oleh: Rama Astraatmaja 1
Bagaimana Pencurian Kayu Bermula
Pencurian kayu di Jawa—yang kemudian berkembang menjadi penjarahan hutan pada tahun 1998—memiliki umur yang panjang, sama panjangnya dengan pengelolaan hutan itu sendiri. Usianya kurang lebih 330 tahun, terhitung sejak dilarangnya masyarakat menebang pohon jati oleh kongsi dagang Belanda VOC pada tahun 1670. Pelarangan itu tidak pernah menghentikan masyarakat lokal untuk terus memanfaatkan hutan seperti sebelumnya, tetapi justru menimbulkan konflik antara penguasa hutan dengan masyarakat, sedemikian klise dan rutinnya sehingga akhirnya menjadi suatu tradisi (Santoso, 2001).
Tradisi pencurian kayu ini berawal dari adanya perbedaan persepsi antara negara yang menganggap hutan sebagai sumber pendapatan negara dengan persepsi masyarakat di sekitar hutan yang menganggap hutan sebagai milik bersama (public property). Konflik berdasarkan perbedaan persepsi dan tradisi pembangkangan ini tidak pernah bisa diselesaikan dengan tuntas sejak dimulainya pengelolaan hutan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sistem pengelolaan hutan tanaman jati di Jawa yang disusun di awal tahun 1900-an meniru model yang dikembangkan di Jerman di abad ke-18, yang memandang hutan sebagai suatu sistem terpisah dari sistem di luarnya. Ada patok-patok batas yang menandai di mana tanah masyarakat berakhir dan di mana kawasan hutan di mulai (Peluso, 1992). Bagi masyarakat hutan hal ini tidak dapat diterima, apalagi bagi mereka yang hidupnya banyak tergantung dari hutan.
Aturan yang terus dipertahankan hingga hari inilah yang menjadi sebab terlestarikannya ‘tradisi pembangkangan’ masyarakat sekitar hutan yang muncul dalam bentuk pencurian kayu. Bagi mereka, mengambil kayu dari hutan tidaklah lebih daripada memanfaatkan alam ciptaan Tuhan—yang dimaksudkan bagi kepentingan semua manusia—sebagaimana dideklarasikan oleh Samin Surosentiko pada awal abad 20.
Pencurian rutin ini berkembang dari tradisi pembangkangan menjadi kegiatan ekonomis yang lebih terorganisasi dan terstruktur. Masuknya modal, berkembangnya industri dan pasar kayu jati serta adanya perlindungan dan kerjasama dari aparat keamanan semakin memperkuat infrastruktur pencurian kayu di Jawa. Pada tahun 1998—ketika tersedia cukup alasan untuk melakukan pembangkangan massal kepada penguasa hutan—maka infrastruktur ini bekerja dengan leluasa untuk mengekskalasi pencurian rutin menjadi penjarahan besar-besaran.
Bagaimana Pencurian Kayu Bekerja
Pencurian rutin yang terjadi sebelum tahun 1997 pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, pencurian profesional dan amatir. Pencurian profesional adalah pencurian yang rutin, melibatkan banyak pekerja, jumlah curian besar, terorganisasi dan berorientasi bisnis, sementara pencurian amatir adalah pencurian yang dilakukan untuk keperluan sendiri dalam jumlah kecil, dan sewaktu-waktu.
Besarnya jumlah kayu curian yang dapat ditebang dari kawasan hutan, dan leluasa bergerak di Pulau Jawa mengindikasikan adanya ketidakberesan pengawasan hasil hutan dan pengamanan kawasan hutan. Lebih parah lagi bahkan aparat lapangan dan keamanan terlibat di dalamnya. Pada pencurian pra-1998, seorang pencuri kayu di tingkat desa saja harus mengeluarkan upeti bulanan kepada Perum Perhutani atau kepolisian sejumlah Rp 200.000-400.000 (Yuwono, 1998)
Akhir-akhir ini pencurian kayu jati telah banyak mengubah modus operandinya, terutama akibat dilancarkannya razia besar-besaran atas kayu gelap di perusahaan besar. Razia ini membuat perusahaan besar lebih berhati-hati membeli kayu gelap, dan ‘mendelegasikan pekerjaan-pekerjaan kotor’ ke tingkat penyalur, pemasok, dan pekerja di bawahnya.
