kawasan hutan negara. Sebuah cerita menarik, di Desa Bogoran ada seorang janda yang saat ini mampu menyekolahkan anaknya hingga SLTP setelah mengelola hutan negara, sebuah hal yang tidak mampu dilakukan hanya dengan mengandalkan lahan miliknya yang hanya 0,25 Ha.

Meskipun penambahan lahan garapan di kawasan hutan negara ini jauh dari luasan ideal, namun penambahan luasan lahan di hutan negara ini bagi sebagian besar petani di sekitar kawasan hutan negara menjadi sangat berarti. Bukan hanya karena faktor produksi untuk usaha pertanian dan kehutanan menjadi semakin besar namun juga banyak aspek ekonomi yang secara tidak langsung akan dinikmati dengan mengelola hutan negara secara lestari. Salah satu yang penting adalah masalah tata air, dimana ketika hutan gundul sumber mata air sangat berkurang sehingga mengganggu suplai air untuk lahan persawahan. Saat ini dengan telah terehabailitasinya sebagian besar hutan negara yang mengalami penjarahan, lambat laun suplai air berangsur normal sebagaimana ketika hutan masih utuh.

Dalam konteks penanggulangan kemiskinan secara mendalam kita dapat berkaca dari proses inisiatif PSDHBM ini. (Dalle, 2003) mengungkapkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Hal senada juga diungkapkan oleh Dillon (2001) dalam Mubyarto (2002): Paradigma penanggulangan kemiskinan pada era otonomi daerah saat ini adalah bahwa kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila “kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang melawan kemiskinan” .

•  Peningkatan perekonomian wilayah desa

Peningkatan lahan garapan di kawasan hutan negara ternyata secara langsung juga berperan dalam meningkatkan perekonomian wilayah pedesaan. Produksi pertanian yang naik, produksi kayu rakyat yang juga meningkat akan semakin menggairahkan roda perekonomian di desa. Sejauh ini kayu albasia sebagai tanaman pokok baik di hutan rakyat maupun hutan negara masih menjanjikan pasar yang prospektif. Masyarakat desa pun tetap yakin akan potensi pasar kayu albasia, alasannya adalah bahwa produk kayu adalah produk alami yang saat ini semakin langka, isu deforestasi yang terjadi secara masif hampir di seluruh kawasan hutan negara menjadikan komoditas kayu menjadi barang yang semakin langka di pasar.

Salah satu contoh riil dari dampak ekonomi bagi wilayah pedesaan dari PSDHBM ini adalah semakin berkembangkan usaha pembibitan di pedesaan dikarenakan permintaan bibit untuk penanaman di kawasan hutan negara demikian besar. Usaha pembibitan dapat menjadi usaha di tingkat dusun atau desa yang dapat menyerap tenaga kerja dan akan memberikan nilai tambah secara ekonomi kepada pengelolaanya.

Dalam jangka panjang sebenarnya keberdayaan ekonomi di tingkat pedesaan inilah yang perlu terus dipacu. Keberdayaan masyarakat di pedesaan pada gilirannya akan menumbuhkan keswadayaan dalam pembangunan desanya. Dalam konteks pengembangan perekomonian pedesaan setidaknya dapat dilihat dari seberapa besar keswadayaan masyarakat desa dalam membangun desanya, baik dalam arti fisik maupun sumberdaya manusia. Di beberapa tempat di Wonosobo kondisi sepertinya ini mulai dapat dirasakan.

•  Pendapatan daerah

Perda PSHBM bukanlah inisiatif daerah yang semata-mata ingin mengejar pendapatan asli daerah bahkan secara tegas perda ini tidak secara langsung mengatur bagaimana mengenai pendapatan berkaitan dengan PSDHBM. Perda ini hanya mengatur bahwa terhadap hasil hutan kayu yang diperdagangkan yang diperoleh dari PSDHBM, dikenakan provisi sumber daya hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 33 ayat 1). Apabila perda PSDHBM ini telah dilaksanakan secara efektif pendapatan yang akan diterima daerah akan sangat besar.

Pendapatan daerah ini setidaknya akan bersumber dari provisi sumberdaya hutan dan bagi hasil pengelolaan. Perhitungan sederhana, dengan mengambil kasus rencana kelola Blok Sikempong, dengan bagi hasil 20 % 20 bagi pemda maka setiap tahunnya pemda Wonosobo akan menerima bagi hasil sebesar Rp 4,2 milyar 21. Jumlah yang cukup besar dibandingkan dengan yang selama ini diterima ketika pengelolaan hutan berada di tangan Perhutani yang hanya menyumbangkan sekitar Rp 450 juta baik dari bagi hasil Pajak Bumi Bangunan maupun Iuran Hasil Hutan (IHH).

