Peristiwa mengenaskan kembali terjadi. Tepatnya hari Selasa, 6 Mei 2008 seorang penduduk desa sekitar hutan di kabupaten Madiun bernama Yaimin tewas setelah tertembus empat butir peluru yang ditembakkan oleh petugas pengaman hutan. Ironisnya peristiwa ini terjadi manakala pihak kepolisian tengah melakukan penyidikan terhadap kasus serupa yang menimpa dua orang penduduk Kabupaten Bojonegoro. Yah, baru sekitar dua minggu sebelumnya dua orang warga Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro tewas dan satu orang luka serius setelah tertembus peluru yang ditembakkan oleh seorang mantri hutan.
Dari dua kejadian tersebut, pihak Perhutani dalam penjelasannya selalu menyebutkan bahwa peristiwa mengenaskan itu bermula dari aktivitas ilegal korban dan beberapa temannya di dalam hutan yakni mencuri kayu dan terpergok petugas pengaman hutan. Ketika petugas memberikan tembakan peringatan orang-orang tersebut selalu berusaha melarikan diri dan terpaksa harus dilumpuhkan. Atau cerita yang tidak kalah heroiknya, penembakan terpaksa dilakukan karena korban dan beberapa temannya memberikan perlawanan, mengeroyok petugas, melempari petugas dengan batu ketika rombongan patroli pengamanan hutan berusaha menghentikan tindakan ilegal mereka. Penembakan terpaksa dilakukan dalam rangka membela dan menyelamatkan diri.</p><p>
Sementara, masyarakat yang menjadi korban tidak begitu saja menerima tuduhan bahwa mereka adalah pencuri asset negara dan perusak hutan. Mereka membantah tudahan tersebut, mereka di dalam hutan tidak sedang maupun akan mencuri kayu. Mereka hanya sedang mencari kayu bakar, sebuah aktivitas yang entah legal entah ilegal tapi yang pasti sudah dilakukan secara turun-temurun. Tidak pula mereka melakukan pengeroyokan terhadap petugas, yang ada hanyalah berusaha melarikan dan menyelamatkan diri. Suatu tindakan yang sebenarnya masuk akal dilakukan oleh orang desa yang memilih menghindar kalau berjumpa petugas supaya tidak dicari-cari kesalahannya.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah tetapi mencoba untuk memulai mendiskusikan bagaimana usaha-usaha yang patut ditempuh untuk menghindari agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Agar tidak ada lagi anak bangsa yang sedang dilanda berbagai krisis ini meninggal dengan sia-sia karena suatu kecerobohan. Agar tidak ada lagi anak desa sekitar hutan tiba-tiba menjadi yatim dan ibunya yang sudah dililit berbagai kesulitan hidup tiba-tiba menjadi janda.
Menurut hemat penulis, pertama yang perlu dilakukan adalah menghentikan segala penggunaan senjata api dalam segala bentuk aktivitas pengamanan hutan. Langkah konkritnya adalah pihak yang berwenang dalam hal ini POLRI harus dengan tegas menarik semua senjata api yang dipegang oleh Polhut maupun pegawai Perhutani yang lainnya. Hal ini penting untuk dilakukan karena berdasar data dari Lidah Tani, setidaknya ada 33 korban jiwa meninggal dan sebagian besar karena tertembak oleh polisi hutan.
Penulis tidak mengingkari bahwa pengamanan hutan ataupun penegakan hukum merupakan satu hal yang penting dalam rangka menyelamatkan hutan. Akan tetapi melihat begitu banyaknya kasus-kasus seperti tersebut ada baiknya mulai dipikirkan suatu model pengamanan hutan tanpa menggunakan senjata api ataupun bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Bagaimanapun juga harus disadari bahwa pencurian kayu walaupun melibatkan jaringan “mafia kayu” dan modal besar, para pelaku di lapangan adalah warga desa yang hidup dalam kemiskinan yang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya memang tidak ada pilihan lain selain harus terlibat dalam jaringan pencurian kayu. Meminjam istilah Lemek, tindakan pencurian kayu yang mereka lakukan dapat dikategorikan dalam poor criminality. Dalam menghadapi tindakan criminal yang disebabkan karena kemiskinan penegak hukum tidak boleh cepat-cepat main hakim sendiri. Polisi hutan maupun penegak hukum lainnya janganlah bertindak seolah-olah hukum itu berwajah garang dan tegas, tetapi sebaliknya ketika berhadapan dengan “mafia kayu” yang memiliki modal besar dan memiliki kekuasaan hukum menjadi lemah tak berdaya.