Kayu yang melintas di jalan antar kota kini sudah dibersihkan dengan surat pas yang didapat dengan berbagai cara. Setidaknya ada dua cara bagaimana Perum Perhutani membiarkan pencurian kayu terus menerus terjadi, Cara pertama sering disebut sebagai cara ‘surat berjalan’. Walaupun informan tidak menyebutkan secara tegas kasus yang diketahuinya, tetapi dapat digambarkan cara kerja pencurian kayu sebagai berikut. Metode ini mengandalkan adanya relasi di tubuh Perum Perhutani yang dapat mengeluarkan surat pas kayu aspal. Surat pas kayu ini datang dari KPH di luar wilayah tebangan ilegal. Surat kemudian ‘berjalan’ tanpa kayu untuk kemudian mendampingi kayu sepanjang perjalanan.
Metode ke dua adalah pengelabuan hasil sawing test. Sawing test adalah uji penggergajian yang dilakukan Perum Perhutani di depan pengusaha penggergajian untuk menetapkan batas maksimal rendemen yang diizinkan untuk mendapatkan pas kayu olahan. Hasil sawing test menunjukkan bahwa kayu kualita KBP dapat menghasilkan kayu gergajian sebesar 25%.
Sawing test ini memiliki dua kelemahan, yang pertama mutu bahan bakunya. Sawing test tidak dilakukan dengan menggunakan kayu kualita KBP, tetapi kayu kualita A2 yang lebih baik mutunya. Kelemahan kedua adalah tidak adanya pengukuran dimensi kayu rendemen. Hasil sawing test sebesar 25% bahan baku termasuk dengan kayu dimensi kecil yang biasanya dijadikan bahan parket. Pada kenyataannya banyak perusahaan penggergajian yang tidak memproduksi kayu gergajian berdimensi kecil, sehingga hasil kayu gergajiannya rata-rata hanya 5% saja.
Untuk memaksimalkan keuntungan, para pengusaha penggergajian memasok kayu gelap agar dapat mencapai rendemen maksimal yang diizinkan (25%). Kayu gergajian yang bahan bakunya campuran antara kayu resmi dan kayu gelap ini kemudian disahkan dan diberikan surat pengantarnya berupa pas angkut kayu (SAKO) oleh Perum Perhutani.
Kedua cara di atas adalah bagaimana Perum Perhutani membiarkan pencurian kayu terjadi. Selain itu ada pula pencurian kayu yang secara aktif justru dilakukan oleh Perum Perhutani. Cara ini dilakukan dengan menebang di luar petak yang telah ditentukan dalam Rencana Teknik Tahunan. Penebangan ini dilakukan untuk mencukupi target yang ditentukan—berjaga-jaga kalau kayu hilang dicuri sebelum sempat ditebang secara resmi, dan jika ternyata target tebangan berhasil dicapai, maka kelebihan ini dapat dikantungi sebagai penghasilan tambahan.
Indikasi terjadinya penebangan jenis ketiga ini didapatkan dari keluhan mandor tanam yang harus menanami petak tebangan yang luasnya lebih dari rencana resmi. Tambahan luas petak tanaman menunjukkan adanya overcutting yang terjadi dua tahun yang lalu.
Berapa Banyak yang Dicuri
Yang terutama menjadi kerisauan banyak orang akhir-akhir ini adalah meledaknya kuantitas, frekuensi, dan skala pencurian ini sehingga sering disebut sebagai penjarahan hutan. Pencurian ini meledak dua puluh kali lipat dari pencurian rutin yang biasanya terjadi, dari kira-kira 200.000 batang/tahun menjadi 3,2 juta batang/tahun pada tahun 1999 2.

sumber: Direksi Perum Perhutani,2000
Angka kubikase pencurian kayu untuk keseluruhan Pulau Jawa mencapai 1,12 juta m3 pada tahun 1998 dan 1,17 juta m3 kayu jati pada tahun 1999. Angka ini baru menggambarkan besaran volumetris kayu yang dicuri dari kawasan hutan Perum Perhutani sementara luas dan besarnya pencurian kayu di kawasan lindung belum terdata.
Pencurian kayu tidak dapat dipisahkan dari pasar yang siap menerima dan mengolahnya. Data berikut berusaha menggambarkan secara lebih detil perputaran uang dan volume bahan baku pada hulu lokasi pencurian kayu di Randublatung, dan gambaran detil lain di sentra industri kayu di Jepara.
Terjadinya penjarahan mengindikasikan bahwa overdemand yang dituntut industri pengolahan kayu sudah lama berlangsung dan dibiarkan tanpa pengaturan. Sekalipun belum ada penelitian menyeluruh mengenai demand kayu jati di seluruh Pulau Jawa, tetapi angka-angka dari Jepara setidaknya dapat memberikan gambaran bagaimana sentra industri kerajinan kayu mencukupi pasok bahan bakunya.