——————————————-
20 Dalam Perda No 22 Tahun 2001 tentang PSDHBM Wonosobo, tidak diatur proporsi bagi hasil pengelolaan hutan negara, namun masyarakat pengelola memiliki kesadaran untuk berbagi hasil dengan pihak pemerintah daerah dan pihak lain yang terlibat. Angka bagi hasil yang sering terungkap oleh masyarakat adalah 75% untuk masyarakat dan 25% pihak lain, dimana seluruh input pengelolaan berasal dari masyarakat.
21 Perhitungan ini berdasarkan asusmsi potensi luasan kawasan hutan negara (sekitar 10.000 Ha) yang dapat dikelola dengan tanaman pokok albasia sebagaimana rencana kelola kelompok Blok Sikemplong

——————————————

BAB VI

Arah Kebijakan Pengelolaan Hutan di Jawa

Permasalahan-permasalahan yang dihadapi kehutanan di Jawa seperti degradasi hutan, illegal logging , konflik dan kemiskinan di pedesaan sekitar hutan sebanarnya hanyalah akibat. Permasalahan yang mendasar sesungguhnya adalah gagalnya sistem tenurial sumberdaya hutan yang dibangun negara (pemerintah), khususnya dalam menempatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Jawa. Sistem tata kuasa hutan yang merupakan perwujudan dari sistem tenurial yang dibangun pemerintah ternyata tidak secara adil menempatkan masyarakat pada posisi semestinya. Sistem tata kelola hutan pun kemudian juga ikut tidak berpihak ke masyarakat. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan baik bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan secara luas dan kelangsungan keberadaan hutan Jawa itu sendiri. Untuk itu diperlukan upaya-upaya kebijakan yang terus menerus harus didorong oleh pemerintah untuk mengantisipasi hal ini, yaitu:

1. Restrukturisasi Sistem Pengelolaan Hutan Jawa dan Reposisi BUMN Perhutani

Tuntutan-tuntusan dari berbagai pihak untuk merestrukturisasi sistem pengelolaan hutan jawa sekaligus mereposisi BUMN Perhutani telah terdengar sejak beberapa tahun belakangan. Kondisi hutan negara di Jawa yang telah rusak ditambah dengan berbagai persoalan konflik di dalamnya menuntut pemerintah untuk bertindak cepat dengan menata ulang sistem pengelolaan hutan Jawa.

Upaya menata ulang ini harus dimulai dengan menata ulang sistem tata kuasa dan tata kelola hutan di Jawa. Tata kuasa menyangkut bagaimana hutan Jawa dikuasakan kepada pihak-pihak yang akan menjadi pengelola. Ini menyangkut kepada siapa properthy right kawasan hutan negara ini akan diserahkan. Prasyarat untuk penataan ulang tata kuasa ini adalah dengan penataan ulang kawasan hutan negara di Jawa menyangkut; identifikasi, inventarisasi hingga penetapan kawasan dan status kawasan hutan yang mutakhir. Hal ini sekaligus untuk menjamin kepastian kawasan hutan yang akan ditata ulang sistemya dan menghindarkan konflik kawasan di masa mendatang.

Tata kelola menyangkut aspek manajemen pengelolaan hutan. Pihak-pihak yang telah terbukti dapat mengelola hutan dengan secara baik dilihat dari aspek ekologis maupun ekonomis, sepatutnya mendapat ruang dalam penataaan ulang sistem ini. Proses inisiatif Perda PSDHBM secara jelas menggambarkan bagaimana masyarakat dapat mengambil peran sentral dalam pengelolaan hutan negara. Kedua sistem ini harus menjamin keberlangsungan kehidupan masyarakat desa sekitar hutan dan kelestarian hutan itu sendiri.