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah melakukan pengusutan dan penuntasan kasus-kasus tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Bagaimanapun juga, tindakan yang dilakukan oleh Polhut tidak bisa dibenarkan. Ini adalah bentuk dari kesalahan dalam penggunaan kewenangan/kekuasaan.<p></p>
Berangkat dari dua hal tersebut, pemerintah dan pihak pengelola hutan harus segera menyusun langkah-langkah strategis untuk menentukan model pengelolaan hutan ke depan yang tentunya lebih menjamin aspek keadilan dan kelestarian. Program-program persuasif yang sudah pernah dikembangkan selama ini mulai dari Perhutanan Sosial, Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan yang terakhir adalah Pengelolaan HUtan Bersama Masyarakat (PHBM) terbukti tidak berhasil dalam menangani berbagai konflik yang terjadi di lahan hutan. Walaupun dinilai sudah memberi porsi yang lebih besar kepada masyarakat melalui skema bagi hasil, ternyata program tersebut masih tidak lebih dari sekedar proyek sosial dalam usaha untuk mengamankan hutan. Perhutani mengklaim beberapa keberhasilan program PHBM dalam menggerakkan perekonomian di beberapa desa, tetapi banyak juga laporan mengenai penyimpangan-penyimpangan mewarnai pelaksanaan PHBM. Proyek populis tersebut ternyata belum bisa menyentuh lapisan masyarakat paling lemah di desa-desa sekitar hutan. Seperti yang dikatakan Peluso setelah melakukan penelitian di beberapa desa sekitar hutan pada tahun 80-an, program-program sosial yang dikembangkan oleh pengelola hutan sejak awal telah gagal – untuk tidak menyebutkan memang sejak awal didesain untuk gagal- memberi solusi yang mendasar, yakni menjadikan hutan sebagai basis material penopang kehidupan masyarakat sekitar hutan yang sebagian besar adalah petani tak bertanah. Itu pula yang terjadi dengan PHBM.
Menurut hemat penulis, perlu segara dipikirkan sebuah program atau kebijakan nasional untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada di tengah-tengah komunitas atau desa. Saat ini ada sejumlah masalah yang sangat genting, yaitu menurunya kemampuan untuk menjaga keselamatan rakyat, menurunnya produksi rakyat dan menurunnya kesinambungan layanan alam. Dengan demikian yang menjadi masalah adalah bagaimana agar arah perubahan benar-benar mampu memenuhi syarat-syarat sosial dan ekologis setempat yang mencakup tiga urusan utama, yakni keselamatan rakyat, kelangsungan pelayanan alam dan peningkatan produktivitas (Karsa, 2002).
Banyak skema yang bisa dipilih, salah satunya adalah program reforma agraria. Meminjam istilah Hardiyanto reforma agraria bukan sekedar bagi-bagi tanah tetapi adalah mengubah pola relasi/kelas di masyarakat melalui redistribusi ruang kelola yang berkeadilan. Program reforma agraria harus menyeluruh dan menyentuh penataan pada empat segi dasar yaitu penataan perubahan dalam tata kuasa atas sumber-sumber agraria, perubahan dalam tata guna sumber-sumber agraria, perubahan tata produksi, dan perubahan tata konsumsi. Dengan demikian, pihak pengelola hutan tidak perlu mencurigai program ini hanya merupakan bagi-bagi lahan yang sangat berpotensi menimbulkan alih fungsi hutan di pulau Jawa yang saat ini kurang dari 27% luas pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia ini. Justru di sinilah peran yang seharusnya dijalankan oleh sarjana dan ilmuwan kehutanan untuk terus mengawal dan memastikan proses reforma agraria di sektor kehutanan tidak menjadi penyebab kerusakan hutan.
Views: 28

Leave a Reply