Permintaan Bahan Baku Sentra Industri Kerajinan Kayu Jepara dan Perbandingannya dengan Pasok yang Bisa Disediakan Perum Perhutani
| Sentra Industri Kerajinan Kayu Jepara | Perum Perhutani | ||
| Pertumbuhan industri dan serapan bahan baku (%per tahun) | 2,50 | 0,91 | Proyeksi Pertumbuhan Etat Tebangan Perum Perhutani Unit I (%per tahun) |
| 364.451 | Proporsi volumetris tahunan pasok kayu dengan pas dokumen transport (m 3 ) | ||
| 65.940 | Pasok kayu lain dari hutan rakyat tanpa pas dokumen transport ( m 3 ) | ||
| Serapan kayu tahun 1998 (m 3 ) | 600.000 | 430.391 | Total (m 3 ) |
| Serapan kayu tahunan yang tidak jelas asal-usulnya (m 3 ) | 169.609 | ||
| Serapan kayu Jepara 1998 | Tebangan Unit I Jawa Tengah 1998 | ||
| Jati (58,24%) m 3 | 349.440 | 329.229 | Jati m 3 |
| Mahoni (30,77%) m 3 | 184.620 | 347.371 | Jenis rimba m 3 |
| Lain-lain (10,99%) m 3 | 65.940 | ||
| Total (m 3 ) | 600.000 | 676.600 | Total (m 3 ) |
Sumber: Diolah dari Setyarso dan Soeprijadi (1998) dan Direksi Perum Perhutani (1998)
Di lain pihak, di hulu pencurian kayu, pada kasus KPH Randublatung tercuri 318.000 m3 kayu pada tahun 1999. Angka taksiran maksimal harga jual kayu jati curian diperkirakan mencapai 1,2 trilyun rupiah, sebagian besarnya justru dinikmati oleh pemodal dan pengusaha besar yang berdomisili jauh dari kawasan hutan.
Keuntungan Ekonomis Masyarakat dari Penjarahan di KPH Randublatung
| Distribusi bentuk pendapatan | Total | Keluar | Masyarakat/Penggunaan lokal | Persentase Masyarakat |
| Kubikase kayu jarahan (m3) | 318.000 | 312.424 | 5.576 | 1.75% |
| Perputaran uang (Rp) | 1.251.712.000.000 | 1.231.930.657.150 | 19.781.342.850 | 1.58% |
Sumber: Diolah dari ARuPA (1999) dan Sanyoto (2000)
Adakah Titik Cerah?
Persoalan utama di sini adalah bahwa pencurian kayu jati tidak selalu identik dengan persoalan kemiskinan masyarakat, namun lebih luas lagi berhubungan dengan struktur industri dan penegakan hukum dan pengawasan yang amat lemah karena dipenuhi dengan aparat-aparat militer/POLRI dan petugas Perum sendiri yang koruptif, kolutif, dan manipulatif. Kebobrokan itu dilengkapi dengan sindikat pengusaha kayu gelap begitu kuatnya dan biasa mempengaruhi para pengambil kebijakan kunci dengan cara-cara penyuapan. Penegakan hukum juga tidak menyentuh karyawan Perum atau kepolisian yang terlibat. Tidak ada sanksi pidana yang dikenakan pada mereka, yang ada adalah mutasi atau sanksi administratif lainnya (lihat contoh kasus dari pemberitaan).