Konsekuensi dari restrukturisasi sistem pengelolaan hutan Jawa ini adalah restrukturisasi dan reposisi BUMN Perhutani. Restrukturisasi Perhutani seharusnya didorong untuk mengembangkan konsep KPH mandiri yang otonom sehingga akan lebih mendekatkan pada permasalahan yang bersifat spesifik lokal. Gagasan ektrem dari ide ini adalah meleburkan Perhutani di tingkat KPH ke dalam struktur birokrasi Pemerintah Daerah. Sedangkan reposisi Perhutani menyangkut peran-peran baru yang harus diemban oleh Perhutani. Dalam kondisi sumberdaya hutan Jawa yang rusak parah, tidaklah tepat apabila BUMN Perhutani masih selalu dibebani negara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari hutan. Harus dirumuskan

peran-peran baru bagi Perhutani dalam konteks pengelolaan hutan Jawa karena meniadakan sama sekali secara drastis juga bukan merupakan pilihan yang bijak. Bagaimanapun Perhutani mempunyai pengalaman yang panjang dalam pengelolaan hutan Jawa, terlepas dari anggapan kegagalannya. Peran sebagai pihak ketiga (investor) sebagaiman yang didorong dalam skema PSDHBM kiranya dapat menjadi salah satu alternatif.

2. Peningkatan partisipasi masyarakat dan redistribusi aset sumberdaya hutan

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan kata kunci yang harus menjadi dasar pengambilan kebijakan kehutanan ke depan. Konsep-konsep forest for people harus ruh dari kebijakan yang akan diterapkan. Dalam upaya menjamin kepastian dalam sistem tenurilannya maka redistribusi aset sumberdaya hutan kepada masyarakat merupakan sebuah keharusan. Redistribusi aset sumberdaya hutan kepada daerah dan dikelola secara komunal sebagaimana dalam inisiatif Perda PSDHBM akan dapat menjamin kepastian kontrol masyarakat atas sumber daya hutan dan sekaligus menjamin kelestarian fungsi hutan.

Keluarnya TAP MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, kiranya semakin mempertegas kebutuhan redistribusi aset ini dengan penataan kembali pengelolaan agraria dan sumberdaya alam. TAP MPR ini juga memberikan arah kebijakan pembaruan agraria, salah satunya adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

3. Penguatan Desentralisasi dan Otonomi Sektor Kehutanan

Saat ini desentralisasi kehutanan merupakan sebuah keniscayaan. Kecenderungan politik sejak era reformasi dan diperkuat momentum otonomi daerah dimulai semakin kondusif untuk terus mendorong langkah-langkah desentralisasi di semua bidang termasuk kehutanan. Kebijakan pemerintah pusat yang seragam dan cenderung mengeneraliasasi permasalahan akan sangat tidak efektif diberlakukan pada permasalahan yang spesifik dan sangat bervariasi antar satu daerah lain. Di sisi lain, jarak spasial dan temporal yang lebih dekat akan memungkinkan daerah lebih efektif melakasanakan program dan kebijakan yang berhubungan dengan masyarakat secara langsung.

Secara konseptual, otonomi yang merefleksikan hak politik (baca: kewenangan) daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya hutan akan melahirkan sense of ownership dalam proses penetapan kebijakan para stakeholder. Terutama stakeholder yang langsung berkompeten dengan eksistensi sumber daya hutan di tingkat daerah dan lokal. Dengan demikian karakteristik kebijakan kehutanan di era otonomi akan bersifat khas setempat (local specific) serta mengakomodir aspirasi arus bawah (bottom up) . Persoalan-persoalan kehutanan klasik dan kompleks yang selama ini tidak mampu ditangani oleh pemerintah pusat seperti konflik kawasan hutan, penebangan liar, penyelundupan kayu, perambahan dan sebagainya diyakini akan dapat diselesaikan melalui beleid otonomi daerah. Karena itu, konsepsi otonomi dengan berbagai instrumen pendukungnya jelas berbeda dengan karakteristik pola sentralisasi pengelolaan hutan yang bersifat seragam (uniform) dengan pendekatan atas bawah (top down) .