———————————————————————————
Dalam tahun ini pihak KPH Cepu menangani 4 kasus pencurian yang melibatkan oknum petugas, sementara jumlah oknum yang terlibat 7 orang … ada beberapa oknum petugas yang sudah dipindah ke luar Blora dengan latar belakang pernah terlibat dalam pencurian kayu, kenyataannya oknum petugas itu bisa pindah lagi ke Blora dan kembali melakukan hal yang serupa. (Suara Merdeka, 7 Agustus 2000)
Seorang warga ditembak mantri hutan Perhutani wilayah KPH Semarang, berkaitan dengan kasus pencurian kayu jati. Kasus yang berbuntut kekerasan ini diawali dari proses bebasnya warga tersebut setelah memberi uang jaminan sesuai yang diminta oleh Polhut setempat. “Ketika saya dibebaskan dimintai uang, sementara pencuri lain yang juga tertangkap dibebaskan begitu saja”, ujar warga tersebut. (Bernas, 1 Juli 2000)
Anggota Komisi B DPRD Jateng Drs. Sutoyo Abadi mengatakan, “Para sindikat kayu telah terang-terangan mulai mengajak negosiasi kepada para anggota dewan yang ingin membongkar perniagaan kayu ilegal. Caranya dengan mengiming-imingi sejumlah uang untuk berdamai.” (Wawasan, 21 Juli 2000)
Kepala Divisi Organisasi Pengembangan SDM Perum Perhutani Ir. Rijanto Tri Wahyono menyatakan bahwa sekitar 10% karyawan Perum Perhutani terlibat aksi penjarahan hutan. Masih menurutnya, “Karyawan yang terlibat itu berada di semua level, mulai dari tingkat di bawah Asper, Asper, Administratur, hingga eselon teratas. Tingkat keterlibatan mereka bervariasi, ada yang teledor, ada yang terlibat langsung—biasanya tingkat Asper ke bawah, tetapi ada juga yang keterlibatannya sukar dibuktikan, termasuk Direksi.” (Pikiran Rakyat, 13 Juli 2000)
—————————————————————————
Di lain pihak pengawasan administrasi lalu lintas hasil hutan selama ini tidak responsif terhadap fakta di lapangan tentang tata niaga kayu jati yang kondisinya sangat carut marut. Pengawasan tata niaga kayu dipenuhi dengan korupsi, manipulasi, dan pemalsuan. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan lolosnya kayu ilegal dengan adanya pas yang dapat dipakai dua kali, trik mencampur kayu sah dan ilegal, jual beli blanko pas kosong, dan kayu-kayu curian dapat memperoleh pas karena keterlibatan aparat Perhum Perhutani.
Lebih dari mengawasi kayu dari kawasan Perum sendiri, Perum Perhutani juga memiliki kewenangan mengawasi lalu lintas dari luar Jawa yang pasokannya sekira 4 juta m3/tahun. Sebagian dari kayu luar Jawa tersebut adalah kayu ilegal, dan Perum—sepanjang kewenangannya—terkesan mendiamkan banyaknya kasus-kasus masuknya kayu ilegal dari luar Jawa dengan surat keterangan palsu (beberapa kasus ditampilkan dalam pemberitaan).
Surat keterangan palsu ini dibuat dengan terorganisasi dan rapi, pada beberapa kasus tidak terbedakan dengan aslinya, dan ironisnya ada kasus ketika kayu bersurat asli justru disita.
———————————————————————
Wakil Ketua Komisi B yang mengadakan kunjungan kerja ke Pelabuhan Gresik menemukan bahwa aparat Perum Perhutani tidak bisa menyediakan data mengenai lalu lintas kayu di pelabuhan tersebut. Anggota fraksi TNI/POLRI Kol. Inf. Manaf menyatakan bahwa apa yang dijumpainya terkesan ditutup-tutupi. Kayu-kayu sitaan yang telah digudangkan ditengarai menguap karena diganti catatan mengenai mutu dan volumenya. (Pelita, 14 Juli 2000)
…..diduga kuat adanya pembuatan pas atau dokumen pengiriman kayu olehan berupa GF dan Flooring itu melibatkan oknum Perhutani asal pas itu dibuat….. ada kemungkinan surat pas itu merupakan sisa tahun 1999. Sementara ada dugaan pula bahwa pas itu palsu, yang berarti pemalsuan itu dilakukan secara keseluruhan termasuk palu tok dan stempel. (Suara Merdeka, 23 Agustus 2000)
Dibongkar jaringan pembuat surat pas palsu serta palu stempel atau tok planthong palsu. Blanko pas palsu ini dijual Rp 100 ribu per lembar dari pencetak, dan kepada yang membutuhkan dijual lagi Rp 400 ribu per lembar. Pembeli dapat mengisi sendiri data yang diperlukan pada blanko tersebut. Surat pas palsu ini biasa dipergunakan untuk mengangkut kayu sekitar 10 m3 setiap truknya. (Kedaulatan Rakyat, 25 Juni 1999)
Dijumpai pas kayu jati yang diduga palsu dalam sebuah operasi di Grobogan. Pas dikeluarkan oleh BKPH Begal, KPH Ngawi, Unit II Jawa Timur tertanggal 23 Juni 2000. Polres setempat menyatakan bahwa kasus semacam ini sudah kesekian kalinya terjadi, dan akan memanggil Administratur Ngawi untuk dimintai keterangan perihal pas palsu tersebut. (Suara Merdeka, 17 Juli 2000)
Terungkap adanya pembuatan pas palsu oleh seorang pengusaha di Brebes, yang telah berhasil sedikitnya lima kali meloloskan kayu jati puluhan meter kubik. Menurut pelaku, blanko pas warna biru muda dan putih tersebut sengaja dibuat di sebuah percetakan di wilayah Tegal. Selanjutnya dengan rekayasa, pas itu diisi, ditandatangani, dan dicap mirip cap yang dimiliki oleh KPH Balapulang. Sepintas surat itu amat mirip dengan pas asli yang dikeluarkan oleh Perum Perhutani. Dari tangan pemalsu, polisi mengamankan satu bendel pas kosong berisi 95 lembar blanko, stempel Perum Perhutani KPH Balapulang, stempel Perum Perhutani TPK Songgom, dan 5 lembar pas yang sudah digunakan. (Suara Merdeka , 8 Juli 2000)
Komisi C DPRD Jateng mengungkap adanya penyalahgunaan SAKO maupun SKSHH, serta mempertanyakan kerja Kanwil dan Perum Perhutani yang tidak segera melakukan pembenahan. Justru Perum Perhutani terkesan diam melihat beredarnya SAKO dan SKSHH yang masih kosong tersebut. (Bernas, 21 Juli 2000)
Untuk meloloskan kayu olahan dari Pelabuhan Tegal cukup dilengkapi SAKO/SAKB seharga Rp 100.000/m3. Bahkan ada blanko SKSHH dengan harga Rp 200.000/m3 yang bisa disesuaikan dengan volume yang ada. (Kompas, 9 Agustus 2000)
Adpel Tanjung Emas Subagijo mengakui sulit membedakan pas palsu dengan aslinya, keduanya dikatakannya sangat mirip. (Bisnis Indonesia, 15 Agustus 2000)
Di Serang ratusan buruh dan puluhan pengusaha kayu Pelabuhan Karangantu memprotes “Operasi Hiu Macan 2000” (operasi penyitaan kayu ilegal) yang digelar Polairud. Menurut sejumlah pengusaha, “Kayu yang masuk melalui pelabuhan ini dilengkapi dokumen SAKO dan SAKB yang sah, tapi entah mengapa Polairud meganggap surat-surat itu palsu. (Suara Pembaruan, 25 April 2000)
——————————————————–
Untuk tidak menjadi pesimis, baiklah kita bersama-sama menganggap titik cerah itu ada, tetapi rasanya masih jauh dan perlu perjuangan amat keras. Membongkar kejahatan yang dilakukan oleh pengusaha besar yang melibatkan pejabat Perum Perhutani atau perwira TNI/POLRI adalah salah satunya, tetapi bukan satu-satunya.
Membangun pengawasan oleh masyarakat bisa juga dilakukan, tetapi cara-cara lama melalui penyuluhan kesadaran hukum agaknya terlalu naif untuk diharapkan berhasil. Yang perlu dipikirkan bukan hanya membuat masyarakat merasa memiliki hutan, tetapi bagaimana membuat masyarakat benar-benar memiliki hutan.
Ketakutan bahwa rakyat mayoritas kaum agraris belum siap atau masih bodoh sehingga tak mampu mengelola hutan—seolah pekerjaan mengelola hutan begitu rumit dan sukarnya serta merupakan monopoli sarjana kehutanan—harus mulai kita kikis dengan menumbuhkan harapan dan belajar bersama masyarakat yang telah berhasil mengelola hutannya sendiri di Jawa. Data mengenai produktivitas hutan rakyat di Jawa sangat mengembirakan, karena pada dasarnya hutan rakyat telah menjadi salah satu penyangga pasok bahan baku industri perkayuan di Jawa, seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Pasok Kebutuhan Bahan Baku Kayu bagi Industri di Jawa 3
| Asal Kayu | m 3 /tahun | Persentase |
| Perum Perhutani Unit I, II, dan III | 1.861.803 | 22,6 % |
| Kayu illegal logging dari kawasan Perum | 1.119.318 | 13,6 % |
| Kayu dari luar Jawa | 4.349.837 | 52,9 % |
| Hutan Rakyat | 895.371 | 10,9 % |
| Total | 8.226.329 | 100,0 % |
Kuantitas dan persentase kayu yang bisa dipasok dari hutan rakyat memang tidak besar, tetapi angka ini belum menggambarkan bagaimana hutan rakyat sebenarnya telah dikelola dengan sangat produktif—bahkan melebihi produktivitas pengelolaan masif dan sentralistik ala Perum Perhutani. Ketika Perhutani hanya mampu memproduksi kayu rata-rata rata-rata 0,7 m3/ha setiap tahunnya, hutan rakyat berproduksi dengan kecepatan tiga kali lipatnya.
Produktivitas Hutan Perum Perhutani dibandingkan Hutan Rakyat 4
| Kawasan Hutan | Total | Luas | Produktivitas |
| m 3 /tahun | Hektare | m 3 /ha/tahun | |
| Perum Perhutani Unit I | 713.376 | 646.074 | 1,10 |
| Perum Perhutani Unit II | 865.113 | 1.126.958 | 0,77 |
| Perum Perhutani Unit III | 283.314 | 792.468 | 0,36 |
| Hutan rakyat | 895.371 | 391.317 | 2,29 |
Ketika penjarahan meledak dan terjadi hampir di seluruh kawasan hutan negara (yang dikelola oleh Perum Perhutani), hutan rakyat tetap tak tersentuh oleh pencurian bahkan dalam skala kecil sekalipun. Adanya hak milik pribadi atas lahan hutan beserta seluruh hasil di atasnya menyebabkan masyarakat di sekitar hutan rakyat bersikap protektif terhadap miliknya, tabungannya, dan hasil kerja kerasnya.
Selain sikap protektif dari pemiliknya, hutan rakyat juga selamat dari penjarahan karena adanya penghargaan dan penghormatan para pencuri kayu terhadap kepemilikan baik pribadi maupun kepemilikan komunal. Ada semacam etika di antara pencuri kayu, semacam peraturan tak tertulis, bahwa mereka tidak mencuri dari sesama rakyat miskin.
Dengan kepemilikan itulah pengawasan dari masyarakat dapat benar-benar efektif mengontrol tingkat pencurian kayu di Jawa.
Daftar Pustaka:
Ahmad, Nanang Roffandi. 2000. “Restrukturisasi Industri Kayu Hulu dan Pengelolaan Hutan Produksi di Luar Jawa”. Makalah Semiloka Restrukturisasi Industri Kehutanan dan Rekalkulasi Nilai Sumber Daya Hutan. Baplan Dephutbun-DfID, Jakarta, 6-7 September 2000. Tidak diterbitkan.
ARuPA. 1999. “Laporan Penelitian Kolaboratif: Penjarahan Hutan Di Sekitar Desa Temulus Randublatung”. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Direksi Perum Perhutani. 1998. Statistik Perum Perhutani Tahun 1993-1997. Perum Perhutani. Jakarta. ________. 2000. Statistik Perum Perhutani Tahun 1995-1999. Perum Perhutani. Jakarta.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resources Control and Resistance in Java. University of California Press. California.
Santoso, Herry. 2001. “Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan Jati Perum Perhutani”. Tesis S-2. Program Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Sanyoto, Rohni. 2000. “Notulensi Rakor Kecamatan Randublatung 12 Juni 2000”. Tidak diterbitkan.
Setyarso, Agus dan Joko Soeprijadi. 1998. “Kajian Struktur Sentra Industri Kerajinan Kayu Jepara Guna Mendukung Keberlanjutannya”. Fakultas Kehutanan UGM dan Perum Perhutani Unit I. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Supriadi, Dodi. 2000. “Keterkaitan Rehabilitasi Hutan, Gerakan Penghijauan dan Hutan Rakyat dengan Industri Kehutanan”. Makalah Semiloka Restrukturisasi Industri Kehutanan dan Rekalkulasi Nilai Sumber Daya Hutan. Baplan Dephutbun-DfID, Jakarta, 6-7 September 2000. Tidak diterbitkan.
Yuwono, Teguh. 1998. “Sebaran Keamanan Hutan dan Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap Program Pengamanan Hutan Jati”. Skripsi Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Catatan Kaki:
1. Koordinator Forest Watch Indonesia Simpul Jawa
2 . Pada tahun 1999-di Jawa Tengah saja-terjadi kurang lebih 150.000 kali pencurian kayu, dengan jumlah pohon tercuri sebesar kurang lebih 1,2 juta pohon.
3. Sumber: Diolah dari Ahmad (2000), Direksi Perum Perhutani (1998), dan Supriadi (2000).
4. Ibid. created: Thu, 26 Jun 2008 15:11 by rama astraatmaja
Views: 25

Leave a Reply