Implikasi lebih lanjut tentu saja sistem sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat, termasuk masyarakat adat yang selama ini belum terakomodir akan dapat teraktualisasi secara legal dan inheren dalam sistem pengelolaan sumber daya hutan. Baik dalam bentuk hutan adat, hutan desa, hutan rakyat maupun terminologi kawasan hutan masyarakat lainnya. Otonomi pengelolaan sumber daya hutan juga diyakini akan mewujudkan suatu bentuk keadilan ekonomi hutan, khususnya dalam melakukan redistribusi pemanfaatan hasil hutan. Di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya akan memperoleh berbagai manfaat sumber daya hutan secara lebih proporsional dan signifikan. 22

Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang menyangkut diri mereka. Kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah propinsi, kabupaten maupun desa, agar lembaga-lembaga ini lebih kreatif menyusun berbagai program pembangunan daerah sesuai potensi daerahnya masing-masing. Asumsi yang menda-sarinya adalah bahwa pemerintah di daerah lebih mengetahui potensi dan aspirasi yang dimiliki daerahnya. Dengan kedekatan ini diharapkan produk kebijaksanaan yang dihasil-kan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi rakyat setempat. (Mubyarto, 2002)

Dalam kasus inisiatif Perda PSDHBM Wonosobo terlihat bagaimana kebijakan di daerah sangat efektif dan begitu implementatif di lapangan. Secara substantif tujuan PSDHBM untuk memperbaiki degradasi hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara efektif lebih mudah terwujud. Desentralisasi ini harus terus didorong sebagaimana yang disebutkan dalam TAP MPR IX/ 2001 bahwa salah satu prinsip yang penting adalah: melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah propinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam.

Penutup

Fakta-fakta keberhasilan masyarakat dalam melakukan rehabilitasi kawasan hutan negara dan meningkatkan kesejahteraan mereka dengan memanfaatkan lahan hutan negara belum cukup membuka pintu para pihak (Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, Perhutani, Pemerintah Propinsi) untuk dapat mengapresiasi inisiatif ini secara bijak. Proses panjang untuk merekognisi inisiatif ini ke Pemerintah pusat selalu tidak mendapatkan respon yang positif. Bahkan berbagai pihak dengan berbagai upaya mencoba menghentikan proses perjalanan inisiatif Perda PSDHBM ini. Meskipun substansi Perda PSDHBM ini telah berjalan di lapangan namun implementasi inisiatif PSDHBM belum berjalan secara efektif Wonosobo terutama pada tataran kebijakan sebagai payung bersama untuk memposisikan para pihak dengan berbagai berkepentingan di Kabupaten Wonosobo (Pemda Wonosobo, Perhutani, masyarakat). Jalan panjang inisiatif PSDHBM ini ternyata masih sangat terjal dan berliku . Pertanyaannya adalah maukah kita mengapresiasi inisiatif ini secara jujur dan dengan hati nurani ?
——————————-
22 Kompas, 5 Agustus 2001

——————————

Daftar Pustaka
Anonim, 1999. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
______, 1999. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
______, 2001 TAP MPR IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
______, 2001 Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo No 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
______, 2002. Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo No 22 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.
______, 2002. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan, Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan
______, 2002. Dokumen Rencana Kelola PSDHBM Kelompok Sijambu Desa Bogoran Kabupaten Wonosobo.
______, 2003. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani)

Ali Muhsi, Muayat. 2001. Tantangan dan Peluang Pengakuan Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) di Era Otonomi Daerah . Makalah dalam Workshop Pengelolaan Hutan Berbasiskan Masyarakat yang diselenggarakan oleh Warsi Tanggal 16–18 September 2001 di Bukit Tinggi

Afiff, Soraya. 2004. Materi Lokakarya Peningkatan Kapasitas Penulisan. Kerjasama Kemala dan Karsa

BPS Kabupaten Wonosobo. 2002. Wonosobo Dalam Angka Tahun 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo

Fauzi, Noer dkk. 2001. Otonomi Daerah Sumberdaya Alam Lingkungan . Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta

Ichwandi, Iin. 2002. Kegagalan Sistem Tenurial dan Konflik Sumberdaya Hutan: Tantangan Kebijakan Kehutanan Masa Depan . Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana/S-3. IPB. Bogor .

Krisnamurti, Bayu. 2002. Agenda Pemberdayaan Petani dalam rangka Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional . Jurnal Ekonomi Rakyat. Tahun II No 7. www.ekonomirakyat.org

Lounela, Anu dan Zakaria, Yando, ed. 2002. Berebut Tanah; Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung . Insist Press. Yogyakarta .

Mubyarto. 2002. Penanggulangan Kemiskinan di Jawa Tengah dalam Era Otonomi Daerah . Jurnal Ekonomi Rakyat Tahun I No 9.

Peluso, Nancy Lee.. 1992. Rich Forest , Poor People; Resources Control and Resistane in Java . University od Californias Press. California

Nurkse, Ragnar.1953 Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Memahami Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id

Views: 37

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *